Minggu, 03 Mei 2015

Diktat Hukum Adat Bab II

BAB  II
DASAR PERUNDANG-UNDANGAN BERLAKUNYA

HUKUM ADAT

Sesudah kita mengetahui isi pengertian Hukum Adat, maka penting bagi kita  untuk mengetahui pula dasar perundang-undangan ( Wettelijke Grondslag) dari berlakunya Hukum Adat itu dalam lingkungan tata tertib hukum positif negara kita. Untuk hal tersebut marilah kita lihat dasar hukum berlakunya Hukum Adat berdasarkan Hukum/Peraturan Perundang-undangan khususnya konstitusi yang pernah berlaku dan masih berlaku di Indonesia.

I.        UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Di dalam UUD 1945 yang dinyatakan berlaku kembali dengan Dekrit Presiden 1959, tidak ada satu pasalpun yang memuat Dasar Hukum Berlakunya Hukum Adat itu. Berdasarkan Konstitusi/Hukum Dasar yaitu UUD 1945, yang ada dapat dijadikan landasan atau dasar hukum berlakunya Hukum Adat adalah Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. yaitu :
“ Segala Badan Negara dan Peraturan Yang Ada, masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini.”

II.     UNDANG-UNDANG DASAR SEMENTARA 1950

Sebelum Dekrit Presiden 1959, Hukum Dasar/Konstitusi yang berlaku adalah Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Dalam salah satu pasalnya yaitu pasal 104 ayat 1 disebutkan :
“ Segala Keputusan Pengadilan harus berisi alasan–alasan dan dalam aturan–aturan Undang–undang dan aturan–aturan Hukum Adat  yang dijadikan dasar hukuman itu.”
Tetapi ketentuan yang memuat dasar konstitusional atau peraturan pelaksanaan dasar berlakunya Hukum Adat sampai dengan dihapuskannya UUDS 1950 dengan Dekrit Presiden 1959 belum pernah dibuat.
 
III.  INDISCHE STAATSREGELING
Dasar Perundang–undangan berlakunya Hukum Adat yang berasal dari jaman kolonial Hindia Belanda dan yang pada masa sekarang (Sampai berlakunya Undang-Undang  No. 19 Tahun 1964) masih berlaku adalah Pasal 131 ayat (2) ub b I.S. (Indische Staatsregeling) sebagai peraturan perundangan yang berlaku sebagai pelaksanaan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Jadi dasar Perundang-undangan berlakunya Hukum Adat yang berasal dari zaman Kolonial Belanda, yang pada masa sekarang masih tetap berlaku (Sebelum berlakunya Undang-Undang  No. 19 Tahun 1964) adalah ketentuan tersebut diatas. Karena baik menurut UUD 1945 maupun UUDS 1950 yang pernah berlaku, masih belum belum ada dibuat suatu peraturan. Pelaksanaan yang baru berdasarkan konstitusi tersebut yang memuat dasar berlakunya Hukum Adat.
Menurut ketentuan tersebut (Pasal 131 ayat (2) sub b I.S.) maka bagi golongan hukum penduduk Indonesia asli (Pribumi) dan Golongan penduduk Timur Asing berlaku Hukum Adat mereka. Tetapi bilamana keperluan sosial mereka memerlukannya maka pembuat Ordonasi (UU Hindia Belanda) dapat menentukan bagi mereka :
1.       Hukum Eropa
2.       Hukum Eropa yang diubah
3.       Hukum bagi beberapa golongan bersama-sama. Dan apabila kepentingan umum memerlukannya
4.       Hukum Baru (Nieuw Recht)
Yaitu Hukum yang merupakan Syntese antara Hukum Adat dan Hukum Eropa.
Di samping pasal 131, maka Indische Staatregeling memuat lagi suatu ketentuan Perundang-undangan mengenai berlakunya Hukum Adat yaitu Pasal 134 ayat (2)  I.S. yaitu :
“Dalam hal timbul perkara Hukum Perdata antara orang-orang Muslim dan Hukum Adat mereka meminta penyelesaiannya, maka penyelesaian pertama perkara tersebut diselenggarakan oleh Hakim Agama, kecuali jika Ordonasi telah telah menetapkan lain.”

IV.  UNDANG-UNDANG DARURAT NO. 1 TAHUN 1951
Yang isinya adalah : “Tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan Pengadilan Sipil.”
Dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang  Darurat No. 1 Tahun 1951 Lembaran Negara No. 9 Tahun 1951, menentukan bahwa  :
“ Pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri        Kehakiman untuk dihapuskan :
1.        Segala Peradilan Swapraja dalam Negara Sumatera Timur dulu, Karesidenan Kalimantan Barat dulu dan Negara Indonesia Timur dulu, kecuali Peradilan Agama, Jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari Peradilan Swapraja.
2.        Segala Peradilan Adat, kecuali Peradilan Agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari Peradilan Adat.”

Berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951, Peradilan yang dilakukan oleh Hakim Swapraja dan Hakim Adat itu yang telah dihapuskan, diteruskan oleh Pengadilan Negeri.

V.     UNDANG-UNDANG NO. 19 TAHUN  1964 DAN UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN 1970
Tentang Dasar/landasan hukum sah berlakunya Hukum Adat sekarang berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang juga sekaligus sebagai peraturan perundangan pelaksana adalah Undang-Undang No. 19 Tahun 1984. Dengan diundangkannya Undang-Undang Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Undang-Undang  No. 19 tahun 1964), maka ketentuan di dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi :
“ Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman”.
Telah dipenuhi penyelenggaraannya menurut Pasal 3 Undang- Undang  No. 19 Tahun 1964 dimaksud di atas beserta penjelasannya, sehingga hukum yang dipakai adalah hukum yang berdasarkan Pancasila, yaitu hukum yang sifatnya berakar pada kepribadian bangsa Indonesia. Dan dalam pasal 3 tersebut memang tidak disebut Hukum Adat. Sedangkan menurut pasal 17 ayat 2 dan penjelasan dari pasal 10 Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 disebutkan adanya : Hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Dan apakah yang dimaksud dengan hukum yang tidak tertulis ini ?
Apakah yang dimaksud dengan Hukum yang tidak tertulis ini Hukum Adat, ataukah termasuk juga disamping Hukum Adat, Hukum yang tidak tertulis lainnya. Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan di dalam penjelasan umum dari Undang-Undang No. 19 tahun 1964 yang memberi penegasan sebagai berikut :
“Bahwa Peradilan adalah Peradilan Negara, dengan demikian tidak ada, tempat bagi Peradilan Swapraja  dan Peradilan Adat, apabila Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat, apabila peradilan-peradilan itu masih ada, maka selekas mungkin akan dihapuskan seperti yang secara berangsur-angsur telah dilaksanakan.”

Jadi dengan diundangkannya Undang-Undang  No. 19 Tahun 1964 maka hapuslah ketentuan Pasal. 131 ayat (2) sub b sebagai dasar hukum berlakunya Hukum Adat. Kemudian dalam pelaksanaannya, Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 ini karena isi ketentuan dalam Pasal. 19 nya bertentangan dengan Jiwa Undang-Undang Dasar 1945 (Yaitu memberi wewenang kepada Presiden dalam beberapa hal dapat turut campur tangan dalam soal-soal peradilan)
Pada tanggal 17 Desember 1970 dicabut berlakunya, dan sejak saat itu diganti dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang judul dan isinya pada umumnya hampir sama dengan Undang-Undang  No. 19 Tahun 1964.
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 adalah Undang-Undang Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Tetapi Undang-Undang ini diperbaharui dengan Undang-Undang No. 35 tahun 1999.
Pasal-pasal yang penting yang merupakan Landasan atau Dasar berlakunya Hukum adat adalah :
1.      Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang  No. 14 Tahun 1970 juncto Undang-Undang No. 35 tahun 1999  sama dengan pasal 17 Undang-Undang  No. 19 Tahun 1964 dan berbunyi sebagai berikut :
“Segala Putusan Pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari Peraturan-Peraturan yang bersangkutan atau Sumber Hukum Tak Tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.”

2.      Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang  No. 14 Tahun 1970 juncto Undang-Undang No. 35 tahun 1999 sama dengan Pasal 20 ayat (1)  Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 dan berbunyi sebagai berikut :
“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.”
Selain pasal-pasal tersebut di atas, maka penjelasan umum terhadap Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 juncto Undang-Undang No. 35 tahun 1999 bagian 7 memberi petunjuk kepada kita bahwa yang dimaksud dengan “Hukum tak tertulis” dalam Undang-Undang ini adalah Hukum Adat . Bagian 7 dari Penjelasan Undang-Undang ini berbunyi sebagai berikut :
“Penegasan bahwa Peradilan adalah Peradilan Negara dimaksud untuk menutup semua kemungkinan adanya atau akan diadakannya lagi Peradilan Swapraja atau Peradilan Adat yang dilakukan oleh bukan Peradilan Negara. Ketentuan ini sekali-kali tidak bermaksud untuk mengingkari hukum adat tertulis, melainkan hanya akan mengalihkan perkembangan dan penerapan hukum itu kepada peradilan negara.
Dengan ketentuan hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintregasikan diri di dalam masyarakat, telah terjamin sepenuhnya bahwa perkembangan dan penerapan hukum tidak tertulis akan berjalan secara wajar. Sehingga turut serta secara aktif merealisasikan penyatuan dan kesatuan hukum di seluruh Indonesia.”

VI.  UNDANG-UNDANG NO. 4 TAHUN 2004


Berdasarkan perkembangan hukum di Indonesia  keberadaan Undang-Undang No. 14  Tahun 1970 yang diperbaharui dengan Undang-Undang No. 35 tahun 1999 tentang  Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman dirasakan sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman maka pada mulai tanggal 15 Januari 2004 keberadaan Undang-undang tersebut dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang  Kekuasaan Kehakiman.(LN No. 8 tahun 2004)
Adapun ketentuan dari  Undang-Undang No. 4 tahun 2004  yang merupakan landasan berlakunya Hukum Adat  termuat dalam
q  Pasal 16 ayat (1) yang berbunyi :
“  Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. “

Karena hal ini  hakim mempunyai kewajiban sebagaimana tertuang dalam
q              Pasal 28 ayat (1)  Undang-Undang no. 4 tahun 2004  yang berbunyi :
“ Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
q              Pasal 25 ayat (1) yang berbunyi :
“ Segala Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili .”

Dengan demikian maka dapatlah disimpulkan, bahwa sekarang yang menjadi dasar perundang-undang berlakunya hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis adalah :
q   Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959
q   Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945
q   Pasal 16 ayat (1), Pasal 25 ayat (1), dan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka dapat ditemukan dasar / landasan hukum berlakunya hukum adat yang disebut Hukum Tidak Tertulis. Rangkaian lanjutan Undang-Undang yang mengatur kedudukan dan Kewenangan Lingkungan Kekuasaan Kehakiman dalam Undang-Undang No. 4 tahun 2004   yang diatur dalam Pasal 10 dinyatakan  :
(1).  Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

(2).  Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar