HIBAH TANAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM
Sigit
Sapto Nugroho1
1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka
Madiun
Abstract
This study aims to analyze
the legal perspective penghibahan land under
Act No. 5 of 1960 on the Fundamentals of Agrarian and to determine the
factors underlying the grant of land. This
study uses normative juridical
research (literature study) is a scientific procedure to find the
truth based on scientific logic of the normative law. The
results suggest the reason someone
does penghibahan rights to land
because of various things, among others: (1)
The person does not have offspring, (2). The
person concerned will was not executed after the death,
(3) His son was old
enough to have the land, (4) The lack of justice
in the family.
Keywords: Land Grants, Law
Pendahuluan
Persoalan
tanah dalam kehidupan manusia merupakan persoalan yang multi kompleks baik dari
aspek ekonomi, sosial, budaya dan religius. Hal ini dapat dipahami bahwa,
sesungguhnya peranan tanah dalam kehidupan masyarakat adalah sebagai mata
rantai yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan ini terkait karena tanah dapat
diketahui sebagai hak milik yang paling berharga dan masyarakat atau manusia
sebagai individu akan mempertahankan hak miliknya yang paling berharga tersebut
dari ancaman pihak lain yang ingin memiliki tanah atau bahkan menguasai tanpa
adanya kesepakatan atau perjanjian terlebih dahulu antara kedua belah pihak
(Thoyib, 2001:40)
Tanah
sebagai bagian dari faktor produksi dan alas kelangsungan kehidupan dan
penghidupan manusia, di mana kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari
tanah, Bagi masyarakat Indonesia yang bercorak agraris hubungan manusia dengan
tanah sejak dahulu hingga sekarang menunjukan hubungan yang sangat erat dan
tidak dapat dipisahkan.
Dengan semakin bertambahnya
jumlah penduduk maka tanah semakin sempit dan sukar diperoleh. Oleh karena itu
sering terjadi sengketa tanah yang bermula dari cara memperoleh tanah yang
tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, seperti penyerobotan tanah ataupun
peralihan hak atas tanah secara tidak sah, karena obyek spekulasi, obyek
pemerasan, ataupun pemilik tanah terlibat perjanjian hutang piutang yang belum
lunas. Adanya pandangan tanah sebagai komoditi yang strategis ditujukan untuk
tersedianya tanah bagi sektor pembangunan yang tetap memperhatikan ekonomi
lemah perlu mendapatkan perhatian(Endang, 1996:95)
Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) yaitu Undang-Undang
Nomor 5 Tahun
1960 dalam ketentuan
pasal 4 ayat
(1) dan ayat (2) dinyatakan bahwa :
(1).
Atas dasar hak menguasai negara sehingga yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan
bumi, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
(2).
Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) ini memberikan wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta
ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang
dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Dalam
penjelasan umum UUPA pasal 4 ayat (1)
merupakan pelaksanaan daripada yang ditentukan dalam ketentuan pasal 2 UUPA
yaitu tentang Hak Menguasai dari Negara, berdasarkan hak menguasai ini maka menurut apa yang
ditentukan dalam pasal 2 UUPA, negara dapat mengatur adanya bermacam-macam hak
atas tanah. Sedangkan hak atas tanah
yang diatur dalam UUPA adalah hak atas tanah yang terdiri atas hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak membuka tanah dan hak memungut
hasil hutan dan lain-lain hak yang
ditentukan dengan undang-undang.
Berkaitan
dengan hak-hak di atas khususnya
mengenai hak milik di dalam proses peralihan hak tersebut baik melalui jual
beli, penukaran, hibah maupun pemberian wasiat didasarkan pada ketentuan
peraturan yang berlaku seperti yang dinyatakan dalam ketentuan pasal 26
UUPA yang berbunyi :
(1)
Jual
beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut hukum
adat dan perbuatan-perbuatan lain dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta
pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2)
Setiap
jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dalam
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung
memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seseorang warga negara yang
disamping kewarganegaraan Indonesia atau kepada suatu badan hukum dan tanahnya
jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya
tetap berlangsung serta semua pembayaran
yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.
Adanya proses
peralihan hak atas tanah sebagaimana
termuat dalam Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah,
harus didaftarkan untuk memperoleh kepastian hukum dan sebagai syarat formal
sebagaimana tertuang dalam Pasal 37
Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 yang berbunyi :
(1). Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas
satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar,hibah, pemasukan dalam
perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak
melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat
oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Dalam keadaan tertentu sebagaimana ditentukan oleh Menteri, Kepala Kantor
Pertanahan daftar mendaftar pemindahan hak atas bidang tanah hak milik, yang
dilakukan diantara perorangan warga negara Indonesia dibuktikan dengan akta
yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala kantor Pertanahan
tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak
tersebut.
Pasal
38
(1).
Pembuatan akta sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 ayat (1) dihadiri oleh para
pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan disaksikan oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat untuk bertindak
sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu.
(2). Bentuk, isi dan cara pembuatan akta-akta PPAT diatur
oleh Menteri.
Hibah (pemberian cuma-cuma) adalah suatu pemberian yang dilakukan oeh
seseorang kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan
pelaksanaannya pembagian biasanya dilakukan pada waktu si penghibah masih hidup
juga. Biasanya pemberian atau hibah tersebut tidak pernah dicela oleh sanak
keluarga yang tidak menerima hibah itu, oleh karena pada dasarnya seseorang
pemilik kekayaan berhak dan leluasa untuk memberikan harta bendanya kepada
siapapun juga. Berkaitan
dengan hibah terdapat beberapa hal yng perlu diperhatikan :
1.
Hibah
yaitu perjanjian sepihak yang dilakukan oleh penghibah ketika masih hidup untuk
memberian sesuatu barang dengan cuma-cuma
kepada penerima hibah.
2.
Hibah
dilakukan antara orang-orang yang masih hidup.
3. Hibah diisyaratkan dengan akta notaris (syarat formal)
Dalam hukum
adat syarat hibah cukup diucapkan dihadapan kerabat yang disaksikan kepala
persekutuan (Lurah/Kepala Desa/ketua Adat).
4. Hibah antara suami istri selama perkawinan dilarang kecuali barang yang
dihibahkan adalah barang bergerak yang harganya tidak terlampau mahal
(Nugroho,2010:36)
Adanya peralihan hak atas tanah
karena penghibahan (hibah tanah) yaitu memberian harta sebagian atau
keseluruhan kepada seseorang (biasanya masih dalam lingkup satu keluarga/kerabat)
di mana pewaris masih hidup sering terjadi dalam masyarakat, di mana perbuatan
hukum hibah dilakukan karena berbagai alasan. Antara lain karena tidak memiliki
keturunan atau karena alasan adanya kekawatiran kalau wasiat yang diberikan
tidak dilaksanakan. Untuk itu seseorang melakukan proses hibah tanah sebagai
bagian dari adanya proses peralihan hak atas tanah.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai
dalam penelitian ini yaitu :
1.
Untuk
menganalisa perspektif hukum penghibahan tanah
berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria
2.
Untuk
mengetahui faktor-faktor yang
melatarbelakangi terjadinya hibah tanah .
Manfaat
Penelitian
Penelitian ini
hasilnya diharapkan dapat beranfaat :
1.
Secara
teoritis memberikan sumbangan pemikiran, baik berupa konsep, pengembangan teori
dalam kasanah ilmu hukum khususnya hukum pertanahan dan hukum pewarisan adat.
2.
Untuk
memberikan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan seperti masyarakat pada
umumnya, Badan Pertanahan Nasional maupun pihak-pihak yang berkompeten dibidang
hukum pertanahan dan hukum pewarisan adat.
Metode
Penelitian
Penelitian ini metode
yang dipergunakan adalah metode penelitian
yuridis normatif (studi kepustakaan) yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah
untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya. Tipe penelitian ini dengan pendekatan peraturan perundang-undangan
dengan mengkaji bahan-bahan hukum, meliputi bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tertier. Dengan demikian penelitian hukum ini mencakup
penelitian atas asas-asas, sistem dan taraf sinkronisasi.
a. Sumber Data
Pada penelitian hukum normatif yang utama adalah data sekunder. Data
sekunder tersebut berupa bahan
kepustakaan yang berwujud (Sunggono, 2002:116).
1) Bahan hukum primer, yaitu
bahan-bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari :
a. UUD 1945.
b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
2). Bahan hukum
sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Contohnya :
Hasil karya ilmiah, makalah, dan
sebagainya.
3). Bahan hukum
tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun perjelasan terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya kamus hukum.
b. Pengumpulan dan Pengolahan Data
Setelah data dapat
dikumpulkan maka kemudian dilakukan pengelompokan data dilakukan pembahasan yang didasarkan
pada teori-teori yang masih ada dan relevan. Di dalam mencari data, baik yang
bersumber pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder , dan bahan hukum
tersier dilakukan melalui studi kepustakaan . Setelah diperoleh bahan hukum
yang diperlukan kemudian dihimpun, diinventarisasi yang sesuai dengan
permasalahan yang dibahas, selanjutnya
dilakukan pemisahan berdasarkan relevansi pokoknya.
c. Analisis Data
Setelah data-data berhasil dikumpulkan dengan lengkap dan
di pisah-pisahkan/diklasifikasikan sesuai dengan relevansi pokok permasalahan
kemudian dilakukan analisa data secara normatif kualitatif, yaitu untuk
membahas bahan penelitian yang datanya mengarah pada kajian yang bersifat
teoritik tentang konsep-konsep, kaidah hukum, doktrin-doktrin dan bahan hukum
lainnya. Selanjutnya data tersebut dipelajari dan dibahas sebagai suatu bahan
yang utuh dan dituangkan di dalam bahasan dengan sehingga menghasilkan data
yang diskriptif analitis.
Hasil
Penelitian Dan Pembahasan
Penghibahan Tanah
Perspektif Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria.
Penghibahan merupakan perjanjian yang digolongkan di dalam perjanjian “
cuma-cuma” , sehingga diartikan bahwa hibah
merupakan perjanjian sepihak. Hibah adalah suatu pemberian yang dilakukan oleh
seseorang kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan
pelaksanaannya pembagian biasanya dilakukan pada waktu si penghibah masih hidup
juga. Biasanya pemberian atau hibah tersebut tidak pernah dicela oleh sanak
keluarga yang tidak menerima hibah itu, oleh karena pada dasarnya seseorang
pemilik kekayaan berhak dan leluasa untuk memberikan harta bendanya kepada
siapapun juga.
Berkaitan dengan
hibah terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan:
- Hibah yaitu
perjanjian sepihak yang dilakukan oleh penghibah ketika masih hidup untuk
memberian sesuatu barang dengan cuma-cuma
kepada penerima hibah.
- Hibah dilakukan
antara orang-orang yang masih hidup.
-
Hibah diisyaratkan
dengan akta notaris (syarat formal)
-
Dalam hukum adat syarat
hibah cukup diucapkan dihadapan kerabat yang disaksikan kepala persekutuan
(Lurah/Kepala Desa/ketua Adat).
-
Hibah antara suami istri
selama perkawinan dilarang kecuali barang yang dihibahkan adalah barang
bergerak yang harganya tidak terlampau mahal (Nugroho, 2010: 45)
Perjanjian penghibahan hanya dapat dilakukan apabila si penghibah masih hidup ( di waktu
hidupnya ). Hal ini membedakan dari pemberian-pemberian yang dilakukan dalam
hibah wasiat atau testament ( Surat
Wasiat ) yang baru akan mempunyai kekuatan hukum setelah pemberi wasiat
meninggal. Dalam hibah seseorang bukan ahli waris seseorang dapat menerima
hibah dan untuk menerima hibah di bolehkan belum dewasa, tetapi ia harus
diwakili oleh orang tuannya atau walinya.
Menurut pasal 1682 dan 1687 KUH Perdata menentukan :
“ Bahwa untuk penghibahan benda tak bergerak ditetapkan dengan formalitas
di dalam bentuk akte notaris” (Subekti,
2004:133)
Tetapi sesudah keluarnya UUPA, maka penghibahan hak milik atas tanah harus
di buat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Notaris, di mana PPAT
ini pada umumnya dirangkap oleh para notaris. Jadi secara formal hibah harus dilakukan
dihadapan notaris untuk memenuhi syarat
formalnya guna menjaga adanya kepastian hukumnya.
Surojo Wigyodipuro (1983:117) menyatakan bahwa :
”Secara hukum adat hibah merupakan kebalikan dari harta peninggalan yang
tidak dapat dibagi-bagi, adalah suatu perbuatan penghibahan (pewarisan, hibah
dalam hukum waris adat termasuk pewarisan), yaitu pembagian keseluruhan ataupun
sebagian dari harta peninggalan kekayaan semasa pemiliknya masih hidup. Adapun
dasar pokok atau motif dari pada penghibahan adalah tidak berbeda dengan motif
daripada tidak memperbolehkannya membagi-bagi harta peninggalan kepada ahli
waris yang berhak, yaitu harta kekayaan somah yang merupakan dasar kehidupan
materiil yang disediakan bagi warga kerabat yang bersangkutan beserta keturunannya.”
Perlu menjadi perhatian dalam masalah hibah ini adalah penghibahan sebidang
tanah kepada seseorang anak merupakan suatu transaksi tanah. Tetapi bukan
merupakan transaksi jual beli melainkan suatu transaksi pengoperan tanah atau peralihan hak atas tanah
dalam lingkungan keluarga. Oleh karena merupakan suatu transaksi tanah maka
penghibahan tanah harus dilakukan dengan
bantuan kepala desa/lurah supaya perbuatan hukum tersebut menjadi sah dan
terang. Dan diteruskan ke notaris untuk proses peralihanannya sehingga terjamin
oleh hukum.
Lain dari pada itu sesuai Keputusan
Mahkamah Agung Tanggal 23 Agustus 1960 Reg. No. 225 k/Sip/1960 tentang hibah
ditetapkan sebagai berikut :
1. Hibah tidak memerlukan persetujuan ahli waris.
2. Hibah tidak mengakibatkan ahli waris dari sipenghibah tidak berhak lagi
atas harta peninggalan dari si penghibah.
Apabila seseorang akan menghibahkan hak milik atas tanah, maka para pihak
yaitu calon penerima dan pemberi hibah datang ke kantor desa setempat dengan
membawa surat-surat bukti pemilikan tanahnya dan mengutarakan maksudnya kepada
kepala desa atau dengan membuat akta penyerahan hibah dihadapan Kepala Desa.
Setelah itu para pihak dan kepala desa menghadap PPAT atau Notaris dengan membawa surat-surat sebagai berikut :
1.
Akta
hibah (belum ditandatangani para pihak)
2.
Surat
pernyataan pemilikan tanah pemohon yang diketahui oleh kepala desa.
3.
Sertifikat
hak atas tanah.
4.
Surat
permohonan balik nama.
5.
Surat-surat
yang diperlukan lainnya
Apabila semua
persyaratan telah terpenuhi, maka diadakan sidang yang dihadiri para pihak (
calon pemberi dan penerinma hibah ) dan para saksi yang menanyakan pada para
pihak akan persyaratan tersebut. Apabila tidak ada halangan ( misalnya
persengketaan ) dan tak ada keragu-raguan lagi maka diadakan penndatanganan
akta tersebut.
Dalam akta hibah ini, berisikan antara lain : Nomor, hari, tanggal, tahun
di mana para pihak datang menghadap notaris (PPAT). Dan bagian lain juga
disebutkan antara lain :
1.Mulai hari ini tanah hak dan bangunan serta tanaman
yang diuraikan dalam akta ini telah diserahkan kepada yang menerima hibah, yang
mengaku pula telah menerima penyerahan
ini dan segala keuntungan yang didapat serta tanaman itu menjadi hak /
tanggungan yang menerima hibah.
2. Kedua pihak mengetahui benar apa yang telah dihibahkan
itu dan melepaskan dengan segala tuntutan bila kelak terdapat perbedaan luas
tanah dengan hasil pengukuran resmi dari
kantor Badan Pertanahan Nasional/kantor Agraria
3. Ongkos pembuatan akta ini, uang saksi dan segala biaya
mengenai peralihan hak milik ini dipikul oleh orang yang menerima hibah .
Setelah akta hibah selesai dibuat, maka Notaris (PPAT) dapat mengurus
pendaftarannya sampai memperoleh sertifikatnya. Akan tetapi yang bersangkutan
dapat juga mengurusnya sendiri tanpa melalui PPAT.
Setelah akta tersebut dibuat, maka oleh Kepala desa dihadapkan ke notaris
(PPAT) atau oleh pihak yang bersangkutan dapat memohon blangko pendaftaran
tanah kepada Kantor Pertanahan Nasional (Agraria) setempat. Blangko yang telah
diisi dan ditandatangani pemohon di atas materai kemudian dimintakan legalisir
pada Camat dan Kepala Desa. Kemudian petugas dari BPN menerima dan meneliti
kelengkapan dan kebenaran isian. Setelah itu mencatatnya dan membuatkan SKTP (
Surat Keterangan Pendaftaran Tanah ) yang berfungsi sebagai keterangan status
tanah dan segala kedaan serta rincian biaya pendaftaran.
Selanjutnya pemohon
mendapat surat bukti tada penerima berkas permohonan sertifikat tanah yang
dibubuhi tanda tangan si penerima berkas dan dengan Kantor Pertahanan serta
tanggal, tahun penerimaan berkas setelak biaya pendaftaran dibayar dan
berkas-berkas pembukuan sudah diterima di Kantor Pertanahan Nasiona serta
dibukukan pada daftar isian lalu dibuat daftar pengumuman. Daftar ini dikirim
ke Kantor Kecamatan dan Kantor Kepala Desa dalam waktu dua kali dalam dua
bulan. Maksud pengumuman adalah untuk memberikan kesempatan kepada anggota
masyarakat guna mengajukan keberatan-keberatan sehubungan akan diterbitkannya
sertifikat tanah atas pemohon di atas. Apabila tidak ada keberatan tentang akan
diterbitkannya sertifikat hak atas tanah, maka dibuat sertifikat hak atas
tanah.
Hibah tanah dalam teori pada dasarnya dilakukan
sebagai berikut :
1.
Pemberi
dan penerima hibah datang ke Notaris (PPAT) dan menyatakan maksudnya menghibahkan
tanah.
2.
Penerima
hibah juga dapat membuat surat yang menyatakan ia akan menghibahkan hak atas
tanahnya pada orang lain (disebut identitasnya ).
3.
Kemudian
untuk memperoleh sertifikat hak atas tanah si penerim hibah atau lewat notaris
(PPAT) mendaftarkan haknya di Kantor Pertanahan setempat.
Karena penghibahan
hak milik atas tanah pada dasarnya
memang dapat dilakukan sendiri oleh para pihak termasuk permohonan pendaftaran
tanah atas peralihan hak atas tanah tersebut
guna menjamin kepastian haknya.
Hal tersebut sesuai
dengan apa yang diamanatkan dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUPA berbunyi sebagai berikut:
“Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebannya dengan
hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam
pasal 19.”
Peraturan
Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Pasal 37 ayat (1) dan (2) yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal
37
(1).
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual
beli, tukar menukar,hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum
pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat
didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Dalam keadaan tertentu sebagaimana
ditentukan oleh menteri, Kepala Kantor Pertanahan daftar mendaftar
pemindahan hak atas bidang tanah hak milik, yang dilakukan diantara perorangan
warga negara Indonesia dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT,
tetatpi yang menurut Kepala kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya
dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak tersebut.
Faktor - Faktor yang Melatarbelakangi Terjadinya Hibah
Tanah.
Seseorang dapat memperoleh hak milik atas tanah karena hibah, apabila si
pemberi hibah dan penerima hibah tersebut
dalam keadaan masih hidup. Berdasarkan hasil penelitian penulis dapat dianalisa
sebab-sebab orang menghibahkan hak milik
atas tanahnya dikarenakan alasan sebagai berikut :
1.
Orang tidak mempunyai keturunan
Dalam hal ini apabila
pemberi hibah tidak mempunyai keturunan, sehingga apabila ia meninggal maka
harta bendanya tidak ada mewaris. Atau kalau ia sudah tua tidak ada yang
mengurus dirinya dan hartanya, maka sebagai jalan ditempuh penghibahan hak
milik atas tanahnya kepada orang lain dengan harapan apabil ia meninggal atau sudah tua ada orang yang mengurus
hartanya juga dirinya.
2. Orang khawatir kalau wasiatnya tidak dilaksanakan
Dalam hal ini penghibahan terjadi apabila si pemberi hibah khawatir,
apabila ia meninggal dunia wasitnya tak dijalankan oleh keluarganya. Maka
dengan itu ia menghibahkan tanahnya tersebut, Selagi ia masih hidup.
3.
Anak
sudah cukup memiliki tanah
Dalam hal ini
penghibahan terjadi apabila pemberi
hibah memandang anaknya sudah memiliki tanah dan memandang anaknya yang
lain tidak mempunyai tanah.
4.
Kurangnya
keadilan dalam keluarga
Dalam hal ini
penghibahan terjadi apabila pemberi hibah merasa khawatir bila ia meninggal
akan terjadi persengketaan di dalam keluarganya, maka untuk menghilangkan
kekhawatiran tersebut, selagi masih hidup ia menghilangkan semua
harta-hartanya.Sehingga setelah ia meninggal sudah tidak ada harta warisan lagi
karena sudah dihibahkan semuanya. Dengan demikian setelah ia meninggal sudah
ada ketentraman hati dan tidak ada persengketaan mengenai hak atas tanahnya.
Dalam pelaksanaan
hibah tanah ini, Kepala Desa mempunyai peranan yang sangat penting di dalam
penghibahan hak milik atas tanah, sebab Kepala Desa merupakan pejabat yang
mengetahui keadaan di daerahnya dan keadaan pemberi hibah serta status tanah
yang bersangkutan di desanya,. Sehingga
setiap penghibahan hak milik atas tanah harus melalui Kepala Desa,. Kepala Desa
juga berperan sebgai saksi dalam pembuatan akta penghibahan hak milik atas tanah.
Menurut kenyataan di
dalam praktek Kepala Desa merupakan pejabat yang tahu persis keadaan di
daerahnya sehingga semua peralihan hak atas tanah di desa selalu melalui Kepala
Desa. Kepala desa ini merupaka pejabat yang berperan dalam hal kesaksian pembuat
akta penghibahan hak milik atas tanah yang didaftarkan di Kantor Pendaftaran
tanah Kabupaten/Kota
Adapun alasan masyarakat melakukan peralihan hak atas tanah dihadapan
kepala desa dikarenakan :
1. Agar perbuatan hukum peralihan hak atas tanah menjadi terang
Menurut
konsepsi hukum adat bahwa perbuatan peralihan han atas tanah dikatakan terang jika perbuatan tersebut
dilakukan dihadapan kepala desa dan disaksikan oleh beberapa saksi, untuk
memastikan perbuatan bahwa perbuatan
tersebut tidak melanggar ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Dengan
melakukan jual beli tanah dihadapan kepala desa , maka perbuatan tersebut
merupakan perbuatan yang terang bukan perbuatan yang gelap (sembunyi-sembunyi).
2.
Dikawatirkan
terjadi sengketa.
Hal ini sangat berkaitan dengan alasan
agar memperoleh perlindungan hukum jika terjadi sengketa. Pada umumnya tanah
yang dialihkan itu merupakan tanah yang masih atas nama nenek moyang yang sudah
meninggal dunia, sedangkan pihak yang mengalihkan itu adalah ahli warisnya
sehingga untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari, para
pihak meminta bantuan kepala desa untuk menyaksikan perjanjian peralihan hak
atas tanah tersebut, sehingga penerima hak atas tanah lebih terjamin dan mendapatkan perlindungan hukum.
3. Agar memperoleh perlindungan hukum jika terjadi sengketa.
Untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari dalam pelaksanaan peralihan hak atas
tanah masyarakat disamping adanya unsur
kepercayaan juga mereka melibatkan kepala desa
untuk menyaksikan, agar apabila terjadi sengketa dikemudian hari para pihak dapat memperoleh perlindungan hukum.
Kesimpulan
1.
Pelaksanaan peralihan
hak atas tanah karena hibah dilakukan di mana si pewaris dan ahli waris dalam
keadaan masih hidup, mereka menghadap Kepala Desa untuk menyampaikan maksud penghibahan yang
dituangkan dalam bentuk akta hibah. Adapun alasan masyarakat melakukan peralihan
hak atas tanah (hibah tanah) di hadapan Kepala Desa yang kemudian menghadap
notaries karena : (1) Agar perbuatan peralihan menjadi terang, (2).
Dikawatirkan terjadi sengketa dikemudian hari dan (3). Adanya perlindungan
hukum.
2.
Adapun
alasan seseorang melakukan penghibahan hak milik atas tanah dikarenakan
berbagai hal, antara lain : (1) Orang tersebut tidak mempunyai keturunan, (2).
Orang khawatir wasiatnya tidak dilaksanakan setelah meninggal, (3) Anaknya
sudah cukup mempunyai tanah, (4) Kurangnya keadilan dalam keluarga.
Saran-Saran
1.
Pelaksanaan
peralihan hak atas tanah termasuk penghibahan tanah mestinya dilakukan
dihadapan Notaris sehingga memenuhi
syarat formal dan didaftarkan terhadap peralihan hak tersebut sehingga dapat
memberikan kepastian hukumnya.
2.
Perlunya
peningkatan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya pendaftaran tanah dengan melakukan penyuluhan dan penerangan
hukum sehingga masyarakat akan mengetahui hak dan kewajibannya.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang
Sunggono, (2002), Metode Penelitian Hukum,
Rajawali Press, Jakarta.
Endang
Suhendar, (1996), Tanah Sebagai Komoditi
Strategis, ELSAM, Jakarta.
Subekti,
(2004), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Pradnya Paramita, Jakarta.
Sigit
Sapto Nugroho, (2010) Diktat Hukum Waris
Adat, Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun, , Tidak dipublikasikan.
Surojo
Wigjodipuro, (1983), Pengantar dan Asas-Asas
Hukum Adat, Gung Agung, Jakarta.
Thoyib
Sugiyanto, (2001), Hukum Agraria, Universitas Brawijaya, Malang.
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang
No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria
Peraturan Pemerintah
No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar