BAB II
DASAR PERUNDANG-UNDANGAN BERLAKUNYA
HUKUM ADAT
Sesudah kita mengetahui isi pengertian Hukum Adat, maka penting bagi kita
untuk mengetahui pula dasar perundang-undangan ( Wettelijke Grondslag)
dari berlakunya Hukum Adat itu dalam lingkungan tata tertib hukum positif
negara kita. Untuk hal tersebut
marilah kita lihat dasar hukum berlakunya Hukum Adat berdasarkan
Hukum/Peraturan Perundang-undangan khususnya konstitusi yang pernah berlaku dan
masih berlaku di Indonesia.
I.
UNDANG-UNDANG
DASAR 1945
Di dalam UUD 1945 yang dinyatakan berlaku kembali
dengan Dekrit Presiden 1959, tidak ada satu pasalpun yang memuat Dasar Hukum
Berlakunya Hukum Adat itu. Berdasarkan Konstitusi/Hukum Dasar yaitu UUD 1945,
yang ada dapat dijadikan landasan atau dasar hukum berlakunya Hukum Adat adalah
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. yaitu :
“ Segala Badan Negara dan Peraturan Yang Ada, masih
langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini.”
II.
UNDANG-UNDANG DASAR SEMENTARA 1950
Sebelum Dekrit Presiden 1959, Hukum Dasar/Konstitusi
yang berlaku adalah Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Dalam salah satu
pasalnya yaitu pasal 104 ayat 1 disebutkan :
“ Segala Keputusan Pengadilan harus berisi
alasan–alasan dan dalam aturan–aturan Undang–undang dan aturan–aturan Hukum
Adat yang dijadikan dasar hukuman itu.”
Tetapi ketentuan yang memuat dasar konstitusional
atau peraturan pelaksanaan dasar berlakunya Hukum Adat sampai dengan
dihapuskannya UUDS 1950 dengan Dekrit Presiden 1959 belum pernah dibuat.
III. INDISCHE STAATSREGELING
Dasar Perundang–undangan berlakunya Hukum Adat yang
berasal dari jaman kolonial Hindia Belanda dan yang pada masa sekarang (Sampai
berlakunya Undang-Undang No. 19 Tahun
1964) masih berlaku adalah Pasal 131 ayat (2) ub b I.S. (Indische
Staatsregeling) sebagai peraturan perundangan yang berlaku sebagai pelaksanaan
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Jadi dasar Perundang-undangan berlakunya
Hukum Adat yang berasal dari zaman Kolonial Belanda, yang pada masa sekarang
masih tetap berlaku (Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964) adalah ketentuan tersebut
diatas. Karena baik menurut UUD 1945 maupun UUDS 1950 yang pernah berlaku,
masih belum belum ada dibuat suatu peraturan. Pelaksanaan yang baru berdasarkan
konstitusi tersebut yang memuat dasar berlakunya Hukum Adat.
Menurut ketentuan tersebut (Pasal 131 ayat (2) sub
b I.S.) maka bagi golongan hukum penduduk Indonesia asli (Pribumi) dan Golongan
penduduk Timur Asing berlaku Hukum Adat mereka. Tetapi bilamana keperluan
sosial mereka memerlukannya maka pembuat Ordonasi (UU Hindia Belanda) dapat
menentukan bagi mereka :
1.
Hukum Eropa
2.
Hukum Eropa yang diubah
3.
Hukum bagi beberapa golongan bersama-sama. Dan apabila
kepentingan umum memerlukannya
4.
Hukum Baru (Nieuw Recht)
Yaitu Hukum yang merupakan Syntese antara Hukum
Adat dan Hukum Eropa.
Di samping pasal 131, maka Indische Staatregeling
memuat lagi suatu ketentuan Perundang-undangan mengenai berlakunya Hukum Adat
yaitu Pasal 134 ayat (2) I.S. yaitu :
“Dalam hal timbul perkara Hukum Perdata antara orang-orang Muslim dan
Hukum Adat mereka meminta penyelesaiannya, maka penyelesaian pertama perkara
tersebut diselenggarakan oleh Hakim Agama, kecuali jika Ordonasi telah telah
menetapkan lain.”
IV. UNDANG-UNDANG DARURAT NO. 1 TAHUN 1951
Yang isinya adalah : “Tindakan-tindakan sementara
untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan Pengadilan Sipil.”
Dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Darurat No. 1 Tahun 1951 Lembaran Negara No. 9 Tahun 1951, menentukan
bahwa :
“ Pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman untuk dihapuskan :
1.
Segala Peradilan
Swapraja dalam Negara Sumatera Timur dulu, Karesidenan Kalimantan Barat dulu
dan Negara Indonesia Timur dulu, kecuali Peradilan Agama, Jika peradilan itu
menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari Peradilan
Swapraja.
2.
Segala Peradilan
Adat, kecuali Peradilan Agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup
merupakan satu bagian tersendiri dari Peradilan Adat.”
Berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951, Peradilan
yang dilakukan oleh Hakim Swapraja dan Hakim Adat itu yang telah dihapuskan,
diteruskan oleh Pengadilan Negeri.
V. UNDANG-UNDANG NO. 19 TAHUN 1964 DAN UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN 1970
Tentang Dasar/landasan hukum sah berlakunya Hukum
Adat sekarang berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang juga
sekaligus sebagai peraturan perundangan pelaksana adalah Undang-Undang No. 19
Tahun 1984. Dengan diundangkannya Undang-Undang Tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman (Undang-Undang
No. 19 tahun 1964), maka ketentuan di dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945,
yang berbunyi :
“ Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman”.
Telah dipenuhi penyelenggaraannya menurut Pasal 3
Undang- Undang No. 19 Tahun 1964
dimaksud di atas beserta penjelasannya, sehingga hukum yang dipakai adalah
hukum yang berdasarkan Pancasila, yaitu hukum yang sifatnya berakar pada
kepribadian bangsa Indonesia. Dan dalam pasal 3 tersebut memang tidak disebut
Hukum Adat. Sedangkan menurut pasal 17 ayat 2 dan penjelasan dari pasal 10
Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 disebutkan adanya : Hukum yang tertulis dan
hukum yang tidak tertulis. Dan apakah yang dimaksud dengan hukum yang tidak
tertulis ini ?
Apakah yang dimaksud dengan Hukum yang tidak tertulis ini Hukum Adat,
ataukah termasuk juga disamping Hukum Adat, Hukum yang tidak tertulis lainnya.
Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan di dalam penjelasan umum dari
Undang-Undang No. 19 tahun 1964 yang memberi penegasan sebagai berikut :
“Bahwa Peradilan adalah Peradilan Negara, dengan demikian tidak ada,
tempat bagi Peradilan Swapraja dan
Peradilan Adat, apabila Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat, apabila
peradilan-peradilan itu masih ada, maka selekas mungkin akan dihapuskan seperti
yang secara berangsur-angsur telah dilaksanakan.”
Jadi dengan diundangkannya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 maka hapuslah ketentuan
Pasal. 131 ayat (2) sub b sebagai dasar hukum berlakunya Hukum Adat. Kemudian
dalam pelaksanaannya, Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 ini karena isi ketentuan
dalam Pasal. 19 nya bertentangan dengan Jiwa Undang-Undang Dasar 1945 (Yaitu
memberi wewenang kepada Presiden dalam beberapa hal dapat turut campur tangan
dalam soal-soal peradilan)
Pada tanggal 17 Desember 1970 dicabut berlakunya,
dan sejak saat itu diganti dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang judul
dan isinya pada umumnya hampir sama dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 1964.
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 adalah Undang-Undang Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Tetapi Undang-Undang ini
diperbaharui dengan Undang-Undang No. 35 tahun 1999.
Pasal-pasal yang penting yang merupakan Landasan atau Dasar berlakunya
Hukum adat adalah :
1.
Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 juncto Undang-Undang No. 35
tahun 1999 sama dengan pasal 17
Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 dan
berbunyi sebagai berikut :
“Segala Putusan Pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan
dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari
Peraturan-Peraturan yang bersangkutan atau Sumber Hukum Tak Tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili.”
2.
Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 juncto Undang-Undang No. 35
tahun 1999 sama dengan Pasal 20 ayat (1)
Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 dan berbunyi sebagai berikut :
“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
menggali mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.”
Selain pasal-pasal tersebut di atas, maka
penjelasan umum terhadap Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 juncto Undang-Undang
No. 35 tahun 1999 bagian 7 memberi petunjuk kepada kita bahwa yang dimaksud
dengan “Hukum tak tertulis” dalam Undang-Undang ini adalah Hukum Adat . Bagian
7 dari Penjelasan Undang-Undang ini berbunyi sebagai berikut :
“Penegasan bahwa Peradilan adalah Peradilan Negara dimaksud untuk
menutup semua kemungkinan adanya atau akan diadakannya lagi Peradilan Swapraja
atau Peradilan Adat yang dilakukan oleh bukan Peradilan Negara. Ketentuan ini
sekali-kali tidak bermaksud untuk mengingkari hukum adat tertulis, melainkan
hanya akan mengalihkan perkembangan dan penerapan hukum itu kepada peradilan
negara.
Dengan
ketentuan hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang
hidup dengan mengintregasikan diri di dalam masyarakat, telah terjamin
sepenuhnya bahwa perkembangan dan penerapan hukum tidak tertulis akan berjalan
secara wajar. Sehingga turut serta secara aktif merealisasikan penyatuan dan
kesatuan hukum di seluruh Indonesia.”
VI. UNDANG-UNDANG
NO. 4 TAHUN 2004
Berdasarkan perkembangan hukum di Indonesia keberadaan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang diperbaharui dengan
Undang-Undang No. 35 tahun 1999 tentang
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman dirasakan sudah tidak sesuai dengan
perkembangan zaman maka pada mulai tanggal 15 Januari 2004 keberadaan
Undang-undang tersebut dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang No. 4 tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.(LN No.
8 tahun 2004)
Adapun ketentuan dari
Undang-Undang No. 4 tahun 2004
yang merupakan landasan berlakunya Hukum Adat termuat dalam
q Pasal
16 ayat (1) yang berbunyi :
“ Pengadilan tidak boleh
menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya. “
Karena hal ini hakim mempunyai
kewajiban sebagaimana tertuang dalam
q
Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang no. 4 tahun 2004 yang berbunyi :
“ Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
q
Pasal 25 ayat (1) yang berbunyi :
“ Segala Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar
putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili .”
Dengan demikian maka
dapatlah disimpulkan, bahwa sekarang yang menjadi dasar perundang-undang
berlakunya hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis adalah :
q
Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959
q
Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945
q
Pasal 16 ayat (1), Pasal 25 ayat (1), dan Pasal
28 ayat (1) Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka
dapat ditemukan dasar / landasan hukum berlakunya hukum adat yang disebut Hukum
Tidak Tertulis. Rangkaian lanjutan Undang-Undang yang mengatur kedudukan dan
Kewenangan Lingkungan Kekuasaan Kehakiman dalam Undang-Undang No. 4 tahun
2004 yang diatur dalam Pasal 10
dinyatakan :
(1). Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
(2). Badan peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha
negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar