Minggu, 03 Mei 2015

DIKTAT HUKUM SDA - BAB II

Bagian II
Perspektif Hukum & Kebijakan dalam
Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA)

2.1   . Indonesia Kaya Sumber Daya Alam (SDA)
Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya dengan sumber daya alam3 Sumber daya alam yang terbarukan (renewable) maupun yang tak terbarukan (non renewable) serta yang berbentuk modal alam (natural resources stock), seperti daerah aliran sungai, danau, kawasan lindung, pesisir, dll. atau dalam bentuk komoditas seperti kayu, rotan, mineral dan gas bumi, ikan, dll. terdapat merata hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Hutan tropis (tropical rain forest) Indonesia adalah terluas kedua di dunia. Hutan yang diperkirakan luasnya mencapai 144 juta hektar, atau sekitar 74 % dari luas daratan Indonesia (Kantor MENLH, 1990; Nurjaya, 1993). Hutan tropis Indonesia menyimpan keanekaragaman hayati (biodiversity) terkaya di dunia, yang melipufi 1500 jenis burung, 500 jenis mamalia, 21 jenis repril, 65 jenis ikan air tawar, dan 10 ribu jenis terumbuhan tropis (More, 1994). Garis pantai Indonesia sepanjang 81 ribu kilometer menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Perairan yang luas menyediakan wadah yang nyaman bagi pertumbuhan populasi ikan. Potensi maksimum perikanan laut Indonesia berkisar antara 6,7 sampai 7,7 metrik ton. Terumbu karang dengan 70 genus yang ada merupakan wujud keanekaragaman koral terbesar di dunia (Choi & Hutagalung, 1998). Demikian pula, sumber daya mineral yang terkandung di dalam perut bumi Indonesia, seperti emas, tembaga, baru bara, perak, nikel, timah, bauksit, dll. Merupakan kekayaan alam bumi Nusantara (Kantor MENLH, 2000; Bachriadi, 1998).
Kekayaan sumber daya alam Indonesia dipahami pemerintah sebagai modal penting dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Karena itu, atas nama pembangunan yang diabdikan pada pengejaran target pertumbuhan ekonomi (economic growth development), demi peningkatan pendapatan dan devisa negara (state revenue), maka pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip keadilan, demokratis, dan keberlanjutan fungsi sumberdaya alam. Implikasi yang ditimbulkan dari praktik-praktik pemanfaatan sumber dayaalam yang mengedepankan pencapaian pertumbuhan ekonomi semata adalah secara perlahan tetapi pasti menirnbulkan kerusakan dan degradasi kuantitas maupun kualitas,, sumberdaya alam, yang meliputi : (a) laju kerusakan hutan mencapai 1,8 juta hektar per tahun dan sejumlah spesies hutan tropis terancam punah akibat eksploitasi sumberdaya hutan yang tak terkendali; (b) sekitar 70 % terumbu karang mengalami kerusakan serius akibat endapan erosi. pengambilan batu karang, penangkapan ikan yang menggunakan bom atau racun (sianida), dan pencemaran air laut oleh limbah industri; (c) sekitar 64 % dari total hutan mangrove seluas 3 juta hektar mengalami kerusakan yang serius akibat penebangan liar untuk kayu bakar dan dikonversi menjadi areal pertambakan; (d) kegiatan pertambangan yang dilakukan secara besar-besaran telah mengubah bentang alam, yang selain merusak tanah juga menghilangkan vegetasi yang berada diatasnya. Lahan-lahan bekas pertambangan membentuk kubangan-kubangan raksasa, sehingga hamparan tanah menjadi gersang dan bersifat asam akibat limbah tailing dan batuan limbah yang dihasilkan dari kegiatan pertambangan (Nurjaya, 1993; Choi & Huiagalung, 1998; More, 1994; Bchahriadi, 1998; Kantor MENLH, 2000).
Dari sisi lain, pemanfaatan sumber daya alam yang semata-mata mementingkan target peningkatan pendapatan dan devisa negara juga menimbulkan implika sosial dan budaya yang cukup memperihatinkan. Banyak konflik uiengenai hak penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam antara masyarakat adat/lokal dengan pemerintah atau pemegang konsesi hutan dan pertambangan terjadi di berbagai kawasan Indonesia. Kemiskinan juga mewarnai kehidupan masyarakat adat/lokal di tempat-tempat di mana berlangsung kegiatan-kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam. Demikian pula, berbagai bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia, terutama hak-hak masyarakat adat/lokal mengiringi praktik-praktik pemanfaatan sumber daya alam selama tiga dekade terakhir ini (Bodley, 1982; Poffenberger, 1990; Peluso, 1992; Reppeto & Gillis, 1982; Bachriadi, 1998; Nurjaya, 2000).
Jika dicermati secara substansial, persoalan-persoalan yang muncul dalam pemanfaatan sumber daya dalam seperti diuraikan di atas sesungguhnya bersumber dari anutan paradigma pengelolaan sumberdaya alam yang bercorak sentralistik, berpusat pada negara (state-based resource management), mengedepankan pendekatan sektoral dan mengabaikan perlindungan hak-hak asasi manusia. Paradigma seperti ini selain tidak mengutamakan kepentingan konservasi dan perlindungan serta keberlanjutan fungsi sumber daya alam, juga tidak secara utuh memberi ruang bagi partisipasi masyarakat „ serta mengabaikan hak-hak masyarakat adat/lokal atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Implikasinya, dari segi ekonomi menghilangkan sumber-sumber ekonomi bagi kehidupan masyarakat adat/lokal (economic resources loss)', dari segi sosial dan budaya secara nyata telah merusak sistem pengetahuan, teknologi, institusi, tradisi, dan religi masyarakat/lokal (social and cultural loss); dari segi ekologi menimbulkan kerusakan dan degradasi kualitas maupun kuantitas sumberdaya alam (ecological loss); dan dari segi politik pembangunan hukum telah mengabaikan fakta pluralisme hukum (legal pluralism) dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang secara nyata hidup dan berkembang dalam masyarakat (Nurjaya, 2000).
Dari perspektif hukum dan kebijakan, maka cerminan dari anutan paradigma seperti di atas secara jelas dapat dicermati dari substansi dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, seperti Undang-Undang Agraria (1960), Undang-Undang Pertambangan (11/1967) diganti Undang-Undang Minerba(4/2009), Undang-Undang Pengairan (11/1974) diganti Undang-Undang Sumber Daya Air (7/2004), Undang-Undang Perikanan (1985) diganti dengan Undang-Undang (31/2004), Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati (5/1990), dan Undang-Undang Kehutanan (41/1999), yang diproduk pemerintah dalam kurun waktu lebih dari 4 dasa warsa terakhir ini.
Dalam buku sederhana ini mencoba untuk mengkaji secara kritis karakteristik dari perundang-undangan yang digunakan sebagai instrumen hukum dalam pengelolaan sumber daya alam, prinsip-prinsip global pengelolaan sumberdaya alam dan implikasinya bagi politik pembangunan hukum nasional, diskusi dan rekomendasi untuk mencapai tujuan pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan, demokratis, dan berkelanjutan sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001  tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam . 

2.2.Karakteristik Perundang-Undangan Mengenai Pengelolaan Sumber Daya Alam
Instrumen hukum yang berkaitan dengan sumber daya alam dalam sistem hukum hukum Indonesia seperti : (1) Undang-Undang Nomor  5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; (2) Undang-Undang Nomor  11 Tahun 1967 tentang Pertambangan jo Undang-Undang Nomor  4 Tahun 2009 tentang Minerba; (3) Undang-Undang Nomor  11 Tahun 1974 tentang Pengairan jo Undang-Undang Nomor  7 tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air; (4) Undang-Undang Nomor  9 Tahum 1985 tentang Perikanan jo Undang-Undang Nomor  31 Tahun 2004 tentang Perikanan ; dan Undang-Undang Nomor  41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; pada dasarnya memiliki karakteristik dan kelemahan-kelemahan substansial seperti berikut:
1.         Berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam (resources use-oriented) sehingga mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam, karena hukum semata-mata digunakan sebagai perangkat hukum (legal instrument) untuk mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan peningkatan pendapatan dan devisa negara;
2.         Berorientasi dan berpihak pada pemodal-pemodal besar (capital oriented), sehingga mengabaikan akses dan kepentingan serta mematikan potensi-potensi perekonomian masyarakat adat/lokal;
3.         Menganut ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berpusat pada negara/pemerintah (state-based resource management), sehingga orientasi pengelolaan sumberdaya alam bercorak sentralistik;
4.         Manajemen pengelolaan sumber daya alam menggunakan pendekatan sektoral, sehingga sumber daya alam tidak dilihat sebagai sistem ekologi yang terintegrasi (ecosystem);
5.         Corak sektoral dalam kewenangan dan kelembagaan mennyebabkan tidak adanya koordinasi dan keterpaduan antar sektor dalam pengelolaan sumber daya alam; dan
6.         Tidak diakui dan dilindunginya hak-hak asasi manusia secara utuh, terutama hak-hak masyarakat adat/lokal dan kemajemukan hukum dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pemerintah menyadari adanya berbagai kelemahan substansial di atas, maka sejumlah upaya perbaikan dilakukan dengan membuat undang-undang baru seperti : (1) Undang-Undang Nomor  5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya; (2) Undang-Undang Nomor  24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang diganti dengan Undang-Undang Nomor  26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang ; dan (3) Undang-Undang Nomor  23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun demikian, persoalan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya alam masih belum terjawab dalam substansi maupun implementasi dari undang-undang tersebut, karena masih ditemukan kelemahan-kelemahan seperti berikut:
1.         Pemerintah masih mendominasi peran dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam (state-dominated resource management);
2.         Keterpaduan dan koordinasi antar sektor masih lemah; ketiga, pendekatan dalam pengelolaan tidak komprehensif;
3.         Hak-hak masyarakat adat/lokal atas penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam belum diakui secara utuh;
4.         Ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pengeloaan sumberdaya alam masih diatur secara terbatas; dan
5.         Transparansi dan akuntabilitas pemerintah kepada publik  dalam pengelolaan sumber daya alam belum diatur secara tegas.
Sementara itu, beberapa undang-undang seperti : (1) Undang-Undang Nomor  5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati; (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diganti Undang-Undang Nomor  32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; dan Undang-Undang Nomor  39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia, mengatur prinsip-prinsip penting yang mendukung pengelolaan sumber daya alam yang adil, demokratis, dan berkelanjutan. Tetapi, prinsip-prinsip global pengelolaan sumber daya alam antara lain   seperti : konservasi dan keberlanjutan fungsi sumberdaya alam, transparansi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam, desentralisasi, dan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat/lokal, belum terakomodasi dan terintegrasi dalam undang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam yang telah ada.
Karena itu, persoalan-persoalan mendasar dalam pengaturan mengenai pengelolaan sumber daya alam yang berpotensi mengancam keberlanjutan fungsi sumberdaya alam dan kelangsungan hidup bangsa perlu segera diselesaikan. Salah satu agenda nasional yang mendesak untuk direalisasikan untuk menjamin kelestarian dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam, meningkatkan partisipasi masyarakat, transparansi dan mendukung proses demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam, menciptakan koordinasi dan keterpaduan antar sektor, serta mendukung terwujudnya good environmental governance4, adalah membentuk undang-undang pengelolaan sumber daya alam yang mencerminkan prinsip-prinsip keadilan, demokratis, dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam.

2.3. Ideologi Penguasaan Dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Landasan konstitusional untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang mencerminkan prinsip keadilan, demokrasi, dan berkelanjutan sumber daya agraria adalah Alinea IV Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan: “........ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan turut serta menciptakan perdamaian dunia yang abadi .....dst.”yang selanjutnya diformulasi dalam Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan: ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Jabaran lebih lanjut dari ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria seperti dimaksud di atas dituangkan dalam Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam;  Undang-Undang Nomor  25 Tahun 2004  tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004 – 2009; dan Undang-Undang Nomor  17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 - 2025. Dalam konsideran Menimbang Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam secara eksplisit dinyatakan: ”........peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan; oleh karena itu pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam yang adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika, aspirasi dan peran serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik”.
Prinsip-prinsip yang harus diakomodasi dalam peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan sumber daya alam (Pasal 4 Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam)  adalah sebagai berikut:
a.         Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.         Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c.         Menghormati supremasi  hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum;
d.         Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia;
e.         Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi masyarakat;
f.          Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam;
g.         Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan;
h.         Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat;
i.           Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dan antar daerah dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam;
j.           Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam;
k.         Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu;
l.           Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam.   
Dengan demikian, jika dikemas ringkas maka prinsip-prinsip yang dimaksud di atas pada dasarnya meliputi tiga prinsip dasar, yaitu keadilan, demokrasi, dan  keberlanjutan sumber daya agraria/sumber daya alam, dengan pemahaman seperti berikut: (a) prinsip Keadilan merujuk pada kebijakan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam harus direncanakan, dilaksanakan, dimonitoring, dan dievaluasi secara berkesinambungan untuk memenuhi keadilan inter-antar generasi, keadilan gender, termasuk keadilan dalam alokasi dan distribusi sumber daya agraria; (b) prinsip Demokrasi mengacu pada kebijakan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam yang mendesentralisasi kewenangan pusat ke  daerah, akses informasi yang terbuka bagi rakyat, ruang bagi partisipasi semua pemangku kepentingan (stakeholder), transparansi dalam penyusunan kebijakan, pertanggungjawaban kepada publik (public acountability), koordinasi dan keterpaduan antar sektor, penyelesaian konflik secara bijaksana, pengakuan dan perlindungan terhadap  hak rakyat atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria/sumber daya alam; dan (c) prinsip Berkelanjutan adalah kebijakan penguasaan harus mampu menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya agraria/sumber daya alam dengan melakukan konservasi, pemahaman tentang makna sumber daya yang tak terbarukan (nonrenewable), keterbatasan daya dukung dan daya tampung (carrying capacity), serta keterbatasan kemampuan sumber daya agraria/sumber daya alam
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kebijakan penguasaan dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam perlu mengintegrasikan prinsip-prinsip penting dalam pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) seperti berikut : 
Prinsip Pertama: Sumber daya agraria/sumber daya alam harus dimanfaatkan dan dikelola untuk tujuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan dari generasi ke generasi;
Prinsip Kedua: Sumber daya alam harus dimanfaatkan dan dialokasikan secara adil dan demokratis  secara inter-antar generasi dalam kesetaraan gender;
Prinsip Ketiga: Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam harus mampu menciptakan kohesivitas sosial, mampu melindungi dan mempertahankan eksistensi budaya lokal, termasuk tatanan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat;              
Prinsip Keempat: Pengelolaan sumber daya agraria harus dilakukan dengan pendekatan ekosistem (ecosystem) untuk mencegah terjadinya praktik-praktik pengelolaan yang bersifat parsial,  ego-sektoral atau ego-daerah, tidak terpadu dan terkoordinasi;
Prinsip Kelima: Kebijakan dan praktik-praktik pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam harus bersifat spesifik lokal, disesuaikan dengan ekosistem daerah dan tatanan kehidupan sosial-budaya masyarakat setempat.
Kelima prinsip dasar di atas satu sama lain saling terkait dan melengkapi, sebagai satu kesatuan yang mengandung makna bahwa pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam dimaksudkan untuk mewujudkan kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan dan berkelanjutan sesuai amanat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbasis kemajemukan budaya serta keutuhan bangsa Indonesia. Karena itu, pemerintah  pada dasarnya sekadar berperan sebagai administrator dan fasilitator yang berkewajiban untuk: (a) mendorong peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumber daya agraria; (b) menjamin adanya pengakuan dan perlindungan hak-hak rakyat atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria/sumber daya alam; (c) mengakui dan melindungi modal sosial dan budaya (socio-cultural capital) seperti etika sosial, kearifan lingkungan, sistem religi, maupun pranata-pranata sosial  yang hidup dalam masyarakat; dan (d) mengakui keberadaan tatanan hukum rakyat (folk law) atau hukum adat (adat law) selain eksistensi hukum negara (state law) sebagai  fakta kemajemukan hukum di Indonesia.
Jika dicermati dari karakteristik peraruran perundang-undangan yang berkaitan dengan sumber daya alam seperti diuraikan pada bagian terdahulu, maka dapat dikritisi bahwa prinsip-prinsip global pengelolaan sumber daya alam yang bernuansa adil, demokratis, dan berkelanjutan belum secara utuh dan tegas diakomodasi dan diintegrasikan dalam kaidah-kaidah hukum pengelolaan sumber daya alam yang ada.
Ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang tercermin dalam peraturan perundang-undangan masih bercorak sentralisrik dengan mengacu pada manajemen yang berpusat pada negara/pemerintah (state-based resource management). mengedepankan pendekatan sektoral, berorientasi pada eksploitasi dengan mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan sumber daya alam demi pencapaian target pertumbuhan ekonomi (economic oriented), mengutamakan kepentingan pemodal-pemodal besar (capital oriented), hak-hak asasi masyarakat belum diakui dan dilindungi secara utuh, membatasi ruang bagi partisipasi masyarakat dan transparansi dalam pembuatan kebijakan, tidak mengatur secara tegas mengenai akuntabilitas publik dalam pengelolaan surnber daya alam, dan juga mengabaikan fakta kemajemukan hukum (legal pluralism) yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. 
Guna mengakhiri atau setidak-tidaknya mengeliminasi praktik-praktik penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria yang bercorak sentralistik, eksploitatif, sektoral, dan bernuansa represif, dalam rangka mewujudkan tata  pengelolaan lingkungan hidup yang baik (good environmental governance) dalam pembangunan nasional yang berkelanjutan, maka perlu adanya reformasi paradigma politik pembangunan hukum nasional yang semula bercorak sentralisme hukum (legal centralism) ke anutan ideologi pluralisme hukum (legal pluralism), sebagai prinsip dasar yang memberi ruang secara proporsional bagi pengakuan fakta kemajemukan sistem hukum dalam masyarakat, khususnya dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria.
Jika prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya agraria seperti dimaksud di atas  diakomodasi dan diintegrasikan ke dalam instrumen hukum nasional, maka substansi perundang-undangan yang mengatur penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria semestinya mencerminkan karakter seperti berikut:
1.         Orientasi pemanfaatan bukan pada eksploitasi (use-oriented), tetapi untuk kepentingan konservasi (resources-oriented) yang menjamin kelestarian dan keberlanjutan sumber daya agrarian bagi kepentingan inter-antar generasi.
2.         Pengelolaan bercorak komprehensif, holistik dan terintegrasi (komprehensif-integral), karena sumber daya agraria merupakan satu kesatuan ekologi (ecological system) yang menjadi sumber dan dapat mempengaruhi kehidupan manusia.
3.         Mengatur mekanisme koordinasi dan keterpaduan antar sektor dalam pengelolaan  sumber daya agraria.
4.         Menganut ideologi pengelolaan sumber daya yang berbasis masyarakat (community-based agrarian resource management).
5.         Menyediakan ruang bagi partisipasi publik yang sejati (genuine public participation) dan transparansi pembuatan kebijakan pengelolaan sumber daya agraria.
6.         Memberi ruang bagi pengakuan yang hakiki dan perlindungan hak rakyat atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria.
7.         Mengatur mekanisme pengawasan dan akuntabilitas publik dalam pengelolaan sumber daya agraria secara lebih eksplisit.
8.         Mengakui keberadaan tatanan hukum rakyat (folk law) sebagai entitas hukum (legal entity) dalam sistem hukum Indonesia, khususnya tatanan hukum adat yang secara nyata hidup dan didayagunakan dalam wujud kearifan lingkungan (environmental wisdom) masyarakat adat setempat.

2.4.        Kaji Ulang Terhadap Peraturan Perundangan di Bidang SDA (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang UUPA)
UUPA adalah produk hukum nasional pertama yang mengatur tentang sumber daya alam. UUPA mengartikan sumber daya alam (agraria) sebagai bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa "seluruh bumi, air dan ruang angkasa lermasuk kekavaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan YME adalah bumi, air dan niang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan national".
Berkaitan dengan cakupan agraria ini, maka muncul pertanyaan, apakah sumber daya alam yang terdiri dari bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu harus dipandang sebagai kesatuan ekologi yang utuh dan saling terkait (ekosistem), atau dapat dipandang sebagai jenis-jenis sumber daya alam yang bisa dikuasai dan dikelola secara terpisah? Dalam hubungan ini, UUPA memang tidak secara tegas membahas mengenai keutuhan dan kesalingterkaitan antara sumber daya alam ini, namun pengaturan tentang penguasaan tanah membenkan jawaban pada pertanyaan itu. Pasal 4 ayat 2 UUPA menyatakan bahwa hak-hak atas tanah memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah, tubuh bumi, air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah dan dalam batas-batas yang diatur oleh undang-undang.
UUPA lebih banyak mengatur tentang dasar-dasar penguasaan sumber daya alam. Hanya ada safu pasal yang mengatur tentang pengalokasian pemanfaatan sumber daya alam. Pasai 14 yang menjadi dasar bagi perencanaan pengalokasian dan pemanfaatan sumber daya alam (agraria) menyatakan bahwa perencanaan pemanfataan sumber daya alam (agrana) dilakukan untuk keperluan negara, peribadatan, pusat kehidupan sosial budaya dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan produksi pertanian, peternakan, perikanan serta pengembangan industri, transmigrasi dan pertambangan. Sementara itu, berkaitan dengan kelestarian pengelolaan sumber daya alam, UUPA hanya menyebutkan di pasal 15 bahwa "memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-liap orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonominya lemah. "
Namun demikian, seiama tiga dekade terakhir ini kebijakan pertanahan selama pemerintahan orde baru yang bercorak sentralistik telah menimbulkan dampak bagi sumber-sumber agraria, terutama degradasi kualitas tanah pertanian yang banyak dialihfungsikan menjadi areal perumahan mewah (real astate), kawasan industri, dan bahkan menjadi komoditi untuk investasi dan spekulasi para pemilik modal yang mengakibatkan tanah diterlantarkan dalam jangka waktu yang tidak tertentu. Implikasi sosial-budaya yang ditimbulkan adalah terjadinya berbagai konflik vertikal maupun horisontal di daerah antara masyarakat dengan pemerintah atau masyarakat dengan pemodal besar, karena terjadi penggusuran atau pengabaian atas hak-hak masyarakat adat/Iokal dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria.
UUPA yang secara tegas menyatakan berlandaskan hukum adat, memberikan batasan pada hukum adat. Dalam pasal 5 disebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan pada persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, serta segala sesuatu yang mengindahkan unsur-unsur yang bersandarkan pada hukum agama.
Pilihan untuk menjadikan hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional dilakukan mengingat UUPA dimaksudkan sebagai undang-undang yang bersumber dan kesadaran hukum rakyat banyak. Dalam kenyataannya bagian terbesar dan rakyat Indonesia tunduk pada hukum adat. Namun, UUPA memandang bahwa hukum adat perlu disempurnakan karena dalam perkembangannya tidak terlepas dari pengaruh kolonial yang kapitalistik dan masyarakat swapraja yang feodal. Penyempurnaan hukum adat dilakukan melalui penyesuaian dengan kepentingan masyarakat dalam konteks negara moderen dan hubungan negara dengan dunia internasional serta sosialisme Indonesia (penjelasan umum III angka 1).
Dalam kenyataannya, tanpa kriteria yang jelas. kepentingan bangsa dan negara acapkali ditafsirkan sama dengan kepentingan beberapa kelompok orang yang sedang memegang kekuasaan (pemerintah). Dengan mengatasnamakan kepentingan bangsa dan negara maka hak-hak rakyat atas sumber daya agraria yang bersumber dari hukum adat sering diabaikan. Hak-hak rakyat yang dalam bahasa UUPA dikatakan sebagai hak ulayat dan hak serupa itu diberikan dalam konteks kesesuaiaannya dengan kepentingan nasional dan kepentingan negara yang tidak terdefinisikan secara jelas serta kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan lain yang pada kenyataannya justru mengingkari hak-hak masyarakat adat.
Meskipun UUPA memberikan pengakuan yang mendua pada masyarakat adat, namun untuk perorangan warga negara Indonesia, cukup diberikan peluang untuk mendapatkan hak individual atas tanah. Pasal 16 UUPA memberikan berbagai peluang untuk menguasai tanah dengan berbagai alas hak: hak milik, hak guna bangunan. hak guna usaha. hak pakai, hak sewa, dan sebagainya.
UUPA menganut pandangan bahwa urusan agraria pada dasar-nya adalah urusan pemerintah pusat. UUPA tidak mengatur secara ricni tentang kewenangan dan peran pemerintah daerah. Kewenangan pemenntah daerah adalah pelaksanaan dan" tugas pembantuan.
Pemerintah, atau lebih khusus lagi pemerintah pusat menempati peran strategis dalam UUPA. Dengan demikian dapat dipahami jika partisipasi publik tidak mendapat ruang dalam undang-undang ini.
Penegakan hukum dalam UUPA utamanya diarahkan pada pelanggaran kewajiban memelihara tanah dari para pemegang hak atas tanah, pendaftaran tanah pelanggaran berkaitan dengan hak milik adat, penggunaan tanah bukan oleh pemilik, dan pelanggaran ketentuan peralihan hak atas tanah. UUPA tidak memberikan penjelasan mengapa penegakan hukum hanya diberikan pada hal-hal tersebut, tetapi tidak pada hal lain, seperti halnya pelanggaran dalam prosedur pencabutan hak atas tanah atau tidak terpenuhinya berbagai kewajiban pemerintah yang ditetapkan dalam UUPA. 

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar