
Perspektif Hukum & Kebijakan dalam
Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA)
2.1
. Indonesia Kaya
Sumber Daya Alam (SDA)
Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya
dengan sumber daya alam3 Sumber daya alam yang terbarukan (renewable)
maupun yang tak terbarukan (non renewable) serta yang berbentuk
modal alam (natural resources stock), seperti daerah aliran sungai,
danau, kawasan lindung, pesisir, dll. atau dalam bentuk komoditas seperti kayu,
rotan, mineral dan gas bumi, ikan, dll. terdapat merata hampir di seluruh
wilayah Indonesia.
Hutan tropis (tropical rain forest) Indonesia
adalah terluas kedua di dunia. Hutan yang diperkirakan luasnya mencapai 144
juta hektar, atau sekitar 74 % dari luas daratan Indonesia (Kantor MENLH, 1990;
Nurjaya, 1993). Hutan tropis Indonesia menyimpan keanekaragaman hayati (biodiversity)
terkaya di dunia, yang melipufi 1500 jenis burung, 500 jenis mamalia, 21
jenis repril, 65 jenis ikan air tawar, dan 10 ribu jenis terumbuhan tropis
(More, 1994). Garis pantai Indonesia sepanjang 81 ribu kilometer menjadikan
Indonesia sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia.
Perairan yang luas menyediakan wadah yang nyaman bagi pertumbuhan populasi
ikan. Potensi maksimum perikanan laut Indonesia berkisar antara 6,7 sampai 7,7
metrik ton. Terumbu karang dengan 70 genus yang ada merupakan wujud
keanekaragaman koral terbesar di dunia (Choi & Hutagalung, 1998). Demikian
pula, sumber daya mineral yang terkandung di dalam perut bumi Indonesia,
seperti emas, tembaga, baru bara, perak, nikel, timah, bauksit, dll. Merupakan
kekayaan alam bumi Nusantara (Kantor MENLH, 2000; Bachriadi, 1998).
Kekayaan sumber daya alam Indonesia dipahami
pemerintah sebagai modal penting dalam penyelenggaraan pembangunan nasional.
Karena itu, atas nama pembangunan yang diabdikan pada pengejaran target
pertumbuhan ekonomi (economic growth development), demi peningkatan
pendapatan dan devisa negara (state revenue), maka pemanfaatan
sumberdaya alam dilakukan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip keadilan,
demokratis, dan keberlanjutan fungsi sumberdaya alam. Implikasi yang
ditimbulkan dari praktik-praktik pemanfaatan sumber dayaalam yang mengedepankan
pencapaian pertumbuhan ekonomi semata adalah secara perlahan tetapi pasti
menirnbulkan kerusakan dan degradasi kuantitas maupun kualitas,, sumberdaya
alam, yang meliputi : (a) laju kerusakan hutan mencapai 1,8 juta hektar per
tahun dan sejumlah spesies hutan tropis terancam punah akibat eksploitasi
sumberdaya hutan yang tak terkendali; (b) sekitar 70 % terumbu karang mengalami
kerusakan serius akibat endapan erosi. pengambilan batu karang, penangkapan
ikan yang menggunakan bom atau racun (sianida), dan pencemaran air laut oleh
limbah industri; (c) sekitar 64 % dari total hutan mangrove seluas 3 juta
hektar mengalami kerusakan yang serius akibat penebangan liar untuk kayu bakar
dan dikonversi menjadi areal pertambakan; (d) kegiatan pertambangan yang
dilakukan secara besar-besaran telah mengubah bentang alam, yang selain merusak
tanah juga menghilangkan vegetasi yang berada diatasnya. Lahan-lahan bekas
pertambangan membentuk kubangan-kubangan raksasa, sehingga hamparan tanah
menjadi gersang dan bersifat asam akibat limbah tailing dan batuan
limbah yang dihasilkan dari kegiatan pertambangan (Nurjaya, 1993; Choi &
Huiagalung, 1998; More, 1994; Bchahriadi, 1998; Kantor MENLH, 2000).
Dari sisi lain, pemanfaatan sumber daya alam
yang semata-mata mementingkan target peningkatan pendapatan dan devisa negara
juga menimbulkan implika sosial dan budaya yang cukup memperihatinkan. Banyak
konflik uiengenai hak penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam antara
masyarakat adat/lokal dengan pemerintah atau pemegang konsesi hutan dan
pertambangan terjadi di berbagai kawasan Indonesia. Kemiskinan juga mewarnai
kehidupan masyarakat adat/lokal di tempat-tempat di mana berlangsung
kegiatan-kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam. Demikian pula, berbagai bentuk
pelanggaran hak-hak asasi manusia, terutama hak-hak masyarakat adat/lokal
mengiringi praktik-praktik pemanfaatan sumber daya alam selama tiga dekade
terakhir ini (Bodley, 1982; Poffenberger, 1990; Peluso, 1992; Reppeto &
Gillis, 1982; Bachriadi, 1998; Nurjaya, 2000).
Jika dicermati secara substansial,
persoalan-persoalan yang muncul dalam pemanfaatan sumber daya dalam seperti
diuraikan di atas sesungguhnya bersumber dari anutan paradigma pengelolaan
sumberdaya alam yang bercorak sentralistik, berpusat pada negara (state-based
resource management), mengedepankan pendekatan sektoral dan mengabaikan
perlindungan hak-hak asasi manusia. Paradigma seperti ini selain tidak
mengutamakan kepentingan konservasi dan perlindungan serta keberlanjutan fungsi
sumber daya alam, juga tidak secara utuh memberi ruang bagi partisipasi
masyarakat „ serta mengabaikan hak-hak masyarakat adat/lokal atas
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Implikasinya, dari segi ekonomi
menghilangkan sumber-sumber ekonomi bagi kehidupan masyarakat adat/lokal (economic
resources loss)', dari segi sosial dan budaya secara nyata telah
merusak sistem pengetahuan, teknologi, institusi, tradisi, dan religi
masyarakat/lokal (social and cultural loss); dari segi ekologi
menimbulkan kerusakan dan degradasi kualitas maupun kuantitas sumberdaya alam (ecological
loss); dan dari segi politik pembangunan hukum telah mengabaikan fakta
pluralisme hukum (legal pluralism) dalam penguasaan dan pemanfaatan
sumber daya alam yang secara nyata hidup dan berkembang dalam masyarakat
(Nurjaya, 2000).
Dari perspektif hukum dan kebijakan, maka
cerminan dari anutan paradigma seperti di atas secara jelas dapat dicermati
dari substansi dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pengelolaan sumber daya alam, seperti Undang-Undang Agraria (1960), Undang-Undang
Pertambangan (11/1967) diganti Undang-Undang Minerba(4/2009), Undang-Undang Pengairan (11/1974)
diganti Undang-Undang Sumber Daya Air (7/2004), Undang-Undang
Perikanan (1985) diganti dengan Undang-Undang (31/2004), Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati (5/1990), dan Undang-Undang Kehutanan (41/1999), yang diproduk pemerintah dalam kurun
waktu lebih dari 4 dasa warsa terakhir ini.
Dalam buku
sederhana ini mencoba untuk
mengkaji secara kritis karakteristik dari perundang-undangan yang digunakan
sebagai instrumen hukum dalam pengelolaan sumber daya alam, prinsip-prinsip
global pengelolaan sumberdaya alam dan implikasinya bagi politik pembangunan
hukum nasional, diskusi dan rekomendasi untuk mencapai tujuan pengelolaan
sumber daya alam yang berkeadilan, demokratis, dan berkelanjutan sebagaimana
diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam .
2.2.Karakteristik Perundang-Undangan Mengenai Pengelolaan
Sumber Daya Alam
Instrumen hukum yang berkaitan dengan sumber
daya alam dalam sistem hukum hukum Indonesia seperti : (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria; (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan jo Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba; (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan jo Undang-Undang
Nomor 7 tahun 2004 Tentang Sumber Daya
Air; (4) Undang-Undang Nomor 9 Tahum 1985 tentang
Perikanan jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004 tentang Perikanan ; dan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
pada dasarnya memiliki karakteristik dan kelemahan-kelemahan substansial
seperti berikut:
1.
Berorientasi pada eksploitasi sumber
daya alam (resources use-oriented) sehingga mengabaikan kepentingan
konservasi dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam, karena hukum semata-mata
digunakan sebagai perangkat hukum (legal instrument) untuk mendukung
pencapaian target pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan peningkatan
pendapatan dan devisa negara;
2.
Berorientasi dan berpihak pada
pemodal-pemodal besar (capital oriented), sehingga mengabaikan akses dan
kepentingan serta mematikan potensi-potensi perekonomian masyarakat adat/lokal;
3.
Menganut ideologi penguasaan dan
pemanfaatan sumber daya alam yang berpusat pada negara/pemerintah (state-based
resource management), sehingga orientasi pengelolaan sumberdaya alam
bercorak sentralistik;
4.
Manajemen pengelolaan sumber daya alam
menggunakan pendekatan sektoral, sehingga sumber daya alam tidak dilihat sebagai
sistem ekologi yang terintegrasi (ecosystem);
5.
Corak sektoral dalam kewenangan dan
kelembagaan mennyebabkan tidak adanya koordinasi dan keterpaduan antar sektor
dalam pengelolaan sumber daya alam; dan
6.
Tidak diakui dan dilindunginya hak-hak
asasi manusia secara utuh, terutama hak-hak masyarakat adat/lokal dan
kemajemukan hukum dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Dalam perkembangan selanjutnya, setelah
pemerintah menyadari adanya berbagai kelemahan substansial di atas, maka
sejumlah upaya perbaikan dilakukan dengan membuat undang-undang baru seperti :
(1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya; (2) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang yang diganti dengan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang ; dan (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup yang diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun demikian,
persoalan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya alam masih belum terjawab dalam
substansi maupun implementasi dari undang-undang tersebut, karena masih
ditemukan kelemahan-kelemahan seperti berikut:
1.
Pemerintah masih mendominasi peran
dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam (state-dominated resource
management);
2.
Keterpaduan dan koordinasi antar
sektor masih lemah; ketiga, pendekatan dalam pengelolaan tidak komprehensif;
3.
Hak-hak masyarakat adat/lokal atas
penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam belum diakui secara utuh;
4.
Ruang bagi partisipasi masyarakat
dalam pengeloaan sumberdaya alam masih diatur secara terbatas; dan
5.
Transparansi dan akuntabilitas
pemerintah kepada publik dalam pengelolaan sumber daya alam belum diatur
secara tegas.
Sementara itu, beberapa undang-undang seperti
: (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994
tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati; (2) Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diganti Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah; dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia,
mengatur prinsip-prinsip penting yang mendukung pengelolaan
sumber daya alam yang adil, demokratis, dan berkelanjutan. Tetapi,
prinsip-prinsip global pengelolaan sumber daya alam antara lain seperti :
konservasi dan keberlanjutan fungsi sumberdaya alam, transparansi dan
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam, desentralisasi, dan
pengakuan dan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat/lokal, belum
terakomodasi dan terintegrasi dalam undang-undang yang berkaitan dengan
pengelolaan sumber daya alam yang telah ada.
Karena itu, persoalan-persoalan mendasar dalam
pengaturan mengenai pengelolaan sumber daya alam yang berpotensi mengancam
keberlanjutan fungsi sumberdaya alam dan kelangsungan hidup bangsa perlu segera
diselesaikan. Salah satu agenda nasional yang mendesak untuk direalisasikan
untuk menjamin kelestarian dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam,
meningkatkan partisipasi masyarakat, transparansi dan mendukung proses
demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam, menciptakan koordinasi dan
keterpaduan antar sektor, serta mendukung terwujudnya good environmental
governance4, adalah membentuk undang-undang pengelolaan sumber
daya alam yang mencerminkan prinsip-prinsip keadilan, demokratis,
dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam.
2.3. Ideologi Penguasaan Dan
Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Landasan konstitusional
untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang mencerminkan prinsip
keadilan, demokrasi, dan berkelanjutan sumber daya agraria adalah Alinea IV
Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan: “........ Kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan turut serta menciptakan perdamaian
dunia yang abadi .....dst.”yang selanjutnya diformulasi dalam Pasal 33 ayat
(3) yang menyatakan: ”Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Jabaran lebih lanjut dari
ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria seperti dimaksud di
atas dituangkan dalam Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam;
Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional; Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun
2004 – 2009; dan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 -
2025. Dalam konsideran Menimbang Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam secara eksplisit dinyatakan:
”........peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam saling
tumpang tindih dan bertentangan; oleh karena itu pengelolaan sumber daya
agraria dan sumber daya alam yang adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan
harus dilakukan dengan cara terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika,
aspirasi dan peran serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik”.
Prinsip-prinsip
yang harus diakomodasi dalam peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan
sumber daya alam (Pasal 4 Ketetapan MPR RI No.
IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam) adalah sebagai berikut:
a.
Memelihara dan
mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.
Menghormati dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c.
Menghormati
supremasi hukum dengan mengakomodasi
keanekaragaman dalam unifikasi hukum;
d.
Mensejahterakan
rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia;
e.
Mengembangkan
demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi
masyarakat;
f.
Mewujudkan
keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan,
pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam;
g.
Memelihara
keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi
sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan
daya dukung lingkungan;
h.
Melaksanakan
fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial
budaya setempat;
i.
Meningkatkan
keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dan antar daerah dalam
pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam;
j.
Mengakui,
menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya
bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam;
k.
Mengupayakan
keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi,
kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu;
l.
Melaksanakan
desentralisasi berupa pembagian kewewenangan di tingkat nasional, daerah
provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan
alokasi dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam.
Dengan demikian, jika dikemas ringkas maka prinsip-prinsip yang dimaksud di
atas pada dasarnya meliputi tiga prinsip
dasar, yaitu keadilan, demokrasi, dan
keberlanjutan sumber daya agraria/sumber daya alam, dengan pemahaman seperti berikut: (a) prinsip Keadilan merujuk pada
kebijakan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam harus direncanakan, dilaksanakan, dimonitoring, dan dievaluasi secara
berkesinambungan untuk memenuhi keadilan inter-antar generasi, keadilan gender,
termasuk keadilan dalam alokasi dan distribusi sumber daya agraria; (b) prinsip
Demokrasi mengacu pada kebijakan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam yang mendesentralisasi kewenangan pusat ke
daerah, akses informasi yang terbuka bagi rakyat, ruang bagi partisipasi
semua pemangku kepentingan (stakeholder),
transparansi dalam penyusunan kebijakan, pertanggungjawaban kepada publik (public acountability), koordinasi dan
keterpaduan antar sektor, penyelesaian konflik secara bijaksana, pengakuan dan
perlindungan terhadap hak rakyat atas
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria/sumber daya alam; dan (c) prinsip Berkelanjutan adalah kebijakan penguasaan harus mampu
menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya agraria/sumber daya alam dengan melakukan konservasi, pemahaman tentang makna sumber daya yang tak
terbarukan (nonrenewable),
keterbatasan daya dukung dan daya tampung (carrying
capacity), serta keterbatasan kemampuan sumber daya agraria/sumber daya alam.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kebijakan penguasaan dan
pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam perlu mengintegrasikan prinsip-prinsip penting dalam pembangunan yang
berkelanjutan (sustainable development)
seperti berikut :
Prinsip Pertama: Sumber daya agraria/sumber daya alam harus dimanfaatkan dan dikelola untuk tujuan kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat secara berkelanjutan dari generasi ke generasi;
Prinsip Kedua: Sumber daya alam harus dimanfaatkan dan dialokasikan secara adil dan
demokratis secara inter-antar generasi
dalam kesetaraan gender;
Prinsip Ketiga: Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam harus mampu menciptakan kohesivitas sosial, mampu melindungi dan
mempertahankan eksistensi budaya lokal, termasuk tatanan hukum yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat;
Prinsip Keempat: Pengelolaan sumber daya agraria harus dilakukan dengan pendekatan
ekosistem (ecosystem) untuk mencegah
terjadinya praktik-praktik pengelolaan yang bersifat parsial, ego-sektoral atau ego-daerah, tidak terpadu
dan terkoordinasi;
Prinsip Kelima: Kebijakan dan praktik-praktik pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam harus bersifat spesifik lokal, disesuaikan dengan ekosistem daerah dan
tatanan kehidupan sosial-budaya masyarakat setempat.
Kelima prinsip dasar di atas satu sama lain saling terkait dan melengkapi,
sebagai satu kesatuan yang mengandung makna bahwa pemanfaatan dan pengelolaan
sumber daya agraria/sumber daya alam dimaksudkan untuk mewujudkan kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan rakyat
secara berkeadilan dan berkelanjutan sesuai amanat UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 berbasis kemajemukan budaya serta keutuhan bangsa
Indonesia. Karena itu, pemerintah pada
dasarnya sekadar berperan sebagai administrator dan fasilitator yang
berkewajiban untuk: (a) mendorong peningkatan kapasitas masyarakat dalam
pengelolaan sumber daya agraria; (b) menjamin adanya pengakuan dan perlindungan
hak-hak rakyat atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria/sumber daya alam; (c) mengakui dan melindungi modal sosial dan budaya (socio-cultural capital) seperti etika sosial, kearifan lingkungan,
sistem religi, maupun pranata-pranata sosial
yang hidup dalam masyarakat; dan (d) mengakui keberadaan tatanan hukum
rakyat (folk law) atau hukum adat (adat law) selain eksistensi hukum negara
(state law) sebagai fakta kemajemukan hukum di Indonesia.
Jika dicermati dari karakteristik
peraruran perundang-undangan yang berkaitan dengan sumber daya alam seperti
diuraikan pada bagian terdahulu, maka dapat dikritisi bahwa prinsip-prinsip
global pengelolaan sumber daya alam yang bernuansa adil, demokratis, dan
berkelanjutan belum secara utuh dan tegas diakomodasi dan diintegrasikan dalam
kaidah-kaidah hukum pengelolaan sumber daya alam yang ada.
Ideologi penguasaan dan pemanfaatan
sumber daya alam yang tercermin dalam peraturan perundang-undangan masih
bercorak sentralisrik dengan mengacu pada manajemen yang berpusat pada
negara/pemerintah (state-based resource management). mengedepankan
pendekatan sektoral, berorientasi pada eksploitasi dengan mengabaikan
kepentingan konservasi dan keberlanjutan sumber daya alam demi pencapaian
target pertumbuhan ekonomi (economic oriented), mengutamakan kepentingan
pemodal-pemodal besar (capital oriented), hak-hak asasi masyarakat belum
diakui dan dilindungi secara utuh, membatasi ruang bagi partisipasi masyarakat
dan transparansi dalam pembuatan kebijakan, tidak mengatur secara tegas
mengenai akuntabilitas publik dalam pengelolaan surnber daya alam, dan juga
mengabaikan fakta kemajemukan hukum (legal pluralism) yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat.
Guna mengakhiri
atau setidak-tidaknya mengeliminasi praktik-praktik penguasaan dan pemanfaatan
sumber daya agraria yang bercorak sentralistik, eksploitatif, sektoral, dan
bernuansa represif, dalam rangka mewujudkan tata pengelolaan lingkungan hidup yang baik (good environmental governance) dalam
pembangunan nasional yang berkelanjutan, maka perlu adanya reformasi paradigma
politik pembangunan hukum nasional yang semula bercorak sentralisme hukum (legal centralism) ke anutan ideologi
pluralisme hukum (legal pluralism),
sebagai prinsip dasar yang memberi ruang secara proporsional bagi pengakuan
fakta kemajemukan sistem hukum dalam masyarakat, khususnya dalam penguasaan dan
pemanfaatan sumber daya agraria.
Jika prinsip-prinsip pengelolaan
sumber daya agraria seperti dimaksud di atas
diakomodasi dan diintegrasikan ke dalam instrumen hukum nasional, maka
substansi perundang-undangan yang mengatur penguasaan dan pemanfaatan sumber
daya agraria semestinya mencerminkan karakter seperti berikut:
1.
Orientasi pemanfaatan bukan pada
eksploitasi (use-oriented), tetapi
untuk kepentingan konservasi (resources-oriented)
yang menjamin kelestarian dan keberlanjutan sumber daya agrarian bagi
kepentingan inter-antar generasi.
2.
Pengelolaan bercorak komprehensif,
holistik dan terintegrasi (komprehensif-integral), karena sumber daya agraria
merupakan satu kesatuan ekologi (ecological
system) yang menjadi sumber dan dapat mempengaruhi kehidupan manusia.
3.
Mengatur mekanisme koordinasi dan
keterpaduan antar sektor dalam pengelolaan
sumber daya agraria.
4.
Menganut ideologi pengelolaan sumber
daya yang berbasis masyarakat (community-based
agrarian resource management).
5.
Menyediakan ruang bagi partisipasi
publik yang sejati (genuine public
participation) dan transparansi pembuatan kebijakan pengelolaan sumber daya
agraria.
6.
Memberi ruang bagi pengakuan yang
hakiki dan perlindungan hak rakyat atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya
agraria.
7.
Mengatur mekanisme
pengawasan dan akuntabilitas publik dalam pengelolaan sumber daya agraria
secara lebih eksplisit.
8.
Mengakui
keberadaan tatanan hukum rakyat (folk law)
sebagai entitas hukum (legal entity)
dalam sistem hukum Indonesia, khususnya tatanan hukum adat yang secara nyata
hidup dan didayagunakan dalam wujud kearifan lingkungan (environmental wisdom) masyarakat adat setempat.
2.4.
Kaji Ulang
Terhadap Peraturan Perundangan di Bidang SDA (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
Tentang UUPA)
UUPA adalah produk hukum nasional pertama yang
mengatur tentang sumber daya alam. UUPA mengartikan sumber daya alam (agraria)
sebagai bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa "seluruh bumi, air dan ruang angkasa
lermasuk kekavaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik
Indonesia, sebagai karunia Tuhan YME adalah bumi, air dan niang angkasa bangsa
Indonesia dan merupakan kekayaan national".
Berkaitan dengan cakupan agraria ini, maka
muncul pertanyaan, apakah sumber daya alam yang terdiri dari bumi, air, ruang
angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu harus dipandang
sebagai kesatuan ekologi yang utuh dan saling terkait (ekosistem), atau dapat
dipandang sebagai jenis-jenis sumber daya alam yang bisa dikuasai dan dikelola
secara terpisah? Dalam hubungan ini, UUPA memang tidak secara tegas membahas
mengenai keutuhan dan kesalingterkaitan antara sumber daya alam ini, namun
pengaturan tentang penguasaan tanah membenkan jawaban pada pertanyaan itu.
Pasal 4 ayat 2 UUPA menyatakan bahwa hak-hak atas tanah memberikan wewenang
untuk mempergunakan tanah, tubuh bumi, air serta ruang yang ada di atasnya
sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan
penggunaan tanah dan dalam batas-batas yang diatur oleh undang-undang.
UUPA lebih banyak mengatur tentang dasar-dasar
penguasaan sumber daya alam. Hanya ada safu pasal yang mengatur tentang
pengalokasian pemanfaatan sumber daya alam. Pasai 14 yang menjadi dasar bagi
perencanaan pengalokasian dan pemanfaatan sumber daya alam (agraria) menyatakan
bahwa perencanaan pemanfataan sumber daya alam (agrana) dilakukan untuk
keperluan negara, peribadatan, pusat kehidupan sosial budaya dan kesejahteraan
masyarakat, pengembangan produksi pertanian, peternakan, perikanan serta
pengembangan industri, transmigrasi dan pertambangan. Sementara itu, berkaitan
dengan kelestarian pengelolaan sumber daya alam, UUPA hanya menyebutkan di
pasal 15 bahwa "memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta
mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-liap orang, badan hukum, atau
instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan
pihak yang ekonominya lemah. "
Namun demikian, seiama tiga dekade terakhir
ini kebijakan pertanahan selama pemerintahan orde baru yang bercorak sentralistik
telah menimbulkan dampak bagi sumber-sumber agraria, terutama degradasi
kualitas tanah pertanian yang banyak dialihfungsikan menjadi areal perumahan
mewah (real astate), kawasan industri, dan bahkan menjadi komoditi untuk
investasi dan spekulasi para pemilik modal yang mengakibatkan tanah
diterlantarkan dalam jangka waktu yang tidak tertentu. Implikasi sosial-budaya
yang ditimbulkan adalah terjadinya berbagai konflik vertikal maupun horisontal
di daerah antara masyarakat dengan pemerintah atau masyarakat dengan pemodal
besar, karena terjadi penggusuran atau pengabaian atas hak-hak masyarakat
adat/Iokal dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria.
UUPA yang secara tegas menyatakan berlandaskan
hukum adat, memberikan batasan pada hukum adat. Dalam pasal 5 disebutkan bahwa
hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasarkan pada persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA dan dengan peraturan
perundang-undangan lainnya, serta segala sesuatu yang mengindahkan unsur-unsur
yang bersandarkan pada hukum agama.
Pilihan untuk menjadikan hukum adat sebagai
dasar hukum agraria nasional dilakukan mengingat UUPA dimaksudkan sebagai
undang-undang yang bersumber dan kesadaran hukum rakyat banyak. Dalam
kenyataannya bagian terbesar dan rakyat Indonesia tunduk pada hukum adat.
Namun, UUPA memandang bahwa hukum adat perlu disempurnakan karena dalam
perkembangannya tidak terlepas dari pengaruh kolonial yang kapitalistik dan
masyarakat swapraja yang feodal. Penyempurnaan hukum adat dilakukan melalui
penyesuaian dengan kepentingan masyarakat dalam konteks negara moderen dan
hubungan negara dengan dunia internasional serta sosialisme Indonesia
(penjelasan umum III angka 1).
Dalam kenyataannya, tanpa kriteria yang jelas.
kepentingan bangsa dan negara acapkali ditafsirkan sama dengan kepentingan
beberapa kelompok orang yang sedang memegang kekuasaan (pemerintah). Dengan
mengatasnamakan kepentingan bangsa dan negara maka hak-hak rakyat atas sumber
daya agraria yang bersumber dari hukum adat sering diabaikan. Hak-hak rakyat
yang dalam bahasa UUPA dikatakan sebagai hak ulayat dan hak serupa itu diberikan
dalam konteks kesesuaiaannya dengan kepentingan nasional dan kepentingan negara
yang tidak terdefinisikan secara jelas serta kesesuaiannya dengan peraturan
perundang-undangan lain yang pada kenyataannya justru mengingkari hak-hak
masyarakat adat.
Meskipun UUPA memberikan pengakuan yang mendua
pada masyarakat adat, namun untuk perorangan warga negara Indonesia, cukup
diberikan peluang untuk mendapatkan hak individual atas tanah. Pasal 16 UUPA
memberikan berbagai peluang untuk menguasai tanah dengan berbagai alas hak: hak
milik, hak guna bangunan. hak guna usaha. hak pakai, hak sewa, dan sebagainya.
UUPA menganut pandangan bahwa urusan agraria
pada dasar-nya adalah urusan pemerintah pusat. UUPA tidak mengatur secara ricni
tentang kewenangan dan peran pemerintah daerah. Kewenangan pemenntah daerah
adalah pelaksanaan dan" tugas pembantuan.
Pemerintah, atau lebih khusus lagi pemerintah
pusat menempati peran strategis dalam UUPA. Dengan demikian
dapat dipahami jika partisipasi publik tidak mendapat ruang dalam undang-undang
ini.
Penegakan hukum dalam UUPA utamanya diarahkan
pada pelanggaran kewajiban memelihara tanah dari para pemegang hak atas tanah,
pendaftaran tanah pelanggaran berkaitan dengan hak milik adat, penggunaan tanah
bukan oleh pemilik, dan pelanggaran ketentuan peralihan hak atas tanah. UUPA
tidak memberikan penjelasan mengapa penegakan hukum hanya diberikan pada
hal-hal tersebut, tetapi tidak pada hal lain, seperti halnya pelanggaran dalam
prosedur pencabutan hak atas tanah atau tidak terpenuhinya berbagai kewajiban
pemerintah yang ditetapkan dalam UUPA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar