Minggu, 03 Mei 2015

Diktat Hukum Kehutanan (Bab III)

BAB III_____________________________________
IDIOLOGI PENGUASAAN HUTAN DI INDONESIA

3.1. Hubungan antara Tanah, Hutan dan Masyarakat
            Bagi suatu masyarakat tertentu, tanah memiliki makna yang religius. Tanah memiliki dimensi ruang dan waktu dahulu, sekarang dan masa depan. Tanah juga menyimpan sejarah tidak tertulis tentang peringatan atau keberadaan para nenek moyang sebagai alas kelangsungan kehidupan masyarakat tertentu yaitu untuk kehidupan sosial, budaya, religi, ekonomi, politik dan sebagai tali ikatan dengan generasi yang akan datang. Gambaran yang demikian ini lebih tampak nyata pada keberadaan dan kehidupan suatu perkumpulan masyarakat tertentu yaitu masyarakat hukum adat.
            Masyarakat menurut padangan Satjipto Rahardjo dikemukakan bahwa :
“ Masyarakat tidak hanya merupakan kumpulan sejumlah manusia, melainkan ia tersusun pula dalam pengelompokan-pengelompokan dan pelembagaanpelembagaan. Kepentingan para anggota masyarakat tidaklah senantiasa sama. Namun, kepentingan yang sama mendorong timbulnya pengelompokan diantara mereka itu. Disamping pengelompokan-pengelompokan itu timbul pula pelembagaan-pelembagaan yang menunjukan suatu usaha bersama untuk menangani suatu bidang persoalan di masyarakat seperti : ekonomi, politik agama dan sebagainya.”(Rahardjo, 1980:95) 
Hal ini dapat dikatakan pula bahwa masyarakat senantiasa mengalami perubahan-perubahan. Perbedaan hanya terdapat pada sifat atau tingkat perubahan itu. Perubahan dapat ketara dan menonjol atau tidak, dapat cepat atau lambat dapat menyangkut soal-soal yang fundamental bagi masyarakat bersangkutan atau hanya perubahan kecil saja. Namun bagaimana sifat dan tingkat perubahan itu, masyarakat senantiasa mengalaminya.(Soekanto, 1978:215)
            Jadi hubungan tanah dalam suatu masyarakat tidak hanya sebagai alas kelangsungan kehidupan dan sebagai salah satu faktor produksi, tetapi juga memiliki arti penting lainnya baik menyangkut aspek sosial maupun politik. Oleh karena itu masalah tanah tidak semata-mata merupakan masalah hubungan antara masyarakat dan tanah, lebih dari itu secara normatif merupakan hubungan manusia (secara individu) dengan tanah. Setiap masyarakat juga mempunyai mekanisme masing-masing dalam mengatur hubungan antar manusia tersebut. Implikasi dari masalah hubungan tersebut adalah orang mempunyai hak untuk menolak orang lain menggunakan tanahnya, tanpa seizin pemiliknya. Oleh karenanya, sangat penting strategi, fungsi, dan peranan tanah dalam kehidupan masyarakat baik sebagai wadah untuk kegiatannya maupun sebagai faktor produksi untuk penghidupannya.
           Hal ini dapat dipahami bahwa, sesungguhnya peranan tanah dalam kehidupan masyarakat adalah sebagai mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan ini terkait karena tanah dapat diketahui sebagai hak milik yang paling berharga dan masyarakat atau manusia sebagai individu akan mempertahankan hak miliknya yang paling berharga tersebut dari ancaman pihak lain yang ingin memiliki tanah atau bahkan menguasai tanpa adanya kesepakatan atau perjanjian terlebih dahulu antara kedua belah pihak.
             Dengan kata lain bahwa tanah itu Sangat erat kaitannya dengan jati diri kelompok tersebut. Masalah-masalah yang menyangkut tanah tidak dapat dipisahkan dengan masalah-masalah kekerabatan, kekuasaan dan kepemimpinan cara-cara menyambung hidup, serta upacara. (Barber, 1999, 32).
           Keleluasaan persoalan tanah bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat hukum adat merupakan keseluruhan aktifitas kehidupan masyarakat adat itu  sendiri, yang diantaranya meliputi hak hidup, hak membangun, hak budaya dan terutama hak untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa diganggu oleh kelompok masyarakat lain. Dengan demikian kita mengenal masyarakat dengan adanya manusia-manusia yang tidak mengasingkan diri dari kehidupan sekitarnya dan disitulah mereka terhubung dengan tanah serta membangun kehidupan sebagaimana layaknya.
             Hutan sendiri merupakan sebuah kawasan yang terdiri dari berbagai ekosistem tumbuh-tumbuhan dan hewan, termasuk di dalamnya adalah tanah dan masyarakat (masyarakat hukum adat/lokal) Hubungan antara tanah dan hutan dapat digambarkan bahwa tanah merupakan bagian dari ekosistem hutan dan juga penyangga kehidupan sumber daya alam hutan tersebut. Tanpa adanya tanah sebagai penyangga hidup dari tanaman yang tumbuh dikawasan hutan, maka tidak akan pernah ada tanaman yang tumbuh. Hal ini dikarenakan tanah sendiri menyimpan sumber mata air, humus bagi tumbuh-tumbuhan tersebut.
           Seperti yang termasuk dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa yang dimaksud dengan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnyanya tidak dapat dipisahkan, sedangkan yang disebut hasil hutan adalah benda-benda hayati, non hayati dan turunnanya, serta jasa yang berasal dari hutan (Pasal 1 Ayat (13) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan). Tentang hasil hutan lebih jelas diuraikan pada penjelasan Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, hasil hutan dapat berupa :
a.       Hasil nabati beserta turunannya seperti kayu, bambu, rotan, rumput-rumputan, jamur-jamur, tanaman obat, getah-getahan dan lain-lain, serta bagian dari tumbuh-tumbuhan atau yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan di dalam hutan.
b.       Hasil hewani beserta turunnanya seperti satwa liar dan hasil penangkarannya, satwa buru, satwa elok, dan lain-lain hewan serta bagian-bagiannya atau yang dihasilkannya.
c.       Benda-benda non hayati yang secara ekologis merupakan satu kesatuan ekosistem dengan benda-benda hayati penyusun hutan, antara lain berupa sumber air, udara bersih, dan lain-lain yang tidak termasuk benda-benda tambang.
d.       Jasa yang diperoleh dari hutan antara lain berupa jasa wisata, jasa keindahan dan keunikan, jasa perburuan dan lain-lain.
e.       Hasil produksi yang langsung diperoleh dari hasil pengolahan bahan-bahan mentah yang berasal dari hutan, yang merupakan produksi primer antara lain berupa kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis dan pulp.
          Dari rumusan pengertian hutan dan hasil hutan dalam Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tersebut diketahui bahwa unsur utama pengertian “hutan” adalah tumbuh-tumbuhan kayu, bambu dan/atau palem diatas tanah. Selanjutnya dalam pengertian Undang-Undang Kehutanan tersebut, tanah yang tidak ada tumbuh-tumbuhannya bukanlah hutan, meskipun berada dalam kawasan hutan (Harsono,  1997: 8).
      Sesuai dengan bunyi penjelasan umum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 bahwa :
Hutan  sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya wajib disyukuri. Karunia yang diberikan-Nya dipandang sebagai amanah, karena hutan harus diurus dan dimanfaatkan dengan akhlak mulia dalam beribadah, sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu dijaga kelestariannya. Hutan mempunyai peranan sebagai penyerasi  dan penyeimbang lingkungan global, sehingga keterkaitannya  dengan dunia internasional menjadi sangat penting, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional.
            Berdasarkan  kenyataan pengertian tentang hutan, maka semakin jelas bahwa manfaat hutan serta fungsi hutan bagi kehidupan disekelilingnya sungguh sangat berarti begitu pula dengan hasil hutan yang merupakan tumpuan hidup masyarakat disekelilingannya. Hubungan antara hutan dan masyarakat khususnya masyarakat sekitar hutan (masyarakat hukum adat/lokal) dapat dikatakan bahwa masyarakat sebagai kelompok sosial mempunyai hak atas tanah seperti yang telah diuraikan sebelumnya dan sumber daya alam khususnya hutan . Bagi masyarakat sekitar hutan (masyarakat hukum adat/lokal) membutuhkan akses ke areal ataupun ke dalam hutan untuk kelangsungan hidup mereka, yang tidak saja bersifat material, tetapi spiritual juga sangat diperlukan.
      Hutan bagi masyarakat hukum adat (lokal) bukan sekedar obyek eksploitasi semata, akan tetapi jauh lebih dalam bahkan bernuansa magis, dan hutan bagi kelompok masyarakat tersebut adalah ibu kehidupan, karena mereka hidup di hutan dan mereka menjaganya.
      Di samping hutan sebagai penyangga kehidupan kelompok masyarakat hukum adat/lokal juga sebagai penyangga kehidupan tumbuh-tumbuhan dan satwa, disisi lain potensi hutan menarik minat pengusaha  untuk menggali kekayaan yang ada padanya. Kayu-kayu tropis yang bagaikan emas kecoklatan itu terus menjadi incaran pengusaha hutan sebagai produk yang sangat menguntungkan di pasar dunia. (Pamulardi, 1996: 1).
        Berkaitan dengan persoalan pengusahaan hutan dan berkaitan dengan masyarakat yang ada di dalam kawasan hutan  termasuk tanahnya seringkali bermunculan berbagai macam permasalahan dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan secara besar-besaran oleh pengusaha-pengusaha perhutanan tersebut. Dalam pelaksanaan kebijakan pertanahan khususnya untuk proyek-proyek  tersebut hak-hak masyarakat hukum adat/lokal seringkali terabaikan bahkan lebih ironisnya mereka tersingkirkan. Pada perolehan keuntungan juga tidak menyentuh masyarakat hukum adat/lokal karena antara lain hukum agraria yang berlaku kurang menghargai dan melindungi hak atas tanah masyarakat adat dan tidak ada  pengakuan politik yang sungguh-sungguh terhadap keberadaan lembaga adat (Fauzi, 1997: 15).
       Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan masih belum secara tegas memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat  hukum adat dalam pengelolaan sumber daya hutan. Pengaturan pengakuan bersifat bersyarat. Ketidaktegasan ini diawali oleh Pasal 1 Ayat (6). Yang menegaskan bahwa masyarakat hukum adat tidak berhak mempunyai hutan milik sendiri. Hutan adat adalah hutan negara yang kebetulan berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Asumsi dari pasal ini adalah seluruh areal hutan Indonesia telah ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan hutan (hutan negara dan hutan hak).
       Secara sepihak hutan-hutan masyarakat hukum adat yang bernama lokal seperti hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, bengkar dan lain-lain telah di caplok oleh negara dengan bertamengkan konsepsi hak menguasai negara, telah terjadi apa yang dinamakan negaraisasi sumber-sumber agraria. Dari konstruksi  pasal ini bisa dikemukakan sebuah penilaian bahwa asas free and prior informed consent belum secara tegas diakui sebagai sebuah norma hukum.
       Ketidaktegasan pengakuan pemerintah atas hak masyarakat hukum adat akan terlihat apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 5 Ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang pada pokoknya mengatur bahwa hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaanya. Pesan penting dari ketentuan tersebut adalah eksistensi de-facto masyarakat hukum adat masih harus dilengkapi dengan pengakuan de-jure dengan cara pemerintah mengakui keberadanya. Mekanisme pengakuan oleh pemerintah diatur pada Pasal 67 Ayat (2) yaitu ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Ironisnya pada Ayat (3) Pasal 67 ditetapkan dengan otoritas pengakuan mengenai eksistensi masyarakat hukum adat tidak sepenuhnya berada ditangan Pemerintah Daerah, karena diatur bahwa akan dibuatkan Peraturan Pemerintah tersendiri yang nantinya akan berisikan ketentuan tata cara penelitian, materi penelitian dan kreteria penilaian keberadaan masyarakat hukum adat. (Wacana, No.6/2000:89).  
      Mencermati terjadinya peminggiran secara sistematis hak-hak komunal masyarakat hukum adat ini, Barber (1999:34) memberikan komentar :
“ Undang-undang Pokok Agraria memang mengakui hukum adat sebagai landasan Hukum Agraria Nasional. Tetapi ada tiga faktor yang membuat undang-undang ini pada umumnya tidak relevan untuk lahan-lahan yang diklasifikasikan sebagai kawasan hutan. Pertama sedikit masyarakat pedesaan yang memahami perundang-undangan nasional serta prosedur hukum. Sebuah studi di suatu desa Kalimantan Tengah, misalnya menemukan bahwa 78% penduduk belum pernah mendengar UUPA, dan hak adat jarang yang dicatatkan menurut ketentuan-ketentuan perundang-undangan tadi di wilayahwilayah hutan pedesaan. Kedua, tepat seperti UUPA, UU Kehutanan juga mencatat bahwa hukum adat yang berlaku adalah sepanjang hukum tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan kepentingan negara. Ketiga, Sesungguhnya pemerintah telah menafsirkan UU Kehutanan sebagai hukum yang lebih tinggi dari pada UUPA dalam menetapkan wilayah-wilayah hutan.”  

      Konsekwensi dari kenyataan ini adalah munculnya sektoralisme kekuasaan dalam penguasaan dan pengelolaan SDA, atas dasar doktrin hak menguasai negara manajemen dan pelaksanaanya dilakukan secara terpusat diabdikan untuk kepentingan pertumbuhan dan akumulasi modal sehingga melanggar dan mengabaikan hak-hak masyarakat hukum adat atas aksesnya terhadap pemanfaatan SDA. (Wignjosoebroto, 1998:4).
         Ambiguitas pengakuan negara terhadap hak-hak masyarakat hukum adat dapat juga dibuktikan pada pilihan yang dipakai dalam penentuan satuan wilayah pengelolaan hutan. Wilayah pengelolaan hutan bukanlah di dasarkan pada satuan wilayah yang dikenal oleh masyarakat hukum adat. Demikian pula pada Pasal 30 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 yang berbunyi:
“ Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat , setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan badan usaha milik swasta Indonesia yang memperoleh izin usaha memanfaatkan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu diwajibkan bekerjasama dengan koperasi masyarakat setempat.”

       Terkesan bernada memaksakan masyarakat hukum adat/lokal untuk harus memakai koperasi sebagai satu-satunya badan usaha dalam hubungan pengembangan ekonomi masyarakat, seakan tidak ada pilihan badan usaha lain yang boleh digunakan dalam mengembangkan perekonomian masyarakat hukum adat.
      Belum secara total pengakuan pemerintah terhadap keberadaan masyarakat hukum adat/lokal dimana hanya menganggap sumberdaya kehutanan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan sehari-hari , ditemukan pada rumusan Pasal 27 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1999 tentang Hak penguasaan Hutan dan Pemungutan hasil Hutan pada Hutan Produksi; yang menyatakan :
“Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan masih ada dan diakui keberadaannya berdasarkan Peraturan pemerintah ini diberikan hak memungut hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.”
      Belajar dari kegagalan masa lalu, sudah saatnya hukum pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia, diubah orientasinya kembali kepada basis kerakyatan, perwujudan demokratisasi ekonomi, yaitu sebuah perekonomian yang menurut Korten (1993:286) memiliki paradigma utama untuk menyebarkan kekuatan ekonomi secara adil, terutama melalui partisipasi luas dalam mengawasi aset-aset produktif dan melaksanakan kekuatan tawar menawar bersama. demokratisasi ekonomi berjalan bergandengan dengan ekonomi politik sebagai landasan suatu strategi pertumbuhan berkelanjutan berdasarkan pemerataan. Yang diperlukan dalam mencapai demokrasi ekonomi  adalah partisipasi yang bermakna dalam pemilikan dan pengendalian aset-aset produktif demi pemerataan produktivitas dan tanggung jawab lingkungan hidup. Pentingnya mengangkat pemikiran ekonomi kerakyatan sebagai basis bagi pengembangan hukum pengelolaan sumber daya hutan adalah karena adanya kenyataan pada hampir semua masyarakat sekitar hutan yang hutannya telah dimanfaatkan bagi kepentingan ekonomi, kelihatan kehidupan mereka tidak diangkat.

3.2. Ideologi Penguasaan dan Pengelolaan  Sumber Daya Hutan.
              Konfigurasi hukum yang mengatur penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia tercermin dalam rumusan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan :
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
 Filosofi penguasaan dan kemanfaatan sumber daya alam tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut  dalam ketentuan  Pasal 2 Undang-undang Pokok Agraria/Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang menegaskan mengenai Hak Menguasai Negara (HMN), sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat untuk mengatur hubungan-hubungan hukum dan perbuatan-perbuatan hukum warga negara yang menyangkut bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk sumber daya hutan.
Dalam konteks penguasaan dan pengelolaan sumberdaya hutan maka Pasal 4
Undang-Undang  Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan : “ Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Intinya hutan sebagai sumber kekayaan alam Indonesia pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat, dan digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia. Dalam pengertian ini hutan “dikuasai” oleh negara, tetapi bukanlah berarti hutan “dimiliki” oleh negara, melainkan suatu pengertian yang mengandung kewajiban-kewajiban dan wewenang-wewenang dalam bidang hukum publik sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor  41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Ideologi seperti yang dimaksud dalam konstitusi dan dijabarkan dalam perundang-undangan di atas merupakan cerminan dari artikulasi nilai dan norma serta konfigurasi hukum negara yang mengatur penguasaan dan pemanfaatan sumber daya hutan (Barber, 1989:34-35), atau merupakan ekspresi dari ideologi yang memberi otoritas dan legitimasi kepada negara untuk menguasai dan mengelola sumber daya hutan dalam wilayah  negara (Peluso,1992:11)
Dalam konteks di Jawa , otoritas penguasaan dan pengelolaan sumber daya hutan didelegasikan kepada Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yunto Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 1999 tentang Perum Perhutani. Jika ditelusuri dari segi sejarah, sebelum menjadi Perum Perhutani maka institusi yang diberi wewenang menguasahakan dan mengelola kawasan  hutan di Jawa adalah :
1.    Perusahaan Kehutanan Negara Jawa Timur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1961;
2.    Perusahaan Kehutanan Negara Jawa tengah berdasarkan Peraturan Pemerintah  Nomor  19 Tahun 1961;
3.    Kemudian dengan Peraturan Pemerintah  Nomor 15 Tahun 1972  Perusahaan Kehutanan Negara Jawa Timur dan Jawa Tengah digabung menjadi Perusahaan Umum Kehutanan Negara  (Perum Perhutani) yang memiliki 2 (dua) unit produksi, yaitu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah dan Perum Perhutani  Unit II Jawa Timur.
4.    Dalam perkembangan selanjutnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1978 yunto Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1986 unit produksi  Perhutani ditambah dengan Perum Perhutani Unit III Jawa barat.
Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 10 Ayat (1-4) Peraturan Pemerintah  Nomor 53 Tahun 1999 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara :
(1). Wilayah kerja perusahaan meliputi seluruh hutan negara yang terdapat di propinsi Daerah Tingkat I Jawa tengah, Propinsi Daerah tingkat I Jawa Timur, dan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, kecuali kawasan hutan yang berfungsi sebagai kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.
(2). Perubahan atas wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
(3). Wilayah kerja sebagaiman dimaksud dalam Ayat (1) dibagi ke dalam unit-unit, yaitu :
a.    Wilayah kerja unit Jawa Tengah disebut Unit I Jawa Tengah.
b.    Wilayah kerja unit Jawa Timur, disebut Unit II Jawa Timur.
c.    Wilayah kerja unit Jawa Barat, disebut Unit III Jawa Barat.
    (4). Wilayah kerja unit dibagi menjadi Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) yang  penetapanya dilakukan oleh Menteri atas usul Direksi.

                  Maksud dari Pasal 10 Ayat (1-4) Peraturan Pemerintah  Nomor 53 Tahun 1999 dapat digambarkan dengan skema berikut :
 





















 Dari skema di atas dapat dikatakan bahwa hirarkhi tersebut masih terkesan peninggalan pada masa kolonial, karena pada masa pemerintahan Hindia Belanda di Pulau Jawa penyebutan kepala masing-masing wilayah daerah hutan tersebut sering dipergunakan. Dalam hal inilah yang menyebabkan Perum Perhutani terkadang masih bersikap feodal di dalam membuat aturan-aturan yang berkenaan dengan masalah pengelolaan dan pemanfaatan hutan, sehingga menyebabkan sering terjadinya konflik antara Perum Perhutani  dengan masyarakat di dalam atau sekitar hutan, dan tidak sedikit konflik ini berlanjut dengan pertentangan fisik. Keadaan inilah yang seharusnya disadari oleh Perum Perhutani sebagai penguasa hutan khususnya pada hutan di pulau Jawa
    Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bernaung di bawah Departemen Kehutanan . Dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 1999 tentang Perum Perhutani secara tegas dinyatakan bahwa sifat usaha Perum Perhutani adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan dan kelestarian sumber daya hutan, sedangkan dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa maksud dan tujuan Perum Perhutani adalah 
1.       Mengelola hutan sebagai ekosistem sesuai karakteristik wilayah untuk mendapatkan manfaat yang optimal bagi perusahaan dan masyarakat sejalan dengan tujuan pembangunan nasional;
2.       Melestarikan dan meningkatkan mutu sumber daya hutan dan mutu lingkungan hidup.
3.       menyelenggarakan usaha di bidang kehutanan yang menghasilkan barang dan jasa yang bermutu tinggi dan memadai guna memenuhi hajat hidup orang banyak dan memupuk keuntungan.

Pada Pasal 8 nya dijelaskan mengenai kegiatan dan pengembangan usaha perusahaan   yaitu ;
a.    Pengusahaan hutan yang meliputi kegiatan-kegiatan perencanaan, penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil, pengolahan, dan pemasaran.
b.    Perlindungan dan pengamanan hutan; dan
c.    Usaha-usaha lainnya yang dapat menunjang tercapainya maksud dan tujuan perusahaan.
   
Penegasan terhadap pengelolaan hutan justru terlihat dalam ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor  41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan bahwa:
Pengelolaan hutan  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Ayat (2) huruf b, meliputi  kegiatan :
a.       Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan.
b.      Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan.
c.       Rehabilitasi dan reklamasi hutan , dan
d.      Perlindungan hutan dan konservasi alam.
Pasal tersebut di atas tidak terlepas dari bunyi penjelasannya, yaitu penjelasan Pasal 21, bahwa :
·      Hutan merupakan amanah Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu pengelolaan hutan dilaksanakan dengan dasar akhlak mulia untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian pelaksanaan setiap komponen pengelolaan hutan harus memperhatikan hutan, harus memperhatikan nilai-nilai budaya masyarakat, aspirasi dan persepsi masyarakat, serta memperhatikan hak-hak rakyat, dan oleh karena itu harus melibatkan masyarakat setempat.

·      Pengelolaan hutan pada dasarnya mejadi kewenangan pemerintah dan atau pemerintah daerah. Mengingat berbagai kekhasan daerah serta kondisi sosial dan lingkungan yang sangat terkait dengan kelestarian hutan dan kepentingan masyarakat luas yang membutuhkan kemampuan pengelolaan secara khusus, maka pelaksanaan pengelolaan hutan di wilayah tertentu dapat dilimpahkan kepada BUMN yang bergerak di bidang kehutanan, baik berbentuk Perusahaan Umum (Perum), Perusahaan Jawatan (Perjan), maupun Perusahaan Perseroan (Persero), yang pembinaanya di bawah menteri.

·      Untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari dibutuhkan lembagalembaga penunjang antara lain lembaga keuangan yang mendukung pembangunan kehutanan, lembaga penelitian dan pengenbangan lembaga pendidikan dan latihan, serta lembaga penyuluhan

Melihat kenyataan yang demikian dalam pengelolaan hutan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, dapat dikatakan bahwa pengelolaan hutan tersebut tetap dipegang oleh penguasa  kehutanan dan instansi terkait, hal ini juga berkenaan dengan penguasa hutan di Jawa yang diberikan pada Perum Perhutani.
Sebagai BUMN yang diberi wewenang mengusahakan dan mengelola sumber daya hutan dengan menggunakan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan, Perum Perhutani dituntut untuk memainkan paling tidak 3 peran pokok, yaitu sebagai : (1). Penguasaan kawasan hutan (goverment land lord); (2). Perusahaan kehutanan negara (goverment forest corporation); dan (3). Institusi yang mengkonservasi hutan (forest conservation institution).
 Untuk dapat memainkan peranan diatas,  maka komponen sumber daya hutan yang dikuasai dan dikelola Perum Perhutani tidak saja meliputi penguasaan atas tanah hutan (control of forest land) dan hasil hutan kayu dan non kayu (control of forest speciest), tetapi juga pengawasan dan pengendalian terhadap keberadaan petani-petani hutan maupun pekerja-pekerja hutan (control of forest labor) yang dilibatkan dalam pengusahaan sumber daya hutan (Peluso, 1992 :1718).
   Paradigma ini merupakan kreasi dari suatu bingkai budaya kontrol (culture control) terhadap sumber daya alam khususnya sumber daya hutan  yang berbasiskan Negara (State-based forest resource management) yang semata-mata dikelola untuk kepentingan pendapatan dan devisa negara . Paradigma seperti ini dicirikan dengan perilaku dan orientasi yang cenderung mengatur dan mengendalikan (policing and controling) meraih keuntungan jangka pendek, perencanaan yang kaku, pengambilan keputusan yang unilateral dan menjadi andalan bagi pendapatan dan devisa negara. Bentuk institusi dan implementasinya berciri sentralistik, pengelolaan tunggal oleh departemen, pendekatan atas bawah (top-down), orientasi target, perencanaan makro, penganggaran yang ketat, pendekatan sekuriti, dan cenderung menerapkan banyak sanksi. Sedangkan metode pengelolaanya memiliki ciri-ciri antara lain kaku, tujuan tunggal, homogen, produk tunggal, sistem silvikultur tunggal, dan hubungan majikan buruh.(Nurjaya,1999:8)
               Dengan maksud yang sama  Korten (1986), seperti dikutip oleh Nurjaya (1999:9) mengatakan bahwa institusi penguasaan dan pengelolaan sumber daya yang berbasiskan Negara cenderung mengelola  sumber daya secara tersentralisasi (centralized resource management), dengan mekanisme pengambilan keputusan yang terpusat penyusunan dan penyampaian program yang bersifat standar (standardized service delivery programs), demi keseragaman dan efisiensi di pihak pengambil keputusan. Konsekwensi struktur organisasi yang dikembangkan bercirikan hirarkhis, dengan pola pengambilan keputusan yang bersifat atasbawah (top-down).
  Dilihat dari perspektif strategi pembangunan hukum, maka yang selama ini dijalankan dalam pengelolaan hutan di Indonesia adalah pembangunan hukum yang represif (repressive law) yang bersifat positivis instrumentalis. Dalam tatanan hukum represif, hukum sebagai abdi kekuasaan represif dari pemerintah yang berdaulat (pengemban kekuasaan politik) yang memiliki kewenangan tanpa batas. Dalam tipe ini, maka hukum dan negara serta hukum dan politik tidak terpisah sehingga aspek instrumental dari hukum sangat mengemuka dari aspek ekspresifnya (Nonet & Selznick, 1978:14 -15)
   Lahirnya hukum pengelolaan hutan yang menindas (repressive law) selama ini adalah tidak terlepas dari ideologi hak menguasai negara. Berdasarkan ideologi hak menguasai negara ini pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menempatkan negara sebagai pemegang kekuasaan absolut atas pengelolaan sumberdaya hutan. Peluso (1990:27) dalam melihat dominasi pemerintah Indonesia pada pengelolaan sumberdaya alam (government-based resaources control and management) memberikan penilaian bahwa :
state forestry agencies have traditionally controlled land, trees and labor to fulfil tree custodial and productive fuction as (1) a government lanlord; (2) a forest enterprise; and (3) a conservation institution”
 Secara sistematik piranti hukum banyak yang bernuasa represif, Negara cenderung mengabaikan dan menggusur hak-hak dan bahkan mengkriminalisasi masyarakat lokal yang mengakses sumber daya hutan untuk kehidupan subsistemnya. Akhirnya terjadi marginalisasi dan viktimisasi yang menyangkut tidak hanya sumber-sumber kehidupan (ecological cost), tetapi juga kekayaan sosial dan kultural masyarakat lokal (social and cultural cost), dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan (Nurjaya, 1999:13)
               Perubahan kondisi sosial, ekonomi, politik dan ekologi yang demikian cepat memerlukan perubahan paradigma baru dalam pengelolaan sumber daya hutan. Hal ini sesuai dengan agenda politik yang mengedepankan warga negara dalam basis pengelolaan sumber daya hutan atau berorientasi ekonomi kerakyatan yang sekarang tengah dicoba dikembangkan di  Indonesia.
                 Sebagai reaksi dan koreksi atas penggunaan paradigma pengelolan dan pengusahaan hutan yang berbasiskan negara maka sejak dekade terakhir dikembangkan pemikiran untuk memperkenalkan pendekatan baru yang lebih berorientasi pada kesejahteraan masyarakat lokal dikenal sebagai paradigma manejemen sumber daya hutan yang berbasiskan komunitas (Community-based forest resource management). Gagasan  untuk mengedepankan paradigma ini bermula dari desakan kalangan non pemerintah (ornop) agar pemerintah negaranegara yang memiliki hutan tropis lebih melibatkan dan memasukan dimensi masyarakat lokal dalam menejemen kehutanan.
               Disisi yang lebih strategis, gagasan ini didukung oleh fakta-fakta lapangan bahwa pengelolaan dan pengusahaan hutan yang tidak  memberi akses, mengakomodasi dan melibatkan partisipasi masyarakat lokal terbukti tidak efektif dan tidak efisien.  Yang terbukti , komunitas-komunitas lokal memiliki kearifan ekologi yang tinggi dan mampu menyelenggarakan manajemen sumber daya hutan secara lestari. Seiring dengan adanya perubahan paradigma pengelolaan hutan yang berbasiskan masyarakat berkembang pula menjadi gerakan rakyat yang ditandai dengan semakin maraknya konflik-konflik antara masyarakat lokal dengan pemerintah dibanyak negara yang memiliki hutan tropis.
              Istilah-istilah yang dipakai untuk menjelaskan pendekatan manejemen kehutanan yang berbasiskan masyarakat antara lain : community forestry, jointforest management, collaborative forest management, participatory forest management, shared-forest management, community-based forest management, atau social forestry. Meskipun dalam ruang lingkup dan tingkatan tertentu masing-masing mempunyai pengertian tersendiri tetapi gambaran umum yang bercirikan manejemen kehutanan yang berbasiskan masyarakat terdapat pengertian-pengertian antara lain :
1.       Masyarakat lokal mampu mengambil peran utama dalam manejemen hutan.
2.       Masyarakat lokal mempunyai hak yang sah dalam penguasai kawasan dan mengelola sumber daya hutan.
3.       Kemitraan dan pengambilan keputusan oleh masyarakat lokal menjadi ciri minimum dari manajemen hutan yang berbasiskan masyarakat.  (Nurjaya;1999:14)
       Pelaksanaan model manejemen hutan yang berbasiskan masyarakat (community-based forest resource management) menuntut perubahan-perubahan, tidak hanya pada tatanan peraturan perundang-undangan, struktur kelembagaan, administrasi dan prosedur, tetapi juga perubahan metode, strategi, teknik-teknik partisipasif, termasuk perubahan sikap dan perilaku aktor-aktor (stakeholders) yang terlibat dalam manejemen kehutanan.
Dalam pengelolaan hutan di Jawa, jika Perhutani memiliki kemauan dan tekad yang bulat untuk memulai pendekatan baru dalam manajemen sumberdaya hutan, maka pertama-tama yang harus dirubah adalah persoalan persepsi Perhutani mengenai kawasan hutan. Artinya, hutan harus dipersepsikan sebagai kesatuan ekologi (ekosistem) yang tidak hanya terdiri dari tanah (forest land), hasil kayu dan non kayu (fores species), akan tetapi juga terdapat (komunitaskomunitas) manusia di dan sekitar kawasan hutan (forest communities). Jadi dimensi manusia sebagai bagian dari ekosistem hutan harus dimasukan, diperhitungkan, dan diakomodasi dalam sistem manajemen  pengusahaan sumberdaya hutan. Langkah selanjutnya adalah menyiapkan instrumen hukum yang responsif  dan akomodatif terhadap hak-hak serta akses masyarakat atas sumberdaya hutan, menyesuaikan struktur kelembagaan, administrasi, mekanisme promosi kepangkatan dan jabatan, dan menetapkan metode serta teknik-teknik partisipatif yang kondusif bagi pengembangan  manajemen kehutanan yang berbasis komunitas.
Sejak masa pemerintahan kolonial Belanda, hutan di Jawa dikuasai dan dimonopoli pemerintah dan dieksploitasi dengan menggunakan institusi dan manajemen yang semi militer. Pemerintah secara drastis memutuskan akses masyarakat terhadap hutan yang secara turun temurun telah menjadi sumber kehidupannya. Akibatnya muncul reaksi yang diekspresikan dalam bentuk perlawanan dan konfrontasi, yang membentuk hubungan konflik antara masyarakat petani dengan petugas-petugas kehutanan. Aksi-aksi resistensi terus bertahan hidup dengan mengandalkan sumber daya hutan ( Barber, 1989:22).  Secara umum di Indonesia, Community - based forest management ini, pada prinsipnya dapat dilakukan dengan dua bentuk, yaitu mengikuti peta permasalahan pengelolaan hutan, Pertama, untuk pulau Jawa, bagaimana hutanhutan jati yang dikelola Perhutani, dengan skala yang sangat luas, apabila dibandingkan dengan tingkat disland-owning process yang terjadi, dapat memberikan manfaat pada penduduk. Dalam hal ini misalkan Perum Perhutani  dapat meminjamkan lahannya bagi penduduk untuk bertanam palawija dengan sistem tumpang sari. Kedua permasalah diluar Pulau Jawa adalah bagaimana eksploitasi hutan dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi penduduk lokal, dengan kata lain mereka turut menikmati devisa yang dihasilkan. Bukan mengalami degradasi kehidupan seperti yang menggejala dewasa ini. Bentuk kongkritnya yang paling ideal barangkali adalah, perusahaan eksploitasi dan pemerintah memberikan dana community development yang sifatnya pemberdayaan (empowering), bukan perasaan belas kasihan .
          Konsep pemberdayaan yang ditengahkan melalui pengelolaan sumber daya hutan berbasiskan masyarakat membutuhkan prasyarat mutlak akan adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat. Berdasarkan konsep ini pembangunan harus tergantung pada kekuatan masyarakat yang mengalaminya bersifat indegenous dan self-reliance. Konsepsi pemberdayaan ini mempunyai asumsi bahwa pembangunan akan berjalan dengan sendirinya apabila masyarakat dengan kearifan lokal yang dimilikinya diberi hak untuk mengelola sumber daya alam. Selain konsep pemberdayaan juga sangat menuntut adanya penghormatan terhadap keberagaman, kekhasan lokal dan peningkatan kemandirian lokal. (Pranarka & Vidhyandika, 1996:58).
         Secara keseluruhan pengelolaan sumber daya hutan yang berbasiskan pada masyarakat (community-based resource management) haruslah memenuhi prinsip-prinsip antara lain :
1.         Keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
2.         Kelestarian dan keberlanjutan sumber daya alam.
3.         Keterbukaan, transparansi dan partisipasif.
4.         Pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat lokal atas sumber daya alam.
5.         Penghormatan atas kearifan (wisdom), pengetahuan, tradisi, praktek-praktek, dan teknologi masyarakat lokal.
6.         Desentralisasi dan devolusi dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam.
7.         memberi informasi dan meminta persetujuan masyarakat lokal (prior informed consent).
  Adanya program Perhutanan Sosial di Jawa dimana konsepnya berkembang sejak tahun 1970-an merupakan perkembangan  lebih lanjut dari program-program kehutanan yang mengikutsertakan masyarakat lokal, khususnya masyarakat sekitar hutan , seperti adanya Prosperity Approach, Ma-lu (Mantri Lurah), dan program yang khususnya aktif diluar kawasan hutan yaitu adanya PMDH (Pembangunan Masyarakat Desa Hutan), PMDH Terpadu dan sebagai  penyempurnaan adanya program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). 
    Oleh karena itu interaksi yang ada antara Perum Perhutani dan masyarakat sekitar hutan sesungguhnya menganut pola interaksi yang saling membutuhkan dan ketergantungan (simbiosis mutualisma) di satu sisi masyarakat membutuhkan  dan menggantungkan hidupnya pada sumber daya hutan (terutama lahan ladang, kayu perkakas dan kayu bakar, dedaunan serta rumput) dan disisi lain  Perhutani  mengandalkan penduduk sebagai petanipetani hutan (pesanggem) atau pekerja-pekerja hutan (blandong) yang sangat menentukan kelangsungan kinerja perusahaan. Persoalannya selama ini Perhutani belum memperhitungkan dan memasukan pesanggem dan blandong sebagai bagian dari sistem manajemen hutan.
  Dalam pengembangan model-model organisasi sosial yang berbasis masyarakat disekitar hutan yang dilakukan Perhutani masih terbatas pada pemberian pekerjaan kepada masyarakat (pesanggem dan blandong) disekitar hutan dengan persyaratan kerja yang ditentukan pihak  Perhutani. Kondisi seperti ini menimbulkan konsekwensi bahwa pesanggem dan blandong tidak memiliki kedudukan yang seimbang pada semua kegiatan perhutanan sosial.
   Peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan khususnya yang berhubungan dengan program Hutan Kemasyarakatan secara umum dijelaskan pada Pasal 68 Ayat (1-4) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa :
(1)  Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan.
(2). Selain hak sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) masyarakat dapat :
a.       Memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.       Mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan  hasil hutan , dan informasi kehutanan.
c.       Menberi informasi, saran pertimbangan dalam pembangunan kehutanan dan,
d.       Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung .
       (3). Masyarakat di dalam hutan dan disekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagaimana lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. 
       (4). Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagaimana akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

              Seperti yang telah diuraikan diatas konsepsi hutan kemasyarakat pada waktu dulu berorientasi pada tujuan pengamanan hutan dan memberikan tekanan pada peningkatan hasil hutan, sehingga upaya peningkatan pendapatan masyarakat sekitar hutan hanya dilakukan sebatas pada pemenuhan kebutuhan yang sangat marginal. Atas dasar alasan tersebut selanjutnya diusulkan konsepsi pembngunan hutan kemasyarakatan yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat sekitar hutan dengan sistem manejemen partisipatif. Hal ini dilaksanakan atas dasar suatu latar belakang bahwa masyarakat sekitar hutan adalah mayarakat yang tidak mempunyai akses kepada penentu kebijakan.
              Jadi pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan  perlu dikaji performansinya dan veriabel-variabel yang menentukan  performansinya tersebut. Hal ini menyebabkan pihak penentu kebijakan dapat secara yakin berpihak pada paradigma baru dan mewujudkannya dalam praktek-praktek pembangunan sumber daya hutan yakni mewujudkan, menguatkan dan mengembngkan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan yang berbasis pada masyarakat (Community-based forest management)
               Oleh karena itu, pihak pengambil kebijaksanaan pembangunan kehutanan mengharapkan adanya partisipasi masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan untuk mencapai kelestarian hutan dan fungsinya. Namun demikian persepsi, sikap dan perilaku pemerintah seringkali tidak seiring dengan yang dipersepsikan dan dibutuhkan oleh masyarakat sekitar hutan tentang hutan dan fungsinya . Sebagai solusinya adalah diperlukan pendekatanpendekatan yang mempertemukan persamaan persepsi karena hal ini sesuai dengan program perhutanan sosial.
                Dengan demikian pengelolaan sumber daya hutan yang berbasiskan masyarakat (Community-based forest resource management) dapat dikatakan memenuhi harapan apabila dapat memobilisasi sumber-sumber ekonomi secara produktif dan berkelanjutan, tidak saja bagi  Perhutani  tetapi juga memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat desa  sekitar hutan. Oleh karena itu dimensi komunitas manusia harus diintegrasikan kedalam perencanaan dan pelaksanaan program-program perusahaan dalam meningkatkan fungsi dan manfaat sumber daya hutan.
                 Dapat dikatakan pula bahwa persoalan tersebut berakar dari paradigma pembangunan kehutanan yang didominasi keinginan untuk melakukan industrialisasi sektor kehutanan , sehingga hutan dilihat tidak lebih sebagai sumber ekonomi dan masyarakat yang hidup disekitar hutan sebagai salah satu faktor produksi yang berperan untuk mendukung nilai ekonomis hutan. Paradigma ini perlu diubah dan perubahan itu akan menyangkut hubungan antara manusia dengan alam (hutan) dan hubungan sesama manusia yang secara kebetulan berbeda statusnya (antara pemerintah di satu sisi dan masyarakat sekitar hutan di sisi lain). Secara sederhana konsep ini tercermin dalam istilah forest for people.         

      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar