PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) MELALUI PENGUATAN
LEMBAGA MASYARAKAT DESA HUTAN (LMDH)
(Suatu
Kajian Hukum Penguatan Kapasitas LMDH dan
Peningkatan
Efektivitas PHBM di Desa Dampit,
Kecamatan
Bringin, Kabupaten Ngawi)
Sigit Sapto Nugroho1
1adalah Dosen Fakultas
Hukum Universitas Merdeka Madiun
Abstract
Research of this law cope to know role PHBM,
study and analyse the factors influence the effectiveness PHBM, study and
analyse the factors influence pengatan institute capacities LMDH in improvement
of effectiveness PHBM in Countryside Dampit District Bringin Sub-Province Ngawi.
Keyword : Reinforcement LMDH and effectiveness PHBM
Pendahuluan
Sebagaimana diketahui bahwa sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi
daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah
tersebut dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip
demokratis, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperbaiki
potensi dan keanekaragaman daerah.
Perlu
diingat bahwa otonomi tidak dapat dilaksanakan secara efektif tanpa otonomi
dalam basis perekonomian komunitas. Selama perekonomian suatu komunitas
bergantung kepada perekonomian nasional dan/ atau internasional dan warga
komunitas tidak mempunyai wewenang untuk mengaturnya, maka tentu akan terjadi
pembatasan otonomi dalam pengambilan keputusan.
Konsekuensi dari adanya otonomi adalah desentralisasi dalam struktur
kekuasaan dan pengambilan keputuan. Hal ini konsisten dengan prinsip-prinsip
pemberdayaan (empowerment), didalam keputusan-keputusan suatu sistem
yang terdesentralisasi, maka struktur/ organisasi dan proses/ kegiatan akan
lebih terbuka (accessible) bagi warga, dan kapasitas warga untuk berpartisipasi
serta mempengaruhi struktur dan proses tersebut akan meningkat dengan
nyata. Hubungan antara otonomi dengan
desentralisasi juga konsisten dengan prinsip keberlanjutan atau kelestarian,
karena struktur-struktur sosial yang kecil cenderung lebih tahan hidup dan
mudah berintegrasi dengan lingkungannya.
Otonomi dan desentralisasi mempunyai kaitan erat dengan kemandirian (self-reliance)
(Nugroho, 2003: 39). Kemandirian komunitas diartikan bahwa komunitas
mengutamakan nilai-nilai sosial untuk dapat hidup terus bersandar pada
sumberdaya yang dimilikinya.
Otonomi
yang dimiliki desa merupakan kesempatan bagi masyarakat desa untuk
mengembangkan prakarsa, inisiatif, dan partisipasi aktif dalam proses
pembangunan dan pemenuhan kebutuhan mereka sesuai dengan potensi lokal yang
tersedia di desa. Berbagai potensi sumberdaya yang tersedia dapat dikelola,
dimanfaatkan, dan dikembangkan secara berkelanjutan guna meningkatkan taraf
hidup masyarakat. Dalam hal pengelolaan hutan,
otonomi dan devolusi harus dapat memperbaiki hutan dalam waktu sesingkat
mungkin, kemudian diterapkan system pengelolaan hutan yang dapat memberikan
manfaat maksimal bagi masyarakat dengan berlandaskan kepada kelestarian ekosistem, serta dapat
menguatkan kapasitas pemerintah daerah (Bakhtiar, Irfan, Sandi Ari, 2001:30)
Partisipasi
masyarakat desa dapat dikembangkan dengan lebih luas, tidak terbatas sebagai
pelaksana dan penerima manfaat dari program pengembangan masyarakat, tetapi
diharapkan secara aktif dapat terlibat langsung dalam proses pelaksanaan
program-program dan kegiatan yang dilaksanakan di desa. Untuk merealisasikan
hal tersebut diperlukan peran aktif dari berbagai kelembagaan yang ada di desa,
terutama yang dapat mewadahi aspirasi masyarakat serta melakukan evaluasi dan
kontrol atas pelaksanaan berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintahan
desa. Untuk menunjang peran partisipasi aktif dari masyarakat desa, diperlukan
adanya kelembagaan yang dibentuk oleh masyarakat sendiri (bottom up),
bukan lagi bentukan dari pemerintah (top down). Sehubungan dengan itu, diperlukan
langkah-langkah baik oleh pemerintah maupun masyarakat (stakeholders)
sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dalam mengembangkan
potensi sumberdaya alam yang tersedia pada tingkat lokal, dengan tetap menjaga
dan memelihara kelestarian potensi sumberdaya alam tersebut. Hal ini dapat
dijadikan model bagi terciptanya pembangunan berbasis kompetensi masyarakat
lokal dan model pembangunan berkelanjutan.
Fenomena
yang terjadi pada masyarakat Desa Dampit Kecamatan Bringin Kabupaten Ngawi
dengan tipologi desa sekitar hutan, kerusakan sumberdaya alam hutan, keluarga
miskin dan pengangguran merupakan masalah sosial desa ini yang perlu
mendapatkan perhatian dan penanganan dari pemerintah, swasta dan LSM (stakeholders).
Berbagai program pengembangan masyarakat telah dilakukan oleh pemerintah, yang
bertujuan meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat melalui berbagai
pendekatan. Langkah-langkah untuk memperbaiki kondisi ini telah dilakukan
diantaranya munculnya beberapa program pengembangan masyarakat diantaranya Jaringan
Pengaman Sosial (JPS), RASKIN (Beras Masyarakat Miskin), BLT (Bantuan Langsung
Tunai), dan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).
Dalam
konteks otonomi daerah setelah diundangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32
tahun 2004. Untuk merespon dan mengakomodasikan dinamika pengelolaan sumber
daya hutan, pada tanggal 29 Maret 2001 Perum Perhutani menetapkan kebijakan Pengelolaan Sumber Daya
Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) berdasarkan Surat Keputusan Ketua Dewan
Pengawas Perum Perhutani (Selaku Pengurus Perusahaan) Nomor 136/KPts/Dir/2001
tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Kebijakan yang dilaksanakan
dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) melalui Lembaga
Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang dalam pelaksanaan program-programnya
didasarkan pada inisiatif dan prakarsa dari masyarakat, jadi bersifat bottom
up (Nugroho, 2003:12)
Di Desa
Dampit Kecamatan Bringin Kabupaten Ngawi, terdapat sebuah sistem pengelolaan
sumberdaya hutan bersama masyarakat melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan
(LMDH) yang dibentuk pada tahun 2001. Ide pembentukan LMDH berasal dari
aspirasi warga Desa sendiri secara bottom up, dengan difasilitasi oleh
pemerintah Desa. Tujuan didirikannya LMDH adalah pengelolaan sumber daya hutan
bersama masyarakat yang mengarah kepada
peningkatan ekonomi masyarakat dan keseimbangan ekologi. Potensi lokal dan
partisipasi masyarakat akan dapat digali dan diberdayakan secara optimal
sebagai kekuatan pembangunan. Walau bagaimanapun dengan adanya program PHBM
melalui LMDH, paling tidak akan menjadi pembelajaran bagi pesanggem (penggarap)
dalam melaksanakan proses perencanaan program pengembangan masyarakat. Berdasarkan pengalaman dalam melaksanakan
proses perencanaan di dalam LMDH tersebut diharapkan nantinya pesanggem
(penggarap) dapat berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan di desanya.
Peran aktif LMDH sebagai suatu kelembagaan di Desa Dampit, merupakan aspek yang
strategis dalam meningkatkan peran serta masyarakat dan mewujudkan peningkatan
taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.
Bagaimana
peran PHBM melalui kelembagaan LMDH terhadap perubahan taraf hidup pesanggem
(penggarap) di Desa Dampit ?
2.
Faktor-faktor
apa yang mempengaruhi efektivitas kebijakan PHBM dan yang mempengaruhi kapasitas kelembagaan
LMDH di Desa Dampit?
3.
Faktor-Faktor
apa yang mempengaruhi dalam penguatan kapasitas kelembagaan LMDH dalam peningkatkan efektivitas PHBM di Desa Dampit
?
Tujuan
Penelitian
Dalam penelitian ini
ada beberapa hal yang ingin dicapai
antara lain :
a. Mengetahui peran PHBM melalui kelembagaan
LMDH terhadap perubahan taraf hidup pesanggem (penggarap) di desa Dampit.
b. Mengkaji dan menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi efektivitas kebijakan PHBM dan yang mempengaruhi kapasitas kelembagaan LMDH di
Desa Dampit.
c. Mengkaji dan menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi penguatan kapasitas kelembagaan LMDH dan meningkatkan efektivitas
PHBM di desa Dampit.
Manfaat Penelitian
a.
Secara Teoritis,
memberikan sumbangsih pemikiran, baik berupa perbendaharaan konsep, metode, preposisi,
ataupun pengembangan teori dalam kasanah studi ilmu hukum dan masyarakat, Dalam
hal ini adalah bagaimanakah pelaksanaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama
Masyarakat (PHBM).
b.
Kegunaan Praktis,
diharapkan dapat menjadi masukan model kebijakan yang partisipatif, bertumpu
pada warga masyarakat, khususnya Departemen Kehutanan, Perum Perhutani, dan
Pemda dalam membuat kebijakan agar lebih aplikatif dan aspiratif.
Metode
Penelitian
Jenis Penelitian
Melihat dari latar belakang dan pokok
permasalahan yang dijelaskan dimuka maka dalam penelitian ini menggunakan jenis
penelitian kualitatif (naturalistik). Dengan demikian tahapan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan dasar
pertimbangan :
1. Penelitian ini menganalisa pelaksanaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Bersama Masyarakat melalui lembaga
Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Desa Dampit Kecamatan Bringin kabupaten Ngawi
sesuai situasi yang wajar (natural setting)
2. Peneliti bertindak sebagai instrumen penelitian.
3. penelitian mendeskripsikan dan memberikan interprestasi atas data yang
ditemukan dilapangan.
4. Penelitian menganalisis fenomena yang ditemukan dari data dilapangan.
5. Data yang didapat diuraikan dalam bentuk kalimat, untuk memperoleh
gambaran secara detail, lengkap dan jelas mengenai masalah dalam penelitian.
(Nasution,S,
1992:11)
Penelitian deskriptif
yaitu menggambarkan dan menjelaskan fenomena yang berhubungan dengan
Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Selanjutnya mengungkap
proses faktual dari peristiwa hukum kongkrit.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Dampit
Kecamatan Bringin Kabupaten Ngawi. Peneliti menetapkan lokasi
penelitian dengan alasan antara lain:
1.
Lokasi ini merupakan
lokasi bekas penjarahan secara besar-besaran mulai tahun 1998 sampai
pertengahan Januari 2001 yang kurang lebih ada 931,8 ha hutan jati terjarah.
2.
Lokasi penelitian juga
merupakan kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) waduk Pondok sebagai kawasan
penyangga kebutuhan air untuk pertanian di wilayah Kabupaten Ngawi sebelah
timur (kecamatan Padas dan sekitarnya)
Untuk mengurangi adanya
aksi penjarahan dan perusakan kawasan hutan
dilakukan perencanaan yang holistik dan partisipatif yang melibatkan
masyarakat sekitar hutan dengan pola Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama
Masyarakat (PHBM) di desa-desa sekitar hutan wilayah BKPH Bringin.
Sumber Data
Data
penelitian ini terdiri dari :
1. Data Primer yaitu data-data yang diperoleh dari studi di lapangan di
mana hukum dan peraturan perundang-undangan dilaksanakan Untuk dapat mengetahui
apakah peraturan atau kebijakan yang diterapkan dilapangan tersebut
efektif atau tidak harus melakukan
pengamatan langsung dimasyarakat dimana kebijakan atau program PHBM itu
dilaksanakan. Baru setelah menemukan gambaran dilapangan akan dihubungkan
dengan literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang sedang dihadapi.
2. Data Sekunder, yaitu data-data yang diperoleh dari studi dari berbagai
peraturan perundang-undangan, baik yang berhubungan dengan pengelolaan sumber
daya hutan. Tidak pula dilupakan peraturan-peratuiran yang bersifat operasinal
dalam pelaksanaan PHBM melalui LMDH.
Teknik Pengumpulan Data.
Dalam penelitian ini
digunakan teknik gabungan, yaitu:
· Wawancara mendalam (depth interview). Sumber data dapat
diperoleh dari informan kunci dimana lewat teknik wawancara digali data
selengkap-lengkapnya, tidak saja apa yang diketahuinya, apa yang dialaminya,
tetapi juga ada apa dibalik pandangan atau pendapatnya.
· Pengamatan (observation) lapangan yaitu untuk mendapatkan data
yang tidak dapat digali melalui wawancara peneliti akan melakukan pengamatan baik langsung maupun
tidak langsung pelaksanaan PHBM di Desa Dampit
· Studi Dokumen, yaitu mengambil data tentang peraturan-peraturan yang
berhubungan dengan pelaksanaan PHBM dan peraturan operasional lainnya
Dalam teknik pengumpulan
data yang dilakukan dengan observasi
sedapat mungkin meminimalisir keterasingan peneliti dengan para responden dan
sekaligus dapat bekerja sama dengan baik dengan responden. Hal ini adalah penting
karena pada strata tertentu dipastikan tidak dapat memberikan informasi yang
lugas, apa adanya, karena dengan alasan tertentu data yang bersifat sensitif
untuk dikonsumsi keluar (Sanapiah, 1990:54-55). Untuk observasi ini harus
dilakukan dari hal yang paling umum sampai pada hal yang paling khusus
(Nasution, S, 1992:99-100)
Analisa
Data
Data-data yang telah
terkumpul akan dianalisa secara analisis
interaktif yang terdiri dari tiga kegiatan pokok yaitu : reduksi data,
penyajian data dan penarikan kesimpulan dan verifikasi (Sanapiah, 1990:6). Proses analisa data
dikonstruksikan lewat strategi atau pendekatan yang bertumpu pada logika pikir
induksi konseptual satu pihak, dan logika emik dipihak lain. Disini peneliti
akan mengkonstruksikan semua fakta empiris untuk kemudian membangun hipotisa
dan diikuti dengan merumuskan konklusi (Moleong, 1996:53-54).
Kalau melihat dari dua
pendapat tersebut, saya mengambil jalan tengah bahwa setelah data-data (data
primer, data sekunder) terkumpul, maka akan dilakukan analisa. Data sekunder
yang diperoleh dari berbagai peraturan yang terkait dengan PHBM dicocokan
dengan pelaksanaan dilapangan (data primer). Adakah kendala atau hambatan yang
ada untuk itu dibahas dengan menggunakan teori yang cocok/relevan. Dengan kata
lain sudah menghubungkan langsung antara data primer, sekunder dan inilah rangkaian analisis secara
deskriptif kualitatif.
Hasil Penelitian Dan
Pembahasan
1. Peran PHBM
melalui LMDH terhadap Perubahan Taraf Hidup Pesanggem (penggarap)
Kegiatan pengelolaan hutan bersama masyarakat dilakukan
dengan jiwa berbagi yang meliputi berbagi dalam pemanfaatan lahan dan atau
ruang, berbagai dalam pemanfaatan waktu, berbagi dalam pemanfaatan hasil dalam
pengelolaan sumberdaya hutan dengan prinsip saling menguntungkan, saling
memperkuat dan saling mendukung. Dalam mewujudkan visi dan misi Perum Perhutani
sebagai pihak pengelola sumberdaya hutan maka dalam rangka meningkatkan
keberhasilan pengelolaan hutan pihak Perhutani membutuhkan partisipasi aktif
berbagai pihak, khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan (pesanggem/
penggarap) melalui program PHBM.
Keterlibatan pesanggem (penggarap) dalam program PHBM diwujudkan dalam
wadah Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) “Bumi Lestari” yang dibentuk oleh masyarakat
Desa Dampit dengan difasilitasi oleh pemerintah desa dan Perum Perhutani. Dalam
upaya untuk memberdayakan dan merubah taraf hidup pesanggem (penggarap) di Desa
Dampit, wadah LMDH sangat berperan dalam: (Nugroho, 2003:83)
a. Memfasilitasi pesanggem (penggarap)
dan pihak yang berkepentingan dalam proses penyusunan rencana, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi kegiatan PHBM.
b. Menselaraskan kegiatan pengelolaan
sumberdaya hutan sesuai dengan kegiatan pembangunan wilayah dan kondisi serta
karakteristik sosial pesanggem (penggarap) sebagai tujuan mensejahterakan dan
merubah taraf hidup pesanggem (penggarap).
c. Meningkatkan tanggung jawab dan
peranserta pesanggem (penggarap) dan pihak yang berkepentingan terhadap
pengelolaan dan keberlangsungan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan.
d. Meningkatkan pendapatan negara,
desa, pesanggem (penggarap) dan pihak yang berkepentingan secara simultan.
PHBM melalui LMDH merupakan model pengelolaan hutan yang relatif bisa
diterima baik oleh berbagai kalangan. Sebagai sebuah model pengelolaan, PHBM
tentu mempunyai akar filosofi yang melandasinya. Dengan demikian, pelaksanaan
PHBM melalui LMDH bukan sekedar program yang sepele, tidak mengakar, dan uji
coba. Di dalamnya terdapat landasan filosofi yang apabila ditelaah akan
menghasilkan sebuah semangat pengelolaan yang proporsional, berimbang, lebih
membawa maslahat, mengutamakan kepentingan masyarakat, dan memberdayakan
masyarakat sekitar. Jelasnya PHBM adalah model pengelolaan ideal yang dapat
dijadikan alternatif-solutif permasalahan hutan, karena kemitraan dan pengambilan
keputusan oleh masyarakat local menjadi ciri minimum dari menejemn hutan
berbasis masyarakat (Nurjaya, 1999:14)
PHBM melalui LMDH dirancang untuk menampung segala perubahan yang
diinginkan oleh lingkungan eksternal disekeliling Perum Perhutani. Kelahiran
PHBM melalui LMDH itu sendiri memang didorong oleh beragam tekanan persoalan
sosio-kultural yang mengelilingi Perum Perhutani. Agaknya memang sudah menjadi
tradisi kita, bahwa akibat dari beragam tekanan persoalan kmudian dapat memaksa
diri untuk memunculkan ide-ide solutif. Demikian pula dengan latar belakang
munculnya gagasan PHBM, setelah permasalahan gangguan keamanan hutan kian
semarak dan diantaranya diwarnai tindakan penjarahan hutan.
PHBM melalui LMDH sendiri menurut pengkaji secara konseptual merupakan
pilah langkah yang tepat. Hanya saja, pada tahapan implementasinya masih
diperlukan serangkaian langkah penyempurnaan.
PHBM melalui LMDH merupakan instrumen yang dirancang untuk
mengantisipasi perubahan tuntutan ekternal. Problemanya adalah di tingkat
emplementasinya. Benarkah warga desa sekitar hutan memang menuntut lahan,
bukannya hal lain, karena di jaman kini rasanya orang desa pun mulai enggan
bertani.
Menurut penulis secara kuantitatif memang tidak bisa diukur. Tapi minimal untuk tingkat
kebutuhan mendasar hidup pesanggem (penggarap) dapat tercukupi, dengan
PHBM. Implementasi PHBM melalui LMDH di
Desa Dampit dimulai tahun 2001 masih tergolongan baru, sehingga belum banyak
memberikan perubahan terhadap taraf hidup para pesanggem (penggarap) di Desa Dampit
secara signifikan.
Namun demikian berdasarkan evaluasi terhadap program PHBM, pelaksanaan PHBM
di Desa Dampit telah menunjukkan adanya pengaruh positif terhadap pengembangan
ekonomi lokal, yaitu meningkatkan pendapatan pesanggem (penggarap) pada
khususnya, hal ini seperti yang disampaikan Bapak Diyo (Wawancara tanggal 6 Januari
2010) : “ .....bahwa ada salah seorang
pesanggem (penggarap), dari hasil pertanian/ perkebunan jagung yang dipanen
dari petak hutan Desa Dampit dapat untuk membeli perabot rumah “
PHBM memberikan peluang kerja ekonomi warga miskin, para pesanggem
(penggarap) yang sebagian besar berasal dari keluarga miskin dapat bekerja
menggarap petak hutan dibawah tanah tegakkan dengan sistem tumpangsari, dimana
hasilnya seluruhnya untuk pesanggem (penggarap)/ petani hutan. Adapun jenis tananman yang ditanam dalam
sistem tumpangsari diantaranya adalah jagung, pisang, ketela pohon/ singkong,
ubi rambat, kacang tanah, padi, dan lain sebagainya. Pemasaran hasil pertanian/
perkebunan melalui tumpangsari dilakukan melalui pengepul. Dengan demikian
melalui PHBM dapat memberikan pendapatan tambahan bagi pesanggem (penggarap)/
petani hutan.
Disamping itu meningkatnya kegiatan ekonomi alternatif, yaitu munculnya
industri rumah tangga dari pengolahan hasil hutan, seperti kayu bakar. Hal ini
seperti yang disampaikan oleh Bpk. Sutrisno (wawancara 6 Januari 2010) : “
....dengan ikut sebagai pesanggem disamping kita bisa menggarap petak hutan
untuk berkebun, kita juga bisa mendapatkan kayu bakar dan daun jati yang bisa
dijual ”
Dengan PHBM di Desa Dampit adanya penyerapan tenaga kerja sebanyak kurang
lebih 300 orang, dengan perincian 150 orang sudah terdaftar dalam buku anggota
LMDH, sedangkan 150 orang belum terdaftar dalam buku anggota sebagai anggota
resmi. Dengan PHBM telah memotivasi penggalian potensi swadaya masyarakat,
dengan pembentukan kelembagan LMDH.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektivitas PHBM
Di dalam program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
(PHBM) terdapat beberapa pihak yang terlibat di dalamnya, yaitu Perum
Perhutani, LMDH dan pihak terkait. Berdasarkan hasil penelitian program PHBM di
Desa Dampit dapat dilihat dari beberapa aspek dalam struktur akses dan kontrol sumberdaya
hutan dalam PHBM, yaitu :
(Nugroho, 2003:93-94)
1. Program Kerja.
Program kerja disusun dengan melibatkan berbagai unsur
yang terlibat dalam program PHBM yang tentunya didasarkan pada kondisi dan
potensi pangkuan hutan dan karakteristik masyarakat setempat. Program kerja
disusun dalam upaya untuk mengelola secara menyeluruh setiap tahapan kegiatan
pengelolaan hutan selama 1 (satu) daur tanam jati dari tahap penanaman,
penjarangan dan tebang habis tegakan pohon hutan. Akan tetapi dikarenakan
kondisi hutan di Desa Dampi merupakan tanaman muda, maka dari ketiga tahapan
tersebut baru tahap penjarangan tanaman yang bisa dilaksanakan. Keterlibatan berbagai unsur terkait dalam
penyusunan program kerja disampaikan Bapak Subiyanto (Ketua LMDH Desa Dampit) :
“Proses penyusunan program kerja dilakukan bersama-sama antara LMDH dengan
Perum Perhutani. Pada saat itu beberapa program kerja banyak ditawarkan oleh
pengurus akan tetapi harus juga disesuaikan dengan kepentingan Perum Perhutani.
Sehingga diharapkan kepentingan kedua belah pihak dapat terwakili. Program
kerja yang disepakati meliputi kegiatan pelestarian fungsi dan manfaat hutan
mulai dari perencanaan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan dan pemanenan”
Walaupun program kerja telah tersusun dalam renstra dan
disusun dengan melibatkan pihak Perum Perhutani, LMDH dan pihak terkait, namun
pada pelaksanaannya belum dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan
rencana. Hal tersebut disebabkan
berbagai kendala yaitu tidak mengakarnya kepengurusan LMDH Desa Dampit dan
potensi tanaman hutan wilayah BKBH Bringin yang masih relatif muda sehingga belum dapat
menghasilkan sesuai yang diharapkan.
2. Peranserta LMDH dan Pesanggem (penggarap)
Salah satu peranan LMDH adalah meningkatkan peranserta
(partisipasi) LMDH dan warga pesanggem (penggarap) serta pihak yang
berkepentingan terhadap pengelolaan
sumber daya hutan. Peranserta (partisipasi) pengurus LMDH dan pesanggem
(penggarap) dapat diwujudkan dalam setiap kegiatan (tahap perencanaan,
pembiayaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, serta
pelaporan). Bentuk partisipasinya dapat diwujudkan dengan kehadiran dalam
setiap kegiatan, ide, gagasan, usulan pendapat dalam perencanaan program,
kesediaan menjadi pengurus, dan partisipasi secara tidak langsung yang
dilakukan oleh pesanggem (penggarap) dalam mengolah lahan sekitar hutan dan
ikut menjaga keamanan hutan.
a. Peranserta
Pengurus LMDH Berdasarkan kenyataan dilapangan dapat dijelaskan peranserta
pengurus LMDH diwujudkan hanya baru sebatas pada tahapan perencanaan (dengan
menghadiri dan memberikan pendapat pada pertemuan perumusan rencana program
kerja), pengorganisasian (dengan kesediaan untuk menjadi pengurus LMDH). Namun
peranserta (partisipasi) mereka saat ini perlu adanya dorongan agar lebih aktif
dalam kepengurusan LMDH.
Kondisi di atas didasarkan penyataan informan Suhino selaku ketua BPD Desa Dampit
(Wawancara 8 Januari 2010) :
“Pada saat sosialisasi memang
terlihat respon dan harapan yan besar dari masyarakat pada program PHBM.
Kesediaan beberapa orang untuk menjadi pengurus jugas sangat dihargai. Apalagi
pada saat penyususnan program kerja bersama (Perum Perhutani dan LMDH. Terlihat
semangat yang besar dari beberapa pengurus dalam mengajukan usulan program
kerja. Namun pada pelaksanaannya, setelah ada kendala/ hambatan semangat mereka
sepertinya mulai mengendur dan menjadikan LMDH Desa Dampit kurang aktif”.
b. Peranserta
Pesanggem (penggarap)
Berdasarkan kenyataan di lapangan menunjukkan tingkat partisipasi yang
masih terbatas pada pesanggem (penggarap) yang sudah menggarap sebelum LMDH
terbentuk. Di luar penggarap tersebut pesanggem masih bersifat pasif dan
cenderung kurang responsif terhadap keberadaan LMDH. Partisipasi pesanggem
tersebut diwujudkan secara tidak langsung dalam mengelola dan mengolah lahan
kosong disekitar dengan tanaman palawija. Disamping itu, mereka juga ikut
merawat dan menjaga keamanan tanaman tegakkan kayu hutan. Partisipasi ini
diwujudkan secara sadar dan sukarela karena mereka juga merasa mendapat manfaat
dari hutan di sekitarnya. Kondisi di atas didasarkan pernyataan informan Mbah
Karyo (wawancara 8 Januari 2010) selaku penasehat LMDH yang menyatakan :
“Dalam program PHBM Perum Perhutani mengharapkan kepada pesanggem
(penggarap) agar ikut menjaga dan merawat hutan. Karena pesanggem merasakan
telah mendapat manfaat dari hutan di sekitarnya maka mereka secara bertanggung
jawab dan sukarela ikut menjaga dan merawat hutan. Saya berharap agar hal ini bisa terus
berlangsung karena ini sangat bermanfaat baik bagi pesanggem (penggarap) karena
mendapat penghasilan dari tanaman mereka maupun bagi Perum Perhutani karena
tanaman kayu jatinya jadi terawat dan aman dari kerusakan dan pencurian”.
Pernyataan di atas juga didukung
oleh pernyataan informan Bapak subiyanto selaku Ketua LMDH yang menyatakan :
“Justru saat ini pesanggem (penggarap) yang lebih banyak berperan dalam
memelihara dan menjaga kelestarian hutan. Hal itu mereka lakukan karena mereka
juga melakukan aktifitas mengolah lahan sekitar hutan dengan tanaman yang
menghasilkan. Dan mudah-mudahan kondisi ini bisa tetap berlangsung karena
memberikan keuntungan bersama baik bagi pesanggem (penggarap) maupun Perum
Perhutani”
c. Jaringan Kerjasama
Adanya jaringan kerjasama dengan pihak-pihak lain sangat bermanfaat dalam
rangka pengembangan program dan kegiatan PHBM. Kerjasama yang bisa dilakukan
antara lain dengan pihak-pihak pemerintah daerah dan pihak ketiga yang akan
menanamkan modalnya di LMDH. Dalam
kenyataan kondisi di lapangan menunjukkan sudah terbinanya kerjasama yang
intensif yang dilakukan LMDH Desa Dampit dengan pihak ketiga.
Program PHBM yang implementasinya dilaksanakan melalui
LMDH memberikan harapan besar terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat
sekitar hutan, namun berdasarkan evaluasi program yang peneliti lakukan masih dijumpai
adanya kelemahan-kelemahannya dibidang struktur akses dan kontrol sumberdaya
hutan, yaitu : rendahnya kwalitas pengurus, keanggotaan pesanggem (penggarap)
tidak mengutamakan dari desa yang setempat, rendahnya pengawasan di lapangan,
tidak adanya ketegasan sanksi bagi LMDH yang lalai dalam kewajiban. Belum
adanya pemerataan ekonomi dalam pengelolaan petak hutan bagi masyarakat lokal,
dan belum mengarah pada penanganan keluarga miskin secara optimal.
Kenyataan diatas mengindikasikan bahwa struktur akses dan
kontrol sumberdaya alam hutan belum memberikan arah akses kepada pesanggem
(penggarap) di sekitar hutan Desa Dampit sesuai dengan peran dan fungsinya
untuk mengelola hutan secara partisipatif, atas kemitraan, keterpaduan,
ketersediaan, dan sistem sharing. Program PHBM dalam proses pengembangan
masyarakat untuk mewujudkan kelembagaan LMDH sebagai wadah perjuangan LMDH
belum dijadikan instrumen membangun kebersamaan, kepedulian, dan tanggung jawab
bersama serta menggali nilai-nilai luhur kemanusiaan dan kemasyarakatan, namun
sebaliknya pesan-pesan moral terlupakan oleh kepentingan-kepentingan pribadi
yang bertentangan dengan nilai-nilai yang diusung oleh LMDH sehingga upaya
pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dari golongan bawah dapat terabaikan.
Dalam upaya meningkatkan efektivitas PHBM dalam proses
pelaksanaan program pengembangan masyarakat, strategi yang dapat dilakukan
adalah perbaikan struktur akses dan kontrol sumber daya alam hutan, yang
meliputi beberapa aspek di bawah ini. Melihat situasi dan kondisi demikian
perlu dilakukan penataan struktur akses dan kontrol sumberdaya hutan yang ada
dalam pangkuan Desa Dampit. Sehingga
akan terjadi keseimbangan, keberlanjutan, kesesuaian dan keselarasan antara
Perum Perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan sesuai
dengan jiwa dan prinsip dasar PHBM.
Dalam struktur Kelembagaan, meningkatkan kwalitas pengurus, pelatihan
dan pergantian pengurus/ resufel pengurus. Keanggotaan/ peserta diutamakan dari
desa yang bersangkutan. Perlunya terobosan mandiri dari LMDH, modal berasal
dari hasil sharing/ kredit Perum Perhutani. Dibentuknya satuan pengawas intern
di LMDH.
Dalam struktur Perum Perhutani, membuka peluang kegiatan
lainnya untuk mengikut sertakan LMDH dalam pengelolaan hutan (seperti :
pemberdayan, pembuatan persemaiann, jasa penebangan, angkutan dan survey).
Peningkatan pengawasan di lapangan. Ketegasan sanksi bagi LMDH yang lalai dalam
kewajiban. Dalam struktur Pemerintah Daerah/ Dinas Terkait, peningkatan
keterpaduan masing-masing dinas terkait dalam pemberdayaan LMDH. Memberikan pelatihan usaha-usaha produktif
bagi LMDH. Baik faktor pendorong maupun
penghambat bagi peningkatan efektivitas PHBM dalam melaksanakan program-program
pengembangan masyarakat dapat berasal dari dalam diri Perum Perhutani
(internal) maupun dari luar Perum Perhutani (eksternal).
Faktor pendorong PHBM yang paling kuat adalah adanya
pelibatan aspirasi dan prakarsa masyarakat, pemberdayaan yang tidak hanya
berorientasi dibidang ekonomi saja, tapi dibidang sosial dan sumberdaya alam
hutan, adanya perpaduan antara pengorganisasian dan pengembangan masyarakat,
meningkatkan pendapatan keluarga pesanggem, memberi peluang kerja ekonomi warga
miskin, adanya penyerapan tenaga kerja, dan memotivasi penggalian potensi swadaya
masyarakat.
Faktor penghambat PHBM (Nugroho, 2003:94-95) adalah,
rendahnya pemahaman pesanggem tentang PHBM, rendahnya kinerja LMDH, dan
lemahnya pengawasan LMDH. Berdasarkan
kajian pengembangan masyarakat yang telah dilakukan dapat diidentifikasikan
faktor lain pendorong bagi peningkatan efektivitas PHBM dalam pelaksanaan
program-programnya. Hal ini terungkap melalui serangkaian wawancara mendalam,
diskusi kelompok, dan Focused Group
Discussion (FGD) dengan informan yang menginginkan PHBM berkemampuan
untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan kelompok masyarakat, khususnya yang belum
terlibat dalam kegiatan PHBM.
Faktor penghambat terhadap kelancaran pelaksanaan
program-program PHBM yang muncul dari pesanggem (pengarap) dapat dilihat dari
rendahnya pemahaman pesanggem (penggarap) dalam pengelolaan hutan karena
kurangnya sosialisasi hukum kebijakan PHBM kepaa masyarakat dan rendahnya
partisipasi pesanggem (penggarap) dalam pengelolaan hutan, rendahnya nilainilai
(agama, budaya, hukum) yang dianut pesanggem (penggarap), belum adanya lembaga
sosial yang mendorong kesadaran pesanggem (penggarap) dalam pengelolaan hutan,
serta belum tumbuhnya kearifan lokal dalam pengelolaan hutan.
Harapan PHBM untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya
hutan dengan memadukan aspek-aspek ekonomi, ekologi dan sosial secara
proporsional guna mencapai visi dan misi Perum Perhutani, yaitu pengelolaan
sumberdaya hutan sebagai ekosistem di pulau Jawa secara adil, demokratis,
efesien dan profesional guna mewujudkan keberlanjutan fungsi dan manfaatnya
untuk kesejahteraan masyarakat mendapat berbagai kendala, seperti adanya
kesenjangan antara konsep dan implementasinya juga dipengaruhi oleh faktor
kinerja LMDH yang mandiri.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penguatan
Kapasitas LMDH dalam Efektivitas PHBM
Dalam kaitan penguatan kapasitas bagi LMDH sangat perlu
dalam rangka memberdayakan pengurus LMDH. Bila kualitas kinerja pengurus LMDH
sudah memadai, diharapkan mereka dapat lebih aktif dan konsisten
mensosialisasikan program LMDH kepada pesanggem (penggarap). Melalui kerjasama
dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan kelembagaan yang ada, sosialisasi
program LMDH diharapkan dapat membangkitkan antusias pesanggem (penggarap)
dalam program LMDH.
Pelaksanaan program LMDH di Desa Dampit menunjukkan bahwa
upaya LMDH dalam merubah taraf hidup pesanggem (penggarap) dan mengembangkan
kapasitas kelembagaan setempat, ternyata belum diimbangi dengan pengakaran
kelembagaan masyarakat setempat. Prakarsa dan dukungan yang memadai dari
pelaku-pelaku pembangunan lokal lainnya, seperti pemerintah desa, pengusaha,
dan LSM sudah terlihat namun belum optimal, sehingga kerjasama dan gerakan
sinergis yang optimal antara pelaku-pelaku pembangunan lokal tersebut dalam
meningkatkan taraf hidup pesanggem belum terwujud. Seperti yang dikatakan salah
seorang tokoh masyarakat Desa Dampit, Bapak Suwito (wawancara tanggal 8 Januari
2010):
“LMDH yang ada di Desa Dampit walaupun sudah berbadan hukum dan memiliki
anggaran dasar organisasi masih perlu di tingkatkan kinerja pengurusnya dan
menjalin kerjasama dengan pemerintah desa, sehingga diperlukan
kegiatan-kegiatan penguatan kelembagaan yang ditujukan untuk meningkatkan
kinerja dan SDM pengurus LMDH “
Berdasarkan data hasil kajian evaluasi yang dilakukan
sebenarnya LMDH sebagai kelembagaan masyarakat yang mengakar sudah berpihak
kepada masyarakat golongan bawah, menyuarakan aspirasi masyarakat dan menjadi
motor penggerak penanggulangan kemiskinan berdasarkan prinsip-prinsip
pengembangan masyarakat. Keberhasilan yang selama ini telah dicapai LMDH dalam
pelaksanaan program-programnya berdasarkan asas-asas pengembangan masyarakat,
bisa menjadi peluang untuk menciptakan keberlanjutan dalam upaya-upaya kepada
peningkatan kesejahteraan pesanggem (penggarap) dan keseimbangan ekologi yang
dilaksanakan secara mandiri oleh pesanggem (penggarap). Beberapa persoalan kinerja LMDH yang dijumpai
dalam implementasi programnya saat ini diidentifikasi sebagai berikut : a.
Kinerja LMDH yang terbentuk selama ini masih belum cukup berkemampuan (mandiri)
dalam menumbuh kembangkan kapasitasnya sendiri untuk melayani tuntutan
kebutuhan nyata dari dinamika pembangunan di masyarakat. Hal ini dipengaruhi
oleh faktor internal, yang meliputi keanggotaan, kepengurusan, alat kelengkapan
organisasi, dan dipengaruhi faktor eksternal, kebijakan pemerintah dan
kelembagaan lain. b. Tujuan utama LMDH
yang semula, yakni pemberdayaan kepada pesanggem (penggarap) melalui berbagai
program-program di sektor pengelolaan sumber daya hutan dan peningkatan taraf
hidup pesanggem (penggarap), belum sepenuhnya terlaksana. LMDH belum sepenuhnya
berorientasi kepada pesanggem (penggarap) miskin serta belum mampu mengakses
berbagai sumber daya yang ada maupun sumber daya luar bagi kepentingan
peningkatan taraf hidup pesanggem (penggarap). c. Kepengurusan LMDH sebagian
besar tidak cukup mengakar, walaupun sudah melalui mekanisme pemilihan langsung
oleh seluruh warga Desa Dampit. Pengurus LMDH masih mempuyai hubungan
kekerabatan dengan kepala desa, yang berpengaruh terhadap keanggotaan pengurus
didominasi oleh orang-orang yang dekat dengan kelompok tertentu.
Berbijak pada persoalan strategis di atas, maka beberapa
hal yang menjadi landasan pemikiran bahwa kegiatan penguatan kapasitas
kelembagaan LMDH sesungguhnya diperlukan sebagai sebuah upaya menyiapkan dan
mengantarkan LMDH untuk memasuki tantangan tugas dan fungsinya sesuai dengan
LMDH paradigma baru, yaitu :
a. LMDH yang mandiri marupakan “Kunci Strategis” bagi upaya keberlansungan
penanggulangan kemiskinan dan pembangunan.
b. Diperlukan reorientasi pemahaman LMDH paradigma baru yang berbasis
nilai-nilai kemanusiaan dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan di LMDH
dan masyarakat serta stakeholders tingkat desa.
c. Perlunya pelembagaan proses-proses pembangunan partisipatif melalui
pelaksanaan siklus kegiatan LMDH dengan pendekatan baru.
d. Diperlukan restrukturisasi kelembagaan dan perbaikan manajemen LMDH serta
agar lebih berpihak pada pesanggem (penggarap) golongan bawah, mengakar dan
mampu menjadi motor penggerak di bidang pengelolaan sumber daya hutan dan
peningkatan kesejahteraan secara mandiri dan berkelanjutan.
Disadari bahwa untuk menumbuhkembangkan kapasitasnya,
perlu diberikan bantuan teknis sehingga mampu mengakses berbagai sumberdaya
internal dan eksternal yang diperlukan .Keberadaan LMDH yang belum sepenuhnya
mencerminkan sebagai lembaga masyarakat seperti yang diharapkan,
Berdasarkan kajian pengembangan masyarakat yang telah
dilakukan dapat diidentifikasikan faktor lain pendorong bagi penguatan
kelembagaan LMDH dalam pelaksanaan program-programnya. Hal ini terungkap
melalui serangkaian wawancara mendalam, diskusi kelompok, dan Focused Group Discussion (FGD) dengan
informan yang menginginkan kelembagaan LMDH berkemampuan untuk memenuhi
aspirasi dan kebutuhan kelompok pesanggem (penggarap), khususnya yang belum
pernah berpartisipasi dalam kegiatan LMDH.
Harapan LMDH untuk menjadikan LMDH mandiri sebagai salah
satu syarat bagi proses pembangunan berkelanjutan di sektor pengelolaan sumber
daya hutan dan peningkatan taraf hidup masyarakat mendapat berbagai kendala,
seperti adanya kesenjangan antara konsep dan implementasinya juga dipengaruhi
oleh faktor-faktor pendorong dan penghambat terwujudnya LMDH yang mandiri.
Dalam pelaksanaan kegiatan penguatan kelembagaan LMDH,
prinsip-prinsip LMDH harus sesuai dengan prinsip-prinsip pengembangan
masyarakat yang menjadi acuan, landasan dan penerapan dalam seluruh proses
kegiatan yang meliputi pelayanan, pengelolaan, kepemimpinan dan manajemen.
Prinsip-prinsip tersebut harus dijunjung tinggi, ditumbuhkembangkan serta
dilestarikan oleh semua pelaku dan stakeholder yang berkaitan dengan kegiatan
LMDH. Prinsip-prinsip yang diperlukan LMDH adalah sebagai berikut : a. Demokrasi,
b.Partisipasi, c. Transparansi dan Akuntabilitas, d. Prinsip kebersamaan.
Dengan demikian model pengelolaan hutan yang dilakukan LMDH bertujuan : Disatu
sisi sebagai strategi untuk mengakomodasi dua kepentingan yang berbeda dari
aktor-aktor yang menggunakan hutan sebagai sumber kehidupan dan disisi lain
sebagai taktik untuk mengintegrasikan partisipasi masyarakat lokal dalam
pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan (Nurjaya, 2001:7).
Kesimpulan
a. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program PHBM di Desa Dampit telah
memberikan pengaruh positif terhadap perubahan taraf hidup pesanggem
(penggarap). Namun demikian dalam implementasinya PHBM belum efektif, hal ini
dipengaruhi faktor belum diimplementasikannya program kerja PHBM dengan baik,
rendahnya peran serta LMDH dan pesanggem (penggarap), serta belum luasnya
jaringan kerjasama. Kapasitas LMDH masih rendah, hal ini dipengaruhi oleh
faktor rendahnya SDM pengurus, rendahnya kapasitas anggota, rendahnya ketaatan
pesanggem terhadap norma/ aturan yang ada, serta rendahnya kinerja LMDH.
b. Kinerja LMDH belum mampu menumbuhkembangkan kapasitasnya untuk melayani
tuntutan kebutuhan nyata dari pesanggem (penggarap). Hal ini ditunjukkan oleh
rendahnya kwalitas pelayanan LMDH, pengurus LMDH belum mampu mengelola
organisasi LMDH dengan baik, kepemimpinan LMDH belum mencerminkan keterwakilan
seluruh unsur yang ada dalam LMDH, manajemen LMDH belum menerapkan
prinsip-prinsip manajemen dengan baik.
Berdasarkan identifikasi masalah bersama disimpulkan bahwa permasalahan
yang pokok yang dihadapi adalah rendahnya kapasitas LMDH dan belum efektifnya
program PHBM. Melalui Focus Group Discussion (FGD) dilakukan penyusunan
program secara partisipatif yang melibatkan unsur pesanggem (penggarap), LMDH,
perangkat desa, dan Perum Perhutani.
c. Upaya penguatan kapasitas LMDH dapat diakukan melalui restrukturisasi
kelembagaan LMDH dan pelatihan manajemen bagi pengurus dan anggota LMDH.
Sedangkan peningkatan efektivitas PHBM dapat dilakukan melalui penataan
struktur akses dan kontrol SDA hutan, serta pengawasan manajemen LMDH. Berbagai
langkah pembaharuan di atas diharapkan mampu membawa program PHBM dan LMDH Desa
dampit dalam pengelolaan hutan menjadi mandiri dan dapat digunakan
sebesar-besarnya untuk perubahan taraf hidup pesanggem (penggarap)
Saran-saran
a. Melihat adanya
kesadaran masyarakat yang ingin membangun kembali hutannya yang rusak akibat
penjarahan , merupakan tahab awal yang baik untuk memantabkan kesepahaman PHBM karena itu seyogyanya pihak Perhutani
secara terus menerus mengadakan sosialisasi kepada masyarakat sekitar
hutan dengan mengadakan kerjasama dengan
pihak-pihak terkait.
b. Untuk memantabkan
pelaksanaan program PHBM perlu adanya jaminan dan kepastian hukum, hal ini untuk menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan termasuk kesalahan persepsi antara kedua belah
pihak yang bekerjasama, untuk itu perlu
adanya proses jaminan hukum berupa : kesepakatan kerjasama (MoU) atau
perjanjian kerjasama antara Administratur dengan Bupati setempat atau antara
Perhutani dengan pihak lain. Nota Kesepakatan Bersama (NKB) yaitu Kesepakatan
antara Perhutani dengan desa yang memuat wilayah hutan yang dikelola bersama di
desa tersebut, yang memuat secara rinci hak dan kewajiban, berbagi peran, bagi
hasil dan sebagainya antara Perhutani dengan Kelompok yang dilakukan dihadapan notaris sehingga lebih
menjamin kepastian hukum.
Daftar
Rujukan
Bakhtiar, Irfan, Sandi Ari CN, (2001) ,Hutan Jawa
Menjemput Ajal, Akankah Otonomi Menjadi Solusi, BP Arupa,
Yogyakarta.
Faisal, Sanapiah, (1990), Penelitian Kualitatif (Dasar-Dasar dan Aplikasinya),
Yayasan Asih Asah Asuh, Malang.
Moleong, Lexy
J, (1996), Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdikarya, Bandung.
Nasution, S,
(1992), Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung.
Nugroho, Sigit Sapto, (2003), Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Perspektif Hukum,
Tesis, Universitas Brawijaya Malang.
Nurjaya, I Nyoman, (1999),
Menuju Pengelolaan Sumberdaya Hutan yang Berorientasi pada Pola Kooperatif:
Perspektif Legal Formal dalam Awang, san Afri & Bambang Adi S, (editor),
Perubahan Arah dan Alternatif Pengelolaan Sumber daya Hutan perhutani
di Jawa, Perhutani & Fakultas Kehutanan UGM, Jogjakarta, Hal.
105-117).
.........., (2001), “Magersari:
Studi Kasus Pola Hubungan Kerja penduduk setempat Dalam Pengusahaan Hutan”
Desertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia,
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar