Minggu, 03 Mei 2015

Diktat Hukum Adat Bab III

BAB III
MASYARAKAT, KEBUDAYAAN DAN HUKUM ADAT

A.    MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN
Sebagaimana telah dikemukakan di muka disebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang hidup bersama. Hidup bersama dapat diartikan sama dengan hidup dalam suatu pergaulan hidup, keadaan ini tercipta apabila manusia itu melakukan hubungan. Jadi apabila manusia itu melakukan hubungan satu sama lain akan terciptalah suatu pergaulan hidup yang dapat kita namakan masyarakat.
Dengan tepatnya Soerjono Sukanto, menyatakan bahwa unsur-unsur dari suatu pergaulan hidup yang dinamakan masyarakat adalah :
  1. Manusia yang hidup bersama
Di dalam ilmu sosial tidak ada ukuran mutlak ataupun angka yang pasti untuk menentukan berapa jumlah manusia yang harus ada, akan tetapi secara teoritis angka minimalnya adalah dua (2) orang yang hidup bersama.
  1. Bercampur untuk waktu yang lama
Kumpulan dari manusia tidaklah sama dengan benda-benda mati, seperti umumnya manusia maka akan timbul manusia-manusia baru. Manusia itu juga mempunyai keinginan-keinginan untuk menyampaikan kesan-kesan atau perasaan-perasaannya. Sebagai akibat hidup bersama itu timbullah sistem komunikasi dan timbullah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara manusia di dalam kelompok tersebut.
  1. Mereka sadar bahwa mereka  merupakan suatu kesatuan
  2. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama
Sistem hidup bersama menimbulkan kebudayaan oleh karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat dengan yang lainnya.
(Soerjono Soekanto : 1978 : 28)

Apabila unsur-unsur masyarakat di atas ini diperhatikan, maka rumusan makna definisi tentang masyarakat yang disampaikan oleh Ralph Linton dapat dipahami. Ralp Linton mengatakan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah lama hidup dan bekerjasama sehingga mereka itu mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.
Dengan demikian maka dapatlah disimpulkan bahwa kehidupan bersama manusia atau pergaulan hidup itulah yang dimaksud dengan masyarakat.  Juga perlu diperhatikan rumusan atau definisi tentang masyarakat yang dinyatakan oleh Prof. Selo Sumardjan bahwa :
“ Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.”
Dengan demikian menurut Selo Sumardjan, kebudayaan itu adalah hasil dari pada manusia yang hidup bersama. Jadi antara masyarakat dan kebudayaan pada dasarnya merupakan dua elemen yang tidak dapat dipisahkan dan mungkin hanya dibedakan.

B.     HUKUM ADAT DARI SEGI (ASPEK) KEBUDAYAAN
Penyelidikan C. Van Vollenhoven serta sarjana-sarjana lain membuktikan bahwa wilayah Hukum Adat Indonesia itu tidak hanya terbatas pada kepulauan Nusantara kita. Hukum Adat Indonesia tidak saja bersemayam dalam hati nurani perasaan orang Indonesia yang menjadi Warga Negara Republik Indonesia disegala penjuru Nusantara kita, tetapi juga tersebar dan memancar sampai-sampai di gugusan kepulauan Pilipina dan Taiwan sebelah utara, di Pulau Madagaskar di sebelah Barat dekat Pantai Afrika, dan berbatasan sebelah timur sampai dekat Amerika Selatan, di kepulauan Paas, dianut dan dipertahankan oleh orang Indonesia yang termasuk golongan Ethonologisch Indonesier.
Dalam wilayah yang sangat luas ini, hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai peraturan penjaga tata tertib sosial dan tata tertib hukum diantara manusia yang hidup bersama, bergaul didalam suatu masyarakat. Dengan demikian diharapkan dapat dihindarkan segala bencana dan bahaya yang mungkin atau telah mengancam ketertiban yang dipertahankan oleh Hukum Adat itu baik bersifat rohaniah maupun jasmaniah, yang kelihatan maupun tidak kelihatan tetapi diyakini dan dipercaya sejak dari kecil waktu kanak-kanak sampai berkubur baur dengan tanah kembali. Di mana ada masyarakat, disitu ada Hukum (Adat). Inilah suatu Adagium suatu kenyataan umum di seluruh dunia. ”Ubi Societas,  Ibi Ius” (Cicero)
Hukum yang terdapat di dalam tiap masyarakat manusia betapa sederhana dan kecilnya masyarakat itu menjadi Cerminnya. Karena tiap masyarakat, tiap rakyat mempunyai kebudayaan sendiri dengan corak dan sifatnya sendiri. Hukum di dalam tiap masyarakat sebagai salah satu penjelmaan “Geestesstructuur” (Struktur Alam Pikiran) masyarakat yang bersangkutan, mempunyai corak dan sifatnya sendiri sehingga hukum masing-masing masyarakat itu berlain-lainan.
Begitu pula halnya dengan Hukum Adat di Indonesia, seperti halnya dengan semua sistem hukum dibagian lain di dunia ini maka :
“Hukum Adat itu senantiasa tumbuh dari sesuatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup, yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat Hukum Adat itu berlaku.”
Untuk dapat mengerti benar-benar Hukum Adat itu sebagai suatu segi kebudayaan Indonesia, sebagai penjelasan kepribadian Indonesia maka perlulah terlebih dahulu kita harus memberi jawaban atas pertanyaan : Bagaimanakah Struktur Berfikir, Corak dan sifat masyarakat Indonesia, khusunya berhubungan dengan bidang hukum ?
Menjawab pertanyaan ini adalah penting, karena dengan meminjam istilah Von Safigny “VOLKGEIST” (Jiwa/semangat rakyat) Indonesia akan berbeda dari Volkgeist masyarakat lain di dunia ini. Jiwa/Semangat Rakyat/Volkgeist Indonesia mempunyai Struktur berfikir corak dan sifat sendiri.
Jadi Hukum mengikuti Volkgeist dari masyarakat tempat hukum hukum itu berlaku karena Volkgeist masing-masing masyarakat berlainan, maka juga hukum masing-masing masyarakat itu berlainan pula. Begitu pula halnya dengan Hukum Adat Indonesia, senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat Hukum Adat itu berlaku.
Tidak mungkin suatu hukum yang asing bagi masyarakat itu dipaksakan atau dibuat, apabila hukum yang asing itu bertentangan dengan kebudayaan rakyat yang bersangkutan. Jadi kita tidak boleh meninjau Hukum Adat Indonesia terlepas dari :
q   Volkgeist (Jiwa Semangat Rakyat)
q   Gestesstructuur (Struktur Alam Pikiran)
Masyarakat Indonesia dari sudut alam pikiran yang khas Indonesia yang terjelma dalam Hukum Adat itu. Kita juta tidak boleh lepas dari Struktur Rohaniah Masyarakat Indonesia yang bersangkutan. Untuk dapat mengerti benar-benar Hukum Adat itu sebagai suatu segi kebudayaan Indonesia, sebagai penjelmaan kepribadian, maka perlulah terlebih dahulu menjawab pertanyaan sebagaimana telah disebutkan dimuka yaitu :
“Bagaimana Struktur berfikir, corak dan sifat masyarakat Indonesia, khusus berhubungan dengan bidang hukum ?
Untuk menjawab hal tersebut, terlebih dahulu kita harus memperhatikan bahwa masyarakat Indonesia sedang mengalami masa peralihan dan bergerak terus. Dalam pada itu perlu diperhatikan pula bahwa tidak semua perubahan dalam jiwa dan struktur masyarakat merupakan perubahan fundamental (mendasar/keseluruhan) yang melahirkan suatu jiwa dan struktur yang baru, sebab masyarakat adalah sesuatu yang kontinyu (berjalan terus/tak berhenti).
Masyarakat berubah tapi tidak sekaligus meninggalkan yang lama. Jadi di dalam suatu masyarakat terdapatlah realitas, bahwa suatu proses / perkembangan mengatur kembali yang lama serta menghasilkan syntese dari dan yang baru sesuai dengan kehendak, kebutuhan cara hidup dan pandangan hidup suatu rakyat.

C.    CORAK HUKUM ADAT
Setelah kita mengetahui dari apa yang telah diuraikan dalam Sub Bab di muka tadi, bahwa Hukum Adat itu adalah suatu segi kebudayaan Indonesia, adalah pancaran dari jiwa dan struktur masyarakat Indonesia, dari mentalitas orang dan masyarakat Indonesia, maka sampailah kita pada kesempatan untuk mengetahui Mentalitas itu yang mendasari hukum adat tersebut.
F.D Hollman di dalam Pidatonya pelantikan / pengukuhan menjadi guru besar (Inagurasinya) yang berjudul :
q   “De Commune Trek in bet Indonesische Rechisleven”, atau
q   “Corak kegotong-royongan di dalam kehidupan hukum Indonesia”

Menyimpulkan adanya 4 (empat) sifat umum Hukum Adat Indonesia yang hendaknya di pandang juga sebagai suatu kesatuan. Keempat corak tersebut  adalah :
1.       Religio Magis / Magic Religius
2.       Komunal / Commune trak
3.       Kontan / Contant
4.       Konkrit / Visuil
Yang untuk lebih lanjut dapat diuraikan sebagai berikut :
  1. Sifat Religio Magis
Yaitu berhubungan dengan pandangan hidup alam pikiran bangsa/ masyarakat Indonesia, ciri ini memperlihatkan bahwa bangsa Indonesia sebagai suatu keseluruhan, percaya kepada adanya dunia gaib, yang mengatasi kekuatan manusia, dunia gaib itu mempengaruhi bahkan menentukan nasib manusia.
Corak religio-magis terlihat dengan jelas sekali pada upacara-upacara adat dimana lazimnya diadakan sesajian-sesajian yang ditujukan kepada roh-roh leluhur yang ingin diminta restunya serta bantuannya. Oleh Bushar Muhammad ditegaskan pengertian religio magis dengan kata majemuk “Participereuo-Cosmisch” yang dalam pengertian singkatnya mengandung pengertian Complex, yaitu :
“Orang Indonesia pada dasarnya berfikir, merasa dan didorong oleh kepercayaan (religi) kepada tenaga-tenaga gaib (Magis) yang mengisi, menghuni seluruh Alam Semesta (Dunia Cosmos) dan yang terdapat pada orang, binatang, tumbuh-tumbuhan besar dan kecil, benda-benda, dan tenaga itu membawa seluruh alam semesta dalam keadaan seimbang.
Tiap tenaga gaib itu merupakan bagian dari Cosmos dari keseluruhan hidup jasmaniah dan rohaniah “Participatle” dan keseimbangan  itulah yang senantiasa harus ada dan terjaga, dan apabila terganggu harus dipulihkan. Memulihkan keadaan keseimbangan itu berwujud dalam beberapa upacara, pantangan, ritus (Ritus De Passage)

  1. Sifat Commune / Komunal
Adalah sifat yang lebih mendahulukan kepentingan umum / bersama dari pada kepentingan pribadi / diri sendiri. Ciri komunal ini menunjukkan pada pandangan tentang tempat individu dalam pergaulan hidup. Dalam masyarakat semacam itu selalu terdapat sifat lebih mementingkan kebersamaan / keseluruhan, lebih diutamakan kepentingan umum daripada kepentingan individual. Dalam masyarakat demikian ini individualitas orang terdesak kebelakang / terkalahkan.
Sebaliknya persekutuan sebagai suatu kesatuan daripada anggota persekutuannya, menjamin anggota persekutuan dapat mengembangkan kepribadiannya, yakni memenuhi segala kebutuhan tetapi hal itu harus dilakukan dalam rangka keseluruhan. Sifat yang demikian ini memang merupakan corak yang khas dari suatu masyarakat yang masih sangat hidup terpencil atau dalam hidupnya sehari-hari sangat tergantung kepada tanah atau alam pada umumnya (bersifat agraris).


  1. Sifat Kontan / Tunai
Biasanya dalam masyarakat Indonesia transaksi itu bersifat kontan / tunai, yaitu : Prestasi dan Kontra-Prestasi dilakukan sekaligus bersama-sama pada waktu itu juga. Ini mengandung pengertian bahwa dengan suatu perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu juga, dengan serentak bersamaan waktunya tatkala berbuat atau mengucapkan yang diharuskan oleh adat.
Dengan demikian dalam Hukum Adat segala sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah transaksi (timbang-terima) secara kontan itu adalah diluar akibat-akibat hukum dan memang tidak bersangkut paut atau bersebab akibat menurut hukum. Perbuatan hukum yang dimaksud yang telah selesai seketika itu juga, adalah suatu perbuatan hukum yang dalam arti Yuridis berdiri sendiri.
Dalam arti urutan kenyataan-kenyataan, tindakan-tindakan sebelum dan sesudah perbuatan yang bersifat kontan itu mempunyai arti logis terhadap satu sama lain. Contoh yang tepat dalam Hukum Adat tentang suatu perbuatan yang kontan adalah : Jual Lepas, Perkawinan jujur melepaskan hak atas tanah, adopsi dan lain-lain.
Contoh jelas perbuatan kontan :
Jual Beli lepas tanah, Amin menjual tanah kepada Bejo sebidang tanah dan telah disepakati harganya Rp. 1 Juta dan disepakati juga oleh mereka Bejo membayar Rp. 800.000,-. Kekurangan pembayaran Bejo pada Amin ini merupakan hutang Bejo pada Amin dan tidak ada sangkut pautnya dengan Transaksi tanah antara Amin dan Bejo.
Sesuai sifat kontan ini transaksi tanah antara Amin  dan Bejo telah selesai dengan pembayaran Rp. 800.000,- di muka. Sedangkan kekurangan pembayaran Bejo kepada Amin menjadi transaksi hutang-piutang antara Amin dan Bejo secara sendiri, tidak ada hubungannya dengan transaksi tanah antara Amin dan Bejo seperti tersebut di atas.

  1. Sifat Visual / Konkrit
Pada umumnya dalam masyarakat Indonesia kalau melakukan atau mengadakan perbuatan hukum (Transaksi) itu selalu dalam bentuk yang nyata (Konkrit). Yang dimaksud disini, di dalam alam berfikir yang tertentu senantiasa dicoba dan diusahakan supaya hal-hal yang ).
Yang dimaksud disini, didalam alam berfikir yang tertentu senantiasa dicoba dan diusahakan supaya hal-hal yang dimaksudkan, diinginkan, dikehendaki atau akan dikerjakan ditransformasikan atau Di beri wujud  suatu benda, diberi tanda yang kelihatan baik langsung maupun hanya menyerupai obyek yang dikehendaki (Simbol Benda yang Magis). Contoh :
-          Panjer, dalam melakukan perjanjian jual beli
-          Peningset, Penyancang, dalam pertunangan atau akan melakukan perkawinan.
-          Perbuatan Tenung / Santet, yaitu membalas dendam baik sendiri maupun melalui orang lain (Dukun) terhadap seseorang dengan membuat patung, boneka atau barang lain, lalu barang itu dilukai, ditusuk, dibakar, dipancung atau dimusnahkan.
Jadi kontannya itu adalah sesuatu yang Visual, kelihatan, biarpun hanya menyerupai obyek yang dikehendaki. Selain merupakan penegasan, tanda-tanda (Visual) kelihatan ini merupakan pula suatu pemberitahuan untuk Pihak Ketiga.
Demikianlah ringkasan atau pengertian tentang sifat-sifat umum Hukum Adat sebagai suatu kebudayaan, yang diperkenalkan oleh berbagai penulis seperti Wilken dan Van Ossenbruggen, tetapi yang Formuleringnya dimulai oleh C. Van Vollenhoven dalam karangan-karangan yang terpencar, dan dilanjutkan secara ringkas dan ditegaskan pada Tahun 1935 oleh F.D Holleman dalam pidato Inagurasinya di Leiden tersebut.
Kemudian dapat pula ditambahkan disini bahwa dalam usaha mengetahui lembaga-lembaga hukum adat Indonesia dan dalam mempelajarinya secara cermat dan teliti, empat sifat umum hukum adat disebut diatas tadi harus dipahami dan diketahui sebagai pola dasar pemikiran tentang hukum adat. (Bushar Muhammad, 1976 : 56)
Lebih lanjut Bushar Muhammad mengatakan bahwa, Hukum Adat itu merupakan suatu segi dari kehidupan dan kebudayaan bangsa Indonesia, maka dapat tepat sekalilah Hazairin mengatakan bahwa :
“ Hukum (Adat) itu adalah resapan Kesusilaan dalam masyarakat.”

D.    SISTEM HUKUM ADAT
Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem, yaitu peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam pikiran, begitupun Hukum Adat. Oleh karena Hukum Adat Indonesia itu merupakan suatu aspek dari kehidupan dan kebudayaan masyarakat Indonesia yang merupakan Saripati dari kebutuhan hidup, cara hidup dan pandangan hidup masyarakat atau bangsa Indonesia.
Jadi sistem Hukum Adat Indonesia akan bersendikan pada dasar-dasar alam fikiran bangsa Indonesia yang sudah tentu tidak akan sama dengan alam fikiran dan pandangan hidup bangsa atau masyarakat lain, khususnya bangsa atau masyarakat di belahan bumi bagian Barat sana (Eropa). Untuk lebih mendalami dan lebih dapat memahami akan sistem Hukum Adat, orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. (Soepomo,1982: 25)
Bagaimanakah Sistem Hukum Adat itu ?
Dari uraian Soepomo tentang beberapa perbedaan Fundamental/Prinsip/Dasar, antara sistem hukum Adat Indonesia dengan sistem hukum barat, dapat dinyatakan bahwa sistem Hukum. Adat khususnya mengenai bagian-bagian dan  unsur-unsurnya tidak diadakan pembedaan-pembedaan khusus. Hal ini berarti bahwa Hukum Adat merupakan suatu kesatuan yang untuk dan atas dasar keutuhan itu pula sistem Hukum itu dibentuk.
Untuk mengetahui Sistem Hukum Adat yaitu yang merupakan suatu kesatuan itu, disini dikutip Konsepsi Soepomo tentang beberapa perbedaan fundamental antara sistem Hukum Adat dengan sistem Hukum Barat. (Soepomo : 1982, 25-26)
Beberapa perbedaan Fundamental itu adalah :
  1. Hukum Barat mengenal Zakelijk Rechten dan Persoonalijk Rechten.
Zakelijk Rechten, adalah hak-hak atau suatu barang yang bersifat Zakelijk, yaitu yang berlaku terhadap tiap-tiap orang. Persoonalijk Rechten, adalah hak-hak orang seorang atas suatu subyek yang hanya berlaku terhadap sesuatu orang lain yang tertentu.
Hukum Adat, tidak mengenal pembagian hak-hak dalam dua golongan seperti yang disebutkan di atas. Perlindungan hak-hak menurut sistem Hukum Adat adalah ditangan Hakim. Di dalam persengketaan di muka pengadilan Hakim menimbang berat-ringannya kepentingan-kepentingan Hukum yang saling bertentangan.
Misalnya : Apabila seseorang bukan pemilik sawah menjual lepas sawah itu kepada orang yang bersangka baik (to goeder trouw) dan kemudian pemilik sawah menuntut supaya sawah itu dikembalikan maka Hakim akan menimbang kepentingannya siapa yang lebih berat didalam perkara konkrit yang diadili itu. Kepentingan pemilik atau kepentingannya pembeli yang bersangka baik itu.
  1. Hukum Barat mengenal perbedaan antara Publik Recht (Hukum Umum) dengan Privat Recht (Hukum Pribadi).
Hukum adat  tidak mengenal perbedaan demikian, atau jika hendak mengadakan perbedaan antara peraturan-peraturan Hukum Adat yang bersifat Publik dan peraturan-peraturan yang hanya mengenal lapangan Privaat, maka batas-batas antara kedua lapangan itu di dalam Hukum Adat adalah berlainan dari pada batas-batas antara lapangan Publik dan Lapangan Privat-Recht pada Hukum Barat.
  1. Pelanggaran-pelanggaran Hukum menurut sistem Hukum Barat dibagi-bagi dalam golongan pelanggaran yang bersifat pidana  dan harus diperiksa oleh Hakim Pidana (Strafrechter), dan pelanggaran-pelanggaran yang hanya mempunyai akibat dalam lapangan perdata, sehingga pelanggaran-pelanggaran itu harus diadili oleh Hakim Perdata.
Hukum Adat tidak mengenal perbedaan demikian, tiap-tiap pelanggaran Hukum Adat membutuhkan pembentukan hukum kembali dan Hakim (Kepala Adat) apa yang harus digunakan untuk pembentulan hukum yang dilanggar itu.
Hal ini disebabkan oleh karena kepercayaan bahwa hidup / kehidupan yang tentram adalah identik dengan adanya keseimbangan Cosmis. Konsepsi-konsepsi tersebut di atas, dapat dijadikan patokan sementara untuk melakukan penelitian kembali. Maksudnya agar diketahui apakah konsepsi-konsepsi tersebut dapat dipergunakan atau harus dirubah. (Misal : dengan jalan memperluasnya)
Perbedaan-perbedaan Fundamental dalam sistem ini pada hakekatnya dikarenakan karena :
a.       Corak serta sifat yang berlainan antara Hukum Adat dan Hukum Barat.
b.      Pandangan hidup yang mendukung / Volkgeist kedua macam hukum itu juga berlainan, yaitu :
-          Aliran Dunia Barat bersifat Liberalistis dan bercorak Rasionalistik Intelektualistis.
-          Aliran Dunia Timur, khususnya alam pikiran tradisionil Indonesia bersifat cosmis tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib.
Dunia manusia berhubungan erat dengan segala sesuatu itu bersangkut paut dan saling pengaruh-mempengaruhi.

E.     MASYARAKAT HUKUM ADAT
Di atas telah dinyatakan bahwa pada dasarnya masyarakat itu yang mewujudkan Hukum Adat dan masyarakat pula yang merupakan tempat berlakunya Hukum Adat. Masyarakat dalam pengertian Hukum Adat adalah suatu kesatuan manusia yang berhubungan dengan pola berulang tetap, yaitu suatu masyarakat dengan pola perilaku yang sama, dimana perikelakuan yang sama itu tumbuh dan diwujudkan oleh masyarakat, dan dari pola-pola tersebut diwujudkan aturan-aturan untuk mengatur pergaulan hidup itu. (Soleman Biasane Taneko,  1981 : 49)
Jadi kiranya dapat dikatakan bahwa pada awalnya aturan-aturan Hukum Adat itu tumbuh dan diwujudkan oleh suatu komunitas kecil, artinya anggota masyarakatnya tidak demikian besarnya. Oleh karena itu dalam suatu masyarakat yang mempunyai jumlah yang besar serta menempati daerah yang luas, akan terbagi dalam Komunitas Kecil dengan wilayah yang relatif lebih kecil.
Dan setiap masyarakat itu akan terdapat perbedaan kebudayaan, jadi terdapat perbedaan Hukum Adat pula dan Hukum Adat yang satu berbeda dengan Hukum Adat masyarakat lain. Dengan demikian dapat dipahami apabila diadakan pembagian suatu wilayah yang besar kedalam lingkungan yang lebih kecil, oleh karena adanya wilayah yang kecil itu kehidupan bersama dengan pola hubungan berulang tetap itu dapat terciptakan.
Dengan demikian dapat dipahami apabila diadakan pembagian suatu wilayah yang besar kedalam lingkungan yang lebih kecil, oleh karena dengan wilayah yang lebih kecil itu kehidupan bersama dengan pola hubungan berulang tetap itu dapat terciptakan.
Khusus mengenai Indonesia (Hindia Belanda / Nederland Hindia) C. Van Vollenhoven membagi wilayah Indonesia menjadi 19 lingkungan Hukum Adat atau Adat Rechtskring. Di sini makna yang dapat diambil adalah bahwa lingkungan tersebut merupakan wilayah berlakunya Hukum Adat dan sebagai suatu kesatuan manusia yang memproduksikan Hukum Adat tersebut.
Ke 19 (Sembilan belas) Lingkungan Hukum Adat itu adalah sebagai berikut :
1.      ACEH (Aceh Besar, Pantai Barat Aceh, Singkel, Simeulue).
2.      TANAH GAYO, ALAS DAN BATAK :
a.       Tanah Gayo (Gayo Lucus)
b.      Tanah Alas
c.       Tanah Batak (Tapanuli)
1)      Tapanuli Utara
a)      Batak Pak Pak (Barus)
b)      Batak Karo
c)      Batak Simelungun
d)     Batak Toba (Samosir, Balige, Lagubati, Lumban Julu)
2)      Tapanuli Selatan
a)      Padang Lawas
b)      Angkola
c)      Mandailing (Sayirmatinggi)
3.      P. NIAS (NIAS SELATAN)
4.      DAERAH MINANGKABAU (Padang, Agam, Tanah datar, Limapuluh kota, Tanah Kampar, Kerinci)
5.      MENTAWAI (Orang-orang Pagai)
6.      SUMATERA SELATAN
a.       Bengkulu (Rejang)
b.      Lampung (Abung, Peminggir, Pubian, Rebang, Cedongtataan, Tulangbawang).
c.       Palembang (Anak-latikan, Jelma Daya, Kubu Pasemah, Semendo)
d.      Jambi (Penduduk daerah Batin dan Penghulu)
7.      ENGGANO
8.      DAERAH MELAYU (Lingga Riau, Indragiri, Sumatera Timur, Orang-orang Banjar)
9.      BANGKA DAN BELITUNG
10.  KALIMANTAN (Dayak, Kalimantan Barat, Kapuas Hulu, Kalimantan Tenggara, Pasir, Dayak Kenya, Dayak Klementen, Dayak Landak dan Dayak Tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timai, Long Glaat, Dayak Maanyan-Patai Dayak Maanyan Suing, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyabung-Punan)
11.  MINAHASA (MANADO)
12.  GORONTALO (Bolang Mongondow, Boalemo)
13.  DAERAH TORAJA (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawaili, Toraja Selatan, Tomori, To lainang, Kepulauan Banggai
14.  SULAWESI SELATAN (Orang-orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Poufe, Mandar, Makasar, Salayar, Muna)
15.  KEPULAUAN TERNATE (Ternate, Halmahera, Tobalo, Kepulauan Sulao.
16.  MALUKU AMBON (Ambon, Hitu, Banda, Kepulauan Ulaisar, Saparua, Buru, Seram, Kepulauan Kei, Kepulauan Aru, Kaisar)
17.  IRIAN
18.  KEPULAUAN TIMOR (Kelompok Timor, Timor Tengah, Molo Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sawu dan Bima.
19.  BALI DAN LOMBOK (Bali, Tuganan, Pagringsingan, Kastala, Karang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok dan Sumbawa).
20.  JAWA TENGAH (Jawa Timur serta Madura (Jawa Tengah, Purwokerto, Tulung-Agung, Jawa-Timur, Surabaya dan Madura).
21.  DAERAH-DAERAH KERAJAAN (Solo dan Yogyakarta)
22.  JAWA BARAT (Priangan, Sunda, Jakarta dan Banten)
Perlu dikemukakan di sini bahwa pembagian tersebut hanya bersifat sementara. Dikemudian hari karena adanya hubungan-hubungan atau komunikasi diantara para anggota lingkungan hukum adat itu makin lama makin bertambah dan lebih erat, maka dengan sendirinya perbedaan antara hukum berbagai persekutuan / lingkungan hukum adat tersebut yang sekarang masih ada akan hapus atau berkurang. Faktor lain ialah pengaruh kota-kota besar dan makin meresapnya kesadaran dan keinsyafan serta kesadaran nasional sebagai warga Negara Republik Indonesia.
Selalu faktor kesadaran nasional sebagai Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia tak kurang pula karena adanya era globalisasi berkat kemajuan komunikasi yang sangat maju/modern yang memudahkan hubungan antara penduduk Indonesia tetapi juga dengan seluruh penduduk di dunia. Hal inilah yang menyebabkan juga kita menerima unsur-unsur Hukum dari luar khususnya dari Barat atau Eropa yang dalam kenyataannya juga banyak dipakai terlebih dalam era globalisasi selain itu juga keinginan untuk mengadakan Unifikasi Hukum di Indonesia, menjadi faktor penting guna lenyapnya perbedaan Hukum Adat tersebut di kemudian hari. Selain hal-hal yang telah disebutkan dimuka maka kalau kita lihat faktor sejarah dibaginya Hindia Belanda dalam 19 Lingkungan Hukum Adat oleh Van Vollenhoven, adalah dasar pembagian oleh Van Vollenhoven yang di dasarkan atas dasar bahasa daerah Sebagai hipotesa kerjanya. Sehingga pembagian tersebut bukanlah hal yang mutlak atau baku yang harus terus diikuti. Selain itu dengan pembagian tersebut bukan berarti bahwa bangsa Indonesia terbagi dalam 19 “bangsa kecil-kecil” yang sekali-kali tidak mempunyai hubungan satu dengan yang lainnya, kecuali ikatan kenegaraan yang diberi nama “Republik Indonesia”.
Perbedaan lingkungan Hukum Adat tersebut bukanlah suatu perbedaan asasi, melainkan hanya perbedaan kedaerahan (lokal) belaka. Walaupun pembagian 19 lingkungan Hukum Adat itu sudah tidak dapat dipertahankan lagi, karena memang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dan keadaan sekarang ini namun demikian bagi kita khususnya bagi para sarjana Hukum Adat pembagian wilayah Indonesia kedalam 19 lingkungan Hukum Adat itu dapat dipergunakan sebagai dasar atau hipotesa kerja yang perlu diuji kebenarannya sehingga kita dapat memperoleh wilayah Hukum Adat yang benar-benar merupakan hasil pembagian berdasarkan Hukum Adat dan bukan berdasarkan pembagian berdasarkan Bahasa Daerah.
Tetapi selama belum terwujud apa yang disebutkan di atas, maka Konsepsi  C. Van Vollenhoven mengenai Pembagian wilayah itu tetap dapat dipergunakan sebagai patokan atau pedoman dalam pengajaran Hukum Adat. Kesimpulan yang dapat diperoleh dari mempersoalkan pembagian wilayah Indonesia ke dalam lingkungan-lingkungan Hukum itu adalah menunjukkan atau menandakan bahwa Masyarakat Indonesia adalah Masyarakat yang Hukum Adatnya beraneka ragam.
Dalam hal ini Kontjaraningrat (1976 : 31) memberi pernyataan bahwa :
“….. maka menjadi teranglah bahwa untuk masa sekarang ini gejala Aneka Warna Kebudayaan (Hukum Adat sebagai salah satu aktivitas budaya) itu masih merupakan suatu realitas yang dapat dipungkiri.”


Dengan mendasarkan pada konsepsi di atas, maka ada baiknya keadaan yang beraneka itu diperhatikan dalam memupuk kesatuan dan persatuan bangsa, maksudnya bahwa memupuk kesatuan bangsa haruslah mengakui dan menerima realita itu dan kemudian diusahakan melalui atau lewat berbagai cara agar aneka warna itu berangsur-angsur menjadi berkurang yang suatu saat akan benar-benar terwujud suatu kesatuan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar