BAB IV
SEJARAH POLITIK HUKUM ADAT
Sebelum kita membicarakan tentang
sejarah politik hukum adat di Indonesia mulai dari zaman Hindia Belanda pada
waktu dulu hingga sekarang ini, perlulah kiranya kita memahami apa yang
dimaksud dengan politik, politik hukum, Politik Hukum Adat. Untuk memahami hal
tersebut, kita lihat pendapat dari Loggeman yaitu :
“Politik
adalah memilih dan menetapkan tujuan negara, serta memilih dan menetapkan
alat-alat untuk mencapai tujuan itu. Dengan demikian maka Politik Hukum adalah tidakan
Negara yang memilih dan menetapkan tujuan dari pada hukum yang berlaku dalam
negara, serta memilih dan menetapkan alat-alat untuk mencapai tujuan itu.
Selanjutnya dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan Politik Hukum Adat
adalah tindakan memilih dan menetapkan daripada tujuan hukum adat, serta
memilih dan menetapkan alat-alat untuk mencapai tujuan itu.”
Sebagaimana telah dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya bahwa perhatian
terhadap hukum adat itu tidak hanya terwujud dalam dilahirkannya suatu Ilmu
Hukum Adat , tetapi juga terjelma dalam dijalankannyasuatu Politik Hukum Adat,
yaitu kebijaksanaan, sikap terhadap dan terutama adalah perundang-undangan ( wetgeving) berhubung dengan hukum
adat tersebut.
Dalam bab ini kita hendak meninjau secara sepintas lalu sikap dan
pendirian masing-masing pemerintah terhadap hukum adat itu, pertama-tama pada
zaman VOC, kemudian pada zaman Gubernemen Hindia Belanda dan akhirnya pada
zaman Kemerdekaan Nasional kita sampai sekarang ini. Sebagaimana telah disebutkan
di atas, untuk lebih rincinya sejarah politik hukum adat itu dapat dibagi atas
7 periode yaitu :
A.
Masa Kompeni ( VOC Tahun 1596 – 1808 )
B.
Masa pemerintahan Daendels (Tahun 1808 – 1811 )
C.
Masa Pemerintahan Raffles ( Tahun 1811 – 1816 )
D.
Masa Tahun 1816 – 1848
E.
Masa Tahun 1848 – 1928
F.
Masa Tahun 1928 – 1945
G.
Masa Tahun 1945 –
sekarang
A. MASA KOMPENI ( VOC ) Tahun 1596 – 1808
I. Pada waktu
itu VOC bermuka dua yaitu yang pertama sebagai pengusaha yang kedua adalah
penguasa. Sebagai pengusaha khususnya VOC disini adalah sebagai pedagang,
kemudian sebagai penguasa adalah bahwa VOC sebagai Badan Pemerintah dengan hak
mengatur susunan rumah tangga beserta pengurusannya sendiri. Sikap pertama
itulah yang terutama menentukan sikap VOC terhadap Hukum Adat.
Di pusat pemerintahan
dinyatakan berlaku satu stelsel Hukum untuk semua orang dari golongan bangsa
manapun, yaitu hukum Barat/Belanda, baik hukum tata negara, Hukum Perseorangan
/ Privat dan Hukum Pidana. Di dalam wilayah itu Adat Pribumi tidak diindahkan
sama sekali atau dianggap tidak berlaku, jadi nyata Hukum Adat dari anak negeri
( penduduk Pribumi ) tidak diindahkan.
Di luar wilayah itupun
Hukum Adat Pribumi juga tidak dianggap/diindahkan, jika lambat laun
disana-sini, diwilayah disekitar tempat kediaman Gubernur, De Fakto masuk
kedalam lingkungan kekuasaan VOC. Maka diwilayah itu juga dinyatakan berlaku
juga dinyatakan berlaku hukum Kompeni/Belanda untuk orang-orang Pribumi dan
Cina.
Susunan atau cara yang
demikian ini oleh C. Van Vollen Hoven disebutkan sebagai “ suatu cara
mempersatukan yang sangat sederhana “ yaitu hukum yang berlaku disamakan begitu
saja, tidak dipikirkan tentang pemecahan soal ini dengan jalan yang lain; oleh
sebab mereka beranggapan sudah semestinya dalam suatu daerah yang dikuasai oleh
VOC bukan saja susunannya ( organisasi ) akan tetapi juga hukum-hukum Kompeni
harus berlaku ( Supomo dan Djokosutomo : 1955 :4 )
Keadaan ini menggambarkan prinsip yang hendak
dipertahankan oleh VOC, yaitu diwilayah yang dikuasai VOC harus berlaku Hukum
VOC, baik bagi orang Barat/Belanda sendiri maupun orang Indonesia/Pribumi dan
orang Asia lainnya yang berada di wilayah yang bersangkutan.
II. Tetapi
Teori dan Praktek berbeda atau kenyataan menyimpang dari Prinsip, meskipun
hukum Belanda/VOC berlaku untuk segala bangsa di dalam daerah Jakarta tetapi di dalam prakteknya hukum tadi
hanyalah dapat dijalankan di kota Jakarta/Batavia dan sekitarnya saja.
Badan-badan pengadilan di Betawi tak dapat memeriksa perkara-perkara penduduk Pribumi
yang bertempat tinggal jauh dari kota.
Kemudian dalam Resolusi/keputusan Tanggal 21 desember
1708 pimpinan VOC mengakui terus terang bahwa prinsip tersebut di atas tidak
dapat dipertahankan di dalam praktek. Sebab politik yang dititik beratkan
kepada pengerukankeuntungan materiil yang sebesar-besarnya itu tidak
memungkinkan bagi VOC untuk melengkapi aparatur pemerintahannya.
Resolusi ini
menunjukkan dengan jelas bahwa peradilan Asli masih tetap berlaku di wilayah
Priangan. Meskipun demikian, demi ketertiban dan keamanan bagi dirinya, dibeberapa
wilayah kekuasaan VOC terpaksa turut campur dalam dalam menetapkan hukum bagi
orang Indonesia Asli. Dibuatnya beberapa peraturan perundang-undangan yang
mereproduksi Hukum Adat, yang
dianggapnya Identik dengan Hukum Islam. ( Kitab Hukum Mogharraer,
Compedium Van Clootwijk, Copendium Freyer, Pepakem Cirebon )
Karena peraturan-peraturan
tersebut memberi suatu reproduksi Hukum Adat, sebenarnya pembuatan
peraturan-peraturan itu juga menyimpang dari prinsip bahwa di daerah yang di kuasai oleh VOC Hukum
Barat harus berlaku bagi semua penduduk
daerah itu.
III. Pembuatan
peraturan-peraturan tersebut memperlihatkan bahwa VOC :
1.
Masih belum menemukan Hukum adat sebagai Hukum Rakyat,
Hukum Adat diidentifikasikan dengan Hukum Islam atau hukum raja-raja, dan jika
kesempatan, maka Hukum adat itu direproduksikan dengan banyak anasir Hukum
Barat, seperti yang ternyata dalam Pepakem Cirebon.
2.
Mengira bahwa hukum adat itu terdapat dalam
tulisan-tulisan berupa kitab hukum.
3.
Menjalankan suatu politik hukum adat yang opportunitis,
yaitu apabila keadaan memerlukan, maka prinsip bahwa di daerah yang di kuasai
oleh VOC hukum barat harus berlaku bagi semua penduduk daerah itu, ditinggalkan
dan ditetapkan --secara mereproduksi— hukum adat bagi penduduk pribumi atau
penduduk pribumi tersebut dibiarkan hidup menurut hukum adat.
Lain dari pada itu
VOC menganggap hukum adat lebih rendah dari Hukum Belanda. Ini terbukti dari
isi Resolusi Tanggal 30 Nopember 1747, yang menentukan bahwa Landraad Semarang
wenang mengadili perkara sipil atau pidana dikalangan orang-orang jawa.
Sebaliknya dalam hal perkara campuran, yaitu antara orang Jawa dengan
orang Belanda, atau yang menyangkut orang Jawa bersama-sama orang Belanda, maka
yang dianggap Kompetant/Berwenang ialah Raad van Justitie seorang yang
menerapkan sepenuhnya Hukum Belanda.
B. MASA PEMERINTAHAN DAENDELS (1808 – 1811)
1.
Sesudah VOC dibubarkan, maka pengurusan atas “Harta
Kekayaan “Bataafsche Republik (Republik Belanda) di Asia” diteruskan oleh
“DEWAN ASIA”
Tugas Dewan tersebut diliputi oleh semangat baru, yaitu harapan bahwa :
a.
Politik Pemerintahan akan dilakukan terlepas dari
perhitungan komersiil atau perhitungan dagang
b.
Akan diadakan perubahan-perubahan untuk memperbaiki
nasib tanah jajahan beserta penduduknya.
2.
Dasar Peradilan bagi orang Indonesia / Penduduk Pribumi
ditentukan dalam Pasal 86 dari Charter (Regering-Reglement) atau Peraturan
Pemerintah untuk harta kekayaan di Asia yang disahkan oleh Pemerintah Republik
(Belanda) pada Tanggal 27 September 1804.
Pasal ini menyebutkan :
“Susunan Pengadilan untuk golongan Bumi putra akan tetap tinggal
menurut Hukum dan Adat mereka, Pemerintah Hindia Belanda akan menjaga dengan
alat-alat yang pangas, supaya dalam daerah yang langsung dikuasai oleh
pemerintah sedapat-dapatnya tersapu segala perbuatan sewenang-wenang yang masuk
dengan diam-diam, yang berlawanan dengan hukum serta adat penduduk pribumi.
Lagi pula
diusahakan / diikhtiarkan supaya penduduk pribumi mendapat keadilan dengan
cepat dan baik, dengan menambah jumlah banyaknya pengadilan-pengadilan negeri
atau pembantu, kemudian ditentang segala pengaruh yang buruk dari kekuasaan
politik apapun juga.”
3.
Perlakuan terhadap Hukum Adat : meskipun Daendels
menganggap bahwa hukum adat dilekati beberapa kelemahan (Terutama mengenai
Hukum Pidana), namun Daendels merasa enggan mengganti Hukum Adat itu sekaligus
dengan Barat/Eropa. Oleh karena itu ia menempuh jalan tengah :
“Pada pokoknya Hukum Adat akan diperlakukan untuk
bangsa Indonesia, hanya Hukum Adat haruslah tidak dipakai jika :
q
Hukum itu berlawanan dengan Perintah Umum
q
Bertentangan dengan dasar-dasar utama dari
keadilan dan kepatutan.
q
Karenanya dalam perkara-perkara Pidana,
kepentingan dari keamanan umum tidak terpelihara.”
Berdasarkan anggapan
itulah Daendels memutuskan : Walaupun golongan Bumi Putra di Jawa Tetap
dibiarkan memakai hukumnya (Materiil dan Formal) sendiri, dan oleh karenanya Landraaden
serta Landgerechten harus mengikutinya, namun hukum adat tidak akan
diperlakukan :
1.
Jika karenanya si penjahat dapat melepaskan diri dari
pidananya, oleh sebab itu keadilan harus dituntut atas nama Pemerintah jika hal
ini tidak atau tidak dapat dilakukan oleh orang biasa.
2.
Bila Pidana yang ditetapkan dalam hukum adat itu tidak
sebanding dengan kejahatannya ataupun tidak cukup berat untuk menjamin keamanan
umum, dalam hal ini pengadilan harus menetapkan pidana menurut kasus yang
dihadapinya.
3.
Jika Hukum Acara Adat tidak mungkin menghasilkan bukti
atau keyakinan hakim, dalam hal ini Pengadilan diberi kuasa untuk memperbaikinya
menurut permufakatan dan contoh dari hukum umum serta praktek.
Beginilah “Jalan
Pertengahan” yang ditunjuk oleh Daendels, yang membiarkan penduduk asli /
orang Indonesia tetap tunduk pada hukum Privat/ Perseorangan Adat yang kemudian
memberi keleluasaan besar kepada Hakim dalam memutuskan perkara-perkara pidana.
C. MASA PEMERINTAHAN RAFFLES (1811 – 1819)
Thomas Stamford Raffles termasuk salah seorang
perintis penemuan Hukum Adat bersama-sama dengan Marsden dan Crawfurd. Timbul
pertanyaan : apakah yang telah dihasilkannya di bidang perundang-undangan
berhubung dengan hukum adat itu ?
Sikap Raffles terhadap
hukum adat dan lembaga-lembaga sosial orang Indonesia yang lainnya telah
diperlihatkan pada waktu sebelum ia menjadi Letnan Gubernur Pulau Jawa. Dalam
rangka merebut Pulau Jawa dari Belanda Raffles yang pada waktu itu menjadi Adjunctsecretaris
di Pulau Pinang mengadakan penyelidikan-penyelidikannya di Indonesia pada waktu
itu. Sehingga Raffles mempunyai pengetahuan yang sangat mendalam terhadap
lembaga-lembaga sosial, adat istiadatnya serta kebudayaan Indonesia yang dimana
pengetahuan itu dipergunakan untuk rencana penyerbuan yang dipimpin oleh Lord
Minto ke Pulau Jawa.
Hasil karyanya itu
dilaporkan dalam bentuk Memories kepada Lord Minto, perencana dan pelaksana
ekspedisi tentara Inggris yang berhasil memancangkan “Union Jack” di
Jawa Tahun 1811 (Tepatnya Penyerahan oleh Belanda kepada Inggris atas Pulau
Jawa di Salatiga 4-11-1811)
Usulan dari Raffles itu yang utama adalah :
1.
Agar Pemerintah Inggris menempuh Politik lunak, murah
hati dan menciptakan suasana damai dengan penduduk asli, agar mereka simpati
kepada Pemerintah Inggris.
2.
Supaya pengaruh Inggris ditingkatkan di Kepulauan ini
sehingga kedudukannya semakin kuat, juga kalau jajahan Belanda ini harus
dikembalikan sesudah perdamaian Eropa tercapai.
Pandangan Politiknya
itu dipertahankan dan diusahakan realisasinya ketika Raffles menjadi Letnan
Gubernur Pulau Jawa. Pada waktu itu di Eropa berkembang faham baru yaitu jaman
Liberalisme dan dia sangat menjiwai serta mendalami faham tersebut, dia sangat
membenci Feodalisme, oleh karena itu segala Lembaga VOC yang masih
dipertahankan Daendels dan tidak sesuai lagi dengan aliran jaman, karena
merupakan sisa jaman (Feodal Barbarism/Kebiadapan Feodal), harus
dilenyapkan selekas-lekasnya.
Misalnya :
-
Pajak yang harus dibayar dengan barang
-
Kerja Rodi / Kerja paksa dan lain-lain
Terpengaruh oleh Filsafat
Baru, aliran pikiran yang dijiwai asas perikemanusiaan yang berkembang di Eropa
sejak akhir Abad ke 18, maka Raffles berhasrat melindungi kepentingan rakyat
dan melenyapkan pengaruh atau setidak-tidaknya mengurangi kekuasaan
kepala-kepala rakyat (Bupati, Demang dan sebagainya) yang berkedudukan selaku penguasa
di bawah raja dan diatas rakyat.
Untuk mencegah tindakan
sewenang-wenang, maka prinsipnya ditentukan oleh Raffles bahwa badan pemerintah
yang terdiri dari atas orang-orang Barat / Eropa harus mengadakan hubungan
langsung dengan rakyat dengan melangkahi dan mengesampingkan para kepala
penduduk asli / pribumi tadi. Perlakuannya terhadap hukum adat ialah Raffles
mengadakan banyak perubahan dalam susunan Badan-Badan Pengadilan, tetapi Hukum
Materinya hampir-hampir tidak diubahnya. Dalam perkara antar orang Indonesia
pada umumnya diperlakukan hukum adat, dengan syarat :
q
Tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip
kodrat yang universal dan diakui.
q
Prinsip-prinsip keadilan hakiki yang diakui.
Tentang penilaiannya
terhadap Hukum Adat harus dibedakan antara dua bidang : Di Bidang Hukum Pidana,
Raffles mencela Sanksi Pidana yang tidak sesuai lagi dengan kemajuan jaman
misalnya : Pidana Bakar Hidup, Pidana Tikam dengan Keris.
Sambil
menunggu diadakannya ketentuan peraturan perundang-undangan dalam bentuk Kitab
Undang-Undang (Kodifikasi) semua bidang hukum khususnya bidang perdata, pidana
serta acara pidana dan acara perdata yang akan dipakai dan berlaku di negeri
Belanda, maka Komisaris Jenderal mengadakan Peraturan-peraturan untuk sementara
waktu (Provisioneel). Karena semua peraturan-peraturan
perundang-undangan yang nantinya akan dibuat dan dipakai di Hindia Belanda
harus definitif padahal peraturan-peraturan tersebut di Belanda belum ada, maka
lebih baik peraturan-peraturan itu ditunda hingga Kitab Undang-Undang untuk
Negeri Belanda di umumkan dan untuk itu perlu dibuat peraturan-peraturan untuk
sementara waktu (Provisioneel) seperti disebutkan dimuka.
Boleh
dikatakan bahwa dengan peraturan sementara itu Komisaris Jenderal mengadakan
banyak perubahan dalam susunan pengadilan. Sedangkan mengenai Hukum Materiil
yang diperlakukan oleh Badan-Badan Pengadilan, perubahannya sedikit sekali,
kecuali dibidang hukum Penitensier (Hukum yang mengatur cara melaksanakannya
pidana dan tindakan-tindakan demi keamanan umum). Tentang Hukum Materiil yang
diterapkan oleh badan-badan pengadilan, berlaku dalil : “Hukum dari pihak
tergugat” Staatblaad tahun 1825-42.
Jelasnya jika dalam
sengketa antara orang Bumi Putra dengan orang Eropa yang menjadi tergugat itu
pihak Bumi Putra, maka yang mengadili adalah Landraad, yang memperlakukan Hukum
Adat. Jadi disini terdapat kemungkinan bahwa atas orang Eropa selaku penggugat akan diterapkan hukum adat.
Ini berarti bahwa hukum adat dianggap seharkat-sederajat dengan hukum Barat,
sebab kesadaran dan penghargaan yang demikian itu sukar dibayangkan dalam alam
pikiran Komisaris Jenderal.
D. MASA TAHUN 1848 -1928
Pada tahun 1838 hasil
kodifikasi di Nederland telah menjadi Hukum Positif di sana. Jadi tahun 1838
itu adalah saatnya bagi penguasa Hindia-Belanda untuk mulai berusaha membuat
peraturan tetap– Konkodrant/Konkordansi dengan Kodifikasi di Belanda yang akan
menggantikan peraturan lama dan peraturan sementara dalam periode sebelumnya.
Asas Concordantie : yaitu asas bahwa hukum
yang berlaku di Indoenesia harus mengikuti asas-asas hukum yang berlaku di
Belanda
Dengan kata lain :
Hukum adat harus diganti dengan Hukum Tertulis, hukum yang sama untuk seluruh
Indonesia, dan hukum yang asas-asasnya sama dengan Hukum yang berlaku di
Belanda.
Dan untuk
dapat melaksanakan usaha itu, Mr. G.G Hageman, Presiden Hoog Gerechtshof pada
tahun 1830 diberi Tugas Istimewa mempersiapkan suatu rencana Kodifikasi bagi
Hindia Belanda. Hageman berpendapat : Hindia Belanda sangat memerlukan suatu
Kitab Undang-Undang Hukum Privat yang ditulis dalam bahasa Pribumi yaitu Bahasa
Indonesia dan Bahasa Jawa.
Dari pernyataannya itu dapat disimpulkan bahwa Hageman
mencita-citakan suatu Kitab Undang-Undang Uniform/Unifikasi untuk golongan Bumi
Putera dan Eropa bersama-sama. Tetapi hasrat itu tinggal angan-angan belaka,
karena masa tugasnya berakhir tanpa menghasilkan sesuatu yang positif. Tetapi yang penting dalam
hubungan ini ialah bahwa Asas Unifikasi Hukum telah mulai nampak dalam sejarah
Politik Hukum Belanda yang menyadari arti pentingnya Hukum Adat. Untuk
melanjutkan usaha dalam Fase Pertama yang gagal, pada tahun 1839 Pemerintah
Belanda membentuk suatu Komisi yang diketuai Mr. C.J Scholten Van Harrlem dan
sebagai anggotannya Mr. I Schneither dan Mr. I.F.H Van Nes. Yang untuk
selanjutnya disebut dengan Komisi Scholten Van Oud Haarlem. Komisi ini bertugas
membuar rencana yang diperlukan agar perundang-undangan Nederland yang baru itu
dapat ditetapkan di Hindia Belanda dan mengajukan usul-usul yang sesuai dengan
pelaksanaan tugas tersebut. Komisi merencanakan beberapa peraturan
perundang-undangan, diantaranya :
1.
Algemene Bepalingen Van Weigeving voor Nederlandch
Indie
Stbl 1847 No. 23.2
q
Ketentuan-ketentuan umum tentang
perundang-undangan bagi Hindia Belanda.
2.
Eurgelijk Wetboek voor Nederlandch Indie Stbl. 1847 No.
23.4
q Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata untuk Hindia Belanda
3.
Reglement op de Rechterlijk Organisatie en het Beleid
der Justitie in Nederlands Indie Stbl. 1847 No. 23.5
q Peraturan
tentang organisasi pengadilan dan kebijaksanaan kehakiman di Hindia Belanda.
4.
Wetboek van Koophandel
Stbl. 1847 No. 23.3
q Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang untuk Hindia Belanda
Berlainan dengan sikap Hageman, maka sejak semula
Scholten van Oud Haarlem bermaksud tidak akan menjamah Hukum Privat Adat. Jadi
menurut pendapatnya, bangsa Indonesia bebas dari penerapan asas unifikasi hukum
yang termaktub dalam instruksi Pemerintah Pusat di Belanda. Tetapi disamping
pendapat yang sedikit banyak melindungai Hukum Adat itu terdapat pandangan yang
mengandung ancaman bagi kehidupan dan perkembangannya.
Sebagai masalah dalam politik hukum, hukum adat di
perbincangkan lebih hebat lagi pada tahun 1848, sebab pada saat itu Kitab-Kitab
Hukum Perdata, Dagang, Acara Perdata, Acara Pidana, berdasarkan Pola Belanda
berlaku bagi penduduk Belanda di Indonesia.
Mengenai Hukum Adat timbullah masalah bagi pemerintah
kolonial Belanda, sampai d imana hukum ini dapat digunakan bagi tujuan-tujuan
Belanda serta kepentingan-kepentingan ekonominya, dan sampai dimana hukum adat
itu dapat dimasukkan dalam rangka politik Belanda. Kepetingan atau kehendak
bangsa Indonesia tidak masuk perhitungan Pemerintah kolonial Belanda.
Suasana di sekitar tahun 1848 adalah sangat dikuasai
oleh pemujaan nilai dan kepentingan kodifikasi, (yaitu berkembangnya Aliran
Legisme = Hukum Identik dengan Undang-Undang), suasana inilah yang mendorong
atau merupakan sebab utama adanya permulaan untuk menggantikan Hukum Adat.
Apabila diikuti secara kronologis usaha-usaha baik
Pemerintah Belanda di negerinya sendiri maupun Pemerintah Kolonial yang ada di
Indonesia ini, maka secara ringkasnya Undang-Undang yang bertujuan menetapkan
nasip ataupun kedudukan Hukum Adat seterusnya di dalam sistem
perundang-undangan di Indonesia adalah sebagai berikut :
1.
Mr. Wichers, Presiden Hoog-Gerechtshof atau Presiden
Mahkamah Agung pada saat itu, ditugaskan untuk menyelidiki apakah Hukum Adat
Privat itu tidak dapat diganti dengan Hukum Kodifikasi Barat.
Rencana Kodifikasi Wichers gagal, karena Hukum Barat tidak cocok bagi apa
yang olehnya dinamakan perhubungan-perhubungan Hukum Sederhan bangsa Indonesia.
2.
Sekitar tahun 1870 pada saat Perusahaan Partikelir
Belanda masuk Indonesia menggantikan eksploitasi negara, Menteri Jajahan
Belanda, mengusulkan penggunaan Hukum tanah Eropa bagi penduduk di Indonesia
untuk kepentingan Agraria Pengusaha Belanda.
Usaha ini pun gagal, karena Parlemen Belanda menuntut lebih dahuku
diadakannya penyelidikan lokal mengenai hak-hak penduduk terhadap tanah.
3.
Pada tahun 1900 Cremer, Menteri Jajahan menghendaki
diadakannya Kodifikasi Lokal untuk sebagian Hukum adat dengan mendahulukan
daerah-daerah dimana penduduknya telah memeluk Agama Kristen.
Alasannya : Ketiadaan jaminan hukum bagi penduduk
yang telah memeluk Agama Kristen dianggap sangat terasa di daerah-daerah
tersebut.
Kehendak Cremer ini belum lagi sempat diselenggarakan sudah tersusul oleh
usaha berikutnya.
4.
Kabinet Kuyper pada tahun 1904 mengusulkan suatu
rencana undang-undang untuk menggantikan Hukum Adat dengan hukum Eropa.
Pemerintah Belanda untuk kepentingan-kepentingan tertentu menghendaki
supaya seluruh penduduk asli tunduk pada unifikasi hukum secara barat. Usaha
ini mengandung pengertian dan keyakinan, bahwa hukum adat sama sekali tidak
mampu memenuhi tuntutan-tuntutan abab 20. Usaha ini gagal, sebab Parlemen
Belanda menerima suatu Amandemen yakni Amandemen Van Idsinga yang hanya
mengijinkan penggantian hukum adat dengan hukum barat jika kebutuhan-kebutuhan
sosial rakyat menghendakinya. Van Idsinga membuat Amandemen ini karena
terpengaruh oleh karangan Van Voolenhoven yang berjudul “Geen Juristenrecht
voor den Indonesier” (Untuk Bangsa Indonesia jangan diperlakukan hukum
untuk hakim)
5.
Pada tahun 1914 Pemerintah Belanda dengan tidak
menghiraukan Amandemen Idsinga, mengumumkan rencana KUH Perdata bagi seluruh
golongan penduduk di Indonesia. Dan rencana ini ditentang keras oleh Van
Vollenhoven dalam karangannya “Strijd van het Adatrecht” (Perjuangan
bagi Hukum Adat). Dan rencana ini tinggal rencana dan tidak pernah dimajukan
kepada Parlemen Belanda.
6.
Pada tahun 1923 Mr. Gowan, Direktur Departemen Justitie
di Jakarta membuat rencana baru KUH Perdata dalam tahun 1920, yang diumumkan
Pemerintah Belanda sebagai rencana Unifikasi dalam tahun 1923. Dan ini gagal
lagi karena kritik Van Vollenhoven dalam karangannya “Juridisch
Confeetiewerk” atau “Karya Konfeksi Hukum”.
Hukum Adat dengan
demikian telah berkali-kali menerima percobaan-percobaan yang semuanya berakhir
dengan kegagalan. Apa sebab gagal semua usaha itu. Sebab kegagalan semua usaha
tersebut diatas adalah karena kenyataan, bahwasanya tidak mungkin bangsa
Indonesia yang merupakan bagian terbesar dari penduduk harus tunduk kepada
hukum yang sebagian besar disesuaikan pada kebutuhan bangsa Eropa sedangkan
bangsa Eropa ini hanya merupakan bagian kecil saja. Bangsa Indonesia tidak bisa
dimasukan dalam golongan Eropa di dalam lapangan hukum privat.
Pengganti Mr. Cowan,
yaitu Mr. Rutgers memberitahukan kepada pemerintah, bahwa menurut pendapatnya
meneruskan pelaksanaan Kodifikasi dan Unifikasi itu tidak mungkin. Dalam tahun
1927 Pemerintah Belanda mengubah haluannya, ia menolak konsepsi Unifikasi Hukum
dan menyangsikan apakah sudah tiba saatnya untuk menuangkan materi Hukum
Perdata bagi rakyat Indonesia kedalam bentuk perundang-undangan.
Ia lebih cenderung untuk
melukiskan hukum adat sedaerah demi sedaerah. Dan sesuai dengan keinginan Van
Voollenhoven, pekerjaan ini dapat dilakukan oleh seorang ahli hukum bangsa
Indonesia, disponsori oleh seorang guru besar Hukum Adar pada Recht-Hoge School
ialah Supomo dengan konsultasi Ter Haar.
C. Van Vollenhoven
mencatat bahwa pada tahun 1927 dan tahun 1928 terjadi suatu Keerpunt (Titik
Balik) dalam Politik Hukum Adat yang dianut Pemerintah Hindia Belanda.
Titik Balik (Keerpunt) itu oleh Ter Haar dilukiskan sebagai
berikut : “Atas nama Pemerintah Direktur Justitie menjelaskan dalam sidang
Volksraad bahwa bertahun-tahun Pemerintah berkeyakinan perlunya diadakan
Unifikasi hukum bagi penduduk asli dan golongan rakyat lainnya, disertai
penunjukan-penunjukan kepada hukum kebiasaan. Karena ternyata bahwa hasil usaha
itu makin tidak dapat dipergunakan dengan segera, maka pemerintah mulai mencari
jalan lain untuk memperhatikan kepentingan itu.”
Dari lukisan itu tampak
bahwa Pemerintah Hindia Belanda telah melepaskan pendapat lama yaitu :
“Membuat suatu Kodifikasi Hukum bagi orang Indonesia
Asli yang sedapat-dapatnya dan sebanyak-banyaknya didasarkan kepada asas-asas
hukum Eropa, dan menganut paham baru, ialah : Hukum yang berlaku bagi orang
Indonesia Asli akan ditentukan sesudah diadakan penyelidikan tentang kebutuhan
hukum mereka yang sebenarnya. Dan apabila ternyata bahwa hukum adat itu belum
dapat ditinggalkan atau diganti dengan hukum lain, maka hukum adat yang masih
diperlukan itu tetap dipertahankan.”
Terjadinya Keerpunt dalam
politik Hukum Adat itu adalah hasil gilang gemilang perjuangan ilmu Hukum Adat
dibawah pimpinan Van Vollenhoven di Nederland dan Ter Haar di Indonesia yang
hendak melindungi dan memperkembangkan Hukum Adat.
E. MASA TAHUN 1928-1945
Apakah hasil perundang-undangan berhubung dengan Hukum
Adat sejak tahun 1928 itu ? Apakah hasil perundang-undangan berhubung dengan
hukum adat sejak tahun 1928 yang tidak lagi didasarkan atas suatu asas
Asimilasi ke arah Hukum Eropa, tetapi atas asas non asimilasi ?
Di dalam karangannya “Setengah Jalan Politik Hukum Adat Baru” Ter Haar
menggambarkan hasil perundang-undangan di lapangan Hukum Adat itu sebagai
berikut :
1.
Peradilan Adat di daerah yang diperintah secara
langsung diberi aturan dasar dalam Ordonasi (S. 1932 – 80) dan dalam peraturan
pelaksanaannya yang dibuat oleh Resident setempat.
2.
Peradilan Swapraja diberi beberapa aturan dasar dalam
Zelfbestuursregelen 1938 (S. 1938 – 529) dalam Lang Contract dan dalam
peraturan daerah Swapraja yang bersangkutan serta peraturan yang dibuat oleh
Residen setempat.
3.
Hakim Desa diberi pengakuan perundang-undangan dalam S.
1935 – 102 yang menyisipkan pasal 3 a ke dalam R.O.
4.
Sebagai salah satu hasil usaha untuk memperbaiki
peradilan agama, dalam Pasal 134 I.S (vide ayat 2) diadakan perubahan (Menurut
S. 1929 – 221 jo 487). Kemudian pada tahun 1931 diadakan penegasan tentang
Susunan dan Kompetensi Pengadilan Agama (S. 1931 – 53) (Direalisasikan pada
Tahun 1937 – 116). Pada tanggal 1 Januari 1938 didirikan “Mahkamah Urusan Agama
Islam”
Sebagai pengadilan dibanding atas keputusan Pengadilan Agama yang dikenal
dengan nama RAAD AGAMA (S. 1937 – 610).
5.
Tanggal 1 Januari 1938 merupakan hari bersejarah bagi
Hukum Adat, karena pada waktu itu Raad van Justitie di Kota Betawi didirikan
suatu Adat Kamer (Kamar Adat) yang mengadili dalam tingkat banding
perkara-perkara hukum privat adat yang telah diputuskan oleh Landraaden di
Jawa, Palembang, Jambi, Bangka-Belitung, Kalimantan dan Bali (S. 1937 – 631).
Pembentukan Adat Kamar itu memberi jaminan lebih baik kepada penerapan
Hukum Adat, sebab persoalan Hukum Adat tidak lagi dititipkan kepada Civiele
Kamer di Raad van Justitie, sehingga perhatian pada Hukum Adat dapat
dikhususkan.
F. MASA 1945 SAMPAI SEKARANG
Pada zaman sesudah Perang Dunia ke II terutama pada
zaman Revolusi Fisik antara tahun 1945 dan tahun 1950 dan pada beberapa tahun
pertama sesudah tahun 1950, yaitu pada zaman yang kita perlukan untuk
mengkonsulidasi segala yang telah kita peroleh sebagai hasil revolusi fisik
antara tahun 1945 – 1950, kegiatan menyelidiki dan mempelajari hukum adat
sangat berkurang sekali. Sebab berkurangnya kegiatan tersebut adalah karena para
Sarjana Hukum bangsa Indonesia masih sangat terikat perhatian dan tenaganya
oleh berbagai persoalan yang sangat banyak berhubung dengan tugas pembangunan.
Mereka belum mempunyai waktu yang cukup tenang untuk mengadakan penyelidikan
dan pelajaran tentang hukum adat.
Apa yang dikatakan di atas tadi tentang aktifitas dibidang ilmu hukum
khususnya di lapangan hukum adat, mengenai pula aktifitas dibidang
perundang-undangan dan politik Hukum Adat.
Setelah Proklamasi dibuat prediksi-prediksi tentang sifat dan corak hukum
yang akan berlaku dikemudian hari. Sebagaian mengingini supaya diadakan suatu
Unifikasi Hukum Modern. Sebagian lagi belum melihat kemungkinan kearah itu dan
menghendaki kodifikasi hukum bagi golongan rakyat masing-masing.
Pada masa itu ada
beberapa pandangan dari para ahli Hukum yang patut kita simak pendapatnya
tentang masa depan Hukum Nasional bagi masyarakat Indonesia yang sudah terlepas
dari penjajahan. Pertama-tama kita lihat Konsepsi Prof, Soepomo yang
dikemukakan dalam Pidato Dies Natalies I Universitas Gajah Mada di Yogyakarta
(17 Maret 1947).
Intinya ialah :
“Sudah semestinya masyarakat dan negara Indonesia menjadi masyarakat
dan negara yang modern. Hukum Modern itu bukan Hukum Belanda, melainkan hukum
yang berisi asas-asas Modern Universal. Kodifikasi itu sejauh mungkin harus
bersifat Unifikasi, terutama di bidang Hukum Harta Kekayaan. Sebalinya
Unifikasi itu masih sukar diselenggarakan di lapangan hidup kekeluargaan,
karena berhubungan erat dengan dan dipengaruhi oleh kepercayaan batin dari
golongan rakyat yang bersangkutan. Hukum Adat tetap memberi bahan-bahan
bangunan dan menjadi sumber bagi penyusunan dan pembinaan hukum baru itu.
“
Kemudian perlu kita perhatikan Konsepsi Hazairin dalam
sebuah Pidato dalam Konferensi Kehakiman (Salatiga, 16 Desember 1950) yaitu :
1.
Ia menegaskan pentingnya Hukum Eropa dalam proses
modernisasi masyarakat kita dalam segala segi, sebab hukum itulah yang
merupakan jembatan bagi bangsa dan
negara kita dalam hubungannya ke luar.
2.
Proses asimilasi kearah kebudayaan dan tehnik Barat
tidak dapat dihindarkan lagi. Tetapi dalam proses Asimilasi itu oleh Hazairin
diberikan suatu peranan yang lebih kepada Hukum Adat.
3.
Hukum Eropa dan Hukum Adat itu akan dipertautkan. Untuk
itu harus dimulai dengan hukum lalu lintas, yaitu hukum perdagangan, hukum
perjanjian, hukum utang-piutang, sebab tidak begitu erat sangkut-pautnya dengan
susunan masyarakat Adat.
4.
Proses mempertautkan itu harus dilakukan dengan
berangsur-angsur sebab kita menghadapi 3 macam hukum yaitu :
q Hukum
Barat / Eropa
q Hukum
Adat
q Hukum
Agama
Yang masing-masing mempunyai pengikutnya sendiri-sendiri.
Sesudah Supomo dan Hazairin mengemukakan konsepsi
mereka menyusullah serentetan pendapat yang berbeda-beda, mempersoalkan
kodifikasi hukum di Indonesia dan hubungannya dengan Hukum Adat yaitu dari :
- Suwandi (Tahun 1955) : “Sekitar Kodifikasi Hukum
Nasional di Indonesia”
- Sutan Malikul Adil (Tahun 1955) : “Pembaharuan
Hukum Perdata Kita.”
- Gouw Giok Siong (Tahun 1956) : “Pembaharuan
Hukum di Indonesia.”
- Kotjay Sing (Tahun 1958) : “Kodifikasi dan
Unifikasi Hukum Perdata dan Hukum Dagang.”
- Oey Pek Hong (Tahun 1959) : “Peranan Kodifikasi,
Jurisprodensi dan Ilmu Pengetahuan Dalam Perkembangan Hukum Perdata.”
Di dalam masa tahun
1960–1965 Pemerintah menunjukkan suatu sikap yang riil dan lebih mantap untuk
memajukan Hukum Nasional yang unsur utamanya didasarkan kepada Hukum Adat dan
Hukum Islam, terbukti dari Putusan-putusan MPRS 1960 / II yaitu dalam lampiran
pada paragraf 402 No. 34 dan 35 tersebut diatas disebut dengan jelas asas-asas
yang harus diperhatikan oleh para Pembina Hukum Nasional yaitu :
q Pembangunan
Hukum Nasional harus diarahkan kepada Homogeniteit hukum dengan memperhatikan
kenyataan-kenyataan yang hidup di Indonesia.
q Harus
sesuai dengan Haluan Negara dan Berlandaskan Hukum Adat yang tidak menghambat
Perkembangan Masyarakat Adil dan Makmur.
Lembaga
Pembinaan Hukum Nasional yang diadakan dengan Keputusan Presiden Nomor 107
tahun 1958 diberi tugas : Melaksanakan Pembinaan Hukum Nasional sesuai yang
dikehendaki oleh Ketetapan MPRS No. II / 1960 (Berlandaskan Hukum Adat) dengan
tujuan mencapai Tata Hukum Nasional sebagai berikut :
- Mempersiapkan penyusunan perundang yang selaras
dengan keadaan dan kepentingan negara, rakyat serta dengan cita-cita Hukum
dan Pancasila yang terkandung dalam UUD 19945.
- Mengusahakan terjemahan kitab yang penting dalam
lapangan Hukum kedalam Bahasa Indonesia.
- Menyelenggarakan peristilahan Nasional dalam
lapangan perundang-undangan.
Dengan
dikeluarkannya Dekrit Presiden Tahun 1959 kembali ke UUD 1945, Lembaga
Pembinaan Hukum Nasional dibentuk kembali dengan Keputusan Presiden Tanggal 6
Mei 1961 No. 194 / 1961 yang
berkedudukan di bawah Departemen Kehakiman dengan tugas :
- Melaksanakan Pembinaan Hukum Nasional yang
dikehendaki oleh MPRS.
- Menyiapkan Rancangan Perundangan Nasional untuk
menggantikan peraturan yang tidak sesuai dengan Tata Hukum Nasional.
- Menyelenggarakan segala sesuatu untuk menyusun
keteraturan dalam keadaan perundang-undangan.
Kemudian dengan
Ketetapan Presiden No. 282 tahun 1964 dibentuk suatu Lembaga Pembinaan Hukum
Nasional gaya baru. Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang bertugas melaksanakan
Pembinaan Hukum Nasional sesuai dengan UUD 1945 dan sebagaimana yang
dikehendaki oleh MPRS dengan tujuan mencapai satu tata hukum nasional
berdasarkan Pancasila, yaitu dengan :
- Menyiapkan Rancangan Peraturan-peraturan
perundang-undangan dengan berpedoman kepada :
a.
Ketentuan-Ketentuan yang telah ditetapkan dalan
Ketetapan MPRS.
b.
Kebijaksanaan Politik Menteri Kehakiman dalam tata
ketetapan Hukum Nasional.
- Menyelenggarakan Riset dan Dokumentasi serta segala
sesuatu yang diperlukan untuk menyusun peraturan perundangan.
Kedudukan Lembaga ini kemudian lebih disempurnakan lagi dengan Keputusan
Presiden tanggal 24 Juli 1965 No. 184 / 1965.
Kemudian dengan
Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor YS. 4/3/7 tahun 1975 mengenai Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehakiman, nama Lembaga Pembinaan Hukum
Nasional (LPHN) dirubah menjadi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Di dalam
pasal 616 disebutkan bahwa Badan Pembinaan Hukum Nasional mempunyai tugas
menyelenggarakan Pengembangan Hukum Nasional berdasarkan Kebijaksanaan yang
ditetapkan oleh Menteri Kehakiman.
Untuk menyelenggarakan
tugas tersebut pada Pasal 616 Badan Pembinaan Hukum Nasional mempunyai fungsi :
a.
Membina penyelenggaraan pertemuan ilmiah bidang hukum
b.
Membina Penelitian dan Pengembangan Hukum Nasional
c.
Membina penyusunan naskah rancangan undang-undang dan
kodifikasi.
d.
Membina Pusat dokumentasi, perpustakaan dan publikasi
hukum (Pasal 617)
Setelah mempelajari
asas-asas hukum yang hidup dikalangan rakyat Indonesia, mengadakan rapat “Hearings”
dari golongan masyarakat maka pada tahun 1962 Lembaga Pembinaan Hukum Nasional
telah berhasil merumuskan asas-asas Tata Hukum Nasional itu sebagai berikut :
- Dasar Pokok Hukum Nasional Republik Indonesia
adalah : “Pancasila”
- Hukum Nasional bersifat :
a.
Pengayoman
b.
Gotong royong
c.
Kekeluargaan
d.
Toleransi dan Anti Kolonialisme, Imperialisme dan Feodalisme.
- Semua Hukum sebanyak mungkin diberi bentuk
tertulis.
- Selain Hukum tertulis diakui berlaku hukum tidak
tertulis sepanjang tidak menghambat terbentuknya masyarakat sosialis
Indonesia.
- Hakim membimbing perkembangan hukum tak tertulis
melalui Yurisprodensi ke arah keseragaman hukum (Homogenitas) yang
seluas-luasnya dan dalam hukum kekeluargaan ke arah sistem Parental.
- Hukum tertulis mengenai bidang-bidang hukum
tertentu sedapat mungkin di himpun dalam bentuk Kodifikasi (Hukum Perdata,
Hukum Pidana, Hukum Dagang, Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Perdata)
- Untuk pembangunan masyarakat sosialis Indonesia
diusahakan Unifikasi hukum.
- Dalam Perkara Pidana :
- Hakim berwenang sekaligus memutuskan aspek
perdatanya baik karena jabatannya maupun atas tuntutan pihak yang
berkepentingan.
- Hakim berwenang mengambil tindakan yang dipandang
patut dan adil disamping atau tanpa pidana.
- Sifat Pidana harus memberikan pendidikan kepada
terhukum untuk menjadi warga negara yang bermanfaat bagi masyarakat.
- Dalam bidang Hukum Acara Perdata diadakan jaminan
supaya peradilan berjalan sederhana cepat dan murah.
- Dalam bidang Hukum Acara Pidana diadakan ketentuan
yang merupakan jaminan kuat untuk mencegah :
a.
Seseorang tanpa sadar hukum yang cukup kuat ditahan
atau ditahan lebih lama dari yang benar-benar diperlukan.
b.
Penggeledahan, penyitaan, pembukaan surat dilakukan
sewenang-wenang.
Untuk menghimpun berbagai pemikiran tentang
masalah-masalah hukum dalam rangka Pembinaan Hukum Nasional oleh LPHN / BPHN
diselenggarakan beberapa kali Seminar Hukum Nasional yang bekerjasama antara
lain dengan Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI), Fakultas Hukum dan
Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Universita Indonesia, Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, dan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, yaitu :
q Seminar Hukum Nasional I di Jakarta Tahun 1963
q Seminar Hukum Nasional II di Semarang Tahun
1968
q Seminar Hukum Nasional III di Surabaya Tahun
1974
Dasar asas-asas Hukum Nasional yang digariskan oleh
LPHN tersebut di atas mendapat dukungan sepenuhnya dari Seminar Hukum Nasional
I sebagaimana yang terlihat dalam kesimpulannya yang menyatakan :
- Dasar Pokok Hukum Nasional Republik Indonesia ialah
Pancasila
- Hukum Nasional sebagai alat revolusi dengan arti
“Tutwuri Handayani” serta sebagai ekspresi cita-cita Politik rakyat
berfungsi pengayoman dalam arti membina, mengatur, melindungi tertib
masyarakat sosialisme Indonesia, dimana dijamin keseimbangan antara
kepetingan masyarakat dan kepentingan individu.
- Hukum Nasional Indonesia mencerminkan sifat
gotong-royong, kekeluargaan, toleransi dan anti Imperialisme, Kolonialisme
serta Feodalisme dalam segala bentuk.
Seminar Hukum
Nasional II di Semarang Tahun 1968, setahun penulis tidak membicarakan tentang
dasar hukum nasional Indonesia.
Dalam Seminar Hukum Nasional ke III di Surabaya Tahun 1974, kita jumpai
kembali kesimpulan tentang dasar-dasar pembinaan Hukum Nasional sebagai berikut
:
- Dasar Pembinaan Hukum Nasional adalah Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara.
- Pembinaan Hukum Nasional meliputi seluruh Hukum
Positif Indonesia, baik hukum sipil maupun militer, baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis.
- Penemuan dan Pembentukan hukum yang hidup dalam
masyarakat adalah tugas badan-badan Legislatif, Eksekutif, dan Peradilan
dalam bentuk peraturan perundangan, keputusan-keputusan dan dalam
putusan-putusan hakim.
Seminar Hukum Nasional
ke IV diselenggarakan di Jakarta pada Tanggal 26-30 Maret 1979. Mengenai Sistem Hukum Nasional ini antara
lain menyimpulkan sebagai berikut :
- Sistim Hukum Nasional harus sesuai dengan kebutuhan
dan Kesadaran Hukum Rakyat Indonesia.
- Landasan Hukum Nasional ialah Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
- Asas-Asas umum Hukum Nasional adalah asas-asas yang
tercantum dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (Ketetapan MPR No.
IV/MPR/1978) yaitu :
a.
Asas Manfaat
b.
Asas Usaha Bersama dan Kekeluargaan
c.
Asas Demokrasi
d.
Asas Adil dan Merata
e.
Asas Perikehidupan dalam Keseimbangan
f.
Asas Kesadaran Hukum
g.
Asas Kepercayaan Kepada Diri Sendiri
- Fungsi Hukum Nasional ialah Pengayoman
- Dalam rangka menciptakan Ketertiban dan Kepastian
Hukum untuk memperlancar Pembangunan Nasional, Hukum Nasional sejauh
mungkin diusahakan dalam bentuk tertulis. Di samping itu hukum yang tidak
tertulis tetap merupakan bagian dari Hukum Nasional.
- Untuk memelihara Persatuan dan Kesatuan, Hukum
Nasional dibina ke arah Unifikasi dengan memperhatikan kesadaran hukum
masyarakat, khususnya dalam bidang-bidang yang erat hubungannya dengan
kehidupan spiritual.
Tentang
sistem pidana ditetapkan harus disesuaikan dengan nilai yang terkandung di
dalam Pancasila. Dari kesimpulan Seminar Hukum Nasional IV tersebut diatas
kiranya jelas dapat ditarik kesimpulan, bahwa hukum Adat masih tetap akan
mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan Hukum Nasional kita yang akan
datang.
Mengenai
Pancasila sebagai dasar Pembinaan Hukum Nasional kiranya tidak perlu
dipermasalahkan lagi karena sudah merupakan suatu Konsensus Nasional yang
menyatakan bahwa Pancasila adalah merupakan sumber dari segala sumber hukum,
begitu pula halnya dengan UUD 1945 yang merupakan Hukum Dasar Tertulis dalam
kehidupan bernegara di negara kita.
Berlainan dengan Pancasila dan UUD 1945, maka
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) di bidang Hukum memperlihatkan adanya
Tendensi yang selalu berubah untuk setiap periode pembangunan.
I.
Ketetapan MPRS No. II / MPRS / 1960 antara lain
menyebutkan :
“Asas-asas Pembinaan Hukum Nasional itu sesuai dengan
Haluan Negara dan berlandaskan pada Hukum Adat yang tidak menghambat
perkembangan masyarakat adil dan makmur”
II.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.
IV/MPR/1973 memberikan beberapa ketentuan tentang Pembangunan di bidang hukum
sebagai berikut :
1.
Pembangunan di bidang hukum dan Negara Hukum Indonesia
adalah berdasar atas landasan sumber tertib hukum Negara yaitu cita-cita yang
terkandung pada pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita
yang luhur yang meliputi suatu kejiwaan serta watak dari bangsa Indonesia yang
dipadatkan dalam Pancasila dan UUD 1945.
2.
Pembinaan hukum harus mampu mengarahkan dan menampung
kebutuhan-kebutuhan hukum rakyat yang berkembang kearah modernisasi menurut
tingkat-tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang sehingga tercapai
ketertiban dan kepastian hukum sebagai prasarana yang harus ditujukan kearah
peningkatan pembinaan kesatuan bangsa sekaligus berfungsi sebagai sarana
penunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh, dilakukan
dengan :
a.
Peningkatan dan penyempurnaan Pembinaan Hukum Nasional
dengan mengadakan pembaharuan, kodifikasi sertan unifikasi hukum di
bidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam
masyarakat.
b.
Menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum menurut
proporsinya masing-masing.
c.
Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak-penegak
hukum.
3.
Memupuk kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina
sikap para penguasa dan para pejabat pemerintah ke arah penegakan hukum,
keadilan serta perlindungan terhadap harkat, martabat dan ketertiban serta
kepastian hukum sesuai dengan UUD 1945.
III. Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/1978 merumuskan tentang arah
pembangunan di bidang hukum sebagai berikut
1.
Pembangunan di bidang hukum dalam negara hukum
Indonesia didasarkan atas landasan sumber tertib hukum seperti terkandung dalam
Pancasila dan UUD 1945.
2.
Pembagian dan Pembinaan bidang Hukum diarahkan agar
hukum mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan pembangunan di
segala bidang, sehingga dapatlah diciptakan ketertiban dan kepastian hukum dan
memperlancar pelaksanaan pembangunan.
a. Peningkatan dan penyempurnaan hukum nasional dengan antara lain
mengadakan pembaharuan kondifikasi serta unifikasi hukum dibidang - bidang tertentu dalam masyarakat
b.
Menertibkan badan – badan penegak hukum sesuai dengan
fungsi dan wewenangnya masing – masing.
c.
Meningkatkan kemampuan dan kewibawaan aparat penegah
hukum
d.
Membina penyelenggaraan bantuan hukum untuk golongan
masyarakat yang kurang mampu.
3.
Meningkatkan kesadaran hukum dalam masyarakat sehingga
menghayati hak dan kewajibannya dan meningkatkan pembinaan sikap para
pelaksanaan penegak hukum ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum sesuai
dengan Undang – undang Dasar 1945.
4.
Mengusahakan terwujudnya Peradilan Tata Usaha Negara
5.
Dalam usaha pembangunan hukum nasional perlu
ditingkatkan langkah – langkah untuk penyusunan perundang – undangan yang
menyangkut hak dan kewajiban asasi warga
negara dalam rangka mengumumkan Pancasila dan UUD 1945
Dalam rangka
pembentukan Hukum Nasional Indonesia yang berdasarkan seminar – seminar Hukum
Nasional mulai dari yang pertama sampai yang terakhir jalan arah dan tujaun
pembentukan Hukum Nasional Indonesia adalah berdasarkan Hukum Adat. Dan untuk
lebih menegaskan hal seperti tersebut di atas maka berdasarkan : Surat
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal 17 Desember 1974 No.
Y.S.8/82/23 : telah ditetapkan untuk menyelengarakan Seminar Hukum Adat dan
Pembinaan Hukum Nasional pada tanggal 15–17 Januari 1975 yang
penyelenggaraanyadilakukan oleh BPHN dan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada
di Yokyakarta.
Yang menjadi
dasar pertimbangan dari pada diadakan seminar tersebut adalah :
a.
Bahwa di dalam usaha kondifikasi dan unifikasi hukum
dalam rangka pembinaan hukum nasional memerlukan bahan – bahan khususnya Hukum
Adat di Indonesia
b.
Bahwa di dalam membina Hukum Nasional, Hukum Adat yang
merupakan hukum yang hidup di dalam masyarakat perlu diperhatikan
c.
Bahwa adanya plun formilitas hukum yang hidup dalam
masyarakat Indonesia perlu digali dan dibahas dalam satu seminar untuk
mendapatkan gambaran yang jelas dan nyata tentang hukum adat yang benar – benar
hidup dan berlaku di seluruh tanah air.
Dalam seminar
inilah jelas terlihat arah dan kebijaksanaan pemerintah dalam menetapkan Hukum
Nasional yang nantinya akan berlaku bagi seluruh penduduk Indonesia dan
sekaligus menegaskan pendirian Pemerintah tentang sifat Hukum Adat sebagai.
Hukum Nasional atas hukum yang bersumber pada kepribadian bangsa.
Hal yang dianggap perlu atau relevant dalam seminar tersebut kaitannya
dengan pembentukan hukum nasional yang berdasarkan adat adalah :
1.
Mengenai Pengertian Hukum Adat :
Dengan menghargai pengertian yang dikembangkan masing-masing peserta
mengenai Hukum Adat, sesuai dengan pengertian hukum yang dianut serta
panafsiran yang dipergunakannya, dalam seminar ini hukum adat diartikan sebagai
Hukum Indonesia asli, yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan
Republik Indonesia yang disana-sini mengandung unsur agama.
2.
Mengenai Kedudukan dan Peranan Hukum Adat
a.
Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting
untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan Hukum Nasional yang menuju kepada
Unifikasi hukum dan yang terutama akan dilakukan melalui pembuatan peraturan
perundangan, dengan tidak mengabaikan timbul/tumbuh dan berkembangnya hukum
kebiasaan dan pengadilan dalam pembinaan hukum.
b.
Pengambilan
bahan-bahan dari hukum adat dalam penyusunan Hukum Nasional pada
dasarnya berarti :
3.
Penggunaan konsepsi-konsepsi dan azas-azas hukum dari
Hukum Adat untuk dirumuskan dalam norma-norma hukum yang memenuhi kebutuhan
masyarakat masa kini dan mendatang., dalam rangka membangun masyarakat yang
adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
4.
Penggunaan lembaga-lembaga Hukum adat yang dimodernisir
dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman tanpa menghilangkan ciri dan sifat-sifat
kepribadian Indonesianya.
5.
Memasukkan konsep-konsep dan azas-azas Hukum Adat ke
dalam lembaga-lembaga hukum baru dan lembaga-lembaga hukum dari Hukum asing
yang dipergunakan untuk memperkaya dan memperkembangkan Hukum Nasional agar
tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
a.
Di dalam pembinaan Hukum harta kekayaan nasional, Hukum
Adat merupakan salah satu unsur, sedangkan dalam pembinaan Hukum
keseluruhan dan Hukum Kewargaan Nasional
merupakan intinya.
b.
Dengan terbentuknya Hukum Nasional yang mengandung
unsur-unsur Hukum Adat, maka kedudukan dan peranan Hukum Adat telah terserap di
dalam Hukum Nasional.
Demikianlah sikap politik hukum khususnya hukum adat dari pemerintah
setelah Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17-08-1945 yang jelas arah
dan tujuannya yaitu berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Berdasarkan UUD1945 khususnya pasal 5 dan 20 UUD 1945 adalah mengutamakan
jalur Kodifikasi tetapi isinya adalah
berdasarkan pandangan hidup dan kepribadian bangsa yang tertuang dalam
Pancasila yang sekaligus merupakan dasar falsafah Bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar