Minggu, 03 Mei 2015

Diktat Hukum Adat Bab IV

BAB IV
SEJARAH POLITIK HUKUM ADAT

            Sebelum kita membicarakan tentang sejarah politik hukum adat di Indonesia mulai dari zaman Hindia Belanda pada waktu dulu hingga sekarang ini, perlulah kiranya kita memahami apa yang dimaksud dengan politik, politik hukum, Politik Hukum Adat. Untuk memahami hal tersebut, kita lihat pendapat dari Loggeman yaitu :
“Politik adalah memilih dan menetapkan tujuan negara, serta memilih dan menetapkan alat-alat untuk mencapai tujuan itu. Dengan demikian maka Politik Hukum adalah tidakan Negara yang memilih dan menetapkan tujuan dari pada hukum yang berlaku dalam negara, serta memilih dan menetapkan alat-alat untuk mencapai tujuan itu. Selanjutnya dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan Politik Hukum Adat adalah tindakan memilih dan menetapkan daripada tujuan hukum adat, serta memilih dan menetapkan alat-alat untuk mencapai tujuan itu.”

Sebagaimana telah dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya bahwa perhatian terhadap hukum adat itu tidak hanya terwujud dalam dilahirkannya suatu Ilmu Hukum Adat , tetapi juga terjelma dalam dijalankannyasuatu Politik Hukum Adat, yaitu kebijaksanaan, sikap terhadap dan terutama adalah  perundang-undangan   ( wetgeving) berhubung dengan hukum adat tersebut.
Dalam bab ini kita hendak meninjau secara sepintas lalu sikap dan pendirian masing-masing pemerintah terhadap hukum adat itu, pertama-tama pada zaman VOC, kemudian pada zaman Gubernemen Hindia Belanda dan akhirnya pada zaman Kemerdekaan Nasional kita sampai sekarang ini. Sebagaimana telah disebutkan di atas, untuk lebih rincinya sejarah politik hukum adat itu dapat dibagi atas 7 periode yaitu :
A.    Masa Kompeni ( VOC Tahun 1596 – 1808 )
B.     Masa pemerintahan Daendels (Tahun 1808 – 1811 )
C.     Masa Pemerintahan Raffles ( Tahun 1811 – 1816 )
D.    Masa Tahun 1816 – 1848
E.     Masa Tahun 1848 – 1928
F.      Masa Tahun 1928 – 1945
G.    Masa Tahun 1945 –  sekarang

A.    MASA KOMPENI ( VOC ) Tahun 1596 – 1808
I.    Pada waktu itu VOC bermuka dua yaitu yang pertama sebagai pengusaha yang kedua adalah penguasa. Sebagai pengusaha khususnya VOC disini adalah sebagai pedagang, kemudian sebagai penguasa adalah bahwa VOC sebagai Badan Pemerintah dengan hak mengatur susunan rumah tangga beserta pengurusannya sendiri. Sikap pertama itulah yang terutama menentukan sikap VOC terhadap Hukum Adat.
Di pusat pemerintahan dinyatakan berlaku satu stelsel Hukum untuk semua orang dari golongan bangsa manapun, yaitu hukum Barat/Belanda, baik hukum tata negara, Hukum Perseorangan / Privat dan Hukum Pidana. Di dalam wilayah itu Adat Pribumi tidak diindahkan sama sekali atau dianggap tidak berlaku, jadi nyata Hukum Adat dari anak negeri ( penduduk Pribumi ) tidak diindahkan.
Di luar wilayah itupun Hukum Adat Pribumi juga tidak dianggap/diindahkan, jika lambat laun disana-sini, diwilayah disekitar tempat kediaman Gubernur, De Fakto masuk kedalam lingkungan kekuasaan VOC. Maka diwilayah itu juga dinyatakan berlaku juga dinyatakan berlaku hukum Kompeni/Belanda untuk orang-orang Pribumi dan Cina.
Susunan atau cara yang demikian ini oleh C. Van Vollen Hoven disebutkan sebagai “ suatu cara mempersatukan yang sangat sederhana “ yaitu hukum yang berlaku disamakan begitu saja, tidak dipikirkan tentang pemecahan soal ini dengan jalan yang lain; oleh sebab mereka beranggapan sudah semestinya dalam suatu daerah yang dikuasai oleh VOC bukan saja susunannya ( organisasi ) akan tetapi juga hukum-hukum Kompeni harus berlaku ( Supomo dan Djokosutomo : 1955 :4 )
Keadaan ini menggambarkan prinsip yang hendak dipertahankan oleh VOC, yaitu diwilayah yang dikuasai VOC harus berlaku Hukum VOC, baik bagi orang Barat/Belanda sendiri maupun orang Indonesia/Pribumi dan orang Asia lainnya yang berada di wilayah yang bersangkutan.
II.  Tetapi Teori dan Praktek berbeda atau kenyataan menyimpang dari Prinsip, meskipun hukum Belanda/VOC berlaku untuk segala bangsa di dalam daerah Jakarta  tetapi di dalam prakteknya hukum tadi hanyalah dapat dijalankan di kota Jakarta/Batavia dan sekitarnya saja. Badan-badan pengadilan di Betawi tak dapat memeriksa perkara-perkara penduduk Pribumi yang bertempat tinggal jauh dari kota.
Kemudian dalam Resolusi/keputusan Tanggal 21 desember 1708 pimpinan VOC mengakui terus terang bahwa prinsip tersebut di atas tidak dapat dipertahankan di dalam praktek. Sebab politik yang dititik beratkan kepada pengerukankeuntungan materiil yang sebesar-besarnya itu tidak memungkinkan bagi VOC untuk melengkapi aparatur pemerintahannya.
Resolusi  ini menunjukkan dengan jelas bahwa peradilan Asli masih tetap berlaku di wilayah Priangan. Meskipun demikian, demi ketertiban dan keamanan bagi dirinya, dibeberapa wilayah kekuasaan VOC terpaksa turut campur dalam dalam menetapkan hukum bagi orang Indonesia Asli. Dibuatnya beberapa peraturan perundang-undangan yang mereproduksi Hukum Adat, yang  dianggapnya Identik dengan Hukum Islam. ( Kitab Hukum Mogharraer, Compedium Van Clootwijk, Copendium Freyer, Pepakem Cirebon )
                     Karena peraturan-peraturan tersebut memberi suatu reproduksi Hukum Adat, sebenarnya pembuatan peraturan-peraturan itu juga menyimpang dari prinsip  bahwa di daerah yang di kuasai oleh VOC Hukum Barat harus berlaku  bagi semua penduduk daerah itu.

III. Pembuatan peraturan-peraturan tersebut memperlihatkan bahwa VOC :
1.      Masih belum menemukan Hukum adat sebagai Hukum Rakyat, Hukum Adat diidentifikasikan dengan Hukum Islam atau hukum raja-raja, dan jika kesempatan, maka Hukum adat itu direproduksikan dengan banyak anasir Hukum Barat, seperti yang ternyata dalam Pepakem Cirebon.
2.      Mengira bahwa hukum adat itu terdapat dalam tulisan-tulisan berupa kitab hukum.
3.      Menjalankan suatu politik hukum adat yang opportunitis, yaitu apabila keadaan memerlukan, maka prinsip bahwa di daerah yang di kuasai oleh VOC hukum barat harus berlaku bagi semua penduduk daerah itu, ditinggalkan dan ditetapkan --secara mereproduksi— hukum adat bagi penduduk pribumi atau penduduk pribumi tersebut dibiarkan hidup menurut hukum adat.
              Lain dari pada itu VOC menganggap hukum adat lebih rendah dari Hukum Belanda. Ini terbukti dari isi Resolusi Tanggal 30 Nopember 1747, yang menentukan bahwa Landraad Semarang wenang mengadili perkara sipil atau pidana dikalangan orang-orang jawa.
Sebaliknya dalam hal perkara campuran, yaitu antara orang Jawa dengan orang Belanda, atau yang menyangkut orang Jawa bersama-sama orang Belanda, maka yang dianggap Kompetant/Berwenang ialah Raad van Justitie seorang yang menerapkan sepenuhnya Hukum Belanda.

B.     MASA PEMERINTAHAN DAENDELS (1808 – 1811)
1.       Sesudah VOC dibubarkan, maka pengurusan atas “Harta Kekayaan “Bataafsche Republik (Republik Belanda) di Asia” diteruskan oleh “DEWAN ASIA”
Tugas Dewan tersebut diliputi oleh semangat baru, yaitu harapan bahwa :
a.       Politik Pemerintahan akan dilakukan terlepas dari perhitungan komersiil atau perhitungan dagang
b.      Akan diadakan perubahan-perubahan untuk memperbaiki nasib tanah jajahan beserta penduduknya.

2.       Dasar Peradilan bagi orang Indonesia / Penduduk Pribumi ditentukan dalam Pasal 86 dari Charter (Regering-Reglement) atau Peraturan Pemerintah untuk harta kekayaan di Asia yang disahkan oleh Pemerintah Republik (Belanda) pada Tanggal 27 September 1804.
Pasal ini menyebutkan :
“Susunan Pengadilan untuk golongan Bumi putra akan tetap tinggal menurut Hukum dan Adat mereka, Pemerintah Hindia Belanda akan menjaga dengan alat-alat yang pangas, supaya dalam daerah yang langsung dikuasai oleh pemerintah sedapat-dapatnya tersapu segala perbuatan sewenang-wenang yang masuk dengan diam-diam, yang berlawanan dengan hukum serta adat penduduk pribumi.
Lagi pula diusahakan / diikhtiarkan supaya penduduk pribumi mendapat keadilan dengan cepat dan baik, dengan menambah jumlah banyaknya pengadilan-pengadilan negeri atau pembantu, kemudian ditentang segala pengaruh yang buruk dari kekuasaan politik apapun juga.”

3.       Perlakuan terhadap Hukum Adat : meskipun Daendels menganggap bahwa hukum adat dilekati beberapa kelemahan (Terutama mengenai Hukum Pidana), namun Daendels merasa enggan mengganti Hukum Adat itu sekaligus dengan Barat/Eropa. Oleh karena itu ia menempuh jalan tengah :
“Pada pokoknya Hukum Adat akan diperlakukan untuk bangsa Indonesia, hanya Hukum Adat haruslah tidak dipakai  jika :
q   Hukum itu berlawanan dengan Perintah Umum
q   Bertentangan dengan dasar-dasar utama dari keadilan dan kepatutan.
q   Karenanya dalam perkara-perkara Pidana, kepentingan dari keamanan umum tidak terpelihara.”
            Berdasarkan anggapan itulah Daendels memutuskan : Walaupun golongan Bumi Putra di Jawa Tetap dibiarkan memakai hukumnya (Materiil dan Formal) sendiri, dan oleh karenanya Landraaden serta Landgerechten harus mengikutinya, namun hukum adat tidak akan diperlakukan :
1.      Jika karenanya si penjahat dapat melepaskan diri dari pidananya, oleh sebab itu keadilan harus dituntut atas nama Pemerintah jika hal ini tidak atau tidak dapat dilakukan oleh orang biasa.
2.      Bila Pidana yang ditetapkan dalam hukum adat itu tidak sebanding dengan kejahatannya ataupun tidak cukup berat untuk menjamin keamanan umum, dalam hal ini pengadilan harus menetapkan pidana menurut kasus yang dihadapinya.
3.      Jika Hukum Acara Adat tidak mungkin menghasilkan bukti atau keyakinan hakim, dalam hal ini Pengadilan diberi kuasa untuk memperbaikinya menurut permufakatan dan contoh dari hukum umum serta praktek.
           Beginilah “Jalan Pertengahan” yang ditunjuk oleh Daendels, yang membiarkan penduduk asli / orang Indonesia tetap tunduk pada hukum Privat/ Perseorangan Adat yang kemudian memberi keleluasaan besar kepada Hakim dalam memutuskan perkara-perkara pidana.

C.    MASA PEMERINTAHAN RAFFLES (1811 – 1819)
Thomas Stamford Raffles termasuk salah seorang perintis penemuan Hukum Adat bersama-sama dengan Marsden dan Crawfurd. Timbul pertanyaan : apakah yang telah dihasilkannya di bidang perundang-undangan berhubung dengan hukum adat itu ?
             Sikap Raffles terhadap hukum adat dan lembaga-lembaga sosial orang Indonesia yang lainnya telah diperlihatkan pada waktu sebelum ia menjadi Letnan Gubernur Pulau Jawa. Dalam rangka merebut Pulau Jawa dari Belanda Raffles yang pada waktu itu menjadi Adjunctsecretaris di Pulau Pinang mengadakan penyelidikan-penyelidikannya di Indonesia pada waktu itu. Sehingga Raffles mempunyai pengetahuan yang sangat mendalam terhadap lembaga-lembaga sosial, adat istiadatnya serta kebudayaan Indonesia yang dimana pengetahuan itu dipergunakan untuk rencana penyerbuan yang dipimpin oleh Lord Minto ke Pulau Jawa.
             Hasil karyanya itu dilaporkan dalam bentuk Memories kepada Lord Minto, perencana dan pelaksana ekspedisi tentara Inggris yang berhasil memancangkan “Union Jack” di Jawa Tahun 1811 (Tepatnya Penyerahan oleh Belanda kepada Inggris atas Pulau Jawa di Salatiga 4-11-1811)
Usulan dari Raffles itu yang utama adalah :
1.       Agar Pemerintah Inggris menempuh Politik lunak, murah hati dan menciptakan suasana damai dengan penduduk asli, agar mereka simpati kepada Pemerintah Inggris.
2.       Supaya pengaruh Inggris ditingkatkan di Kepulauan ini sehingga kedudukannya semakin kuat, juga kalau jajahan Belanda ini harus dikembalikan sesudah perdamaian Eropa tercapai.
            Pandangan Politiknya itu dipertahankan dan diusahakan realisasinya ketika Raffles menjadi Letnan Gubernur Pulau Jawa. Pada waktu itu di Eropa berkembang faham baru yaitu jaman Liberalisme dan dia sangat menjiwai serta mendalami faham tersebut, dia sangat membenci Feodalisme, oleh karena itu segala Lembaga VOC yang masih dipertahankan Daendels dan tidak sesuai lagi dengan aliran jaman, karena merupakan sisa jaman (Feodal Barbarism/Kebiadapan Feodal), harus dilenyapkan selekas-lekasnya.
Misalnya :
-          Pajak yang harus dibayar dengan barang
-          Kerja Rodi / Kerja paksa dan lain-lain
          Terpengaruh oleh Filsafat Baru, aliran pikiran yang dijiwai asas perikemanusiaan yang berkembang di Eropa sejak akhir Abad ke 18, maka Raffles berhasrat melindungi kepentingan rakyat dan melenyapkan pengaruh atau setidak-tidaknya mengurangi kekuasaan kepala-kepala rakyat (Bupati, Demang dan sebagainya) yang berkedudukan selaku penguasa di bawah raja dan diatas rakyat.
            Untuk mencegah tindakan sewenang-wenang, maka prinsipnya ditentukan oleh Raffles bahwa badan pemerintah yang terdiri dari atas orang-orang Barat / Eropa harus mengadakan hubungan langsung dengan rakyat dengan melangkahi dan mengesampingkan para kepala penduduk asli / pribumi tadi. Perlakuannya terhadap hukum adat ialah Raffles mengadakan banyak perubahan dalam susunan Badan-Badan Pengadilan, tetapi Hukum Materinya hampir-hampir tidak diubahnya. Dalam perkara antar orang Indonesia pada umumnya diperlakukan hukum adat, dengan syarat :
q   Tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip kodrat yang universal dan diakui.
q   Prinsip-prinsip keadilan hakiki yang diakui.
            Tentang penilaiannya terhadap Hukum Adat harus dibedakan antara dua bidang : Di Bidang Hukum Pidana, Raffles mencela Sanksi Pidana yang tidak sesuai lagi dengan kemajuan jaman misalnya : Pidana Bakar Hidup, Pidana Tikam dengan Keris.
      Sambil menunggu diadakannya ketentuan peraturan perundang-undangan dalam bentuk Kitab Undang-Undang (Kodifikasi) semua bidang hukum khususnya bidang perdata, pidana serta acara pidana dan acara perdata yang akan dipakai dan berlaku di negeri Belanda, maka Komisaris Jenderal mengadakan Peraturan-peraturan untuk sementara waktu (Provisioneel). Karena semua peraturan-peraturan perundang-undangan yang nantinya akan dibuat dan dipakai di Hindia Belanda harus definitif padahal peraturan-peraturan tersebut di Belanda belum ada, maka lebih baik peraturan-peraturan itu ditunda hingga Kitab Undang-Undang untuk Negeri Belanda di umumkan dan untuk itu perlu dibuat peraturan-peraturan untuk sementara waktu (Provisioneel) seperti disebutkan dimuka.
        Boleh dikatakan bahwa dengan peraturan sementara itu Komisaris Jenderal mengadakan banyak perubahan dalam susunan pengadilan. Sedangkan mengenai Hukum Materiil yang diperlakukan oleh Badan-Badan Pengadilan, perubahannya sedikit sekali, kecuali dibidang hukum Penitensier (Hukum yang mengatur cara melaksanakannya pidana dan tindakan-tindakan demi keamanan umum). Tentang Hukum Materiil yang diterapkan oleh badan-badan pengadilan, berlaku dalil : “Hukum dari pihak tergugat” Staatblaad tahun 1825-42.
             Jelasnya jika dalam sengketa antara orang Bumi Putra dengan orang Eropa yang menjadi tergugat itu pihak Bumi Putra, maka yang mengadili adalah Landraad, yang memperlakukan Hukum Adat. Jadi disini terdapat kemungkinan bahwa atas orang Eropa  selaku penggugat akan diterapkan hukum adat. Ini berarti bahwa hukum adat dianggap seharkat-sederajat dengan hukum Barat, sebab kesadaran dan penghargaan yang demikian itu sukar dibayangkan dalam alam pikiran Komisaris Jenderal.

D.    MASA TAHUN 1848 -1928
             Pada tahun 1838 hasil kodifikasi di Nederland telah menjadi Hukum Positif di sana. Jadi tahun 1838 itu adalah saatnya bagi penguasa Hindia-Belanda untuk mulai berusaha membuat peraturan tetap– Konkodrant/Konkordansi dengan Kodifikasi di Belanda yang akan menggantikan peraturan lama dan peraturan sementara dalam periode sebelumnya.
Asas Concordantie : yaitu asas bahwa hukum yang berlaku di Indoenesia harus mengikuti asas-asas hukum yang berlaku di Belanda
             Dengan kata lain : Hukum adat harus diganti dengan Hukum Tertulis, hukum yang sama untuk seluruh Indonesia, dan hukum yang asas-asasnya sama dengan Hukum yang berlaku di Belanda.
  Dan untuk dapat melaksanakan usaha itu, Mr. G.G Hageman, Presiden Hoog Gerechtshof pada tahun 1830 diberi Tugas Istimewa mempersiapkan suatu rencana Kodifikasi bagi Hindia Belanda. Hageman berpendapat : Hindia Belanda sangat memerlukan suatu Kitab Undang-Undang Hukum Privat yang ditulis dalam bahasa Pribumi yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa.
Dari pernyataannya itu dapat disimpulkan bahwa Hageman mencita-citakan suatu Kitab Undang-Undang Uniform/Unifikasi untuk golongan Bumi Putera dan Eropa bersama-sama. Tetapi hasrat itu tinggal angan-angan belaka, karena masa tugasnya berakhir tanpa menghasilkan sesuatu yang positif.                Tetapi yang penting dalam hubungan ini ialah bahwa Asas Unifikasi Hukum telah mulai nampak dalam sejarah Politik Hukum Belanda yang menyadari arti pentingnya Hukum Adat. Untuk melanjutkan usaha dalam Fase Pertama yang gagal, pada tahun 1839 Pemerintah Belanda membentuk suatu Komisi yang diketuai Mr. C.J Scholten Van Harrlem dan sebagai anggotannya Mr. I Schneither dan Mr. I.F.H Van Nes. Yang untuk selanjutnya disebut dengan Komisi Scholten Van Oud Haarlem. Komisi ini bertugas membuar rencana yang diperlukan agar perundang-undangan Nederland yang baru itu dapat ditetapkan di Hindia Belanda dan mengajukan usul-usul yang sesuai dengan pelaksanaan tugas tersebut. Komisi merencanakan beberapa peraturan perundang-undangan, diantaranya :
1.       Algemene Bepalingen Van Weigeving voor Nederlandch Indie
Stbl 1847 No. 23.2
q   Ketentuan-ketentuan umum tentang perundang-undangan bagi Hindia Belanda.
2.       Eurgelijk Wetboek voor Nederlandch Indie Stbl. 1847 No. 23.4
q  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk Hindia Belanda
3.       Reglement op de Rechterlijk Organisatie en het Beleid der Justitie in Nederlands Indie Stbl. 1847 No. 23.5
q  Peraturan tentang organisasi pengadilan dan kebijaksanaan kehakiman di Hindia Belanda.
4.       Wetboek van Koophandel  Stbl. 1847 No. 23.3
q  Kitab Undang-Undang Hukum Dagang untuk Hindia Belanda
Berlainan dengan sikap Hageman, maka sejak semula Scholten van Oud Haarlem bermaksud tidak akan menjamah Hukum Privat Adat. Jadi menurut pendapatnya, bangsa Indonesia bebas dari penerapan asas unifikasi hukum yang termaktub dalam instruksi Pemerintah Pusat di Belanda. Tetapi disamping pendapat yang sedikit banyak melindungai Hukum Adat itu terdapat pandangan yang mengandung ancaman bagi kehidupan dan perkembangannya.
Sebagai masalah dalam politik hukum, hukum adat di perbincangkan lebih hebat lagi pada tahun 1848, sebab pada saat itu Kitab-Kitab Hukum Perdata, Dagang, Acara Perdata, Acara Pidana, berdasarkan Pola Belanda berlaku bagi penduduk Belanda di Indonesia.
Mengenai Hukum Adat timbullah masalah bagi pemerintah kolonial Belanda, sampai d imana hukum ini dapat digunakan bagi tujuan-tujuan Belanda serta kepentingan-kepentingan ekonominya, dan sampai dimana hukum adat itu dapat dimasukkan dalam rangka politik Belanda. Kepetingan atau kehendak bangsa Indonesia tidak masuk perhitungan Pemerintah kolonial Belanda.
Suasana di sekitar tahun 1848 adalah sangat dikuasai oleh pemujaan nilai dan kepentingan kodifikasi, (yaitu berkembangnya Aliran Legisme = Hukum Identik dengan Undang-Undang), suasana inilah yang mendorong atau merupakan sebab utama adanya permulaan untuk menggantikan Hukum Adat.
Apabila diikuti secara kronologis usaha-usaha baik Pemerintah Belanda di negerinya sendiri maupun Pemerintah Kolonial yang ada di Indonesia ini, maka secara ringkasnya Undang-Undang yang bertujuan menetapkan nasip ataupun kedudukan Hukum Adat seterusnya di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia adalah sebagai berikut :
1.      Mr. Wichers, Presiden Hoog-Gerechtshof atau Presiden Mahkamah Agung pada saat itu, ditugaskan untuk menyelidiki apakah Hukum Adat Privat itu tidak dapat diganti dengan Hukum Kodifikasi Barat.
Rencana Kodifikasi Wichers gagal, karena Hukum Barat tidak cocok bagi apa yang olehnya dinamakan perhubungan-perhubungan Hukum Sederhan bangsa Indonesia.
2.      Sekitar tahun 1870 pada saat Perusahaan Partikelir Belanda masuk Indonesia menggantikan eksploitasi negara, Menteri Jajahan Belanda, mengusulkan penggunaan Hukum tanah Eropa bagi penduduk di Indonesia untuk kepentingan Agraria Pengusaha Belanda.
Usaha ini pun gagal, karena Parlemen Belanda menuntut lebih dahuku diadakannya penyelidikan lokal mengenai hak-hak penduduk terhadap tanah.
3.      Pada tahun 1900 Cremer, Menteri Jajahan menghendaki diadakannya Kodifikasi Lokal untuk sebagian Hukum adat dengan mendahulukan daerah-daerah dimana penduduknya telah memeluk Agama Kristen.
Alasannya : Ketiadaan jaminan hukum bagi penduduk yang telah memeluk Agama Kristen dianggap sangat terasa di daerah-daerah tersebut.
Kehendak Cremer ini belum lagi sempat diselenggarakan sudah tersusul oleh usaha berikutnya.
4.      Kabinet Kuyper pada tahun 1904 mengusulkan suatu rencana undang-undang untuk menggantikan Hukum Adat dengan hukum Eropa.
Pemerintah Belanda untuk kepentingan-kepentingan tertentu menghendaki supaya seluruh penduduk asli tunduk pada unifikasi hukum secara barat. Usaha ini mengandung pengertian dan keyakinan, bahwa hukum adat sama sekali tidak mampu memenuhi tuntutan-tuntutan abab 20. Usaha ini gagal, sebab Parlemen Belanda menerima suatu Amandemen yakni Amandemen Van Idsinga yang hanya mengijinkan penggantian hukum adat dengan hukum barat jika kebutuhan-kebutuhan sosial rakyat menghendakinya. Van Idsinga membuat Amandemen ini karena terpengaruh oleh karangan Van Voolenhoven yang berjudul “Geen Juristenrecht voor den Indonesier” (Untuk Bangsa Indonesia jangan diperlakukan hukum untuk hakim)
5.      Pada tahun 1914 Pemerintah Belanda dengan tidak menghiraukan Amandemen Idsinga, mengumumkan rencana KUH Perdata bagi seluruh golongan penduduk di Indonesia. Dan rencana ini ditentang keras oleh Van Vollenhoven dalam karangannya “Strijd van het Adatrecht” (Perjuangan bagi Hukum Adat). Dan rencana ini tinggal rencana dan tidak pernah dimajukan kepada Parlemen Belanda.
6.      Pada tahun 1923 Mr. Gowan, Direktur Departemen Justitie di Jakarta membuat rencana baru KUH Perdata dalam tahun 1920, yang diumumkan Pemerintah Belanda sebagai rencana Unifikasi dalam tahun 1923. Dan ini gagal lagi karena kritik Van Vollenhoven dalam karangannya “Juridisch Confeetiewerk” atau “Karya Konfeksi Hukum”.
           Hukum Adat dengan demikian telah berkali-kali menerima percobaan-percobaan yang semuanya berakhir dengan kegagalan. Apa sebab gagal semua usaha itu. Sebab kegagalan semua usaha tersebut diatas adalah karena kenyataan, bahwasanya tidak mungkin bangsa Indonesia yang merupakan bagian terbesar dari penduduk harus tunduk kepada hukum yang sebagian besar disesuaikan pada kebutuhan bangsa Eropa sedangkan bangsa Eropa ini hanya merupakan bagian kecil saja. Bangsa Indonesia tidak bisa dimasukan dalam golongan Eropa di dalam lapangan hukum privat.
           Pengganti Mr. Cowan, yaitu Mr. Rutgers memberitahukan kepada pemerintah, bahwa menurut pendapatnya meneruskan pelaksanaan Kodifikasi dan Unifikasi itu tidak mungkin. Dalam tahun 1927 Pemerintah Belanda mengubah haluannya, ia menolak konsepsi Unifikasi Hukum dan menyangsikan apakah sudah tiba saatnya untuk menuangkan materi Hukum Perdata bagi rakyat Indonesia kedalam bentuk perundang-undangan.
           Ia lebih cenderung untuk melukiskan hukum adat sedaerah demi sedaerah. Dan sesuai dengan keinginan Van Voollenhoven, pekerjaan ini dapat dilakukan oleh seorang ahli hukum bangsa Indonesia, disponsori oleh seorang guru besar Hukum Adar pada Recht-Hoge School ialah Supomo dengan konsultasi Ter Haar.
             C. Van Vollenhoven mencatat bahwa pada tahun 1927 dan tahun 1928 terjadi suatu Keerpunt (Titik Balik) dalam Politik Hukum Adat yang dianut Pemerintah Hindia Belanda.
Titik Balik (Keerpunt) itu oleh Ter Haar dilukiskan sebagai berikut : “Atas nama Pemerintah Direktur Justitie menjelaskan dalam sidang Volksraad bahwa bertahun-tahun Pemerintah berkeyakinan perlunya diadakan Unifikasi hukum bagi penduduk asli dan golongan rakyat lainnya, disertai penunjukan-penunjukan kepada hukum kebiasaan. Karena ternyata bahwa hasil usaha itu makin tidak dapat dipergunakan dengan segera, maka pemerintah mulai mencari jalan lain untuk memperhatikan kepentingan itu.”
            Dari lukisan itu tampak bahwa Pemerintah Hindia Belanda telah melepaskan pendapat lama yaitu :
“Membuat suatu Kodifikasi Hukum bagi orang Indonesia Asli yang sedapat-dapatnya dan sebanyak-banyaknya didasarkan kepada asas-asas hukum Eropa, dan menganut paham baru, ialah : Hukum yang berlaku bagi orang Indonesia Asli akan ditentukan sesudah diadakan penyelidikan tentang kebutuhan hukum mereka yang sebenarnya. Dan apabila ternyata bahwa hukum adat itu belum dapat ditinggalkan atau diganti dengan hukum lain, maka hukum adat yang masih diperlukan itu tetap dipertahankan.”
          Terjadinya Keerpunt dalam politik Hukum Adat itu adalah hasil gilang gemilang perjuangan ilmu Hukum Adat dibawah pimpinan Van Vollenhoven di Nederland dan Ter Haar di Indonesia yang hendak melindungi dan memperkembangkan Hukum Adat.

E.     MASA TAHUN 1928-1945
Apakah hasil perundang-undangan berhubung dengan Hukum Adat sejak tahun 1928 itu ? Apakah hasil perundang-undangan berhubung dengan hukum adat sejak tahun 1928 yang tidak lagi didasarkan atas suatu asas Asimilasi ke arah Hukum Eropa, tetapi atas asas non asimilasi ?
Di dalam karangannya “Setengah Jalan Politik Hukum Adat Baru” Ter Haar menggambarkan hasil perundang-undangan di lapangan Hukum Adat itu sebagai berikut :
1.       Peradilan Adat di daerah yang diperintah secara langsung diberi aturan dasar dalam Ordonasi (S. 1932 – 80) dan dalam peraturan pelaksanaannya yang dibuat oleh Resident setempat.
2.       Peradilan Swapraja diberi beberapa aturan dasar dalam Zelfbestuursregelen 1938 (S. 1938 – 529) dalam Lang Contract dan dalam peraturan daerah Swapraja yang bersangkutan serta peraturan yang dibuat oleh Residen setempat.
3.       Hakim Desa diberi pengakuan perundang-undangan dalam S. 1935 – 102 yang menyisipkan pasal 3 a ke dalam R.O.
4.       Sebagai salah satu hasil usaha untuk memperbaiki peradilan agama, dalam Pasal 134 I.S (vide ayat 2) diadakan perubahan (Menurut S. 1929 – 221 jo 487). Kemudian pada tahun 1931 diadakan penegasan tentang Susunan dan Kompetensi Pengadilan Agama (S. 1931 – 53) (Direalisasikan pada Tahun 1937 – 116). Pada tanggal 1 Januari 1938 didirikan “Mahkamah Urusan Agama Islam”
Sebagai pengadilan dibanding atas keputusan Pengadilan Agama yang dikenal dengan nama RAAD AGAMA (S. 1937 – 610).
5.       Tanggal 1 Januari 1938 merupakan hari bersejarah bagi Hukum Adat, karena pada waktu itu Raad van Justitie di Kota Betawi didirikan suatu Adat Kamer (Kamar Adat) yang mengadili dalam tingkat banding perkara-perkara hukum privat adat yang telah diputuskan oleh Landraaden di Jawa, Palembang, Jambi, Bangka-Belitung, Kalimantan dan Bali (S. 1937 – 631).
Pembentukan Adat Kamar itu memberi jaminan lebih baik kepada penerapan Hukum Adat, sebab persoalan Hukum Adat tidak lagi dititipkan kepada Civiele Kamer di Raad van Justitie, sehingga perhatian pada Hukum Adat dapat dikhususkan.

F.     MASA 1945 SAMPAI SEKARANG
Pada zaman sesudah Perang Dunia ke II terutama pada zaman Revolusi Fisik antara tahun 1945 dan tahun 1950 dan pada beberapa tahun pertama sesudah tahun 1950, yaitu pada zaman yang kita perlukan untuk mengkonsulidasi segala yang telah kita peroleh sebagai hasil revolusi fisik antara tahun 1945 – 1950, kegiatan menyelidiki dan mempelajari hukum adat sangat berkurang sekali. Sebab berkurangnya kegiatan tersebut adalah karena para Sarjana Hukum bangsa Indonesia masih sangat terikat perhatian dan tenaganya oleh berbagai persoalan yang sangat banyak berhubung dengan tugas pembangunan. Mereka belum mempunyai waktu yang cukup tenang untuk mengadakan penyelidikan dan pelajaran tentang hukum adat.
Apa yang dikatakan di atas tadi tentang aktifitas dibidang ilmu hukum khususnya di lapangan hukum adat, mengenai pula aktifitas dibidang perundang-undangan dan politik Hukum Adat.
Setelah Proklamasi dibuat prediksi-prediksi tentang sifat dan corak hukum yang akan berlaku dikemudian hari. Sebagaian mengingini supaya diadakan suatu Unifikasi Hukum Modern. Sebagian lagi belum melihat kemungkinan kearah itu dan menghendaki kodifikasi hukum bagi golongan rakyat masing-masing.
                Pada masa itu ada beberapa pandangan dari para ahli Hukum yang patut kita simak pendapatnya tentang masa depan Hukum Nasional bagi masyarakat Indonesia yang sudah terlepas dari penjajahan. Pertama-tama kita lihat Konsepsi Prof, Soepomo yang dikemukakan dalam Pidato Dies Natalies I Universitas Gajah Mada di Yogyakarta (17 Maret 1947).
Intinya ialah :
“Sudah semestinya masyarakat dan negara Indonesia menjadi masyarakat dan negara yang modern. Hukum Modern itu bukan Hukum Belanda, melainkan hukum yang berisi asas-asas Modern Universal. Kodifikasi itu sejauh mungkin harus bersifat Unifikasi, terutama di bidang Hukum Harta Kekayaan. Sebalinya Unifikasi itu masih sukar diselenggarakan di lapangan hidup kekeluargaan, karena berhubungan erat dengan dan dipengaruhi oleh kepercayaan batin dari golongan rakyat yang bersangkutan. Hukum Adat tetap memberi bahan-bahan bangunan dan menjadi sumber bagi penyusunan dan pembinaan hukum baru itu. “   

Kemudian perlu kita perhatikan Konsepsi Hazairin dalam sebuah Pidato dalam Konferensi Kehakiman (Salatiga, 16 Desember 1950) yaitu :
1.       Ia menegaskan pentingnya Hukum Eropa dalam proses modernisasi masyarakat kita dalam segala segi, sebab hukum itulah yang merupakan  jembatan bagi bangsa dan negara kita dalam hubungannya ke luar.
2.       Proses asimilasi kearah kebudayaan dan tehnik Barat tidak dapat dihindarkan lagi. Tetapi dalam proses Asimilasi itu oleh Hazairin diberikan suatu peranan yang lebih kepada Hukum Adat.
3.       Hukum Eropa dan Hukum Adat itu akan dipertautkan. Untuk itu harus dimulai dengan hukum lalu lintas, yaitu hukum perdagangan, hukum perjanjian, hukum utang-piutang, sebab tidak begitu erat sangkut-pautnya dengan susunan masyarakat Adat.
4.       Proses mempertautkan itu harus dilakukan dengan berangsur-angsur sebab kita menghadapi 3 macam hukum yaitu :
q  Hukum Barat / Eropa
q  Hukum Adat
q  Hukum Agama
Yang masing-masing mempunyai pengikutnya sendiri-sendiri.
Sesudah Supomo dan Hazairin mengemukakan konsepsi mereka menyusullah serentetan pendapat yang berbeda-beda, mempersoalkan kodifikasi hukum di Indonesia dan hubungannya dengan Hukum Adat yaitu dari :
  1. Suwandi (Tahun 1955) : “Sekitar Kodifikasi Hukum Nasional di Indonesia”
  2. Sutan Malikul Adil (Tahun 1955) : “Pembaharuan Hukum Perdata Kita.”
  3. Gouw Giok Siong (Tahun 1956) : “Pembaharuan Hukum di Indonesia.”
  4. Kotjay Sing (Tahun 1958) : “Kodifikasi dan Unifikasi Hukum Perdata dan Hukum Dagang.”
  5. Oey Pek Hong (Tahun 1959) : “Peranan Kodifikasi, Jurisprodensi dan Ilmu Pengetahuan Dalam Perkembangan Hukum Perdata.”
               Di dalam masa tahun 1960–1965 Pemerintah menunjukkan suatu sikap yang riil dan lebih mantap untuk memajukan Hukum Nasional yang unsur utamanya didasarkan kepada Hukum Adat dan Hukum Islam, terbukti dari Putusan-putusan MPRS 1960 / II yaitu dalam lampiran pada paragraf 402 No. 34 dan 35 tersebut diatas disebut dengan jelas asas-asas yang harus diperhatikan oleh para Pembina Hukum Nasional yaitu :
q  Pembangunan Hukum Nasional harus diarahkan kepada Homogeniteit hukum dengan memperhatikan kenyataan-kenyataan yang hidup di Indonesia.
q  Harus sesuai dengan Haluan Negara dan Berlandaskan Hukum Adat yang tidak menghambat Perkembangan Masyarakat Adil dan Makmur.
 Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang diadakan dengan Keputusan Presiden Nomor 107 tahun 1958 diberi tugas : Melaksanakan Pembinaan Hukum Nasional sesuai yang dikehendaki oleh Ketetapan MPRS No. II / 1960 (Berlandaskan Hukum Adat) dengan tujuan mencapai Tata Hukum Nasional sebagai berikut :
  1. Mempersiapkan penyusunan perundang yang selaras dengan keadaan dan kepentingan negara, rakyat serta dengan cita-cita Hukum dan Pancasila yang terkandung dalam UUD 19945.
  2. Mengusahakan terjemahan kitab yang penting dalam lapangan Hukum kedalam Bahasa Indonesia.
  3. Menyelenggarakan peristilahan Nasional dalam lapangan perundang-undangan.
  Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden Tahun 1959 kembali ke UUD 1945, Lembaga Pembinaan Hukum Nasional dibentuk kembali dengan Keputusan Presiden Tanggal 6 Mei 1961 No. 194 / 1961 yang  berkedudukan di bawah Departemen Kehakiman dengan tugas :
  1. Melaksanakan Pembinaan Hukum Nasional yang dikehendaki oleh MPRS.
  2. Menyiapkan Rancangan Perundangan Nasional untuk menggantikan peraturan yang tidak sesuai dengan Tata Hukum Nasional.
  3. Menyelenggarakan segala sesuatu untuk menyusun keteraturan dalam keadaan perundang-undangan.
 Kemudian dengan Ketetapan Presiden No. 282 tahun 1964 dibentuk suatu Lembaga Pembinaan Hukum Nasional gaya baru. Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang bertugas melaksanakan Pembinaan Hukum Nasional sesuai dengan UUD 1945 dan sebagaimana yang dikehendaki oleh MPRS dengan tujuan mencapai satu tata hukum nasional berdasarkan Pancasila, yaitu dengan :
  1. Menyiapkan Rancangan Peraturan-peraturan perundang-undangan dengan berpedoman kepada :
a.       Ketentuan-Ketentuan yang telah ditetapkan dalan Ketetapan MPRS.
b.      Kebijaksanaan Politik Menteri Kehakiman dalam tata ketetapan Hukum Nasional.
  1. Menyelenggarakan Riset dan Dokumentasi serta segala sesuatu yang diperlukan untuk menyusun peraturan perundangan.
Kedudukan Lembaga ini kemudian lebih disempurnakan lagi dengan Keputusan Presiden tanggal 24 Juli 1965 No. 184 / 1965.
 Kemudian dengan Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor YS. 4/3/7 tahun 1975 mengenai Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehakiman, nama Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) dirubah menjadi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Di dalam pasal 616 disebutkan bahwa Badan Pembinaan Hukum Nasional mempunyai tugas menyelenggarakan Pengembangan Hukum Nasional berdasarkan Kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri Kehakiman.
            Untuk menyelenggarakan tugas tersebut pada Pasal 616 Badan Pembinaan Hukum Nasional mempunyai fungsi :
a.       Membina penyelenggaraan pertemuan ilmiah bidang hukum
b.      Membina Penelitian dan Pengembangan Hukum Nasional
c.       Membina penyusunan naskah rancangan undang-undang dan kodifikasi.
d.      Membina Pusat dokumentasi, perpustakaan dan publikasi hukum (Pasal 617)
             Setelah mempelajari asas-asas hukum yang hidup dikalangan rakyat Indonesia, mengadakan rapat “Hearings” dari golongan masyarakat maka pada tahun 1962 Lembaga Pembinaan Hukum Nasional telah berhasil merumuskan asas-asas Tata Hukum Nasional itu sebagai berikut :
  1. Dasar Pokok Hukum Nasional Republik Indonesia adalah : “Pancasila”
  2. Hukum Nasional bersifat :


a.       Pengayoman
b.      Gotong royong
c.       Kekeluargaan
d.      Toleransi dan Anti Kolonialisme, Imperialisme dan Feodalisme.
  1. Semua Hukum sebanyak mungkin diberi bentuk tertulis.
  2. Selain Hukum tertulis diakui berlaku hukum tidak tertulis sepanjang tidak menghambat terbentuknya masyarakat sosialis Indonesia.
  3. Hakim membimbing perkembangan hukum tak tertulis melalui Yurisprodensi ke arah keseragaman hukum (Homogenitas) yang seluas-luasnya dan dalam hukum kekeluargaan ke arah sistem Parental.
  4. Hukum tertulis mengenai bidang-bidang hukum tertentu sedapat mungkin di himpun dalam bentuk Kodifikasi (Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Dagang, Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Perdata)
  5. Untuk pembangunan masyarakat sosialis Indonesia diusahakan Unifikasi hukum.
  6. Dalam Perkara Pidana :
    1. Hakim berwenang sekaligus memutuskan aspek perdatanya baik karena jabatannya maupun atas tuntutan pihak yang berkepentingan.
    2. Hakim berwenang mengambil tindakan yang dipandang patut dan adil disamping atau tanpa pidana.
  7. Sifat Pidana harus memberikan pendidikan kepada terhukum untuk menjadi warga negara yang bermanfaat bagi masyarakat.
  8. Dalam bidang Hukum Acara Perdata diadakan jaminan supaya peradilan berjalan sederhana cepat dan murah.
  9. Dalam bidang Hukum Acara Pidana diadakan ketentuan yang merupakan jaminan kuat untuk mencegah :
a.       Seseorang tanpa sadar hukum yang cukup kuat ditahan atau ditahan lebih lama dari yang benar-benar diperlukan.
b.      Penggeledahan, penyitaan, pembukaan surat dilakukan sewenang-wenang.

Untuk menghimpun berbagai pemikiran tentang masalah-masalah hukum dalam rangka Pembinaan Hukum Nasional oleh LPHN / BPHN diselenggarakan beberapa kali Seminar Hukum Nasional yang bekerjasama antara lain dengan Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI), Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Universita Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, dan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, yaitu :
q   Seminar Hukum Nasional I di Jakarta Tahun 1963
q   Seminar Hukum Nasional II di Semarang Tahun 1968
q   Seminar Hukum Nasional III di Surabaya Tahun 1974
Dasar asas-asas Hukum Nasional yang digariskan oleh LPHN tersebut di atas mendapat dukungan sepenuhnya dari Seminar Hukum Nasional I sebagaimana yang terlihat dalam kesimpulannya yang menyatakan :
  1. Dasar Pokok Hukum Nasional Republik Indonesia ialah Pancasila
  2. Hukum Nasional sebagai alat revolusi dengan arti “Tutwuri Handayani” serta sebagai ekspresi cita-cita Politik rakyat berfungsi pengayoman dalam arti membina, mengatur, melindungi tertib masyarakat sosialisme Indonesia, dimana dijamin keseimbangan antara kepetingan masyarakat dan kepentingan individu.
  3. Hukum Nasional Indonesia mencerminkan sifat gotong-royong, kekeluargaan, toleransi dan anti Imperialisme, Kolonialisme serta Feodalisme dalam segala bentuk.
              Seminar Hukum Nasional II di Semarang Tahun 1968, setahun penulis tidak membicarakan tentang dasar hukum nasional Indonesia.
Dalam Seminar Hukum Nasional ke III di Surabaya Tahun 1974, kita jumpai kembali kesimpulan tentang dasar-dasar pembinaan Hukum Nasional sebagai berikut :
  1. Dasar Pembinaan Hukum Nasional adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara.
  2. Pembinaan Hukum Nasional meliputi seluruh Hukum Positif Indonesia, baik hukum sipil maupun militer, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
  3. Penemuan dan Pembentukan hukum yang hidup dalam masyarakat adalah tugas badan-badan Legislatif, Eksekutif, dan Peradilan dalam bentuk peraturan perundangan, keputusan-keputusan dan dalam putusan-putusan hakim.
             Seminar Hukum Nasional ke IV diselenggarakan di Jakarta pada Tanggal 26-30 Maret 1979.  Mengenai Sistem Hukum Nasional ini antara lain menyimpulkan sebagai berikut :
  1. Sistim Hukum Nasional harus sesuai dengan kebutuhan dan Kesadaran Hukum Rakyat Indonesia.
  2. Landasan Hukum Nasional ialah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
  3. Asas-Asas umum Hukum Nasional adalah asas-asas yang tercantum dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978) yaitu :
a.       Asas Manfaat
b.      Asas Usaha Bersama dan Kekeluargaan
c.       Asas Demokrasi
d.      Asas Adil dan Merata
e.       Asas Perikehidupan dalam Keseimbangan
f.       Asas Kesadaran Hukum
g.      Asas Kepercayaan Kepada Diri Sendiri
  1. Fungsi Hukum Nasional ialah Pengayoman
  2. Dalam rangka menciptakan Ketertiban dan Kepastian Hukum untuk memperlancar Pembangunan Nasional, Hukum Nasional sejauh mungkin diusahakan dalam bentuk tertulis. Di samping itu hukum yang tidak tertulis tetap merupakan bagian dari Hukum Nasional.
  3. Untuk memelihara Persatuan dan Kesatuan, Hukum Nasional dibina ke arah Unifikasi dengan memperhatikan kesadaran hukum masyarakat, khususnya dalam bidang-bidang yang erat hubungannya dengan kehidupan spiritual.
   Tentang sistem pidana ditetapkan harus disesuaikan dengan nilai yang terkandung di dalam Pancasila. Dari kesimpulan Seminar Hukum Nasional IV tersebut diatas kiranya jelas dapat ditarik kesimpulan, bahwa hukum Adat masih tetap akan mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan Hukum Nasional kita yang akan datang.
   Mengenai Pancasila sebagai dasar Pembinaan Hukum Nasional kiranya tidak perlu dipermasalahkan lagi karena sudah merupakan suatu Konsensus Nasional yang menyatakan bahwa Pancasila adalah merupakan sumber dari segala sumber hukum, begitu pula halnya dengan UUD 1945 yang merupakan Hukum Dasar Tertulis dalam kehidupan bernegara di negara kita.
Berlainan dengan Pancasila dan UUD 1945, maka Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) di bidang Hukum memperlihatkan adanya Tendensi yang selalu berubah untuk setiap periode pembangunan.
             I.       Ketetapan MPRS No. II / MPRS / 1960 antara lain menyebutkan :
“Asas-asas Pembinaan Hukum Nasional itu sesuai dengan Haluan Negara dan berlandaskan pada Hukum Adat yang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur”
          II.       Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/1973 memberikan beberapa ketentuan tentang Pembangunan di bidang hukum sebagai berikut :
1.      Pembangunan di bidang hukum dan Negara Hukum Indonesia adalah berdasar atas landasan sumber tertib hukum Negara yaitu cita-cita yang terkandung pada pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita yang luhur yang meliputi suatu kejiwaan serta watak dari bangsa Indonesia yang dipadatkan dalam Pancasila dan UUD 1945.
2.      Pembinaan hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum rakyat yang berkembang kearah modernisasi menurut tingkat-tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang sehingga tercapai ketertiban dan kepastian hukum sebagai prasarana yang harus ditujukan kearah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa sekaligus berfungsi sebagai sarana penunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh, dilakukan dengan :
a.       Peningkatan dan penyempurnaan Pembinaan Hukum Nasional dengan mengadakan pembaharuan, kodifikasi sertan unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat.
b.      Menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum menurut proporsinya masing-masing.
c.       Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak-penegak hukum.
3.      Memupuk kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina sikap para penguasa dan para pejabat pemerintah ke arah penegakan hukum, keadilan serta perlindungan terhadap harkat, martabat dan ketertiban serta kepastian hukum sesuai dengan UUD 1945.
       III.       Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/1978 merumuskan tentang arah pembangunan di bidang hukum sebagai berikut
1.      Pembangunan di bidang hukum dalam negara hukum Indonesia didasarkan atas landasan sumber tertib hukum seperti terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945.
2.      Pembagian dan Pembinaan bidang Hukum diarahkan agar hukum mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang, sehingga dapatlah diciptakan ketertiban dan kepastian hukum dan memperlancar pelaksanaan pembangunan.
a. Peningkatan dan penyempurnaan hukum nasional dengan antara lain mengadakan pembaharuan kondifikasi serta unifikasi hukum dibidang   - bidang tertentu dalam masyarakat
b.      Menertibkan badan – badan penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenangnya masing – masing.
c.       Meningkatkan kemampuan dan kewibawaan aparat penegah hukum
d.      Membina penyelenggaraan bantuan hukum untuk golongan masyarakat yang kurang mampu.
3.      Meningkatkan kesadaran hukum dalam masyarakat sehingga menghayati hak dan kewajibannya dan meningkatkan pembinaan sikap para pelaksanaan penegak hukum ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum sesuai dengan Undang – undang Dasar 1945.
4.      Mengusahakan terwujudnya Peradilan Tata Usaha Negara
5.      Dalam usaha pembangunan hukum nasional perlu ditingkatkan langkah – langkah untuk penyusunan perundang – undangan yang menyangkut hak dan  kewajiban asasi warga negara dalam rangka mengumumkan Pancasila dan UUD 1945
Dalam rangka pembentukan Hukum Nasional Indonesia yang berdasarkan seminar – seminar Hukum Nasional mulai dari yang pertama sampai yang terakhir jalan arah dan tujaun pembentukan Hukum Nasional Indonesia adalah berdasarkan Hukum Adat. Dan untuk lebih menegaskan hal seperti tersebut di atas maka berdasarkan : Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal 17 Desember 1974 No. Y.S.8/82/23 : telah ditetapkan untuk menyelengarakan Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional pada tanggal 15–17 Januari 1975 yang penyelenggaraanyadilakukan oleh BPHN dan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada di Yokyakarta.
Yang menjadi dasar pertimbangan dari pada diadakan seminar tersebut adalah :
a.       Bahwa di dalam usaha kondifikasi dan unifikasi hukum dalam rangka pembinaan hukum nasional memerlukan bahan – bahan khususnya Hukum Adat di Indonesia
b.      Bahwa di dalam membina Hukum Nasional, Hukum Adat yang merupakan hukum yang hidup di dalam masyarakat perlu diperhatikan
c.       Bahwa adanya plun formilitas hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia perlu digali dan dibahas dalam satu seminar untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan nyata tentang hukum adat yang benar – benar hidup dan berlaku di seluruh tanah air.
Dalam seminar inilah jelas terlihat arah dan kebijaksanaan pemerintah dalam menetapkan Hukum Nasional yang nantinya akan berlaku bagi seluruh penduduk Indonesia dan sekaligus menegaskan pendirian Pemerintah tentang sifat Hukum Adat sebagai. Hukum Nasional atas hukum yang bersumber pada kepribadian bangsa.
Hal yang dianggap perlu atau relevant dalam seminar tersebut kaitannya dengan pembentukan hukum nasional yang berdasarkan adat adalah :
1.      Mengenai Pengertian Hukum Adat  :
Dengan menghargai pengertian yang dikembangkan masing-masing peserta mengenai Hukum Adat, sesuai dengan pengertian hukum yang dianut serta panafsiran yang dipergunakannya, dalam seminar ini hukum adat diartikan sebagai Hukum Indonesia asli, yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang disana-sini mengandung unsur agama.
2.      Mengenai Kedudukan dan Peranan Hukum Adat
a.       Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan Hukum Nasional yang menuju kepada Unifikasi hukum dan yang terutama akan dilakukan melalui pembuatan peraturan perundangan, dengan tidak mengabaikan timbul/tumbuh dan berkembangnya hukum kebiasaan dan pengadilan dalam pembinaan hukum.
b.      Pengambilan  bahan-bahan dari hukum adat dalam penyusunan Hukum Nasional pada dasarnya berarti :
3.      Penggunaan konsepsi-konsepsi dan azas-azas hukum dari Hukum Adat untuk dirumuskan dalam norma-norma hukum yang memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini dan mendatang., dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
4.      Penggunaan lembaga-lembaga Hukum adat yang dimodernisir dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman tanpa menghilangkan ciri dan sifat-sifat kepribadian Indonesianya.
5.      Memasukkan konsep-konsep dan azas-azas Hukum Adat ke dalam lembaga-lembaga hukum baru dan lembaga-lembaga hukum dari Hukum asing yang dipergunakan untuk memperkaya dan memperkembangkan Hukum Nasional agar tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
a.       Di dalam pembinaan Hukum harta kekayaan nasional, Hukum Adat merupakan salah satu unsur, sedangkan dalam pembinaan Hukum keseluruhan  dan Hukum Kewargaan Nasional merupakan intinya.
b.      Dengan terbentuknya Hukum Nasional yang mengandung unsur-unsur Hukum Adat, maka kedudukan dan peranan Hukum Adat telah terserap di dalam Hukum Nasional.
Demikianlah sikap politik hukum khususnya hukum adat dari pemerintah setelah Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17-08-1945 yang jelas arah dan tujuannya yaitu berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Berdasarkan UUD1945 khususnya pasal 5 dan 20 UUD 1945 adalah mengutamakan jalur Kodifikasi  tetapi isinya adalah berdasarkan pandangan hidup dan kepribadian bangsa yang tertuang dalam Pancasila yang sekaligus merupakan dasar falsafah Bangsa Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar