Minggu, 03 Mei 2015

PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Sigit Sapto Nugroho1
1 adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun
Abstract

This study aims to identify and analyze the management of hazardous and toxic waste (B3) according to Law No. 32 of 2009 on the Protection and Management of the Environment.

The method used in this research is done by the method of normative juridical literature study in which the data obtained from the legal materials of primary, secondary and tertiary.

 

Keywords: Hazardous and Toxic Waste


Pendahuluan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain.
Pembangunan yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya alam, menjadi sarana untuk mencapai keberlanjutan pembangunan dan menjadi jaminan bagi kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dikelola dengan prinsip melestarikan fungsi lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang untuk menunjang pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Dampak positif pembangunan di antaranya adalah (1) meningkatnya kemakmuran dan eksejahteraan rakyat secara merata; (2) meningkatnya pertumbuhan ekonomi secara bertahap sehinga terjadi perubahan struktur ekonomi yang lebih baik, maju, sehat dan seimbang (3) meningkatnya kemampuan dan penguasaan teknologi yang akan menumbuhkembangkan kemampuan dunia usaha nasional; (4) memperluas dan memeratakan kesempatan kerja dan kemampuan berusaha; dan (5) menunjang dan memperkuat stabilitas nasional yang sehat dan dinamis dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional.  Demikian pula dampak positif pembangunan terjadap lingkungan hidup, misalnya terkendalinya hama dan penyakit, tersedianya air bersih, terkendalinya banjir, dan lain-lain; sedangkan dampak negatif akibat kegiatan pembangunan terhadap lingkungan, yang sangat menonjol adalah masalah pencemaran dan perusakan terutama masalah limbah (Damanhuri E, 1993:34)
Pada saat ini salah satu penyebab masalah lingkungan hidup adalah limbah, tetapi timbulnya limbah tersebut tidak dapat dihindarkan, karena limbah adalah salah satu hasil dari kegiatan. Dalam kehidupan kita sehari-hari, terkait kemasan makanan yang kita beli, dulu sebelum tahun 1980-an makanan tersebut dibungkus dengan daun pisang, setelah tahun 1980-an mulai digunakan kertas berplastik, menjelang tahun 2000-an makanan dikemas dengan styrofoam. Peningkatan limbah berbanding lurus dengan konsumsi masyarakat berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan. Oleh karena itu, masalah limbah tidak habis-habisnya dipersoalkan dan dicari solusi penanganannya. Masalah lingkungan itu timbul akibat pembuangan limbah yang sembarangan yang akan mengganggu kesehatan, merusak lingkungan hidup serta kenyamanan hidup kita, oleh karena itu kita harus menanganinya (Setiyono dalam ejurnal.bppt.go.id )
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, definisi limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan. Definisi secara umum, limbah adalah bahan sisa atau buangan yang dihasilkan dari suatu kegiatan dan proses produksi, baik pada skala rumahtangga, industri, pertambangan, dan sebagainya. Bentuk limbah tersebut dapat berupa gas dan debu, cair atau padat. Di antara berbagai jenis limbah ini ada yang bersifat beracun atau berbahaya dan dikenal sebagai Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3).  Semakin meningkat kegiatan manusia, semakin banyak pula limbah yang dihasilkan. Oleh karena itu perlu peraturan yang mengikat secara hukum terkait dengan limbah dan pengelolaannya. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah memuat aturan segala sesuatu yang terkait limbah tersebut. Aturan itu menyangkut apa yang diperbolehkan, dilarang dan sanksi hukumnya.
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3 ialah setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, bersifat korosif, dan lain-lain yang bila diuji dengan toksikologi dapat diketahui termasuk limbah B3, serta konsentrasi atau jumlahnya yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau membahayakan kesehatan manusia. Contoh: limbah medis (suntikan, botol obat), limbah industri, baterai, accu (aki), oli bekas, dll. Untuk itu Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Lingkungan Hidup telah mendorong pengelolaan B3 dan limbah B3 untuk menjadikan limbah B3 menjadi sesuatu yang bermanfaat atau mempunyai nilai ekonomi dengan mengedepankan pola pemanfaatan yang dikenal dengan 3R (re-use, re-cycle, dan re-covery). 
Pemanfaatan limbah B3 atau Bahan Berbahaya dan Beracun perijinannya harus dilakukan berdasarkan pengawasan yang ketat karena sifat, konsentrasi dan atau jumlah B3, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup serta membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya. Limbah B3 yang boleh dimanfaatkan harus mempunyai komponen yang konsisten dengan kriteria bahwa limbah B3 tersebut sudah teridentifikasi sifat, karakteristik dan komponennya relatif sama untuk setiap sumber, seperti abu terbang (fly ash) sisa pembakaran batubara, abu dasar sisa pembakaran batubara (bottom ash), debu EAF (elevtrical arc furnace ash) sisa peleburan besi dan baja, slag sisa peleburan besi dan baja dan slag sisa peleburan tembaga. Tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan Limbah B3 adalah semakin meningkatnya jumlah dan jenis B3, meluasnya dampak negatif yang diakibatkan oleh pembuangan limbah B3 ke lingkungan, dan semakin meningkatnya illegal impor limbah B3 serta terbatasnya fasilitas pengelolaan limbah B3 yang ada di Indonesia ( Saidi Z, 2009:67) 
Tujuan Penelitian :
Untuk mengetahui dan menganalisis pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Manfaat Penelitian   
 Penelitian ini hasilnya diharapkan dapat bermanfaat :
1.      Secara teoritis memberikan sumbangan pemikiran, baik berupa konsep, pengembangan teori dalam kasanah ilmu hukum khususnya hukum lingkungan hidup.
2.      Untuk memberikan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun.

Metode Penelitian
Penelitian ini metode yang dipergunakan adalah metode penelitian yuridis normatif (studi kepustakaan) yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Tipe penelitian ini dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dengan mengkaji bahan-bahan hukum, meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.
1.    Sumber Data
Pada penelitian hukum normatif yang utama adalah data sekunder. Data sekunder tersebut berupa bahan  kepustakaan yang berwujud (Sunggono, 2002:116).
a.   Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari :
1)   Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup.
2)   Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun
b.   Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Contohnya : Hasil karya ilmiah, makalah, dan  sebagainya.
c.   Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun perjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya kamus hukum.
2.        Pengumpulan dan Pengolahan Data
 Setelah data dapat dikumpulkan maka kemudian dilakukan pengelompokan  data dilakukan pembahasan yang didasarkan pada teori-teori yang masih ada dan relevan. Di dalam mencari data, baik yang bersumber pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder , dan bahan hukum tersier dilakukan melalui studi kepustakaan . Setelah diperoleh bahan hukum yang diperlukan kemudian dihimpun, diinventarisasi yang sesuai dengan permasalahan yang  dibahas, selanjutnya dilakukan pemisahan berdasarkan relevansi pokoknya.
3.        Analisis Data
Setelah data-data berhasil dikumpulkan dengan lengkap dan di pisah-pisahkan/diklasifikasikan sesuai dengan relevansi pokok permasalahan kemudian dilakukan analisa data secara normatif kualitatif, yaitu untuk membahas bahan penelitian yang datanya mengarah pada kajian yang bersifat teoritik tentang konsep-konsep, kaidah hukum, doktrin-doktrin dan bahan hukum lainnya. Selanjutnya data tersebut dipelajari dan dibahas sebagai suatu bahan yang utuh dan dituangkan di dalam bahasan dengan sehingga menghasilkan data yang diskriptif analitis.

Hasil Penelitian Dan Pembahasan

Pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Perspektif Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dampak dari pembuangan limbah sembarangan dan tidak dikelola dengan baik berupa pencemaran tanah, air dan udara, serta banjir. Dengan demikian dapat dikatakan pengelolaan limbah ini bertujuan untuk mencegah, menanggulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan, memulihkan kualitas lingkungan tercemar, dan meningkatkan kemampuan dan fungsi kualitas lingkungan. Contoh-contoh pengelolaan limbah (Damanhuri, 1994:23) sebagai berikut.
1.    Limbah Padat
Seperti sampah organik akan membusuk mengakibatkan bau busuk yang mengundang hewan-hewan berdatangan, pada umumnya hewan tersebut dapat menyebarkan penyakit, dan dapat mencemari tanah. Sampah organik yang belum sempat membusuk dan non organik yang dibuang ke badan air (sungai, danau, laut), akan mencemari air tersebut, bahkan jika dibuang ke sungai dapat menyebabkan banjir.  Sampah rumah tangga dan sejenisnya di daerah perkotaan dikelola oleh Dinas Kebersihan Pemerintah Daerah atau swasta. Sampah-sampah tersebut (selain tinja) dikumpulkan di Tempat Penampungan Sementara (TPS), selanjutnya dari TPS dibawa ke tempat pendauran ulang atau pengolahan atau tempat pengolahan sampah terpadu dan/atau tempat pemrosesan akhir sampah. Idealnya demikian, tetapi kenyataannya masih terjadi pencemaran akibat pembuangan sampah. Tempat pembuangan sampah akhir (TPA) di kota-kota besar di Indonesia hanya menjadi tempat penumpukan sampah, tanpa perlakuan lebih lanjut. Pemda mulai membuat tempat pengolahan terpadu dengan disiapkan pemilahan sampah, tempat pendaur-ulangan, dan insinerasi (pembakaran yang terkendali). Sebelumnya TPA hanya untuk buang sampah saja, masyarakat berpersepsi tempat pengolahan terpadu itu hanya kamuflase saja, akibatnya masyarakat yang tinggal di sekitar pun banyak melakukan penolakan adanya tempat pengolahan sampah terpadu ini.  
  

2.    Limbah Cair 

Di manapun limbah cair dibuang akan mencemari tempat pembuangannya, baik di tanah maupun di air. Oleh karena itu, harus dilakukan pengolahan air limbah baik dari perumahan maupun industri. Di kawasan industri air limbah diolah dengan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Di perumahan, tempat pembuangan air kakus adalah septictank, ini adalah bentuk pengolahan limbah tinja secara individual, sedangkan air limbah lainnya masuk ke selokan. Instalasi Pengolahan Limbah Tinja (IPLT) atau Septage Treatment Plant (STP) adalah bentuk pengolahan limbah tinja secara komunal. IPLT menggunakan sistem biologi dengan kolam oksidasi yang dilengkapi motor. Hasil olah IPLT baik air maupun lumpur dapat dikembalikan ke alam dengan aman, lumpurnya dapat dijadikan pupuk kompos. Selain itu IPLT di pemukiman padat penduduk dapat menghasilkan biogas. Biogas merupakan gas hasil fermentasi bahan organik oleh mikroorganisme anaerobik. Biogas toilet adalah limbah toilet tersebut dimanfaatkan untuk diolah menjadi methane (CH4) yang kemudian digunakan sebagai bahan bakar memasak oleh masyarakat setempat. Biogas toilet ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari teknologi biogas untuk limbah ternak. 

3.    Limbah Gas dan Partikel 

Limbah ini umumnya merupakan hasil pembakaran baik dari kegiatan industri, proses pembakaran maupun dari kendaraan bermotor (knalpot).  Limbah gas ini menjadi masalah karena banyak yang termasuk gas-gas penyebab efek rumah kaca. Gas-gas tersebut antara lain Karbondioksida (CO2), Metana (CH4), Dinitrogen oksida (N2O), Klorofluorokarbon (CFC), dsb, yang lebih dikenal dengan Gas Rumah Kaca (GRK) atau Green House Gasses (GHGs). Sinar matahari yang sampai di permukaan bumi secara alami sebagian akan dipantulkan kembali oleh permukaan bumi ke luar angkasa/luar lapisan atmosfer. Namun sebagian dari pantulan tersebut gagal mencapai luar angkasa karena diserap oleh GRK tersebut. Fenomena yang biasa disebut Efek Rumah Kaca atau Green House Effect ini menyebabkan suhu atmosfer meningkat, sehingga terjadilah Pemanasan Global dan Perubahan Iklim. Secara global, sektor-sektor yang menghasilkan GRK ke atmosfer dan prosentasenya adalah sebagai berikut :
      Energi termasuk transportasi (63%)
      Industri (3%)
      Perubahan Penggunaan Lahan & Kehutanan (8%)
      Pertanian (13%)
      Limbah (3%).
Tanda-tanda pemanasan global tersebut antara lain :  
      Kenaikan suhu atmosfer di seluruh wilayah dunia
      Perbedaan pola (distribusi dan intensitas) curah hujan tahunan
      Kenaikan permukaan air laut akibat melelehnya salju di Kutub Utara dan
Selatan
      Terjadinya fenomena perbedaan cuaca yang ekstrim
      Penurunan tutupan salju di puncak gunung bersalju dan mencairnya glacier
Cara mengurangi ancaman pemanasan global adalah dengan: 
a.         Konservasi Energi. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain adalah: penghematan konsumsi listrik, penggunaan peralatan listrik hemat energi, pengurangan konsumsi BBM transportasi bermotor. 
b.         Penghapusan Chlorofluorocarbon (CFC).  CFC umumnya digunakan untuk mesin pendingin seperti AC, kulkas, freezer, dll. CFC saat ini sudah dapat digantikan oleh hidrokarbon.  
c.         Penanaman pohon. Menanam pohon bahkan pada skala besar sekalipun, tidak dapat mengimbangi keseluruhan laju penambahan gas-gas rumah kaca ke atmosfer. Walaupun demikian, peningkatan penanaman pohon oleh setiap negara akan memperlambat penimbunan gas-gas rumah kaca.
d.        Bahan bakar biomassa. Bahan bakar biomassa berasal dari kayu atau sisa-sisa tanaman pertanian. Bahan ini dapat digunakan secara berkelanjutan, dengan jumlah penggunaan setara dengan jumlah penanaman. Jika hal ini dilakukan, tidak ada emisi karbon dioksida karena tumbuhan yang ditanam akan mengkonsumsi karbon dioksida sebanyak yang dilepaskan ketika bahan dibakar. Jika energi yang dihasilkan digunakan sebagai pengganti bahan bakar fosil, maka ada pula pengurangan emisi karbon dioksida.
e.         Bahan bakar biomassa sudah digunakan secara berkelanjutan di berbagai industri pedesaan pada negara-negara berkembang. Pabrik gula dan penggilingan padi, minyak kelapa sawit dan agro-industri lainnya, secara berkala mengandalkan limbah mereka sendiri untuk menghasilkan energi yang diperlukan. Industri penggergajian kayu sering menggunakan potongan kayu dan limbah kayu lainnya untuk menghasilkan energi panas guna mengeringkan kayu. Usaha-usaha seperti ini harus didorong untuk beralih dari penggunaan bahan bakar fosil ke bahan bakar biomassa.
f.          Teknologi Pemanfaatan Sumber Energi Terbarui. Pemanfaatan sumber energi terbarui diyakini tidak menghasilkan emisi karbon dioksida. Oleh karena itu, peningkatan pemanfaatan energi dari sumber-sumber energi terbarui harus dianggap sebagai unsur utama dalam strategi mengurangi emisi karbon dioksida. Namun sejauh ini, sumbangan sumber-sumber energi terbarui terhadap pemasokan energi dunia amat kecil, kecuali dari tenaga air. Selain tenaga air, dapat digunakan juga energi matahari, energi pasang surut, panas bumi dan tenaga angin.
Di samping tindakan-tindakan di atas, pabrik atau industri harus melakukan penanggulangan emisi debu dan senyawa pencemar. Teknologi pengendalian yang akan digunakan harus dikaji secara seksama agar penggunaan alat tidak berlebihan dan kinerja yang diajukan oleh pembuat alat dapat dicapai dan memenuhi persyaratan perlindungan lingkungan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan teknologi pengendalian dan rancangan sistemnya ialah:
a.         watak gas buang atau efluen
b.         tingkat pengurangan limbah yang dibutuhkan
c.         teknologi komponen alat pengendalian pencemaran
d.         kemungkinan perolehan senyawa pencemar yang bernilai ekonomi.

4.    Limbah B3 

Limbah B3 harus ditangani dengan perlakuan khusus mengingat bahaya dan resiko yang mungkin ditimbulkan apabila limbah ini menyebar ke lingkungan. Hal tersebut termasuk proses pengemasan, penyimpanan, dan pengangkutannya. Pengemasan limbah B3 dilakukan sesuai dengan karakteristik limbah yang bersangkutan. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa kemasan limbah B3 harus memiliki kondisi yang baik, bebas dari karat dan kebocoran, serta harus dibuat dari bahan yang tidak bereaksi dengan limbah yang disimpan di dalamnya. 
Untuk limbah yang mudah meledak, kemasan harus dibuat rangkap di mana kemasan bagian dalam harus dapat menahan agar zat tidak bergerak dan mampu menahan kenaikan tekanan dari dalam atau dari luar kemasan. Limbah yang bersifat self-reactive dan peroksida organik juga memiliki persyaratan khusus dalam pengemasannya. Pembantalan kemasan limbah jenis tersebut harus dibuat dari bahan yang tidak mudah terbakar dan tidak mengalami penguraian (dekomposisi) saat berhubungan dengan limbah. Jumlah yang dikemas pun terbatas sebesar maksimum 50 kg per kemasan sedangkan limbah yang memiliki aktivitas rendah biasanya dapat dikemas hingga 400 kg per kemasan.
Limbah B3 yang diproduksi dari sebuah unit produksi dalam sebuah pabrik harus disimpan dengan perlakuan khusus sebelum akhirnya diolah di unit pengolahan limbah. Penyimpanan harus dilakukan dengan sistem blok dan tiap blok terdiri atas 2×2 kemasan. Limbah-limbah harus diletakkan dan harus dihindari adanya kontak antara limbah yang tidak kompatibel. 
Bangunan penyimpan limbah harus dibuat dengan lantai kedap air, tidak bergelombang, dan melandai ke arah bak penampung dengan kemiringan maksimal 1%. Bangunan juga harus memiliki ventilasi yang baik, terlindung dari masuknya air hujan, dibuat tanpa plafon, dan dilengkapi dengan sistem penangkal petir. Limbah yang bersifat reaktif atau korosif memerlukan bangunan penyimpan yang memiliki konstruksi dinding yang mudah dilepas untuk memudahkan keadaan darurat dan dibuat dari bahan konstruksi yang tahan api dan korosi. 
Mengenai pengangkutan limbah B3, persyaratan yang harus dipenuhi terkait kemasan di antaranya ialah apabila terjadi kecelakaan dalam kondisi pengangkutan yang normal, tidak terjadi kebocoran limbah ke lingkungan dalam jumlah yang berarti. Selain itu, kemasan harus memiliki kualitas yang cukup agar efektivitas kemasan tidak berkurang selama pengangkutan. Limbah gas yang mudah terbakar harus dilengkapi dengan head shields pada kemasannya sebagai pelindung dan tambahan pelindung panas untuk mencegah kenaikan suhu yang cepat.
Pembuangan limbah B3. Sebagian dari limbah B3 yang telah diolah atau tidak dapat diolah dengan teknologi yang tersedia harus berakhir pada pembuangan (disposal). Tempat pembuangan akhir yang banyak digunakan untuk limbah B3 ialah landfill (lahan urug) (Damanhuri E, 1994: 67).
Metode pengolahan limbah B3 ada tiga cara yaitu:
1.    Chemical Conditioning. Tujuan utama dari chemical conditioning ialah:
o   menstabilkan senyawa-senyawa organik yang terkandung di dalam lumpur
o   mereduksi volume dengan mengurangi kandungan air dalam lumpur o mendestruksi organisme patogen
o   memanfaatkan hasil samping proses chemical conditioning yang masih memiliki nilai ekonomi seperti gas methane yang dihasilkan pada proses digestion o mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan dalam keadaan aman dan dapat diterima lingkungan.
2.    Solidification/Stabilization. Stabilisasi didefinisikan sebagai proses pencampuran limbah dengan bahan tambahan (aditif) dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari limbah serta untuk mengurangi toksisitas limbah tersebut. Sedangkan solidifikasi didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif. Teknologi solidikasi/stabilisasi umumnya menggunakan semen, kapur (CaOH2), dan bahan termoplastik. Metode yang diterapkan di lapangan ialah metode in-drum mixing, in-situ mixing, dan plant mixing
3.    Incineration. Pembakaran atau Insinerasi ini mengurangi volume dan massa limbah hingga sekitar 90% (volume) dan 75% (berat). Proses insinerasi menghasilkan energi dalam bentuk panas. Namun, insinerasi memiliki beberapa kelebihan di mana sebagian besar dari komponen limbah B3 dapat dihancurkan dan limbah berkurang dengan cepat. Selain itu, insinerasi memerlukan lahan yang relatif kecil.
Prinsip dalam pengelolaan limbah yang harus kita pegang adalah 3R, “Reduce, Reuse, Recycle”.
1.         Reduce (pengurangan) adalah mengurangi segala sesuatu yang menyebabkan timbulnya limbah. Sedapat mungkin kita mengurangi penggunaan bahan-bahan yang akan menghasilkan limbah. Contoh: penggunaan sapu tangan untuk menghapus keringat akan mengurangi limbah dari kertas tissue yang kita gunakan, menggunakan botol minum permanen yang sehat akan mengurangi limbah berupa gelas plastik atau botol plastik air mineral, pemilihan produk dengan kemasan yang dapat didaur-ulang.
2.         Reuse (daur pakai) adalah kegiatan penggunaan kembali limbah yang masih dapat digunakan baik untuk fungsi yang sama maupun fungsi lain. Sedapat mungkin kita menggunakan kembali bahan-bahan yang masih memungkinkan untuk dipakai lagi. Contoh: kertas yang digunakan bolak-balik akan mengurangi limbah kertas, gunakan wadah/kantong yang dapat digunakan berulang-ulang, gunakan baterai yang dapat di- charge kembali.
3.         Recycle (daur ulang) adalah mengolah limbah menjadi produk baru. Ada bahanbahan tertentu yang dapat didaur-ulang, contoh: kertas, karton, plastik, botol, besi, minyak jelantah, berbagai limbah organik.      
 Paradigma pengelolaan sampah/limbah yang bertumpu pada pendekatan akhir sudah saatnya ditinggalkan dan diganti dengan paradigma baru pengelolaan sampah/limbah. Paradigma baru memandang limbah/ sampah sebagai sumberdaya yang mempunyai nilai ekonomi dan dapat dimanfaatkan, seperti adanya pemanfaatan kotoran ternak untuk biomigas dan sebagainya.
Menurut ketentuan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan :
(1)   Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya.
(2)   Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) telah kedaluwarsa, pengelolaannya mengikuti ketentuan pengelolaan limbah B3.
(3)   Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3, pengelolaannya diserahkan  kepada pihak lain.
(4)   Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. 
(5)   Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib mencantumkan persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam izin. 
(6)   Keputusan pemberian izin wajib diumumkan.
(7)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah

Mendasarkan ketentuan tersebut kemudian dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 dan kemudian diperbaharui lagi dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, tertanggal 27 Februari 1999. Dalam penjelasan umum PP tersebut dikemukaan bahwa pembangunan industri di suatu pihak akan menghasilkan barang yang bermanfaat bagi kesejahteraan hidup rakyat dan dilain pihak industri juga menghasilkan limbah. Diantara lain limbah yang dihasilkan oleh kegiatan industri tersebut adalah limbah yang berbahaya dan beracun (B3). Limbah B3 yang langsung dibuang ke lingkungan dapat menimbulkan bahaya bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat serta makluk hidup lainnya. Mengingat resiko tersebut perlu diupayakan agar setiap kegiatan industri dapat menghasilkan limbah B3 seminimal mungkin dan masuknya limbah B3 dari luar wilayah Indonesia. Peran pemerintah dalam pengawasan perpindahan lintas batas limbah B3 tersebut telah diratifikasi Konvensi Basel tanggal 12 Juli 1993 dengan KEPPRES Nomor 61 Tahun 1993. Hirarki pengelolaan limbah B3 dimaksudkan agar limbah B3 yang dihasilkan masing-masing unit produksi sedikit mungkin dan bahkan dapat diusahakan nol, dengan mengupayakan reuksi pada pengelohan bahan , substitusi bahan, pengaturan operasi kegiatan dan digunakan teknologi bersih. Bilamana masih dihasilkan limbah B3 maka diupayakan pemanfaatan limbah B3.
Pemanfaatan limbah B3 yang mencakup kegiatan daur ulang (recycling), perolehan kembali (recovery) dan penggunaan kembali (reuse)merupakan mata rantai penting dalam pengelolaan limbah B3. teknologi pemanfaatan limbah B3 disatu pihak dapat dikurangi limbah B3 disisi lain dapat meningkatkan bahan baku. Hal ini pada gilirannya dapat mengurangi kecepatan penguasan sumber daya alam. Untuk menghilangkan atau mengurangi resiko yang dapat ditimbulkan dari limbah B3 yang telah dihasilkan perlu dikelola secara khusus. Pengelolaan limbah B3 merupakan sustu rangkaian kegiatan yang mencakup penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengangkutan dan pengolahan limbah B3 termasuk penimbunan hasil pengolahan tersebut. Dalam rangkaian tersebut terkait beberapa pihak masing-masing merupakan mata rantai dalam pengolahan limbah B3(http://ericaalviyanti.blogspot.com) yaitu :
1.    Penghasil limbah B3
2.    Pengumpul limbah B3
3.    Pengangkut limbah B3
4.    Pengolah limbah B3
5.    Pemanfaatan limbah B3
6.    Penimbun limbah B3.
Dengan pengolahan limbah sebagaimana dimaksud di atas maka mata rantai siklus perjalanan limbah B3 sejak dihasilkan oleh penghasil limbah B3 sampai pada penimbunan akhir limbah B3 dapat diawasi, setiap mata rantai perlu diatur sedangkan perjalanan limbah dapat diatur dengan manifest berupa dokumen limbah B3. dengan manifest dapat diketahui berapa jumlah limbah B3 yang dihasilkan dan berapa yang telah dimasukan dalam proses pengolahan dan penimbunan akhir yang telah memenuhi syarat lingkungan.
Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun menyatakan bahwa limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlah baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hdup manusia serta makluk hidup lainnya.
Pasal 1 butir 3 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun menyatakan bahwa pengolahan limbah B3 adalah rangkaian kegiatan mencakup kegiatan reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan limbah B3. Pengumpulan limbah B3 adalah kegiatan mengumpulkan limbah B3 dari penghasil limbah B3 dengan maksud enyimpan sementar sebelum diserahkan kepada pemanfaatan dan/atau pengolahan  dan atau penimbunan limbah B3. Pengangkutan limbah B3 adalah suatu kegiatan pemindahan limbah B3 dari penghasil dan/atau  dari pengumpul dan/atau dari pemanfaatan dan/atau dari pengolah ke pengumpul dan/atau ke pemanfaatanm dan/atau penimbun limbah B3. Pemanfaatan limbah B3 adalah suatu kegiatan perolehan kembali (recovery) dan/atau penggunaan kembali (re-use) dan atau daur ulang (recycle) yang bertujuan untuk mengubah limbah B3 menjadi suatu produk yang dapat digunakan dan harus  juga aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Penimbunan limbah adalah suatu kegiatan menempatkan limbah B3 pada fasilitas penimbunan yang baik dengan maksud tidak membahayakan bagi manusia dan lingkungan hidup.
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun menyatakan bahwa pengelolaan limbah B3 bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai dengan fungsinya kembali.
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun menyatakan bahwa setiap orang atau badan usaha  yang menghasilkan limbah B3 dilarang membuang langsung kedalam media lingkungan hidup tanpa pengolahan terlebih dahulu.
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun menyatakan bahwa setiap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, penimbunan limbah B3 dilarang melakukan pengenceran dengan maksuds menurunkan konsentrasi zat racun dan bahaya limbah B3.
Berdasarkan ketentuan yang ada jenis limbah B3 menurut sumbernya meliputi :
a.         Limbah B3 dari sumber tidak specifik
b.         Limbah B3 dari sumber spesifik.
c.         Limbah B3 dari bahan kimia kadaluwarsa, tumpahan, bekas kemasan, dan buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi.
Sedangkan limbah yang tidak memerlukan pengujian tetapi mempunyai karakteristik tertentu dapat dikategorikan limbah B3 antara lain :
1.         Mudah meledak.
2.         Mudah terbakar.
3.         bersifat reaktif
4.         Beracun
5.         Menyebabkan infeksi
6.         Bersifat korosif.
Untuk mengurangi adanya resiko terhadap pengelolaan limbah B3 perlu adanya penerapan sanksi yang tegas terhadap para pelakunya, karena efek dari limbah B3 yang sangat berbahaya bagi manusia dan lingkungannya          ( http://endangjegoz.wordpress.com)

Penutup
1.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) yang merupakan limbah yang dihasilkan dari kegiatan industri atau kegiatan lain yang harus diupayakan pengelolaannya karena apabila dibuang secara langsung ke dalam lingkungan dapat membahayakan bagi manusia dan ekosistem lingkungannya. Dari aspek yuridis dengan dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun  menempatkan sebagai pedoman bagi langkah-langkah pengelolaan B3 dan meberikan perlindungan hukum bagi masyarakat. Pengolahan limbah B3 dimaksudkan untuk dapat sedikit mungkin diminimalisir jika perlu diusahakan sampai nol sehingga tidak membahayakan bagi kehidupan, untuk itu perlu diupayakan pemanfaatan teknologi guna mendukung pelaksanaan pengelolaan limbah B3 dengan sistem 3R, “Reduce, Reuse, Recycle”.
2.  Saran
Untuk menunjang adanya efek jera para pelaku yang melanggar ketentuan mengenai pengelolaan limbah B3 perlu adanya pengawasan dan penerapan sanksi yang tegas karena limbah B3 yang dihasilkan tidak hanya membahayakan manusia tetapi terlebih membahayakan kelestarian lingkungan hidup yang juga membahayakan kehidupan masyarakat baik lokal maupun internasional. Kesadaran bahwa lingkungan hidup menyangkut kelangsungan hidup manusia hendaknya menimbulkan rasa terpanggil dan rasa tanggung jawab bagi semua pihak untuk bahu membahu berperan serta  melestarikan kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang. Dengan demikian peranan dalam pembangunan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan dapat dicapai dan dilaksanakan sebagaimana cita-cita seluruh bangsa, termasuk di dalamnya pembangunan lingkungan hidup.


Daftar  Pustaka
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum di Indonesia,  Alumni, Bandung, 1992.
Hadjon, Philipus, Penegakan Hukum Administrasi Dalam Pengelolaan Lingkungan  Hidup, Yuridika, Th. XI Pebruari 1996.
Harja Sumantri, Hukum Tata Lingkungan, Gajah Mada Press, Yogyakarta, 1999.
Damanhuri, E. : Pengelolaan terpusat buangan B-3 dari industri kecil, Studi kasus industri kecil di ‘Gerbangkertasusila’ Jawa Timur, Proceedings seminar nasional pengelolaan lingkungan ITB  - Tantangan Masa Depan, ISBN 979-8456-00-9, Bandung 1994
Setiyono, Dasar Hukum Pengelolaan Limbah B3, ejurnal.bppt.go.id/index.php/JTL/article/download/214/162
 Saidi, Z, 2009, Implikasi impor limbah di Indonesia , BPP Teknologi - UNESCO, Jakarta.

http://endangjegoz.wordpress.com/2012/12/19/penanganan-limbah/





Tidak ada komentar:

Posting Komentar