BAB III
MASYARAKAT, KEBUDAYAAN DAN HUKUM ADAT
A. MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN
Sebagaimana telah dikemukakan di muka disebutkan
bahwa manusia adalah makhluk yang hidup bersama. Hidup bersama dapat diartikan
sama dengan hidup dalam suatu pergaulan hidup, keadaan ini tercipta apabila
manusia itu melakukan hubungan. Jadi apabila manusia itu melakukan hubungan
satu sama lain akan terciptalah suatu pergaulan hidup yang dapat kita namakan
masyarakat.
Dengan tepatnya Soerjono Sukanto, menyatakan bahwa
unsur-unsur dari suatu pergaulan hidup yang dinamakan masyarakat adalah :
- Manusia yang
hidup bersama
Di dalam ilmu sosial tidak ada ukuran mutlak ataupun angka yang pasti
untuk menentukan berapa jumlah manusia yang harus ada, akan tetapi secara
teoritis angka minimalnya adalah dua (2) orang yang hidup bersama.
- Bercampur
untuk waktu yang lama
Kumpulan dari manusia tidaklah sama dengan benda-benda mati, seperti
umumnya manusia maka akan timbul manusia-manusia baru. Manusia itu juga
mempunyai keinginan-keinginan untuk menyampaikan kesan-kesan atau
perasaan-perasaannya. Sebagai akibat hidup bersama itu timbullah sistem
komunikasi dan timbullah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara
manusia di dalam kelompok tersebut.
- Mereka sadar
bahwa mereka merupakan suatu
kesatuan
- Mereka
merupakan suatu sistem hidup bersama
Sistem hidup bersama menimbulkan kebudayaan oleh karena setiap anggota
kelompok merasa dirinya terikat dengan yang lainnya.
(Soerjono Soekanto : 1978 : 28)
Apabila unsur-unsur masyarakat di atas ini
diperhatikan, maka rumusan makna definisi tentang masyarakat yang disampaikan
oleh Ralph Linton dapat dipahami. Ralp Linton mengatakan bahwa masyarakat
adalah setiap kelompok manusia yang telah lama hidup dan bekerjasama sehingga
mereka itu mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai suatu
kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.
Dengan demikian maka dapatlah disimpulkan bahwa
kehidupan bersama manusia atau pergaulan hidup itulah yang dimaksud dengan
masyarakat. Juga perlu diperhatikan
rumusan atau definisi tentang masyarakat yang dinyatakan oleh Prof. Selo
Sumardjan bahwa :
“ Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama
dan menghasilkan kebudayaan.”
Dengan demikian menurut Selo Sumardjan, kebudayaan
itu adalah hasil dari pada manusia yang hidup bersama. Jadi antara masyarakat
dan kebudayaan pada dasarnya merupakan dua elemen yang tidak dapat dipisahkan
dan mungkin hanya dibedakan.
B. HUKUM ADAT DARI SEGI (ASPEK) KEBUDAYAAN
Penyelidikan C. Van Vollenhoven serta sarjana-sarjana
lain membuktikan bahwa wilayah Hukum Adat Indonesia itu tidak hanya terbatas
pada kepulauan Nusantara kita. Hukum Adat Indonesia tidak saja bersemayam dalam
hati nurani perasaan orang Indonesia yang menjadi Warga Negara Republik
Indonesia disegala penjuru Nusantara kita, tetapi juga tersebar dan memancar
sampai-sampai di gugusan kepulauan Pilipina dan Taiwan sebelah utara, di Pulau
Madagaskar di sebelah Barat dekat Pantai Afrika, dan berbatasan sebelah timur
sampai dekat Amerika Selatan, di kepulauan Paas, dianut dan dipertahankan oleh
orang Indonesia yang termasuk golongan Ethonologisch Indonesier.
Dalam wilayah yang sangat luas ini, hukum adat
tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai peraturan penjaga tata tertib sosial
dan tata tertib hukum diantara manusia yang hidup bersama, bergaul didalam
suatu masyarakat. Dengan demikian diharapkan dapat dihindarkan segala bencana
dan bahaya yang mungkin atau telah mengancam ketertiban yang dipertahankan oleh
Hukum Adat itu baik bersifat rohaniah maupun jasmaniah, yang kelihatan maupun
tidak kelihatan tetapi diyakini dan dipercaya sejak dari kecil waktu
kanak-kanak sampai berkubur baur dengan tanah kembali. Di mana ada masyarakat,
disitu ada Hukum (Adat). Inilah suatu Adagium suatu kenyataan umum di seluruh
dunia. ”Ubi Societas, Ibi Ius” (Cicero)
Hukum yang terdapat di dalam tiap masyarakat manusia
betapa sederhana dan kecilnya masyarakat itu menjadi Cerminnya. Karena tiap
masyarakat, tiap rakyat mempunyai kebudayaan sendiri dengan corak dan sifatnya
sendiri. Hukum di dalam tiap masyarakat sebagai salah satu penjelmaan “Geestesstructuur”
(Struktur Alam Pikiran) masyarakat yang bersangkutan, mempunyai corak dan
sifatnya sendiri sehingga hukum masing-masing masyarakat itu berlain-lainan.
Begitu pula halnya dengan Hukum Adat di Indonesia,
seperti halnya dengan semua sistem hukum dibagian lain di dunia ini maka :
“Hukum Adat itu senantiasa tumbuh dari sesuatu
kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup, yang keseluruhannya merupakan
kebudayaan masyarakat tempat Hukum Adat itu berlaku.”
Untuk dapat mengerti benar-benar Hukum Adat itu
sebagai suatu segi kebudayaan Indonesia, sebagai penjelasan kepribadian
Indonesia maka perlulah terlebih dahulu kita harus memberi jawaban atas
pertanyaan : Bagaimanakah Struktur Berfikir, Corak dan sifat masyarakat Indonesia,
khusunya berhubungan dengan bidang hukum ?
Menjawab pertanyaan ini adalah penting, karena dengan meminjam istilah
Von Safigny “VOLKGEIST” (Jiwa/semangat rakyat) Indonesia akan berbeda
dari Volkgeist masyarakat lain di dunia ini. Jiwa/Semangat Rakyat/Volkgeist
Indonesia mempunyai Struktur berfikir corak dan sifat sendiri.
Jadi Hukum mengikuti Volkgeist dari masyarakat
tempat hukum hukum itu berlaku karena Volkgeist masing-masing masyarakat
berlainan, maka juga hukum masing-masing masyarakat itu berlainan pula. Begitu
pula halnya dengan Hukum Adat Indonesia, senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan
hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup yang keseluruhannya merupakan
kebudayaan masyarakat tempat Hukum Adat itu berlaku.
Tidak mungkin suatu hukum yang asing bagi masyarakat
itu dipaksakan atau dibuat, apabila hukum yang asing itu bertentangan dengan
kebudayaan rakyat yang bersangkutan. Jadi kita tidak boleh meninjau Hukum Adat
Indonesia terlepas dari :
q
“Volkgeist (Jiwa Semangat Rakyat)
q
“Gestesstructuur (Struktur Alam Pikiran)
Masyarakat Indonesia dari sudut alam pikiran yang khas
Indonesia yang terjelma dalam Hukum Adat itu. Kita juta tidak boleh lepas dari
Struktur Rohaniah Masyarakat Indonesia yang bersangkutan. Untuk dapat mengerti
benar-benar Hukum Adat itu sebagai suatu segi kebudayaan Indonesia, sebagai
penjelmaan kepribadian, maka perlulah terlebih dahulu menjawab pertanyaan
sebagaimana telah disebutkan dimuka yaitu :
“Bagaimana Struktur berfikir, corak dan sifat
masyarakat Indonesia, khusus berhubungan dengan bidang hukum ?
Untuk menjawab hal tersebut, terlebih dahulu kita
harus memperhatikan bahwa masyarakat Indonesia sedang mengalami masa peralihan
dan bergerak terus. Dalam pada itu perlu diperhatikan pula bahwa tidak semua
perubahan dalam jiwa dan struktur masyarakat merupakan perubahan fundamental
(mendasar/keseluruhan) yang melahirkan suatu jiwa dan struktur yang baru, sebab
masyarakat adalah sesuatu yang kontinyu (berjalan terus/tak berhenti).
Masyarakat berubah tapi tidak sekaligus meninggalkan
yang lama. Jadi di dalam suatu masyarakat terdapatlah realitas, bahwa suatu
proses / perkembangan mengatur kembali yang lama serta menghasilkan syntese
dari dan yang baru sesuai dengan kehendak, kebutuhan cara hidup dan pandangan
hidup suatu rakyat.
C. CORAK HUKUM ADAT
Setelah kita mengetahui dari apa yang telah
diuraikan dalam Sub Bab di muka tadi, bahwa Hukum Adat itu adalah suatu segi
kebudayaan Indonesia, adalah pancaran dari jiwa dan struktur masyarakat
Indonesia, dari mentalitas orang dan masyarakat Indonesia, maka sampailah kita
pada kesempatan untuk mengetahui Mentalitas itu yang mendasari hukum adat
tersebut.
F.D Hollman di dalam Pidatonya pelantikan /
pengukuhan menjadi guru besar (Inagurasinya) yang berjudul :
q
“De Commune Trek in bet Indonesische
Rechisleven”, atau
q
“Corak kegotong-royongan di dalam kehidupan
hukum Indonesia”
Menyimpulkan adanya 4 (empat) sifat umum Hukum Adat
Indonesia yang hendaknya di pandang juga sebagai suatu kesatuan. Keempat corak
tersebut adalah :
1.
Religio Magis / Magic Religius
2.
Komunal / Commune trak
3.
Kontan / Contant
4.
Konkrit / Visuil
Yang untuk lebih lanjut dapat diuraikan sebagai
berikut :
- Sifat
Religio Magis
Yaitu berhubungan dengan pandangan hidup alam pikiran
bangsa/ masyarakat Indonesia, ciri ini memperlihatkan bahwa bangsa Indonesia
sebagai suatu keseluruhan, percaya kepada adanya dunia gaib, yang mengatasi
kekuatan manusia, dunia gaib itu mempengaruhi bahkan menentukan nasib manusia.
Corak religio-magis terlihat dengan jelas sekali pada
upacara-upacara adat dimana lazimnya diadakan sesajian-sesajian yang ditujukan
kepada roh-roh leluhur yang ingin diminta restunya serta bantuannya. Oleh
Bushar Muhammad ditegaskan pengertian religio magis dengan kata majemuk
“Participereuo-Cosmisch” yang dalam pengertian singkatnya mengandung pengertian
Complex, yaitu :
“Orang Indonesia pada dasarnya berfikir, merasa dan
didorong oleh kepercayaan (religi) kepada tenaga-tenaga gaib (Magis)
yang mengisi, menghuni seluruh Alam Semesta (Dunia Cosmos) dan yang
terdapat pada orang, binatang, tumbuh-tumbuhan besar dan kecil, benda-benda,
dan tenaga itu membawa seluruh alam semesta dalam keadaan seimbang.
Tiap tenaga gaib itu merupakan bagian dari Cosmos
dari keseluruhan hidup jasmaniah dan rohaniah “Participatle” dan
keseimbangan itulah yang senantiasa
harus ada dan terjaga, dan apabila terganggu harus dipulihkan. Memulihkan
keadaan keseimbangan itu berwujud dalam beberapa upacara, pantangan, ritus (Ritus
De Passage)
- Sifat
Commune / Komunal
Adalah sifat yang lebih mendahulukan kepentingan umum
/ bersama dari pada kepentingan pribadi / diri sendiri. Ciri komunal ini
menunjukkan pada pandangan tentang tempat individu dalam pergaulan hidup. Dalam
masyarakat semacam itu selalu terdapat sifat lebih mementingkan kebersamaan /
keseluruhan, lebih diutamakan kepentingan umum daripada kepentingan individual.
Dalam masyarakat demikian ini individualitas orang terdesak kebelakang /
terkalahkan.
Sebaliknya persekutuan sebagai suatu kesatuan
daripada anggota persekutuannya, menjamin anggota persekutuan dapat
mengembangkan kepribadiannya, yakni memenuhi segala kebutuhan tetapi hal itu
harus dilakukan dalam rangka keseluruhan. Sifat yang demikian ini memang
merupakan corak yang khas dari suatu masyarakat yang masih sangat hidup
terpencil atau dalam hidupnya sehari-hari sangat tergantung kepada tanah atau
alam pada umumnya (bersifat agraris).
- Sifat Kontan
/ Tunai
Biasanya dalam masyarakat Indonesia transaksi itu
bersifat kontan / tunai, yaitu : Prestasi dan Kontra-Prestasi dilakukan
sekaligus bersama-sama pada waktu itu juga. Ini mengandung pengertian bahwa
dengan suatu perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan
tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu juga, dengan serentak
bersamaan waktunya tatkala berbuat atau mengucapkan yang diharuskan oleh adat.
Dengan demikian dalam Hukum Adat segala sesuatu yang
terjadi sebelum dan sesudah transaksi (timbang-terima) secara kontan itu adalah
diluar akibat-akibat hukum dan memang tidak bersangkut paut atau bersebab
akibat menurut hukum. Perbuatan hukum yang dimaksud yang telah selesai seketika
itu juga, adalah suatu perbuatan hukum yang dalam arti Yuridis berdiri sendiri.
Dalam arti urutan kenyataan-kenyataan,
tindakan-tindakan sebelum dan sesudah perbuatan yang bersifat kontan itu mempunyai
arti logis terhadap satu sama lain. Contoh yang tepat dalam Hukum Adat tentang
suatu perbuatan yang kontan adalah : Jual Lepas, Perkawinan jujur melepaskan
hak atas tanah, adopsi dan lain-lain.
Contoh jelas perbuatan kontan :
Jual Beli lepas tanah, Amin menjual tanah kepada Bejo sebidang tanah dan
telah disepakati harganya Rp. 1 Juta dan disepakati juga oleh mereka Bejo
membayar Rp. 800.000,-. Kekurangan pembayaran Bejo pada Amin ini merupakan
hutang Bejo pada Amin dan tidak ada sangkut pautnya dengan Transaksi tanah
antara Amin dan Bejo.
Sesuai sifat kontan ini transaksi tanah antara Amin dan Bejo telah selesai dengan pembayaran Rp.
800.000,- di muka. Sedangkan kekurangan pembayaran Bejo kepada Amin menjadi
transaksi hutang-piutang antara Amin dan Bejo secara sendiri, tidak ada
hubungannya dengan transaksi tanah antara Amin dan Bejo seperti tersebut di
atas.
- Sifat Visual
/ Konkrit
Pada umumnya dalam masyarakat Indonesia kalau
melakukan atau mengadakan perbuatan hukum (Transaksi) itu selalu dalam bentuk
yang nyata (Konkrit). Yang dimaksud disini, di dalam alam berfikir yang
tertentu senantiasa dicoba dan diusahakan supaya hal-hal yang ).
Yang dimaksud disini, didalam alam berfikir yang
tertentu senantiasa dicoba dan diusahakan supaya hal-hal yang dimaksudkan,
diinginkan, dikehendaki atau akan dikerjakan ditransformasikan atau Di beri
wujud suatu benda, diberi tanda yang
kelihatan baik langsung maupun hanya menyerupai obyek yang dikehendaki (Simbol
Benda yang Magis). Contoh :
-
Panjer, dalam melakukan perjanjian jual beli
-
Peningset, Penyancang, dalam pertunangan atau akan
melakukan perkawinan.
-
Perbuatan Tenung / Santet, yaitu membalas dendam baik
sendiri maupun melalui orang lain (Dukun) terhadap seseorang dengan membuat
patung, boneka atau barang lain, lalu barang itu dilukai, ditusuk, dibakar,
dipancung atau dimusnahkan.
Jadi kontannya itu adalah sesuatu yang Visual,
kelihatan, biarpun hanya menyerupai obyek yang dikehendaki. Selain merupakan
penegasan, tanda-tanda (Visual) kelihatan ini merupakan pula suatu
pemberitahuan untuk Pihak Ketiga.
Demikianlah ringkasan atau pengertian tentang
sifat-sifat umum Hukum Adat sebagai suatu kebudayaan, yang diperkenalkan oleh
berbagai penulis seperti Wilken dan Van Ossenbruggen, tetapi yang
Formuleringnya dimulai oleh C. Van Vollenhoven dalam karangan-karangan yang
terpencar, dan dilanjutkan secara ringkas dan ditegaskan pada Tahun 1935 oleh
F.D Holleman dalam pidato Inagurasinya di Leiden tersebut.
Kemudian dapat pula ditambahkan disini bahwa dalam
usaha mengetahui lembaga-lembaga hukum adat Indonesia dan dalam mempelajarinya
secara cermat dan teliti, empat sifat umum hukum adat disebut diatas tadi harus
dipahami dan diketahui sebagai pola dasar pemikiran tentang hukum adat. (Bushar
Muhammad, 1976 : 56)
Lebih lanjut Bushar Muhammad mengatakan bahwa, Hukum
Adat itu merupakan suatu segi dari kehidupan dan kebudayaan bangsa Indonesia,
maka dapat tepat sekalilah Hazairin mengatakan bahwa :
“ Hukum (Adat) itu adalah resapan Kesusilaan dalam
masyarakat.”
D. SISTEM HUKUM ADAT
Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem, yaitu
peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam
pikiran, begitupun Hukum Adat. Oleh karena Hukum Adat Indonesia itu merupakan
suatu aspek dari kehidupan dan kebudayaan masyarakat Indonesia yang merupakan
Saripati dari kebutuhan hidup, cara hidup dan pandangan hidup masyarakat atau
bangsa Indonesia.
Jadi sistem Hukum Adat Indonesia akan bersendikan
pada dasar-dasar alam fikiran bangsa Indonesia yang sudah tentu tidak akan sama
dengan alam fikiran dan pandangan hidup bangsa atau masyarakat lain, khususnya
bangsa atau masyarakat di belahan bumi bagian Barat sana (Eropa). Untuk lebih
mendalami dan lebih dapat memahami akan sistem Hukum Adat, orang harus
menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.
(Soepomo,1982: 25)
Bagaimanakah Sistem Hukum Adat itu ?
Dari uraian Soepomo tentang beberapa perbedaan Fundamental/Prinsip/Dasar,
antara sistem hukum Adat Indonesia dengan sistem hukum barat, dapat dinyatakan
bahwa sistem Hukum. Adat khususnya mengenai bagian-bagian dan unsur-unsurnya tidak diadakan
pembedaan-pembedaan khusus. Hal ini berarti bahwa Hukum Adat merupakan suatu
kesatuan yang untuk dan atas dasar keutuhan itu pula sistem Hukum itu dibentuk.
Untuk mengetahui Sistem Hukum Adat yaitu yang
merupakan suatu kesatuan itu, disini dikutip Konsepsi Soepomo tentang beberapa
perbedaan fundamental antara sistem Hukum Adat dengan sistem Hukum Barat.
(Soepomo : 1982, 25-26)
Beberapa perbedaan Fundamental itu adalah :
- Hukum Barat mengenal Zakelijk Rechten dan
Persoonalijk Rechten.
Zakelijk Rechten, adalah hak-hak atau suatu barang
yang bersifat Zakelijk, yaitu yang berlaku terhadap tiap-tiap orang.
Persoonalijk Rechten, adalah hak-hak orang seorang atas suatu subyek yang hanya
berlaku terhadap sesuatu orang lain yang tertentu.
Hukum Adat, tidak mengenal pembagian hak-hak dalam
dua golongan seperti yang disebutkan di atas. Perlindungan hak-hak menurut
sistem Hukum Adat adalah ditangan Hakim. Di dalam persengketaan di muka
pengadilan Hakim menimbang berat-ringannya kepentingan-kepentingan Hukum yang
saling bertentangan.
Misalnya : Apabila seseorang bukan pemilik sawah
menjual lepas sawah itu kepada orang yang bersangka baik (to goeder trouw)
dan kemudian pemilik sawah menuntut supaya sawah itu dikembalikan maka Hakim
akan menimbang kepentingannya siapa yang lebih berat didalam perkara konkrit
yang diadili itu. Kepentingan pemilik atau kepentingannya pembeli yang
bersangka baik itu.
- Hukum Barat mengenal perbedaan antara Publik Recht
(Hukum Umum) dengan Privat Recht (Hukum Pribadi).
Hukum adat
tidak mengenal perbedaan demikian, atau jika hendak mengadakan perbedaan
antara peraturan-peraturan Hukum Adat yang bersifat Publik dan
peraturan-peraturan yang hanya mengenal lapangan Privaat, maka batas-batas
antara kedua lapangan itu di dalam Hukum Adat adalah berlainan dari pada
batas-batas antara lapangan Publik dan Lapangan Privat-Recht pada Hukum Barat.
- Pelanggaran-pelanggaran Hukum menurut sistem Hukum
Barat dibagi-bagi dalam golongan pelanggaran yang bersifat pidana dan harus diperiksa oleh Hakim Pidana (Strafrechter),
dan pelanggaran-pelanggaran yang hanya mempunyai akibat dalam lapangan
perdata, sehingga pelanggaran-pelanggaran itu harus diadili oleh Hakim
Perdata.
Hukum Adat tidak mengenal perbedaan demikian,
tiap-tiap pelanggaran Hukum Adat membutuhkan pembentukan hukum kembali dan
Hakim (Kepala Adat) apa yang harus digunakan untuk pembentulan hukum yang
dilanggar itu.
Hal ini disebabkan oleh karena kepercayaan bahwa
hidup / kehidupan yang tentram adalah identik dengan adanya keseimbangan
Cosmis. Konsepsi-konsepsi tersebut di atas, dapat dijadikan patokan sementara
untuk melakukan penelitian kembali. Maksudnya agar diketahui apakah
konsepsi-konsepsi tersebut dapat dipergunakan atau harus dirubah. (Misal :
dengan jalan memperluasnya)
Perbedaan-perbedaan Fundamental dalam sistem ini pada hakekatnya
dikarenakan karena :
a.
Corak serta sifat yang berlainan antara Hukum Adat dan
Hukum Barat.
b.
Pandangan hidup yang mendukung / Volkgeist kedua macam
hukum itu juga berlainan, yaitu :
-
Aliran Dunia Barat bersifat Liberalistis dan bercorak
Rasionalistik Intelektualistis.
-
Aliran Dunia Timur, khususnya alam pikiran tradisionil
Indonesia bersifat cosmis tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia
gaib.
Dunia manusia berhubungan erat dengan segala sesuatu itu bersangkut paut
dan saling pengaruh-mempengaruhi.
E. MASYARAKAT HUKUM ADAT
Di atas telah dinyatakan bahwa pada dasarnya
masyarakat itu yang mewujudkan Hukum Adat dan masyarakat pula yang merupakan
tempat berlakunya Hukum Adat. Masyarakat dalam pengertian Hukum Adat adalah
suatu kesatuan manusia yang berhubungan dengan pola berulang tetap, yaitu suatu
masyarakat dengan pola perilaku yang sama, dimana perikelakuan yang sama itu
tumbuh dan diwujudkan oleh masyarakat, dan dari pola-pola tersebut diwujudkan
aturan-aturan untuk mengatur pergaulan hidup itu. (Soleman Biasane Taneko, 1981 : 49)
Jadi kiranya dapat dikatakan bahwa pada awalnya
aturan-aturan Hukum Adat itu tumbuh dan diwujudkan oleh suatu komunitas kecil,
artinya anggota masyarakatnya tidak demikian besarnya. Oleh karena itu dalam
suatu masyarakat yang mempunyai jumlah yang besar serta menempati daerah yang
luas, akan terbagi dalam Komunitas Kecil dengan wilayah yang relatif lebih kecil.
Dan setiap masyarakat itu akan terdapat perbedaan
kebudayaan, jadi terdapat perbedaan Hukum Adat pula dan Hukum Adat yang satu
berbeda dengan Hukum Adat masyarakat lain. Dengan demikian dapat dipahami
apabila diadakan pembagian suatu wilayah yang besar kedalam lingkungan yang
lebih kecil, oleh karena adanya wilayah yang kecil itu kehidupan bersama dengan
pola hubungan berulang tetap itu dapat terciptakan.
Dengan demikian dapat dipahami apabila diadakan
pembagian suatu wilayah yang besar kedalam lingkungan yang lebih kecil, oleh
karena dengan wilayah yang lebih kecil itu kehidupan bersama dengan pola
hubungan berulang tetap itu dapat terciptakan.
Khusus mengenai Indonesia (Hindia Belanda /
Nederland Hindia) C. Van Vollenhoven membagi wilayah Indonesia menjadi 19
lingkungan Hukum Adat atau Adat Rechtskring. Di sini makna yang dapat diambil
adalah bahwa lingkungan tersebut merupakan wilayah berlakunya Hukum Adat dan
sebagai suatu kesatuan manusia yang memproduksikan Hukum Adat tersebut.
Ke 19 (Sembilan belas) Lingkungan Hukum Adat itu adalah sebagai berikut :
1.
ACEH (Aceh Besar, Pantai Barat Aceh, Singkel,
Simeulue).
2.
TANAH GAYO, ALAS DAN BATAK :
a.
Tanah Gayo (Gayo Lucus)
b.
Tanah Alas
c.
Tanah Batak (Tapanuli)
1)
Tapanuli Utara
a)
Batak Pak Pak (Barus)
b)
Batak Karo
c)
Batak Simelungun
d)
Batak Toba (Samosir, Balige, Lagubati, Lumban Julu)
2)
Tapanuli Selatan
a)
Padang Lawas
b)
Angkola
c)
Mandailing (Sayirmatinggi)
3.
P. NIAS (NIAS SELATAN)
4.
DAERAH MINANGKABAU (Padang, Agam, Tanah datar,
Limapuluh kota, Tanah Kampar, Kerinci)
5.
MENTAWAI (Orang-orang Pagai)
6.
SUMATERA SELATAN
a.
Bengkulu (Rejang)
b.
Lampung (Abung, Peminggir, Pubian, Rebang,
Cedongtataan, Tulangbawang).
c.
Palembang (Anak-latikan, Jelma Daya, Kubu Pasemah,
Semendo)
d.
Jambi (Penduduk daerah Batin dan Penghulu)
7.
ENGGANO
8.
DAERAH MELAYU (Lingga Riau, Indragiri, Sumatera Timur,
Orang-orang Banjar)
9.
BANGKA DAN BELITUNG
10. KALIMANTAN
(Dayak, Kalimantan Barat, Kapuas Hulu, Kalimantan Tenggara, Pasir, Dayak Kenya,
Dayak Klementen, Dayak Landak dan Dayak Tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo
Timai, Long Glaat, Dayak Maanyan-Patai Dayak Maanyan Suing, Dayak Ngaju, Dayak
Ot Danum, Dayak Penyabung-Punan)
11. MINAHASA
(MANADO)
12. GORONTALO
(Bolang Mongondow, Boalemo)
13. DAERAH
TORAJA (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili,
Tawaili, Toraja Selatan, Tomori, To lainang, Kepulauan Banggai
14. SULAWESI
SELATAN (Orang-orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Poufe, Mandar, Makasar,
Salayar, Muna)
15. KEPULAUAN
TERNATE (Ternate, Halmahera, Tobalo, Kepulauan Sulao.
16. MALUKU
AMBON (Ambon, Hitu, Banda, Kepulauan Ulaisar, Saparua, Buru, Seram, Kepulauan
Kei, Kepulauan Aru, Kaisar)
17. IRIAN
18. KEPULAUAN
TIMOR (Kelompok Timor, Timor Tengah, Molo Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur,
Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sawu dan Bima.
19. BALI
DAN LOMBOK (Bali, Tuganan, Pagringsingan, Kastala, Karang Asem, Buleleng,
Jembrana, Lombok dan Sumbawa).
20. JAWA
TENGAH (Jawa Timur serta Madura (Jawa Tengah, Purwokerto, Tulung-Agung,
Jawa-Timur, Surabaya dan Madura).
21. DAERAH-DAERAH
KERAJAAN (Solo dan Yogyakarta)
22. JAWA
BARAT (Priangan, Sunda, Jakarta dan Banten)
Perlu dikemukakan di sini bahwa pembagian tersebut
hanya bersifat sementara. Dikemudian hari karena adanya hubungan-hubungan atau
komunikasi diantara para anggota lingkungan hukum adat itu makin lama makin
bertambah dan lebih erat, maka dengan sendirinya perbedaan antara hukum
berbagai persekutuan / lingkungan hukum adat tersebut yang sekarang masih ada
akan hapus atau berkurang. Faktor lain ialah pengaruh kota-kota besar dan makin
meresapnya kesadaran dan keinsyafan serta kesadaran nasional sebagai warga
Negara Republik Indonesia.
Selalu faktor kesadaran nasional sebagai Warga
Negara Kesatuan Republik Indonesia tak kurang pula karena adanya era
globalisasi berkat kemajuan komunikasi yang sangat maju/modern yang memudahkan
hubungan antara penduduk Indonesia tetapi juga dengan seluruh penduduk di
dunia. Hal inilah yang menyebabkan juga kita menerima unsur-unsur Hukum dari
luar khususnya dari Barat atau Eropa yang dalam kenyataannya juga banyak
dipakai terlebih dalam era globalisasi selain itu juga keinginan untuk mengadakan
Unifikasi Hukum di Indonesia, menjadi faktor penting guna lenyapnya perbedaan
Hukum Adat tersebut di kemudian hari. Selain hal-hal yang telah disebutkan
dimuka maka kalau kita lihat faktor sejarah dibaginya Hindia Belanda dalam 19
Lingkungan Hukum Adat oleh Van Vollenhoven, adalah dasar pembagian oleh Van
Vollenhoven yang di dasarkan atas dasar bahasa daerah Sebagai hipotesa
kerjanya. Sehingga pembagian tersebut bukanlah hal yang mutlak atau baku yang
harus terus diikuti. Selain itu dengan pembagian tersebut bukan berarti bahwa
bangsa Indonesia terbagi dalam 19 “bangsa kecil-kecil” yang sekali-kali tidak
mempunyai hubungan satu dengan yang lainnya, kecuali ikatan kenegaraan yang
diberi nama “Republik Indonesia”.
Perbedaan lingkungan Hukum Adat tersebut bukanlah
suatu perbedaan asasi, melainkan hanya perbedaan kedaerahan (lokal) belaka.
Walaupun pembagian 19 lingkungan Hukum Adat itu sudah tidak dapat dipertahankan
lagi, karena memang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dan keadaan sekarang
ini namun demikian bagi kita khususnya bagi para sarjana Hukum Adat pembagian
wilayah Indonesia kedalam 19 lingkungan Hukum Adat itu dapat dipergunakan
sebagai dasar atau hipotesa kerja yang perlu diuji kebenarannya sehingga kita
dapat memperoleh wilayah Hukum Adat yang benar-benar merupakan hasil pembagian
berdasarkan Hukum Adat dan bukan berdasarkan pembagian berdasarkan Bahasa
Daerah.
Tetapi selama belum terwujud apa yang disebutkan di
atas, maka Konsepsi C. Van Vollenhoven
mengenai Pembagian wilayah itu tetap dapat dipergunakan sebagai patokan atau
pedoman dalam pengajaran Hukum Adat. Kesimpulan yang dapat diperoleh dari
mempersoalkan pembagian wilayah Indonesia ke dalam lingkungan-lingkungan Hukum
itu adalah menunjukkan atau menandakan bahwa Masyarakat Indonesia adalah
Masyarakat yang Hukum Adatnya beraneka ragam.
Dalam hal ini Kontjaraningrat (1976 : 31) memberi
pernyataan bahwa :
“….. maka menjadi teranglah bahwa untuk masa sekarang ini gejala Aneka
Warna Kebudayaan (Hukum Adat sebagai salah satu aktivitas budaya) itu masih
merupakan suatu realitas yang dapat dipungkiri.”
Dengan mendasarkan pada konsepsi di atas, maka ada
baiknya keadaan yang beraneka itu diperhatikan dalam memupuk kesatuan dan
persatuan bangsa, maksudnya bahwa memupuk kesatuan bangsa haruslah mengakui dan
menerima realita itu dan kemudian diusahakan melalui atau lewat berbagai cara
agar aneka warna itu berangsur-angsur menjadi berkurang yang suatu saat akan
benar-benar terwujud suatu kesatuan bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar