BAB II_______________________________________
SEJARAH PENGELOLAAN HUTAN DI
INDONESIA
2.1.
Pendahuluan
Indonesia
dikenal sebagai negara yang memiliki kawasan hutan tropis basah (tropical rain forest) terluas kedua di dunia setelah Brazilia (Barber,
1989; Gillis & Repetto, 1988; Poffenberger, 1990) . Namun demikian, sejak
tiga dekade terakhir ini kawasan hutan di Indonesia mengalami degradasi yang
sangat serius dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Hal ini selain karena
jumlah penduduk yang mengandalkan hutan sebagai sumber penghidupan terus
meningkat dari tahun ke tahun, juga terutama karena pemerintah secara sadar
telah me-ngeksploitasi sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan devisa
negara (state revenue) yang paling diandalkan setelah sumber daya
alam minyak dan gas bumi ( Reppeto, 1988; Barber, 1989; Zerner, 1990;
Peluso, 1992).
Dari
sisi pembangunan ekonomi, eksploitasi sumber daya hutan yang dilakukan
pemerintah telah memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Melalui
kebijakan pemberian konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil
Hutan (HPHH), atau konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) pemerintah mampu
mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional, meningkatkan pendapatan dan devisa
negara, menyerap tenaga kerja, menggerakan roda perekonomian dan meningkatkan
pendapatan asli daerah.Tetapi, dari sisi yang lain, pemberian konsesi HPH dan
HPHH serta HTI kepada pihak Badan Usaha
Milik Suasta ( BUMS) maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga menimbulkan bencana
nasional, karena kerusakan sumber daya hutan akibat eksploitasi yang tak
terkendali dan tak terawasi secara konsisten selain menimbulkan kerugian
ekologi (ecological cost) yang tak terhitung nilainya, juga menimbulkan
kerusakan sosial dan budaya (social and
cultural cost) , termasuk pembatasan akses dan penggusuran hak-hak
masyarakat serta munculnya konflikkonflik atas pemanfaatan sumber daya hutan di
daerah.
Studi-studi
terdahulu mengenai kebijakan pengusahaan sumber daya hutan yang dilakukan pemerintah
membuktikan bahwa degradasi kualitas maupun kuantitas sumber daya hutan di
Indonesia terjadi bukan semata-mata karena faktor kepadatan penduduk, rendahnya
tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat, yang cenderung dikaitkan dengan
kehidupan masyarakat di dan sekitar hutan yang memiliki tradisi perladangan
gilir balik (shifting cultivation) .
Tetapi, kerusakan sumber daya hutan justru terjadi karena pilihan paradigma
pembangunan yang berbasis negara (state-based
resouce development), penggunaan manajemen pembangunan yang bercorak
sentralistik dan semata-mata berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, yang
didukung dengan instrumen hukum dan
kebijakan yang bercorak represif (Bodley, 1982; Repetto & Gillis, 1988; Barber,
1989; Zerner, 1990; Poffenberger, 1990; Peluso, 1992).
Dalam
buku ini mencoba untuk memaparkan kronologi sejarah hukum pengelolaan sumber
daya alam, khususnya sumber daya hutan di Indonesia, yang dimulai dengan
paparan mengenai produk hukum pada masa pemerintahan kolonial Belanda,
pemerintahan bala tentara Dai Nippon Jepang, sampai instrumen hukum yang
digunakan pemerintah pada masa pasca kemerdekaan Indonesia, termasuk pada masa
pemerintahan orde lama, orde baru, dan masa pemerintahan orde reformasi.
Kinerja
untuk menelusuri sejarah perkembangan produk hukum pengelolaan sumber daya
hutan dari masa ke masa paling tidak dapat memberi pema-haman tentang ideologi,
politik hukum, bentuk dan subtansi hukum yang di-implementasikan pada
masingmasing era pemerintahan, serta implikasi ekonomi, ekologi, sosial, dan
budaya yang ditimbulkan dari implementasi instrumen hukum tersebut.
2.2. Hukum
Pengelolaan Hutan pada Masa Kolonial Belanda
Upaya
untuk mengelola sumber daya hutan pada masa pemerintahan kolonial Belanda
dimulai dari pengelolaan hutan jati (Tectona
grandis) di Jawa dan Madura pada pertengahan abad ke19, setelah lebih dari
200 tahun lamanya hutan alam jati dieksploitasi secara besar-besaran oleh
pemerintah Hindia Belanda untuk memasok bahan baku industri-industri kapal kayu
milik pengusaha Cina dan Belanda, yang tersebar di sepanjang pantai Utara Jawa
mulai dari Tegal, Jepara, Juwana, Rembang, Tuban., Gresik, sampai Pasuruan
(Peluso, 1990, 1992; Simon, 1993, 1999).
Sampai
akhir abad ke-18 kondisi hutan jati di Jawa mengalami degradasi yang sangat
serius, sehingga mulai mengancam kelangsungan hidup perusahaan-perusahaan kapal
kayu yang mengandalkan pasokan kayu jati dari kawasan hutan. Karena itu, ketika
pemerintah kolonial Belanda kemudian mengangkat Herman Willem Daendels sebagai
Gubernur Jenderal di Hindia Belanda pada awal abad ke-19, tepatnya pada tanggal
14 Januari 1808, salah satu tugas yang dibebankan kepada Daendels adalah
merehabilitasi kawasaan hutan melalui kegiatan reforestasi pada lahan-lahan
hutan yang mengalami degradasi serius. Untuk mendukung pelaksanaan tugas
rehabilitasi dan reforestasi yang menjadi bagian dari tugasnya, maka Daendels
membentuk Dienst van het Boschwezen
(Jawatan Kehutanan), membuat perencanaan reforestasi untuk kawasan hutan yang
mengalami degradasi, dan juga mengeluarkan peraturan mengenai kehutanan, yang
membatasi pemberian ijin penebangan kayu jati, dan memberi sanksi pidana bagi
penebang kayu-kayu jati tanpa seijin Jawatan Kehutanan. Pada tanggal 26 Mei
1808 Daendels mengeluarkan Peraturan Pemangkuan Hutan di Jawa yang memuat
prinsip-prinsip seperti berikut: (1) Pemangkuan hutan sebagai domein Negara dan
semata-mata dilakukan untuk kepentingan Negara; (2) Penarikan pemangkuan hutan
dari kekuasaan Residen dan dari jurisdiksi wewenang Mahkamah Peradilan yang
ada; (3) Penyerahan pemangkuan hutan kepada dinas khusus di bawah Gubernur
Jenderal, yang dilengkapi dengan wewenang administratif dan keuangan serta
wewenang menghukum pidana; (4) Areal hutan pemerintah tidak boleh dilanggar,
dan perusahaan dengan eksploitasi secara persil dijamin keberadaannya, dengan kewajiban melakukan reforestasi dan
pembudidayaan lapangan tebangan; (5) Semua kegiatan teknis dilakukan rakyat
desa, dan mereka yang bekerja diberikan upah kerja sesuai dengan ketentuan yang
berlaku; (6) Kayu-kayu yang ditebang
pertama-tama harus digunakan untuk memenuhi keperluan Negara, dan kemudian baru
untuk memenuhi kepentingan perusahaan swasta; (7) Rakyat desa diberikan ijin
penebangan kayu menurut peraturan yang berlaku.
Kebijakan
yang dilakukan Daendels pada masa pemerintahannya di Hindia Belanda dengan
melakukan reforestasi dan menetapkan peraturan hukum yang membatasi eksploitasi
sumber daya hutan jati di Jawa, dipandang sebagai awal dari dari kegiatan
pengelolaan hutan yang menggunakan teknik ilmu kehutanan dan institusi modern
di Indonesia, terutama setelah Daendels membentuk Dienst van het Boschwezen (Jawatan Kehutanan) yang diberikan
wewenang mengelola hutan di Jawa (Supardi, 1974). Peraturan hukum mengenai
pengelolaan hutan di Jawa dan Madura untuk pertama kali dikeluarkan pada tahun
1865, yang dinamakan Boschordonantie voor
Java en Madoera 1865 (UndangUndang Kehutanan untuk Jawa dan Madura 1865),
dan kemudian disusul dengan peraturan agraria disebut Domeinverklaring 1870 yang mengklaim bahwa setiap tanah (hutan)
yang tidak dapat dibuktikan adanya hak di atasnya maka menjadi domain
pemerintah ( Peluso, 1990). Namun demikian, upaya Daendels untuk melakukan
reforestasi dan membatasi penebangan kayu jati di Jawa dan Madura tidak dapat berlanjut dan mencapai
hasil yang optimal, selain karena keterbatasan tenaga kehutanan, pengetahuan
dan teknologi kehutanan yang dimiliki petugas-petugas Jawatan Kehutanan, juga
karena pada tahun 1830-1870 van den Bosch memberlakukan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) yang menimbulkan perubahan drastis terhadap
kondisi hutan di Jawa, di mana banyak kawasan hutan dibuka dan dikonversi
menjadi perkebunan-perkebunan kopi untuk meningkatkan komoditi eksport.
Sementara itu, kebutuhan kayu jati untuk memasok perusahaan-perusahaan kapal
kayu, membangun gudang-gudang pengeringan tembakau, pabrik gula, dan membangun
barak-barak pekerja dan perumahan pegawai perkebunan, terus meningkat pada
periode cultuurstelsel (
Schuitemaker, 1950. seperti dikutip Simon,
993:31).
Untuk
mendukung pelaksanaan reforestasi dan pengelolaan hutan dengan menggunakan
pengetahuan dan teknologi kehutanaan modern, maka pada tahun 1873 Jawatan
Kehutanan membentuk organisasi teritorial kehutanan. Berdasarkan Staatsblad No. 215 maka kawasan hutan di Jawa dibagi menjadi 13
Daerah Hutan yang masing-masing mempunyai luas 70.000 sampai 80.000 hektar untuk daerah hutan di kawasan hutan
jati, dan lebih luas dari 80.000 hektar untuk daerah hutan di kawasan hutan non
jati. Tiga belas daerah hutan tersebut
adalah : Karesidenan Banten dan Kabupaten Cianjur; Karesidenan Priangan,
Kerawang, dan Cirebon; Karesidenan Tegal dan Pekalongan; Karesidenan Semarang;
Karesidenan Kedu, Bagelen, dan Banyumas; Karesidenan Jepara; Kabupaten Rembang
dan Blora; Karesidenan Surabaya, Madura, dan Pasuruan; Karesidenan Probolinggo,
Besuki, dan Banyuwangi; Karesidenan Kediri; Karesidenan Madiun; Kabupaten Ngawi
dan Karesidenan Surakarta ( Departemen Kehutanan, 1986).
Untuk
melancarkan pekerjaan operasional di lapangan maka di masing-masing daerah
hutan dibentuk unit-unit pengelolaan hutan. Pada setiap unit pengelolaan hutan
dilakukan penataan kawasan hutan (Boschinrichting),
dengan membuat petak-petak hutan dan pemancangan pal-pal batas kawasan
hutan. Kemudian, untuk kepentingan
pekerjaan bagian perencanaan hutan, maka dibentuk unit-unit perencanaan yang
disebut Bagian Hutan (Boschafdeling) dengan luas masing-masing antara 4000
sampai 5000 hektar, atau maksimal seluas
10.000 hektar seperti di Bagian Hutan Sedayu Lawas, Caruban, dan Gunung Kidul.
Berdasarkan
Staatsblad No. 2 Tahun 1855
ditegaskan bahwa Gubernur Jenderal harus memberi perhatian dan memfokuskan
tugasnya pada pengelolaan hutan jati, dan kawasan hutan jati yang belum diserahkan
pengelolaannya kepada pihak lain dijaga dan dipelihara dengan baik. Karena itu,
pengelolaan hutan pada tahun-tahun selanjutnya cenderung lebih difokuskan pada
kegiatan reforestasi dalam kawasan hutan jati; pertama karena kayu jati mempunyai nilai ekonomis
tinggi dibandingkan dengan kayu non jati; dan kedua karena industri-industri
kapal kayu hanya menggunakan kayu jati sebagai bahan baku utamanya.
Selanjutnya, pada tahun 1890 pemerintah
Hindia Belanda mendirikan Perusahaan Hutan Jati (Djatibedrijf) untuk
mengintensifkan pengelolaan hutan jati di Jawa dan Madura, sedangkan
pengelolaan kawasan hutan rimba non jati diserahkan wewenangnya kepada Dinas
Hutan Rimba (Dienst de Wildhoutbossen).
Untuk mendukung peningkatan kegiatan
pemerintah dalam eksploitasi hutan maka berdasarkan Surat Keputusan Gubernur
Jenderal No. 6 Tahun 1865 tanggal 10 September 1865 diundangkan suatu instrumen
hukum yang dikenal dengan nama Reglemen
Kehutanan 1865. Prinsip pokok yang diatur dalam Reglemen Kehutanan 1865 bahwa eksploitasi hutan jati dilakukan
semata-mata untuk kepentingan pihak partikelir, yang dapat dilaksanakan 2 (dua)
cara. Pertama, pihak swasta yang
diberikan konsesi penebangan hutan jati diwajibkan membayar pachtschat (uang sewa) setiap tahun
kepada pemerintah Hindia Belanda, yang dihitung dengan taksiran nilai harga
kayu dalam setiap persil menurut lamanya konsesi yang diberikan. Kedua, kayu-kayu yang ditebang pihak
penerima konsesi diserahkan kepada pemerintah, dan pihak swasta penerima
konsesi menerima uang pembayaran upah tebang, sarad, angkut dalam hitungan per elo kubik (1 elo = 68,8 cm), melalui tender terbuka dan penawaran yang diajukan dalam sampul tertutup.
Dalam
perkembangan selanjutnya, Reglemen Hutan
1865 dipandang banyak mengandung kelemahan dalam mengantisipasi
perkembangan pengelolaan hutan, sehingga dipandang perlu untuk segera diganti.
Pada tanggal 14 April 1874 diundangkan Reglemen
Pemangkuan dan Eksploitasi Hutan di Jawa dan Madura 1874. Terdapat beberapa
hal penting yang diatur dalam Reglemen
Hutan 1874 ini: (1) Pengaturan mengenai pemisahan pengelolaan hutan jati
dengan hutan rimba non jati; (2) Hutan
jati dikelola secara teratur dan ditata dengan pengukuran, pemetaan, dan
pemancangan pal-pal batas, serta dibagi dalam wilayah distrik-distrik hutan;
(3) Eksploitasi hutan jati diserahkan pengusahaannya kepada pihak suasta; (4)
Pemangkuan hutan rimba yang tidak dikelola secara teratur diserahkan kepada
Residen di bawah perintah direktur
Binnelands Bestuur, dan dibantu seorang Houtvester.
Dalam
perkembangan selanjutnya, dengan menggunakan Ordonansi 6 Mei 1882 dan Ordonansi
21 Nopember 1894, dan kemudian dengan Ordonansi Kolonial 9 Pebroari 1897, maka
Reglemen Pemangkuan dan Eksploitasi Hutan di Jawa dan Madura 1874 diperbarui
dengan Boschreglement 1897 (Reglemen
Pengelolaan Hutan Negara di Jawa dan Madura 1897) , dilengkapi dengan Dienstreglement 1897 (Reglemen Dinas) melalui Keputusan
Pemerintah tanggal 9 Pebroari 1897 No. 21 yang secara khusus memuat peraturan
pelaksanaan Boschreglement 1897 dan
pengaturan organisasi Jawatan Kehutanan. Setelah berlaku selama lebih dari 16
tahun lamanya, dan setelah dilakukan perubahan berulang kali dengan beberapa
ordonansi, maka berdasarkan Ordonansi Kolonial tanggal 30 Juli 1913 Reglemen
Pengelolaan Hutan Negara di Jawa dan Madura 1897 (Boschreglement 1897) diganti dengan Reglemen untuk Pemangkuan Hutan Negara di Jawa dan Madura 1913,
tetapi baru diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 1914.
Untuk
mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kehutanan, serta
perkembangan kependudukan di Jawa, maka pada tahun 1927 Boschreglement van Java en Madoera 1913 diganti dengan Reglement
voor het Beheer der bossen van den Lande op Java en Madoera 1927 (Peraturan
Pengelolaan Hutan Negara di Jawa dan Madura 1927), atau disingkat Boschordonantie voor Java en Madoera 1927
(Ordonansi Hutan untuk Jawa dan Madura 1927). Boschordonantie 1927 diundangkan
dalam Staatsblad Tahun 1927 No. 221,
kemudian diubah dengan Staatsblad
Tahun 1931 No. 168, dan terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1934 No. 63. Sementara itu, peraturan pelaksanaan dari Boschordonantie 1927 dituangkan dalam Boschdienstregelement voor Java en Madoera
1927, kemudian diganti dengan Boschverordening
voor Java en Madoera 1932, dan menyusul diperbarui dengan Boschvererdening tahun 1935, tahun 1937,
dan tahun 1937.
Dalam
kaitan ini, timbul pertanyaan perihal bagaimana pengaturan hukum pengelolaan
hutan pada masa kolonial Belanda di daerah-daerah luar Jawa dan Madura.
Pengelolaan hutan di daerah-daerah luar Jawa dan Madura, khususnya yang
berkaitan dengan pengaturan mengenai penunjukkan hutan tetap, perlindungan
hutan, pemungutan retribusi untuk penebangan kayu dan pemungutan hasil hutan
nonkayu, diatur dan ditetapkan dengan peraturan hukum seperti berikut, (1) Agrarische
Reglement yang diberlakukan di Sumatera Barat, Menado, Riau dan pulaupulau
di sekitarnya, Bangka dan Belitung, Palembang, Jambi dan Bengkulu; (2) Ordonansi Perlindungan Hutan yang
diberlakukan di Belitung, Palembang, Singkep, Lampung, dan Riau; (3) Peraturan
Perladangan dan Reglemen Penebangan Kayu
diberlakukan di Kalimantan. Keempat,
Peraturan Panglong diberlakukan di Bengkalis, Indragiri, Lingga, Karimun, dan
Tanjungpinang.
Peraturan-peraturan
hukum tersebut di atas pada dasarnya selain mengandung banyak kelemahan dan
tumpang tindih, juga tidak sesuai dengan kondisi sosial-budaya masyarakat adat
setempat, sehingga tidak berlaku secara efektif sebagai landasan hukum untuk
mengoperasikan pemangkuan dan pengusahaan hutan seperti yang diharapkan
pemerintah Hindia Belanda ( Departemen Kehutanan, 1986).
2.3. Hukum
Pengelolaan Hutan pada Masa Pendudukan Jepang
Pada
tanggal 8 Maret 1942 pemerintah kolonial Belanda takluk dengan tanpa syarat
kepada Bala Tentara Dai Nippon Jepang. Taktik perang bumi hangus yang dilakukan
pemerintah Belanda sebelum menyerah kepada Dai Nippon telah menimbulkan
kerusakan sarana dan prasaran produksi, perhubungan, telekomunikasi, sarana
pertanian, termasuk perusakan kawasan hutan jati terutama di Karesidenan Semarang,
Jepara, Rembang, Telawa, dan Bojonegoro. Boschwezen
(Dinas Kehutanan) juga tidak luput dari sasaran taktik penghancuran bumi
hangus, agar tidak dapat digunakan dan dinikmati oleh bala tentara Jepang.
Karena itu, kilang-kilang penggergajian kayu di Saradan dan di Cepu serta
los-los tempat penimbunan kayu di Madiun dengan sengaja dirusak dan dibakar.
Selain itu, jembatan rel gantung di Payak Sonde dalam kawasan hutan Ngawi juga
dengan sengaja dirusak dan dihancurkan sebagai bagian dari taktik bumi hangus
(Supardi, 1974).
Pada
masa pendudukan tentara Dai Nippon Jepang (1942-1945) Jawatan Kehutanan Belanda
(Dient van het Boschwezen) diganti namanya menjadi Ringyo Tyuoo Zimusyo. Semua pegawai Jawatan Kehutanan diminta untuk
terus melaksanakan tugasnya di posnya masing-masing, dan Ordonansi Hutan Jawa
dan Madura 1927 (Staatsblad 1927 No.
221 serta Verordening Kehutanan tahun
1932 (Staatsblad 1932 No. 446)
dinyatakan tetap berlaku oleh pemerintah Dai Nippon untuk mengelola hutan di
Jawa dan Madura. Sementara itu, urusan
pengelolaan hutan di luar Jawa dan Madura ditangani oleh Pemerintah Pusat,
tetapi sebagian juga ditangani oleh Pemerintah Swapraja (Zelf besturende Landschappen dan Inheemse Rechtsgemeenschappen).
Selama
masa pendudukan tentara Jepang pengelolaan hutan jati di Jawa mengalami masa
surut, dalam arti tidak berjalan seperti pada masa pemerintahan kolonial
Belanda. Hal ini selain karena hanya sebagian kecil dari bekas pegawai Jawatan
Kehutanan Belanda yang mau bekerja untuk kepentingan pemerintah Dai Nippon,
juga karena keadaan chaos akibat
perang gerilya rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan, sehingga tidak
memungkinkan dapat dilakukan kegiatan pengelolaan hutan seperti yang diharapkan
pemerintah Dai Nippon.
Di
sisi lain, pemeritah Dai Nippon melakukan eksploitasi hutan secara
besar-besaran terutama di kawasan hutan jati Jawa dan Madura, untuk membangun
industri kapal kayu di bawah kewenangan Sangyobu
(Departemen Ekonomi) dan Zoosen Kyo Ku ( Departemen Perkapalan).
Kawasan hutan juga banyak dibuka untuk ladang-ladang palawija, tanaman jarak,
kebun kopi, dan guagua perlindungan maupun untuk membangun gudang-gudang
penyimpanan logistik dan amunisi mesin perang Jepang. Karena itu, sampai menjelang jatuhnya
kekuasaan Jepang, urusan kehutanan yang menjadi salah satu sumber keuangan
untuk membiayai perang tentara Jepang di Asia dimasukkan ke dalam urusan Gonzyuseizanbu (Departemen Produksi
Kebutuhan Perang).
3.4.
Hukum Pengelolaan Hutan Pasca Kemerdekaan: dari Orde Lama, Orde Baru, sampai
Masa Pemerintahan Orde Reformasi
Setelah
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, maka
dengan mengacu pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 pemerintah mulai menata
pengaturan hukum pengelolaan hutan yang sesuai dengan kondisi Indonesia sebagai
suatu negara yang merdeka dan berdaulat penuh.
Namun demikian, peralihan kekuasaan atas Jawatan Kehutanan dari
pemerintah Jepang kepada pemerintah Republik Indonesia baru diselenggarakan
pada tanggal 1 September 1945 berdasarkan Surat Ketetapan Gunseikanbu Keizaibutyo Nomor 1686/G.K.T. tanggal 1 September 1945.
Upaya
pertama yang dilakukan pemerintah adalah pada bulan Desember 1946 Jawatan
Kehutanan membentuk satu tim penerjemah yang ditugaskan menerjemahkan
peraturan-peraturan hukum kehutanan yang diproduk pada masa pemerintahan
kolonial Belanda. Hal ini dimaksudkan untuk memberi pemahaman dan sebagai bahan
pembentukan peraturan hukum kehutanan yang sesuai dengan cita-cita kemerdekaan
Indonesia sebagaimana dimaksud pada Pembukaan UUD 1945. Sebelum itu, rapat
dinas Jawatan Kehutanan pada tanggal 20-22 Maret 1946 yang diselenggarakan di
Madiun telah berhasil membentuk Pedoman Kerja Jawatan Kehutanan tahun 1946,
sebagai penjabaran dari kebijakan politik pemerintah di bidang pengelolaan
hutan. Kemudian, berdasarkan Surat Ketetapan Kepala Jawatan Kehutanan tanggal
4 Juli 1947 Nomor 2758/KBK/Yg. dibentuk
satu Panitia Peraturan Kehutanan, yang diberikan tugas untuk meyusun rancangan
peraturan-peraturan di bidang kehutanan.
Pada
tanggal 12 Agustus 1947 pemerintah Indonesia membentuk Jawatan Kehutanan
Sumatera berdasarkan Surat Keputusan Wakil Presiden R.I. Nomor I/WKP/SUM/47
yang berkedudukan di Bukititnggi. Wilayah kerja Jawatan Kehutanan Sumatera
meliputi, (1) Daerah Pengawasan
(Inspeksi) Kehutanan Sumatera Utara, yang berkedudukan di Tarutung, meliputi
Karesidenan Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli; (2) Daerah Pengawasan
(Inspeksi) Kehutanan Sumatera Tengah, yang berkedudukan di Buktitinggi,
meliputi Karesidenan Sumatera Barat, Riau, dan Jambi; (3) Daerah Pengawasan
(Inspeksi) Sumatera Selatan, yang berkedudukan di Lubuklinggau, meliputi
Karesidenan Palembang, Bengkulu, dan Lampung.
Setelah
peristiwa pengakuan kedaulatan Negara Republik Indonesia dari pemerintah
Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. 26 Tahun 1952 Jawatan Kehutanan diberikan wewenang untuk menguasai dan
mengelola tanah-tanah Negara yang ditetapkan sebagai kawasan hutan. Kemudian,
wewenang penguasaan tanah-tanah hutan oleh Jawatan Kehutanan semakin dipertegas
dan diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan
Tanah-tanah Negara (Lembaran Negara No. 14 Tahun 1953), yang pada masa
pemerintahan kolonial Belanda diatur dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal
tanggal 25 Januari 1919 No. 33 (Staatsblad
1911 No. 110).
Sementara
itu, hukum pengelolaan hutan yang berlaku dalam wilayah Negara Republik
Indonesia masih berupa peraturan perundang-undangan kehutanan peninggalan
pemerintah kolonial Belanda. Di Jawa dan Madura, misalnya, masih diberlakukan Boschordonantie voor Java en Madoera 1927
(Staatsblad 1927 No. 221) , Boschverordening voor Java en Madoera
1932, dan Provinciale
Boschbesehermings-verordening (Peraturan Perlindungan Hutan Daerah).
Sementara itu, untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Madura masih diberlakukan beberapa
peraturan berikut, (1) Agrarische Reglement Sumatera Barat,
Menado, Riau, dan pulaupulau dalam lingkunga masing-masing, Bangka dan Belitung,, Palembang, Jambi dan Bengkulu. Di
daerah-daerah tersebut setiap pemungutan
hasil hutan pada umumnya memerlukan ijin dari Pamong Praja; (2)
Undang-undang Perlindungan Hutan Belitung, Palembang, Singkep, Lampung, dan
Riau; (3) Peraturan Panglong yang diberlakukan di Bengkalis, Indragiri, Lingga,
Karimun, dan Tanjungpinang; (4) Peraturan Panglong yang diberlakukan untuk
penebangan kayu di Kalimantan.
Usaha
untuk merumuskan dan membentuk peraturan hukum pengelolaan hutan yang berlaku
secara seragam di luar Jawa dan Madura
dimulai dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Kepala Jawatan Kehutanan tanggal
25 Oktober 1951 No. 1767/KD/I/4 tentang Pembentukan Panitia Penyusunan
Rancangan Undangundang dan Peraturan Hutan Luar Jawa dan Madura, yang diketuai
oleh E.J. Wind dan dibantu oleh anggota-anggota Panitia seperti Ronggur Patuan
Malaon, R. Soepardi, R.O. Noerhadi, Song Tjoe Gie, Ir. C. Gartner, dan Mr. H. Leau. Kemudian, dengan Surat Keputusan
Kepala Jawatan Kehutanan tanggal 21 Nopember 1951 No. 4274 Kepala Jawatan
Kehutanan membentuk Panitia Peraturan Kehutanan, yang ditugaskan untuk, (1)
dalam jangka pendek merencanakan peraturan-peraturan darurat/sementara untuk
memenuhi kebutuhan peraturan hukum kehutanan; dan (2) dalam jangka panjang meninjau kembali
semua peraturan dan pedoman yang telah ada dan berlaku di wilayah kerja Jawatan
Kehutanan.
Untuk
merealisasikan asas desentralisasi dalam sistem pemerintahan negara, dan
mengakomodasi kepentingan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam,
termasuk sumber daya hutan, maka pada tahun 1957 pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 169) tentang Penyerahan Sebagian dari
Urusan Pemerintah Pusat di Lapangan Perikanan, Laut, Kehutanan, dan Karet
Rakyat kepada Daerah-daerah Swatantra Tingkat I. Di sisi lain, untuk memperkuat
kelembagaan di bidang pengelolaan hutan, maka dikeluarkan Peraturan Menteri
Pertanian tanggal 17 Maret 1951 No. 1/1951 tentang Lapangan Pekerjaan, Susunan,
dan Tugas Kementerian Pertanian, yang menegaskan tugas dan kewajiban Jawatan
Kehutanan yang berada di dalam lingkungan
Kementerian
Pertanian. Menurut PP No. 1/1951 di atas ditegaskan bahwa tugas dan kewajiban
Jawatan Kehutanan adalah: (1) Memelihara tanah dengan jalan mempertahankan
nilai hidrologi dan orologi hutan, mengadakan persediaan air, mengendalikan
erosi dan kerusakan tanah; (2) Menghasilkan kayu untuk mencukupi kebutuhan
kayu bangunan, kayu bakar, kulit penyamak, dan hasil hutan lainnya bagi
kepentingan masyarakat; (3) Menyelenggarakan pendidikan kehutanan untuk
memenuhi kebutuhan tenaga Jawatan Kehutanan; (4) Memberi penerangan kepada masyarakat tentang
arti, fungsi, dan manfaat hutan bagi perlindungan alam dan pemenuhan kebutuhan
ekonomi rakyat.
Pada
tahun 1957 dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 1957 (LN. No. 169
Tahun 1957) mengenai Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah Pusat di bidang
Perikanan Laut, Kehutanan dan Karet Rakyat kepada Pemerintah Swatantra Tingkat
I. Sedangkan, urusan pengaturan pengelolaan hutan di wilayah Indonesia bagian
Timur, yang menjadi bekas wilayah Negara Indonesia Timur (NIT), berdasarkan
Surat Kepala Jawatan Kehutanan tanggal 31 Desember 1958 No. 1765/KD/I/5 dan
surat tanggal 12 Maret 1959 No. 1954/KD/I/I diusulkan kepada Menteri Pertanian
agar pemangkuan hutan di Indonesia bagian Timur dialihkan kepada daerah Tingkat
I.
Pada
tahun 1960 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perpu) No. 19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara. Untuk mewujudkan status
Jawatan Kehutanan menjadi Perusahaan Negara, pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah No. 17 sampai No. 30 Tahun 1961 tentang Pembentukan
Perusahaan-Perusahaan Kehutanan Negara ( PERHUTANI), yang meliputi Badan
Pimpinan Umum (BPU ) Perhutani dan Perhutani-Perhutani Jawa Timur, Jawa Barat,
Jawa Tenggah, Sumatera Selatan, Riau, Sumatera Utara, Aceh, Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi
Selatan/Tenggara, dan Maluku. Kemudian, untuk menegaskan kawasan hutan yang
menjadi wilayah kerja Perhutani maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 35
Tahun 1963 (LN. Tahun 1963 No. 57) tentang Penunjukan Hutan-hutan yang
Pengusahaannya diserahkan kepada Perhutani.
Usaha
untuk melakukan konsolidasi dan koordinasi pelaksanaan tugas dan kewajiban
pengelolaan hutan di seluruh wilayah Indonesia, maka pada bulan Nopember 1963
di Bogor diselenggarakan Konferensi Dinas Instansi-instansi Kehutanan. Ini
menjadi konferensi dinas yang pertama setelah diberlakukan desentralisasi
urusan kehutanan dan perusahaan-perusahaan kehutanan negara. Setelah Kabinet
Dwikora dibentuk oleh Presiden Soekarno pada tahun 1964, maka dari sisi
kelembagaan pengelolaan hutan di Indonesia, untuk pertama kalinya pemerintah
membentuk Departemen Kehutanan sebagai institusi negara yang diberi wewenang
mengelola dan mengusahakan hutan di seluruh wilayah Indonesia. Dalam Pasal 1
Peraturan Menteri Kehutanan No. 1 Tahun 1964 ditegaskan bahwa salah satu tugas
Departemen Kehutanan adalah merencanakan, membimbing, mengawasi, dan
melaksanakan usaha-usaha pemanfaatan hutan dan kehutanan, terutama produksi
dalam arti yang luas di bidang kehutanan, untuk meninggikan derajat kehidupan
dan kesejahteraan rakyat dan Negara secara kekal.
Empat
belas bulan setelah Departemen Kehutanan menjadi bagian dari Kabinet Dwikora
yang dibentuk Presiden Soekarno, maka terjadi prahara nasional yang dinamakan
pemerintah Orde Baru sebagai peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September PKI (
G-30-S PKI). Singgasana kekuasaan pemerintah negara R.I. kemudian beralih dari
Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto dengan menggunakan Surat Perintah 11
Maret (Supersemar) yang dikukuhkan Sidang Umum IV MPRS menjadi Ketetapan No.
IX/ MPRS/1966, sebagai landasan hukum pengangkatan Soeharto menjadi Presiden
R.I. menggantikan Soekarno. Masa pemerintahan Presiden Soeharto dicanangkan
sebagai era pemerintahan Orde Baru (OrBa) menggantikan masa pemerintahan Orde
Lama (OrLa) sebagai masa pemerintahan mantan Presiden Soekarno. Kemudian,
dengan berlandaskan pada Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 Presiden Soeharto
membentuk kabinet pemerintahan yang dinamakan Kabinet Ampera ( Amanat
Penderitaan Rakyat). Kabinet Ampera membubarkan Departemen Kehutanan yang
dibangun pada masa pemerintahan Orde Lama. Urusan kehutanan selanjutnya
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Kehutanan yang secara kelembagaan berada
dalam struktur Departemen Pertanian.
Era
Amanat Penderitaan Rakyat kemudian
dilaksanakan oleh pemerintahan Orde Baru melalui pembangunan ekonomi nasional
yang diorientasikan untuk mengejar
pertumbuhan ekonomi (Economic
Growth Development). Untuk mewujudkan tingkat pertumbuhan ekonomi secara
cepat, maka pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan untuk: (1) membuka
peluang ekonomi dan kesempatan berusaha dengan mengundang sebanyak mungkin
pemilik modal di dalam maupun di luar negeri untuk menanamkan modalnya di
Indonesia; dan (2) dengan secara sadar pemerintah mengeksploitasi sumber daya
hutan dan kekayaan alam lainnya, terutama minyak dan gas bumi, sebagai sumber
pendapatan dan devisa negara (state
revenue) untuk membiayai pembangunan
nasional.
Untuk
mendukung pelaksanaan kebijakan pembangunan yang bercorak kapital (capita
oriented) dan berorientasi untuk mengejar pertumbuhan ekonomi semata dengan
mengutamakan pencapaian target-target pertumbuhan tertentu, maka pemerintah
membuat instrumen hukum (legal instrument)
yang dimulai dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing ( PMA), kemudian disusul dengan Undang-Undang Nomor. 6
Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Segera setelah Undang-Undang
PMA diundangkan pemerintah, pemilik modal asing berbondongbondong menanamkan
modalnya di Indonesia, paling tidak karena 3
(tiga) daya tarik utama, yaitu: (1) dari segi bisnis kesempatan untuk
berusaha di Indonesia pasti sangat menguntungkan, lantaran kekayaan alam
Indonesia yang akan dieksploitasi mempunyai prospek pasar yang dibutuhkan
masyarakat internasional; (2) pemerintah
memberikan kemudahan-kemudahan dan fasilitas serta jaminan stabilitas politik
dan keamanan bagi investasi modal asing
di dalam negeri; dan (3) sumber daya tenaga kerja selain mudah didapatkan juga
dikenal sangat murah untuk mengembangkan bisnis maupun industri di Indonesia.
Setelah
sumber daya alam minyak dan gas bumi yang menjadi andalan utama pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, maka menyusul giliran sumber daya hutan Indonesia yang dieksploitasi,
melalui pemberian konsesi-konsesi pengusahaan hutan. Untuk mendukung
peningkatan penanaman modal asing maupun modal dalam negeri di bidang
pengusahaan sumber daya hutan, maka pemerintah membangun instrumen hukum yang
dimulai dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (LN. Tahun 1967 No. 8 dan Tambahan LN. No.
2823). Kemudian, untuk melaksanakan ketentuan mengenai pengusahaan hutan yang
mendasari kebijakan pemberian konsesi eksploitasi sumber daya hutan, maka
dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 yunto Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil
Hutan (HPH dan HPHH). Segera setelah Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan,
mulailah kegiatan eksploitasi sumber daya hutan secara besarbesaran dilakukan
pemerintah, terutama di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya
(Papua), melalui pemberian konsesi HPH dan HPHH kepada pemilik modal asing
maupun modal dalam negeri dalam bentuk Badan Usaha Milik Suasta ( BUMS) maupun
kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN ).
Dari
segi ekonomi pemberian konsesi HPH dan HPHH kepada BUMS maupun BUMN memang
secara nyata memberi kontribusi yang positif bagi peningkatan pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Tetapi, dari segi yang lain kebijakan pemberian konsesi
pengusahaan hutan yang tidak terbuka dan tidak selektif, karena mengandung
unsur KKN sehingga konsesi dikuasai oleh orang-orang atau yayasan-yayasan
tertentu yang memiliki akses kuat pada elit penguasa, ditambah lagi dengan
lemahnya aspek pengawasan (control)
dan penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia, maka terjadilah eksploitasi
sumber daya hutan yang tak terkendali dan tak tersentuh oleh hukum oleh para
pemegang konsesi HPH dan HPHH. Konsekuensi yang muncul kemudian adalah: (1) Dari segi ekologi terjadi degradasi
kuantitas maupun kualitas hutan tropis di berbagai kawasan di Indonesia; (2)
Dari segi ekonomi terjadi keterbatasan dan semakin hilangnya sumber-sumber kehidupan masyarakat setempat; (3) Dari segi
sosial dan budaya muncul kelompok masyarakat lokal, terutama masyarakat yang
secara turun-temurun hidup dan tinggal di dan sekitar hutan, sebagai
korban-korban pembangunan (victims of
development) , yang tergusur dan terabaikan serta terbekukannya akses dan
hak-hak mereka atas sumber daya hutan. Selain itu, terjadi konflik-konflik yang
berkepanjangan atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan antara masyarakat
local dengan pemerintah maupun pemegang konsesi-konsesi kehutanan.
Satu
hal penting yang perlu memperoleh perhatian dalam konteks instrumen hukum untuk
melaksanakan kebijakan pengusahaan hutan di Indonesia adalah kejanggalan
yuridis dan sistematis berdasarkan waktu dari produk hukum yang dikeluarkan
pemerintah Orde Baru, yaitu: (1) Instrumen hukum yang mengatur perencanaan
hutan dalam hal ini Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1971 tentang
Perencanaan Hutan baru dikeluarkan setahun setelah kegiatan eksploitasi sumber
daya hutan berlangsung melalui pemberian konsesi HPH dan HPHH. Jadi, secara
jelas dapat diketahui bahwa kebijakan pengusahaan hutan seperti dimaksud Undang-Undang
Kehutanan 1967 tidak dilandasi dengan
kebijakan perencanaan pengelolaan sumber daya hutan; (2) Instrumen hukum yang
mengatur perlindungan hutan in casu Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985
tentang Perlindungan Hutan baru dikeluarkan pemerintah setelah operasi pemegang
HPH dan HPHH berlangsung selama lebih dari 15 tahun lamanya. Jadi, pelaksanaan
kebijakan pengusahaan hutan seperti yang dimaksud Undang-Undang Kehutanan 1967
selama lebih dari 15 tahun tanpa didukung dengan instrumen hukum yang mengatur
perlindungan hutan. Karena itu, secara mudah dapat diprediksi dan dipahami jika
kemudian terjadi eksploitasi sumber daya hutan secara tak terkendali oleh para
pemegang konsesi HPH dan HPHH, dan konsekuensinya kondisi hutan tropis
Indonesia secara berkesinambungan mengalami degradasi kuantitas maupun kualitas
dari tahun ke tahun.
Selain
kejanggalan dari fenomena yuridis dalam konteks produk hukum yang dikeluarkan
pemerintah Orde Baru untuk mendukung kebijakan pengusahaan hutan di Indonesia,
maka secara ideologis produk hukum pengelolaan hutan terutama yag berbentuk
undang-undang mencerminkan ideologi pengelolaan hutan yang berbasis Negara (State-based Forest Management) , yang
kemudian diinterpretasikan secara tunggal dan sempit atau dianalogikan
pemerintah sebagai pengelolaan hutan yang berbasis Pemerintah (Government-based Forest Management) .
Karena itu, peraturan perundang-undangan sebagai perwujudan hukum negara (State Law) di bidang pengelolaan sumber daya hutan yang
diproduk selama pemerintahan Orde Baru, termasuk yang menyusul kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Tanaman
Industri (HP-HTI), sarat dengan penonjolan peran dan kekuasaan pemerintah dalam
menentukan kebijakan dan implementasi kebijakan pengelolaan sumber daya hutan.
Instrumen hukum pengelolaan hutan yang diproduk pemerintah juga lebih merupakan
hukum pemerintah (Government Law) ,
atau lebih konkrit lebih merupakan hukum birokrasi (Bureaucratic Law) , bukan hukum negara (State Law) seperti yang diamanatkan menurut UUD 1945.
Dalam
hubungan in, hukum pemerintah atau hukum birokratik cenderung sarat dengan
muatan penekanan, pengabaian, penggusuran, dan bahkan pembekuan akses serta
hak-hak masyarakat lokal atas sumber daya hutan. Model produk hukum seperti
digambarkan di atas dikenal sebagai produk hukum yang bercorak represif (Represive Law) seperti dimaksud Nonnet & Selznick (1978). Kendatipun era pemerintahan Orde Baru
telah berakhir karena tergilas arus gerakan reformasi yang mencapai klimaks
pada bulan Mei 1998, yang ditandai dengan lengsernya Soeharto dari singgasana
kepresidenan setelah lebih dari 30 tahun lamanya menguasai dan mengendalikan
pemerintahan negara, ternyata dapat dicermati bahwa fenomena hukum pengelolaan
sumber daya hutan yang diproduk pada era Orde Reformasi di bawah pemerintahan
Bacharuddin Jusuf Habibie secara ideologis tidak mengalami perubahan. Produk
hukum dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan
Pemungutan Hasil Hutan Produksi mengandung muatan jiwa, semangat, dan substansi
yang secara prinsip tidak berbeda dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun
1970 tentang HPH dan HPHH, alias tidak mencerminkan jiwa dan semangat serta cita-cita gerakan
reformasi.
Lebih
ironis lagi, produk hukum hasil karya lembaga legislatif dan eksekutif pada era
reformasi dalam bentuk Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan secara ideologis dan substansial tidak
berbeda alias sama dan sebangun dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967
sebagai produk hukum kehutanan pada era pemerintahan Orde Baru. Instrumen
hukum seperti ini dapat diibaratkan sebagai sebuah karya musik yang dikemas
dalam kaset atau CD baru, tetapi di dalamnya berisi serangkaian lagu-lagu lama
(the old songs) yang disajikan dan dikemas dengan aransemen
musik yang telah dimodifikasi sesuai dengan selera produsernya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar