PENGELOLAAN
LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009
TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Sigit Sapto Nugroho1
1 adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun
Abstract
This study aims to identify and analyze the management of
hazardous and toxic waste (B3) according to Law No. 32 of 2009 on the
Protection and Management of the Environment.
The method used in this research is done by the method of
normative juridical literature study in which the data obtained from the legal
materials of primary, secondary and tertiary.
Keywords:
Hazardous and Toxic Waste
Pendahuluan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat
merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia.
Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan
berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia
dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta
makhluk hidup lain.
Pembangunan yang memadukan lingkungan
hidup, termasuk sumber daya alam, menjadi sarana untuk mencapai keberlanjutan
pembangunan dan menjadi jaminan bagi kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa
kini dan generasi masa depan. Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus
dikelola dengan prinsip melestarikan fungsi lingkungan hidup yang serasi,
selaras, dan seimbang untuk menunjang pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa
kini dan generasi masa depan. Dampak positif pembangunan di antaranya adalah
(1) meningkatnya kemakmuran dan eksejahteraan rakyat secara merata; (2)
meningkatnya pertumbuhan ekonomi secara bertahap sehinga terjadi perubahan
struktur ekonomi yang lebih baik, maju, sehat dan seimbang (3) meningkatnya
kemampuan dan penguasaan teknologi yang akan menumbuhkembangkan kemampuan dunia
usaha nasional; (4) memperluas dan memeratakan kesempatan kerja dan kemampuan
berusaha; dan (5) menunjang dan memperkuat stabilitas nasional yang sehat dan
dinamis dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional. Demikian pula dampak positif pembangunan
terjadap lingkungan hidup, misalnya terkendalinya hama dan penyakit,
tersedianya air bersih, terkendalinya banjir, dan lain-lain; sedangkan dampak
negatif akibat kegiatan pembangunan terhadap lingkungan, yang sangat menonjol
adalah masalah pencemaran dan perusakan terutama masalah limbah (Damanhuri E,
1993:34)
Pada saat ini salah satu penyebab
masalah lingkungan hidup adalah limbah, tetapi timbulnya limbah tersebut tidak
dapat dihindarkan, karena limbah adalah salah satu hasil dari kegiatan. Dalam
kehidupan kita sehari-hari, terkait kemasan makanan yang kita beli, dulu
sebelum tahun 1980-an makanan tersebut dibungkus dengan daun pisang, setelah
tahun 1980-an mulai digunakan kertas berplastik, menjelang tahun 2000-an
makanan dikemas dengan styrofoam.
Peningkatan limbah berbanding lurus dengan konsumsi masyarakat berbanding lurus
dengan peningkatan kesejahteraan. Oleh karena itu, masalah limbah tidak
habis-habisnya dipersoalkan dan dicari solusi penanganannya. Masalah lingkungan
itu timbul akibat pembuangan limbah yang sembarangan yang akan mengganggu
kesehatan, merusak lingkungan hidup serta kenyamanan hidup kita, oleh karena
itu kita harus menanganinya (Setiyono dalam ejurnal.bppt.go.id )
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, definisi limbah
adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan. Definisi secara umum, limbah adalah
bahan sisa atau buangan yang dihasilkan dari suatu kegiatan dan proses
produksi, baik pada skala rumahtangga, industri, pertambangan, dan sebagainya.
Bentuk limbah tersebut dapat berupa gas dan debu, cair atau padat. Di antara
berbagai jenis limbah ini ada yang bersifat beracun atau berbahaya dan dikenal
sebagai Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3). Semakin meningkat kegiatan manusia, semakin
banyak pula limbah yang dihasilkan. Oleh karena itu perlu peraturan yang
mengikat secara hukum terkait dengan limbah dan pengelolaannya. Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah
memuat aturan segala sesuatu yang terkait limbah tersebut. Aturan itu
menyangkut apa yang diperbolehkan, dilarang dan sanksi hukumnya.
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
(Limbah B3 ialah setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang
mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena mudah meledak, mudah
terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, bersifat korosif, dan
lain-lain yang bila diuji dengan toksikologi dapat diketahui termasuk limbah
B3, serta konsentrasi atau jumlahnya yang baik secara langsung maupun tidak
langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau membahayakan kesehatan
manusia. Contoh: limbah medis (suntikan, botol obat), limbah industri, baterai,
accu (aki), oli bekas, dll. Untuk itu
Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Lingkungan Hidup telah mendorong
pengelolaan B3 dan limbah B3 untuk menjadikan limbah B3 menjadi sesuatu yang
bermanfaat atau mempunyai nilai ekonomi dengan mengedepankan pola pemanfaatan
yang dikenal dengan 3R (re-use, re-cycle, dan re-covery).
Pemanfaatan limbah B3 atau Bahan Berbahaya dan Beracun perijinannya harus dilakukan berdasarkan pengawasan yang ketat karena sifat, konsentrasi dan atau jumlah B3, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat
mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup serta membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup manusia
serta makhluk hidup lainnya. Limbah B3 yang boleh dimanfaatkan harus
mempunyai komponen yang konsisten dengan kriteria bahwa limbah B3 tersebut
sudah teridentifikasi sifat, karakteristik dan komponennya relatif sama
untuk setiap sumber, seperti abu terbang (fly
ash) sisa pembakaran batubara, abu dasar sisa pembakaran
batubara (bottom ash), debu
EAF (elevtrical arc furnace ash) sisa peleburan besi dan baja, slag sisa
peleburan besi dan baja dan slag sisa peleburan tembaga. Tantangan
yang dihadapi dalam pengelolaan Limbah B3 adalah semakin meningkatnya jumlah
dan jenis B3, meluasnya dampak negatif yang diakibatkan oleh pembuangan
limbah B3 ke lingkungan, dan semakin meningkatnya illegal impor limbah B3 serta
terbatasnya fasilitas pengelolaan limbah B3 yang ada di Indonesia ( Saidi Z,
2009:67)
Tujuan Penelitian :
Untuk
mengetahui dan menganalisis pengelolaan
limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini
hasilnya diharapkan dapat bermanfaat :
1. Secara teoritis memberikan
sumbangan pemikiran, baik berupa konsep, pengembangan teori dalam kasanah ilmu
hukum khususnya hukum lingkungan hidup.
2. Untuk memberikan masukan bagi
pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan limbah bahan berbahaya dan
beracun.
Metode Penelitian
Penelitian ini metode yang dipergunakan adalah metode penelitian yuridis
normatif (studi kepustakaan) yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk
menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.
Tipe penelitian ini dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dengan
mengkaji bahan-bahan hukum, meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
dan bahan hukum tertier.
1.
Sumber Data
Pada penelitian hukum
normatif yang utama adalah data sekunder. Data sekunder tersebut berupa
bahan kepustakaan yang berwujud
(Sunggono, 2002:116).
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum
yang mengikat, yang terdiri dari :
1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup.
2) Peraturan Pemerintah Nomor 85
Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999
Tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer. Contohnya : Hasil karya ilmiah,
makalah, dan sebagainya.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang
memberikan petunjuk maupun perjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, misalnya kamus hukum.
2.
Pengumpulan
dan Pengolahan Data
Setelah data
dapat dikumpulkan maka kemudian dilakukan pengelompokan data dilakukan pembahasan yang didasarkan
pada teori-teori yang masih ada dan relevan. Di dalam mencari data, baik yang
bersumber pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder , dan bahan hukum
tersier dilakukan melalui studi kepustakaan . Setelah diperoleh bahan hukum
yang diperlukan kemudian dihimpun, diinventarisasi yang sesuai dengan
permasalahan yang dibahas, selanjutnya
dilakukan pemisahan berdasarkan relevansi pokoknya.
3.
Analisis Data
Setelah data-data berhasil dikumpulkan dengan
lengkap dan di pisah-pisahkan/diklasifikasikan sesuai dengan relevansi pokok
permasalahan kemudian dilakukan analisa data secara normatif kualitatif, yaitu
untuk membahas bahan penelitian yang datanya mengarah pada kajian yang bersifat
teoritik tentang konsep-konsep, kaidah hukum, doktrin-doktrin dan bahan hukum
lainnya. Selanjutnya data tersebut dipelajari dan dibahas sebagai suatu bahan
yang utuh dan dituangkan di dalam bahasan dengan sehingga menghasilkan data
yang diskriptif analitis.
Hasil Penelitian Dan Pembahasan
Pengelolaan limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun (B3) Perspektif Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dampak
dari pembuangan limbah sembarangan dan tidak dikelola dengan baik berupa
pencemaran tanah, air dan udara, serta banjir. Dengan demikian dapat dikatakan
pengelolaan limbah ini bertujuan untuk mencegah, menanggulangi pencemaran dan
kerusakan lingkungan, memulihkan kualitas lingkungan tercemar, dan meningkatkan
kemampuan dan fungsi kualitas lingkungan. Contoh-contoh pengelolaan limbah
(Damanhuri, 1994:23) sebagai berikut.
1. Limbah Padat
Seperti sampah organik akan
membusuk mengakibatkan bau busuk yang mengundang hewan-hewan berdatangan, pada
umumnya hewan tersebut dapat menyebarkan penyakit, dan dapat mencemari tanah.
Sampah organik yang belum sempat membusuk dan non organik yang dibuang ke badan
air (sungai, danau, laut), akan mencemari air tersebut, bahkan jika dibuang ke
sungai dapat menyebabkan banjir. Sampah
rumah tangga dan sejenisnya di daerah perkotaan dikelola oleh Dinas Kebersihan
Pemerintah Daerah atau swasta. Sampah-sampah tersebut (selain tinja)
dikumpulkan di Tempat Penampungan Sementara (TPS), selanjutnya dari TPS dibawa
ke tempat pendauran ulang atau pengolahan atau tempat pengolahan sampah terpadu
dan/atau tempat pemrosesan akhir sampah. Idealnya demikian, tetapi kenyataannya
masih terjadi pencemaran akibat pembuangan sampah. Tempat pembuangan sampah
akhir (TPA) di kota-kota besar di Indonesia hanya menjadi tempat penumpukan
sampah, tanpa perlakuan lebih lanjut. Pemda mulai membuat tempat pengolahan
terpadu dengan disiapkan pemilahan sampah, tempat pendaur-ulangan, dan
insinerasi (pembakaran yang terkendali). Sebelumnya TPA hanya untuk buang
sampah saja, masyarakat berpersepsi tempat pengolahan terpadu itu hanya
kamuflase saja, akibatnya masyarakat yang tinggal di sekitar pun banyak
melakukan penolakan adanya tempat pengolahan sampah terpadu ini.
2. Limbah Cair
Di manapun limbah cair
dibuang akan mencemari tempat pembuangannya, baik di tanah maupun di air. Oleh
karena itu, harus dilakukan pengolahan air limbah baik dari perumahan maupun
industri. Di kawasan industri air limbah diolah dengan Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL). Di perumahan, tempat pembuangan air kakus adalah septictank, ini adalah bentuk pengolahan
limbah tinja secara individual, sedangkan air limbah lainnya masuk ke selokan.
Instalasi Pengolahan Limbah Tinja (IPLT) atau Septage Treatment Plant (STP) adalah bentuk pengolahan limbah tinja
secara komunal. IPLT menggunakan sistem biologi dengan kolam oksidasi yang
dilengkapi motor. Hasil olah IPLT baik air maupun lumpur dapat dikembalikan ke
alam dengan aman, lumpurnya dapat dijadikan pupuk kompos. Selain itu IPLT di
pemukiman padat penduduk dapat menghasilkan biogas. Biogas merupakan gas hasil
fermentasi bahan organik oleh mikroorganisme anaerobik. Biogas toilet adalah limbah toilet tersebut dimanfaatkan untuk
diolah menjadi methane (CH4) yang kemudian digunakan sebagai bahan
bakar memasak oleh masyarakat setempat. Biogas
toilet ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari teknologi biogas untuk
limbah ternak.
3. Limbah Gas dan
Partikel
Limbah ini umumnya merupakan
hasil pembakaran baik dari kegiatan industri, proses pembakaran maupun dari
kendaraan bermotor (knalpot). Limbah gas
ini menjadi masalah karena banyak yang termasuk gas-gas penyebab efek rumah
kaca. Gas-gas tersebut antara lain Karbondioksida (CO2), Metana (CH4),
Dinitrogen oksida (N2O), Klorofluorokarbon (CFC), dsb, yang lebih
dikenal dengan Gas Rumah Kaca (GRK) atau Green
House Gasses (GHGs). Sinar matahari yang sampai di permukaan bumi secara
alami sebagian akan dipantulkan kembali oleh permukaan bumi ke luar
angkasa/luar lapisan atmosfer. Namun sebagian dari pantulan tersebut gagal
mencapai luar angkasa karena diserap oleh GRK tersebut. Fenomena yang biasa
disebut Efek Rumah Kaca atau Green House
Effect ini menyebabkan suhu atmosfer meningkat, sehingga terjadilah
Pemanasan Global dan Perubahan Iklim. Secara global, sektor-sektor yang
menghasilkan GRK ke atmosfer dan prosentasenya adalah sebagai berikut :
•
Energi termasuk transportasi (63%)
•
Industri (3%)
•
Perubahan Penggunaan Lahan & Kehutanan (8%)
•
Pertanian (13%)
•
Limbah (3%).
Tanda-tanda pemanasan global
tersebut antara lain :
•
Kenaikan suhu atmosfer di seluruh wilayah dunia
•
Perbedaan pola (distribusi dan intensitas) curah hujan
tahunan
•
Kenaikan permukaan air laut akibat melelehnya salju di Kutub
Utara dan
Selatan
•
Terjadinya fenomena perbedaan cuaca yang ekstrim
•
Penurunan tutupan salju di puncak gunung bersalju dan
mencairnya glacier
Cara mengurangi ancaman
pemanasan global adalah dengan:
a.
Konservasi Energi. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain
adalah: penghematan konsumsi listrik, penggunaan peralatan listrik hemat
energi, pengurangan konsumsi BBM transportasi bermotor.
b.
Penghapusan Chlorofluorocarbon
(CFC). CFC umumnya digunakan untuk mesin
pendingin seperti AC, kulkas, freezer,
dll. CFC saat ini sudah dapat digantikan oleh hidrokarbon.
c.
Penanaman pohon. Menanam pohon bahkan pada skala besar
sekalipun, tidak dapat mengimbangi keseluruhan laju penambahan gas-gas rumah
kaca ke atmosfer. Walaupun demikian, peningkatan penanaman pohon oleh setiap
negara akan memperlambat penimbunan gas-gas rumah kaca.
d.
Bahan bakar biomassa. Bahan bakar biomassa berasal dari kayu
atau sisa-sisa tanaman pertanian. Bahan ini dapat digunakan secara
berkelanjutan, dengan jumlah penggunaan setara dengan jumlah penanaman. Jika
hal ini dilakukan, tidak ada emisi karbon dioksida karena tumbuhan yang ditanam
akan mengkonsumsi karbon dioksida sebanyak yang dilepaskan ketika bahan
dibakar. Jika energi yang dihasilkan digunakan sebagai pengganti bahan bakar
fosil, maka ada pula pengurangan emisi karbon dioksida.
e.
Bahan bakar biomassa sudah digunakan secara berkelanjutan di
berbagai industri pedesaan pada negara-negara berkembang. Pabrik gula dan
penggilingan padi, minyak kelapa sawit dan agro-industri lainnya, secara
berkala mengandalkan limbah mereka sendiri untuk menghasilkan energi yang
diperlukan. Industri penggergajian kayu sering menggunakan potongan kayu dan
limbah kayu lainnya untuk menghasilkan energi panas guna mengeringkan kayu. Usaha-usaha
seperti ini harus didorong untuk beralih dari penggunaan bahan bakar fosil ke
bahan bakar biomassa.
f.
Teknologi Pemanfaatan Sumber Energi Terbarui. Pemanfaatan
sumber energi terbarui diyakini tidak menghasilkan emisi karbon dioksida. Oleh
karena itu, peningkatan pemanfaatan energi dari sumber-sumber energi terbarui
harus dianggap sebagai unsur utama dalam strategi mengurangi emisi karbon
dioksida. Namun sejauh ini, sumbangan sumber-sumber energi terbarui terhadap
pemasokan energi dunia amat kecil, kecuali dari tenaga air. Selain tenaga air,
dapat digunakan juga energi matahari, energi pasang surut, panas bumi dan
tenaga angin.
Di samping tindakan-tindakan
di atas, pabrik atau industri harus melakukan penanggulangan emisi debu dan
senyawa pencemar. Teknologi pengendalian yang akan digunakan harus dikaji
secara seksama agar penggunaan alat tidak berlebihan dan kinerja yang diajukan
oleh pembuat alat dapat dicapai dan memenuhi persyaratan perlindungan
lingkungan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan teknologi pengendalian
dan rancangan sistemnya ialah:
a.
watak gas buang atau efluen
b.
tingkat pengurangan limbah yang dibutuhkan
c.
teknologi komponen alat pengendalian pencemaran
d.
kemungkinan perolehan senyawa pencemar yang bernilai ekonomi.
4. Limbah B3
Limbah B3 harus ditangani
dengan perlakuan khusus mengingat bahaya dan resiko yang mungkin ditimbulkan
apabila limbah ini menyebar ke lingkungan. Hal tersebut termasuk proses
pengemasan, penyimpanan, dan pengangkutannya. Pengemasan limbah B3 dilakukan sesuai
dengan karakteristik limbah yang bersangkutan. Namun secara umum dapat
dikatakan bahwa kemasan limbah B3 harus memiliki kondisi yang baik, bebas dari
karat dan kebocoran, serta harus dibuat dari bahan yang tidak bereaksi dengan
limbah yang disimpan di dalamnya.
Untuk limbah yang mudah
meledak, kemasan harus dibuat rangkap di mana kemasan bagian dalam harus dapat
menahan agar zat tidak bergerak dan mampu menahan kenaikan tekanan dari dalam
atau dari luar kemasan. Limbah yang bersifat self-reactive dan peroksida organik juga memiliki persyaratan
khusus dalam pengemasannya. Pembantalan kemasan limbah jenis tersebut harus
dibuat dari bahan yang tidak mudah terbakar dan tidak mengalami penguraian
(dekomposisi) saat berhubungan dengan limbah. Jumlah yang dikemas pun terbatas
sebesar maksimum 50 kg per kemasan sedangkan limbah yang memiliki aktivitas
rendah biasanya dapat dikemas hingga 400 kg per kemasan.
Limbah B3 yang diproduksi
dari sebuah unit produksi dalam sebuah pabrik harus disimpan dengan perlakuan khusus
sebelum akhirnya diolah di unit pengolahan limbah. Penyimpanan harus dilakukan
dengan sistem blok dan tiap blok terdiri atas 2×2 kemasan. Limbah-limbah harus
diletakkan dan harus dihindari adanya kontak antara limbah yang tidak
kompatibel.
Bangunan penyimpan limbah
harus dibuat dengan lantai kedap air, tidak bergelombang, dan melandai ke arah
bak penampung dengan kemiringan maksimal 1%. Bangunan juga harus memiliki
ventilasi yang baik, terlindung dari masuknya air hujan, dibuat tanpa plafon,
dan dilengkapi dengan sistem penangkal petir. Limbah yang bersifat reaktif atau
korosif memerlukan bangunan penyimpan yang memiliki konstruksi dinding yang
mudah dilepas untuk memudahkan keadaan darurat dan dibuat dari bahan konstruksi
yang tahan api dan korosi.
Mengenai pengangkutan limbah
B3, persyaratan yang harus dipenuhi terkait kemasan di antaranya ialah apabila
terjadi kecelakaan dalam kondisi pengangkutan yang normal, tidak terjadi
kebocoran limbah ke lingkungan dalam jumlah yang berarti. Selain itu, kemasan
harus memiliki kualitas yang cukup agar efektivitas kemasan tidak berkurang
selama pengangkutan. Limbah gas yang mudah terbakar harus dilengkapi dengan head shields pada kemasannya sebagai
pelindung dan tambahan pelindung panas untuk mencegah kenaikan suhu yang cepat.
Pembuangan limbah B3.
Sebagian dari limbah B3 yang telah diolah atau tidak dapat diolah dengan
teknologi yang tersedia harus berakhir pada pembuangan (disposal). Tempat pembuangan akhir yang banyak digunakan untuk
limbah B3 ialah landfill (lahan urug)
(Damanhuri E, 1994: 67).
Metode pengolahan limbah B3
ada tiga cara yaitu:
1. Chemical Conditioning. Tujuan utama dari chemical
conditioning ialah:
o menstabilkan senyawa-senyawa
organik yang terkandung di dalam lumpur
o mereduksi volume dengan
mengurangi kandungan air dalam lumpur o mendestruksi organisme patogen
o memanfaatkan hasil samping
proses chemical conditioning yang
masih memiliki nilai ekonomi seperti gas methane yang dihasilkan pada proses digestion o mengkondisikan agar lumpur
yang dilepas ke lingkungan dalam keadaan aman dan dapat diterima lingkungan.
2. Solidification/Stabilization. Stabilisasi didefinisikan sebagai proses pencampuran limbah dengan bahan
tambahan (aditif) dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari
limbah serta untuk mengurangi toksisitas limbah tersebut. Sedangkan
solidifikasi didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya
dengan penambahan aditif. Teknologi solidikasi/stabilisasi umumnya menggunakan
semen, kapur (CaOH2), dan bahan termoplastik. Metode yang diterapkan di
lapangan ialah metode in-drum mixing,
in-situ mixing, dan plant mixing.
3. Incineration. Pembakaran atau Insinerasi ini mengurangi volume
dan massa limbah hingga sekitar 90% (volume) dan 75% (berat). Proses insinerasi
menghasilkan energi dalam bentuk panas. Namun, insinerasi memiliki beberapa
kelebihan di mana sebagian besar dari komponen limbah B3 dapat dihancurkan dan
limbah berkurang dengan cepat. Selain itu, insinerasi memerlukan lahan yang
relatif kecil.
Prinsip dalam pengelolaan
limbah yang harus kita pegang adalah 3R,
“Reduce,
Reuse, Recycle”.
1.
Reduce (pengurangan) adalah
mengurangi segala sesuatu yang menyebabkan timbulnya limbah. Sedapat mungkin
kita mengurangi penggunaan bahan-bahan yang akan menghasilkan limbah. Contoh:
penggunaan sapu tangan untuk menghapus keringat akan mengurangi limbah dari
kertas tissue yang kita gunakan,
menggunakan botol minum permanen yang sehat akan mengurangi limbah berupa gelas
plastik atau botol plastik air mineral, pemilihan produk dengan kemasan yang
dapat didaur-ulang.
2.
Reuse (daur pakai) adalah kegiatan
penggunaan kembali limbah yang masih dapat digunakan baik untuk fungsi yang
sama maupun fungsi lain. Sedapat mungkin kita menggunakan kembali bahan-bahan
yang masih memungkinkan untuk dipakai lagi. Contoh: kertas yang digunakan
bolak-balik akan mengurangi limbah kertas, gunakan wadah/kantong yang dapat
digunakan berulang-ulang, gunakan baterai yang dapat di- charge kembali.
3.
Recycle (daur ulang) adalah mengolah
limbah menjadi produk baru. Ada bahanbahan tertentu yang dapat didaur-ulang,
contoh: kertas, karton, plastik, botol, besi, minyak jelantah, berbagai limbah
organik.
Paradigma pengelolaan sampah/limbah yang
bertumpu pada pendekatan akhir sudah saatnya ditinggalkan dan diganti dengan
paradigma baru pengelolaan sampah/limbah. Paradigma baru memandang limbah/
sampah sebagai sumberdaya yang mempunyai nilai ekonomi dan dapat dimanfaatkan,
seperti adanya pemanfaatan kotoran ternak untuk biomigas dan sebagainya.
Menurut ketentuan Pasal 59
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dinyatakan :
(1) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib
melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya.
(2) Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal
58 ayat (1) telah kedaluwarsa, pengelolaannya mengikuti ketentuan pengelolaan
limbah B3.
(3) Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan
sendiri pengelolaan limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain.
(4) Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(5) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib
mencantumkan persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban
yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam izin.
(6) Keputusan pemberian izin wajib diumumkan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan
limbah B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah
Mendasarkan ketentuan
tersebut kemudian dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 yang
kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 dan kemudian
diperbaharui lagi dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 1999
Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, tertanggal 27 Februari
1999. Dalam penjelasan umum PP tersebut dikemukaan bahwa pembangunan industri
di suatu pihak akan menghasilkan barang yang bermanfaat bagi kesejahteraan
hidup rakyat dan dilain pihak industri juga menghasilkan limbah. Diantara lain
limbah yang dihasilkan oleh kegiatan industri tersebut adalah limbah yang
berbahaya dan beracun (B3). Limbah B3 yang langsung dibuang ke lingkungan dapat
menimbulkan bahaya bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat serta makluk hidup
lainnya. Mengingat resiko tersebut perlu diupayakan agar setiap kegiatan
industri dapat menghasilkan limbah B3 seminimal mungkin dan masuknya limbah B3
dari luar wilayah Indonesia. Peran pemerintah dalam pengawasan perpindahan
lintas batas limbah B3 tersebut telah diratifikasi Konvensi Basel tanggal 12
Juli 1993 dengan KEPPRES Nomor 61 Tahun 1993. Hirarki pengelolaan limbah B3
dimaksudkan agar limbah B3 yang dihasilkan masing-masing unit produksi sedikit
mungkin dan bahkan dapat diusahakan nol, dengan mengupayakan reuksi pada
pengelohan bahan , substitusi bahan, pengaturan operasi kegiatan dan digunakan
teknologi bersih. Bilamana masih dihasilkan limbah B3 maka diupayakan
pemanfaatan limbah B3.
Pemanfaatan limbah B3 yang
mencakup kegiatan daur ulang (recycling),
perolehan kembali (recovery) dan
penggunaan kembali (reuse)merupakan
mata rantai penting dalam pengelolaan limbah B3. teknologi pemanfaatan limbah
B3 disatu pihak dapat dikurangi limbah B3 disisi lain dapat meningkatkan bahan
baku. Hal ini pada gilirannya dapat mengurangi kecepatan penguasan sumber daya
alam. Untuk menghilangkan atau mengurangi resiko yang dapat ditimbulkan dari
limbah B3 yang telah dihasilkan perlu dikelola secara khusus. Pengelolaan
limbah B3 merupakan sustu rangkaian kegiatan yang mencakup penyimpanan,
pengumpulan, pemanfaatan, pengangkutan dan pengolahan limbah B3 termasuk
penimbunan hasil pengolahan tersebut. Dalam rangkaian tersebut terkait beberapa
pihak masing-masing merupakan mata rantai dalam pengolahan limbah B3(http://ericaalviyanti.blogspot.com)
yaitu :
1. Penghasil limbah B3
2. Pengumpul limbah B3
3. Pengangkut limbah B3
4. Pengolah limbah B3
5. Pemanfaatan limbah B3
6. Penimbun limbah B3.
Dengan pengolahan limbah
sebagaimana dimaksud di atas maka mata rantai siklus perjalanan limbah B3 sejak
dihasilkan oleh penghasil limbah B3 sampai pada penimbunan akhir limbah B3
dapat diawasi, setiap mata rantai perlu diatur sedangkan perjalanan limbah
dapat diatur dengan manifest berupa dokumen limbah B3. dengan manifest dapat
diketahui berapa jumlah limbah B3 yang dihasilkan dan berapa yang telah
dimasukan dalam proses pengolahan dan penimbunan akhir yang telah memenuhi
syarat lingkungan.
Pasal 1 butir 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun
menyatakan bahwa limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang
mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun karena sifat dan/atau
konsentrasinya dan/atau jumlah baik secara langsung maupun tidak langsung dapat
mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan
hidup, kesehatan, kelangsungan hdup manusia serta makluk hidup lainnya.
Pasal 1 butir 3 Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun
menyatakan bahwa pengolahan limbah B3 adalah rangkaian kegiatan mencakup
kegiatan reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan,
pengolahan, dan penimbunan limbah B3. Pengumpulan limbah B3 adalah kegiatan
mengumpulkan limbah B3 dari penghasil limbah B3 dengan maksud enyimpan sementar
sebelum diserahkan kepada pemanfaatan dan/atau pengolahan dan atau penimbunan limbah B3. Pengangkutan
limbah B3 adalah suatu kegiatan pemindahan limbah B3 dari penghasil
dan/atau dari pengumpul dan/atau dari
pemanfaatan dan/atau dari pengolah ke pengumpul dan/atau ke pemanfaatanm
dan/atau penimbun limbah B3. Pemanfaatan limbah B3 adalah suatu kegiatan
perolehan kembali (recovery) dan/atau
penggunaan kembali (re-use) dan atau
daur ulang (recycle) yang bertujuan
untuk mengubah limbah B3 menjadi suatu produk yang dapat digunakan dan
harus juga aman bagi lingkungan dan
kesehatan manusia. Penimbunan limbah adalah suatu kegiatan menempatkan limbah
B3 pada fasilitas penimbunan yang baik dengan maksud tidak membahayakan bagi
manusia dan lingkungan hidup.
Pasal 2 Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun menyatakan
bahwa pengelolaan limbah B3 bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3
serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga
sesuai dengan fungsinya kembali.
Pasal 3 Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun menyatakan
bahwa setiap orang atau badan usaha yang
menghasilkan limbah B3 dilarang membuang langsung kedalam media lingkungan
hidup tanpa pengolahan terlebih dahulu.
Pasal 4 Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun menyatakan
bahwa setiap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan penyimpanan,
pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, penimbunan limbah B3 dilarang melakukan
pengenceran dengan maksuds menurunkan konsentrasi zat racun dan bahaya limbah
B3.
Berdasarkan ketentuan yang
ada jenis limbah B3 menurut sumbernya meliputi :
a.
Limbah B3 dari sumber tidak specifik
b.
Limbah B3 dari sumber spesifik.
c.
Limbah B3 dari bahan kimia kadaluwarsa, tumpahan, bekas
kemasan, dan buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi.
Sedangkan limbah yang tidak
memerlukan pengujian tetapi mempunyai karakteristik tertentu dapat
dikategorikan limbah B3 antara lain :
1.
Mudah meledak.
2.
Mudah terbakar.
3.
bersifat reaktif
4.
Beracun
5.
Menyebabkan infeksi
6.
Bersifat korosif.
Untuk mengurangi adanya resiko terhadap pengelolaan limbah B3
perlu adanya penerapan sanksi yang tegas terhadap para pelakunya, karena efek
dari limbah B3 yang sangat berbahaya bagi manusia dan lingkungannya ( http://endangjegoz.wordpress.com)
Penutup
1.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) yang merupakan
limbah yang dihasilkan dari kegiatan industri atau kegiatan lain yang harus
diupayakan pengelolaannya karena apabila dibuang secara langsung ke dalam
lingkungan dapat membahayakan bagi manusia dan ekosistem lingkungannya. Dari
aspek yuridis dengan dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Tentang
Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun
menempatkan sebagai pedoman bagi langkah-langkah pengelolaan B3 dan
meberikan perlindungan hukum bagi masyarakat. Pengolahan limbah B3 dimaksudkan
untuk dapat sedikit mungkin diminimalisir jika perlu diusahakan sampai nol
sehingga tidak membahayakan bagi kehidupan, untuk itu perlu diupayakan
pemanfaatan teknologi guna mendukung pelaksanaan pengelolaan limbah B3 dengan
sistem 3R, “Reduce, Reuse, Recycle”.
2.
Saran
Untuk menunjang adanya efek
jera para pelaku yang melanggar ketentuan mengenai pengelolaan limbah B3 perlu
adanya pengawasan dan penerapan sanksi yang tegas karena limbah B3 yang
dihasilkan tidak hanya membahayakan manusia tetapi terlebih membahayakan kelestarian
lingkungan hidup yang juga membahayakan kehidupan masyarakat baik lokal maupun
internasional. Kesadaran bahwa lingkungan hidup menyangkut kelangsungan hidup
manusia hendaknya menimbulkan rasa terpanggil dan rasa tanggung jawab bagi
semua pihak untuk bahu membahu berperan serta
melestarikan kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang. Dengan
demikian peranan dalam pembangunan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan
dapat dicapai dan dilaksanakan sebagaimana cita-cita seluruh bangsa, termasuk
di dalamnya pembangunan lingkungan hidup.
Daftar Pustaka
Bambang Sunggono, Metodologi
Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum
di Indonesia, Alumni, Bandung, 1992.
Hadjon, Philipus, Penegakan Hukum Administrasi Dalam
Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Yuridika, Th. XI Pebruari 1996.
Harja Sumantri, Hukum Tata Lingkungan, Gajah Mada
Press, Yogyakarta, 1999.
Damanhuri, E. : Pengelolaan terpusat buangan B-3 dari
industri kecil, Studi kasus industri kecil di ‘Gerbangkertasusila’ Jawa Timur,
Proceedings seminar nasional pengelolaan lingkungan ITB - Tantangan Masa Depan, ISBN 979-8456-00-9,
Bandung 1994
Setiyono, Dasar Hukum Pengelolaan Limbah B3, ejurnal.bppt.go.id/index.php/JTL/article/download/214/162
Saidi, Z, 2009, Implikasi impor limbah di
Indonesia , BPP Teknologi - UNESCO, Jakarta.
http://endangjegoz.wordpress.com/2012/12/19/penanganan-limbah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar