
Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA)
dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan
4.1. Pengelolaan Sumber Daya Alam
Dalam Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan
Berkelanjutan atau sustainable
development sebenarnya bukanlah suatu konsep yang baru di tingkat global
maupun nasional. Namun dalam pelaksanaannya masih belum dipahami dengan baik,
karena masih banyak menimbulkan kerancuan pada tingkat kebijakan dan pengaturan
serta mempunyai banyak hambatan pada tataran implementasi atau
pelaksanaan.
Sebagai sebuah
konsep, pembangunan berkelanjutan mengandung pengertian sebagai pembangunan
yang memperhatikan dan mempertimbangkan dimensi lingkungan hidup. Dalam
pelaksanaannya konsep tersebut sudah menjadi topik pembicaraan dalam konferensi
Stockholm (UN Conference on the Human
Environment) tahun 1972 yang menganjurkan agar pembangunan dilaksanakan
dengan memperhatikan faktor lingkungan, menurut Siti Sundari Rangkuti
Konferensi Stocholm telah membahas masalah lingkungan serta jalan keluarnya,
agar pembangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan
(eco-development).
Dilaksanakannya
konferensi tersebut adalah sejalan dengan keinginan dari PBB untuk
menanggulangi dan memperbaiki kerusakan lingkungan yang terjadi, bertepatan
dengan di umumkannya “Strategi Pembangunan Internasional” bagi “Dasawarsa
Pembangunan Dunia ke–2” (The Second UN
Development Decade) yang dimulai pada tanggal 1 Juni 1970. Sidang Umum PBB
menyerukan untuk meningkatkan usaha dan tindakan nasional serta Internasional
guna menanggulangi “proses pemerosotan kualitas lingkungan hidup” agar dapat
diselamatkan keseimbangan dan keserasian ekologis, demi kelangsungan hidup
manusia, secara khusus resolusi Sidang Umum PBB No. 2657 (XXV) Tahun 1970
menugaskan kepada Panitia Persiapan untuk mencurahkan perhatian kepada usaha
“melindungi dan mengembangkan kepentingan-kepentingan negara yang sedang
berkembang” dengan menyesuaikan dan memperpadukan secara serasi kebijakan
nasional di bidang lingkungan hidup dengan rencana Pembangunan Nasional. Amanat
inilah yang kemudian dikembangkan dan menjadi hasil dari Konferensi Stocholm
yang dapat dianggap sebagai dasar-dasar atau cikal bakal konsep Pembangunan
Berkelanjutan.
Pengaruh
Konferensi Stocholm terhadap gerakan kesadaran lingkungan tercermin dari
perkembangan dan peningkatan perhatian terhadap masalah lingkungan dan
terbentuknya perundang-undangan nasional di bidang lingkungan hidup, termasuk
di Indonesia. Semua keputusan Konferensi tersebut diatas, disahkan oleh
resolusi SU PBB No. 2997 (XXVII) tertanggal 15 Desember 1972. Pentingnya
Deklarasi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia bagi negara-negara yang terlibat
dalam konferensi ini dapat dilihat dari penilaian negara peserta yang mengatakan
bahwa deklarasi dianggap sebagai “a first
step in developing international environment law”.
Bagi Indonesia
konsep ini sebenarnya merupakan suatu konsep yang relatif baru. Menurut Emil
Salim, inti pokok dari Pembangunan yang lama tidak mempertimbangkan lingkungan,
dan memandang kerusakan lingkungan sebagai biaya yang harus dibayar. Walaupun
demikian konsep ini sebenarnya sudah dibahas mendahului Konferensi Stockholm
dalam Seminar Nasional Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional di
Bandung tanggal 15-18 Mei 19972 sedangkan Konferensi Stockholm berlangsung
tanggal 15-18 Juni 1972. Menurut Daud Silalahi Seminar Nasional Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional 1972 di UNPAD yang bekerjasama dengan
BAPPENAS telah mengawali konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan (ecodevelopment). Menurut pendapatnya
pertemuan ini membawa pengaruh pada pengaturan hukum lingkungan dan pada konsep
pembangunan dengan masuknya pertimbangan lingkungan dalam setiap keputusan
rencana pembangunan. Seminar Lingkungan
Hidup dan Pembangunan Nasional (1972) dengan tema “hanya dalam lingkungan hidup
yang optimal, manusia dapat berkembang dengan baik, dan hanya dengan lingkungan
akan berkembang ke arah yang optimal”. Otto Sumarwoto menilai seminar tersebut
sebagai suatu tonggak sejarah tentang permasalahan lingkungan hidup di
Indonesia. Karena itu perbincangan tentang pembangunan tentang Pembangunan
Berkelanjutan sudah dibahas di Indonesia selama lebih dari tiga dasawarsa,
namun hingga sekarang masih menjadi masalah yang belum dapat diwujudkan secara
baik.
Dalam kurun waktu
tersebut bangsa Indonesia telah berusaha untuk menjadikan Pembangunan
Berkelanjutan sebagai pembangunan yang berkelanjutan bahkan ditambah dengan
berwawasan lingkungan, namun prakteknya menunjukkan lain. Dalam gambaran
tentang kondisi umum mengenai pengelolaan Sumber daya alam dan lingkungan
hidup, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) menyebutkan bahwa
Konsep Pembangunan Berkelanjutan telah diletakkan sebagai kebijakan, namun dalam
pengalaman praktek selama ini, justru terjadi pengelolaan sumber daya alam yang
tidak terkendali. Karena itu pembangunan berkelanjutan adalah sebuah harapan
yang harus diwujudkan dan dalam upaya mewujudkannya itu peranan hukum menjadi
sangat relevan.
4.2. Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan
Lingkungan Hidup.
Istilah
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup yang kita pergunakan
disini merupakan terjemahan dari “sustainable
development” yang sangat populer dipergunakan di negara-negara Barat.
Istilah Pembangunan Berkelanjutan secara resmi dipergunakan dalam Tap MPR No.
IV /MPR/1999 tentang GBHN, sedangkan istilah Pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan Lingkungan Hidup digunakan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu juga dikenal ada istilah
lingkungan dan pembangunan, sedang sebelumnya lebih popular digunakan istilah
Pembangunan yang berwawasan Lingkungan sebagai terjemah dari Eco-development. Sejak tahun 1980-an
agenda politik lingkungan hidup mulai dipusatkan pada paradigma pembangunan
berkelanjutan. Pertama kali istilah ini muncul dalam World Conservation Strategy dari the International Union for the conservation of nature, lalu
dipakai oleh Lester R. Brown dalam bukunya Building
a Suistainable Society (1981). Istilah tersebut kemudian menjadi sangat
popular melalui laporan Bruntland, Our
Common Future (1987). Tahun 1992 merupakan puncak dari proses politik, yang
akhirnya pada konferensi tingkat tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jainero, Brazil,
paradigma Pembangunan Berkelanjutan diterima sebagai sebuah agenda politik
pembangunan untuk semua negara di dunia.
Perkembangan
kebijakan lingkungan hidup, menurut Koesnadi Hardjasoemantri, didorong oleh
hasil kerja World Commission on
Environment and Development, disingkat WCED. WCED dibentuk PBB memenuhi
keputusan Sidang Umum PBB Desember 1983 No. 38/161 dan dipimpin oleh Nyonya Gro
Harlem Bruntland (Norwegia) dan dr. Mansour Khalid (Sudan), salah satu
anggotanya dari Indonesia adalah Prof. Dr. Emil Salim. Salah satu tugas WCED
adalah mengajukan strategi jangka panjang pengembangan lingkungan menuju
pembangunan yang berkelanjutan di tahun 2000 dan sesudahnya.
WCED telah
memberikan laporannya pada tahun 2000 yang diberi judul “Our Common Future” yang memuat banyak rekomendasi khusus untuk
perubahan institusional dan perubahan hukum. Sedangkan Soerjani menambahkan
bahwa panitia ini menghasilkan laporan yang berjudul “Our Common Future” pada tahun 1987. Buku ini diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia, dengan judul “Hari Depan Kita Bersama” 1988. Salah satu
tonggak penting yang di pancangkan oleh panitia ini adalah agar pemahaman
tentang perlunya wawasan lingkungan dalam Pembangunan di praktekkan di semua
sektor dan terkenal dengan istilah “Sustainable
Development”.
Dalam laporan
WCED “Our Common Future” ditemui
sebuah rumusan tentang “Sustainable
Development” sebagai berikut: “Suistainable
Development is defined as development that meet the needs of the present
without comprosing the ability of future generations to meet their own needs”.
Ada beberapa penekanan yang kita temukan dalam terjemahan rumusan ini. Dalam
terjemahan Laporan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan disebutkan
“Umat memiliki kemampuan untuk menjadikan pembangunan ini berkesinambungan (sustainable) untuk memastikan bahwa
Pembangunan ini dapat memenuhi kebutuhanya” .
Selanjutanya
dalam laporan Komisi Dunia untuk lingkungan hidup dan pembangunan tentang “Hari
Depan Kita Bersama” (1988) dikemukakan
beberapa penegasan lebih lanjut tentang pembangunan berkelanjutan ini.
Dikatakan konsep pembangunan yang berkesinabungan memang mengimplikasikan batas
- bukan batas absolut akan tetapi batas yang ditentukan oleh tingkat teknologi
dan organisasi sosial sekarang ini mengenai sumber daya lingkungan serta oleh
kemampuan biosfer menyerap pengaruh-pengaruh kegiatan manusia, akan tetapi
teknologi untuk memberi jalan bagi era baru pertumbuhan ekonomi. Kemudian
ditambahkan pula bahwa Pembangunan global yang berkesinambungan juga
mensyaratkan mereka yang hidup lebih mewah untuk mengambil gaya hidup dalam
batas-batas kemampuan ekologi planet ini dalam hal penggunaan energi, misalnya.
Lebih lanjut penduduk yang bertambah cepat dapat meningkatkan tekanan pada sumber
daya dan penyelamatan naiknya taraf hidup, jadi pembangunan yang berkelanjutan
hanya dapat dikejar bila besarnya populasi penduduk dan pertumbuhan selaras
dengan potensi produktif yang terus berubah dari ekosistem. Akhirnya
pembangunan yang berkelanjutan bukanlah suatu tingkat keselarasan yang tetap,
akan tetapi lebih berupa suatu proses dengan pemanfaatan sumber daya, arah
investasi, orientasi pengembangan teknologi, serta perubahan kelembagaan yang
konsisten dengan kebutuhan hari depan dan kebutuhan masa kini. Kami menyadari
bahwa proses itu tidak mudah. Pilihan-pilihan yang menyakitkan harus dibuat.
Jadi dalam analisis akhirnya, pembangunan yang berkelanjutan pasti bersandar
pada kemauan politik.
Dalam menanggapi
rumusan Pembangunan Berkelanjutan, Emil Salim dalam terjemahan laporan ke dalam
bahasa Indonesia mengemukakan bahwa rumusan pembangunan berkelanjutan memuat
dua konsep pokok yakni, pertama, konsep “kebutuhan”, khususnya kebutuhan pokok
kaum miskin sedunia, terhadap siapa prioritas utama perlu diberikan; dan kedua,
gagasan keterbatasan yang bersumber pada keadaan teknologi dan organisasi
sosial yang dikenakan terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan
masa kini dan masa depan. Dengan demikian keprihatinan kemiskinan dan ikhtiar
menanggapi keterbatasan akibat keadaan teknologi dan organisasi sosial menjadi
latar belakang pembahasan masalah-masalah lingkungan dan pembangunan. Selain
hal itu dikemukakan ada beberapa asumsi dasar serta ide pokok yang mendasari
konsep pembangunan berkelanjutan ini, yaitu : Pertama, proses
pembangunan itu mesti berlangsung secara berlanjut, terus menerus di topang
oleh sumber daya alam, kualitas lingkungan dan manusia yang berkembang secara
berlanjut, Kedua, sumber daya alam terutama udara, air dan tanah memiliki
ambang batas, sehingga penggunaannya akan menurunkan kualitas dan kuantitasnya.
Penurunan itu berarti berkurangnya kemampuan sumber daya alam tersebut untuk
menopang pembangunan secara berkelanjutan, sehingga menimbulkan gangguan pada
keserasian sumber daya alam dengan sumber daya manusia. Ketiga, kualitas
lingkungan berkolerasi langsung dengan kualitas hidup. Semakin baik kualitas
lingkungan, semakin posistif pengaruhnya pada kualitas hidup, yang antara lain
tercermin pada meningkatnya kualitas fisik, pada harapan usia hidup, pada
turunnya tingkat kematian dan lain sebagainya. Oleh karena itu pembangunan
berkelanjutan, akan memberi pengaruh positif terhadap kualitas hidup. Keempat, pembangunan berkelanjutan
menumbuhkan solidaritas transgenerasi, dimana pembangunan ini memungkinkan
generasi sekarang untuk meningkatkan kesejahteraannya, tanpa mengurangi
kemungkinan bagi generasi masa depan untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Pandangan yang
tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Ignas Kleden yang antara lain menyatakan
bahwa ada dua hal yang dipertaruhkan disini, yaitu daya dukung sumber-sumber
daya tersebut, dan solidaritas transgenerasi; maksudnya adalah bagaimana kita
mengekang diri untuk tidak merusak sumber-sumber daya yang ada, agar dapat
bersikap adil terhadap masa depan umat manusia. Kegagalan kita untuk memelihara
daya dukung sumber-sumber daya itu akan menyebabkan kita berdosa karena telah
melakukan sesuatu (sin of commission)
sementara kegagalan untuk mewujudkan solidaritas transgenerasi itu akan
menyebabkan kita berdosa karena telah melalaikan sesuatu.
Sebagai sebuah
konsep, pembangunan berkelanjutan tidak lepas dari berbagai interpretasi.
Moeljarto Tjokrowinoto misalnya menyebutkan ada interpretasi yang lahir dari
pemikiran kaum environmentalist dan
ada pula interpretasi yang datang dari para pakar lembaga-lembaga donor. Kedua
interpretasi pembangunan berkelanjutan tadi mempunyai implikasi administratif
tertentu. Menurut Moeljarto munculnya konsep pembangunan berkelanjutan didorong
oleh kenyataan tingginya mortality rate
proyekproyek pembangunan di negara berkembang. Alokasi input yang
berkesinambungan tidak menjadikan proyek pembangunan tadi berkembang dengan
kekuatan tersendiri. Dikatakan pula bahwa sustainable
development atau pembangunan berkelanjutan ini mungkin diwujudkan melalui
keterkaitan (interlinkages) yang
tepat antara alam, aspek sosio-ekonomis dan kultur. Dikatakan juga bahwa sustainable development bukanlah suatu
situasi harmoni yang tetap dan statis, akan tetapi merupakan suatu proses
perubahan dimana eksploitasi sumber daya alam, arah investasi, orientasi
perkembangan teknologi, perubahan kelembagaan konsisten dengan kebutuhan pada
saat ini dan di masa mendatang.
Pandangan lain
diungkapkan Sonny Keraf. Dikemukakannya bahwa paradigma pembangunan
berkelanjutan adalah sebuah kritik pembangunan di satu pihak tetapi di pihak
lain adalah suatu teori normatif yang menyodorkan praksis pembangunan yang baru
sebagai jalan keluar dari kegagalan developmentalisme selama ini.
Sedangkan menurut
Mas Achmad Santoso istilah sustainable
development mengandung berbagai penafsiran yang berbeda-beda karena
terminologi pembangunan berkelanjutan sangat terbuka untuk ditafsirkan dengan
berbagai pengertian.
Disamping konsep sustainable development yang berasal
dari WCED, muncul pula batasan tentang pembangunan yang didukung oleh Bank
Dunia, World Conservation Society
(IUCN) serta IUCN bersama UNEP dan WWF yang antara lain menekankan pada
perbaikan sosial ekonomi, pelestarian sumber daya alam dan perhatian pada daya
dukung sumber daya alam serta keanekaragamannya dalam jangka panjang. Konsep
ini dirumuskan dalam apa yang dinamakan “ Carrying
for the Earth: The Strategy for
Sustainable Living” menggantikan World Conservation Strategy (WCS). Dalam
rumusan Carrying for the Earth
disingkat CE (1991) perumusan tentang sustainable
development digariskan sebagai berikut:
“improving the quality of human life while
living within the carrying capacity of supporting ecosystem. A sustainable
economy is the product of sustainable development. It maintains natural
resources base, it can continue to develop by adopting and through improvement
in knowledge, organization, technical efficiency and wisdom”.
Konsep
pembangunan berkelanjutan ini mengakui tentang pentingnya peranan hukum untuk
menopang terlaksananya pembangunan berkelanjutan. Menurut Koesnadi
Hardjosoemantri, pertama kali dalam evolusi konsep pembangunan berkelanjutan
telah dilakukan upaya untuk menggariskan kerangka hukum yang komprehensif guna
menetapkan pembangunan berkelanjutan. Dalam mengemukakan pentingnya mekanisme
hukum dalam tingkat nasional, regional dan global dalam menetapkan dan
melaksanakan pembangunan berkelanjutan. CE menyatakan bahwa hukum lingkungan,
dalam pengertiannya yang luas, adalah sarana esensial bagi mencapai
keberlanjutan.
Konsep
pembangunan berkelanjutan dikembangkan lebih jauh dalam KTT Bumi yang
diselenggarakan di Rio de Jenairo pada tanggal 3-14 Juni 1992, konferensi ini
merupakan momentum global untuk mencapai pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan membentuk
kemitraan dunia untuk mencapai kehidupan dan kualitas dunia, yang lebih baik.
Konferensi ini menghasilkan banyak keputusan penting antara lain “The Rio Declaration on Environment and
Development” dan agenda 21. Prinsip pertama dari Rio Declaration menyatakan bahwa:” human beings are as the center of the concern for sustainable
development. They are entitled to a healthy and productive life in harmony with
nature (manusia merupakan perhatian dari pembangunan berkelanjutan. Mereka
berhak untuk mendapatkan suatu kehidupan yang baik dan produktif yang harmonis
dengan alam). Selanjutnya berdasarkan
Agenda 21, pada tahun 1992 telah diselenggarakan Sidang Umum PBB dan The Economic and Social Council (ECOSOC)
yang membentuk Commision on Sustainable
Development (CSD) yang beranggota 53 negara yang dipilih oleh ECOSOC dengan
memperhatikan kelayakan distribusi geografis. Sekretariat CSD berkedudukan di
New York dan pertemuan-pertemuan diselenggarakan di New York dan Genewa.
CSD bertujuan
untuk : “ ensure the effective follow-up
of UNCED, as well as to enhance international cooperation and rationalize the
intergovermental decision making capacity for the integration of environment
and development issues and to examine the progress of the implementation of
agenda 21 at the national, regional and international levels, fully guided by
the principles of the Conference, in other to achive sustainable development.
Dengan demikian sudah ada suatu badan dunia yan menangani pengembangan
pembangunan berkelanjutan yang meliputi tatanan nasional, regional dan global.
Pertemuan
terakhir yang membahas tentang pembangunan berkelanjutan ini adalah Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) yang diadakan di Johannesburg, Afrika Selatan (2002)
sebagai kelanjutan dari KTT Rio de Jenairo. Dalam KTT ini lebih ditegaskan lagi
mengenai perubahan paradigma pembangunan. Pembangunan yang dilaksanakan tidak
saja harus dilihat sebagai pembangunan ekonomi semata, akan tetapi harus
memperhatikan dimensi sosial yaitu tentang manusianya sendiri dan alam ciptaan
Tuhan yang dianugrahkan kepada manusia. Melalui pendekatan tersebut maka
pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) mempunyai dasar dan landasan yang lebih kokoh untuk
diterapkan, hanya saja konsep tersebut masih harus di sosialisasikan secara lebih
luas.
Sebagai tindak
lanjut dari seminar pengelolaan lingkungan hidup dan pembangunan nasional
(1972) untuk tingkat nasional dan UN
conference on the human and environment (1972) untuk tingkat global
pemerintah tidak hanya memasukkan aspek lingkungan hidup dalam GBHN
(Garis-Garis Besar Haluan Negara) tetapi juga membentuk institusi atau lembaga
yang membidangi lingkungan hidup, sejak tahun 1973 aspek lingkungan hidup masuk
dalam GBHN. Kemudian pengelolaan lingkungan hidup dimasukkan ke Repelita II dan
berlangsung terus dalam GBHN 1978 dengan penjabarannya dalam Repelita III. Pada
tahun 1978 dibentuk Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup
(PPLH) yang kemudian pada tahun 1982 diubah menjadi Menteri Negara Kependudukan
dan Lingkungan Hidup (KLH) yang kemudian pada 1992 dirubah menjadi Menteri
Negara Lingkungan Hidup (LH) sampai sekarang. Kelembagaan ini mempunyai peranan
penting dalam memberi landasan aspek lingkungan bagi pelaksanaan pembangunan di
negara kita.
Pada tahun 1982
telah diundangkan Undang-Undang No. 14 Tahun 1982 (LN 1982 No. 12) tentang
ketentuan-ketentuan pokok Pengelolaan Lingkungan hidup (UULH) secara terpadu
dengan mengamanatkan keharusan untuk mengkaitkan pelaksanaan pembangun-an
dengan pengelolaan lingkungan hidup melalui apa yang dinamakan “pembangunan
berwawasan lingkungan” Undang-Undang ini mempunyai arti penting tersendiri,
menurut Siti Sundari Rangkuti UULH ini mengadung berbagai konsepsi dari
pemikiran inovatif dibidang hukum lingkungan baik nasional maupun internasional
yang mempunyai implikasi terhadap pembinaan hukum lingkungan Indonesia,
sehingga perlu dikajinya perundang-undangan lingkungan modern sebagai satu
sistem keterpaduan.
Dalam Pasal 4
huruf d Undang-Undang ini disebutkan bahwa salah satu tujuan pengelolaan
lingkungan hidup adalah “terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk
kepentingan generasi sekarang dan mendatang”. Mengenai pengertian pembangunan
bewawasan lingkungan dirumuskan dalam Pasal 1 angka 13 yang menyatakan bahwa
“pembangunan berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan terencana menggunakan
dan mengelola sumber daya secara bijaksana dalam pembangunan yang
berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup”. Penjelasan UULH (TLN.3215)
dinyatakan bahwa penggunaan dan pengelolaan sumber daya secara bijaksana
berarti senantiasa memperhitungkan dampak kegiatan tersebut terhadap lingkungan
serta kemampuan sumber daya alam untuk menopang pembangunan secara berkesinambungan.
Ketentuan tersebut selain menggunakan istilah “pembangunan berwawasan
lingkungan” juga menggunakan istilah “pembangunan berkesinabungan” istilah yang
disebutkan terakhir dapat juga dijadikan acuan istilah sustainable development karena kata “berkesinabungan” dan
“berkelanjutan “ dalam bahasa Indonesia mempunyai makna yang sama.
Hal lain yang
ditegaskan kembali dalam Pasal 3 tentang asas pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa “pengelolaan Lingkungan Hidup Berazaskan
Pelestarian Kemampuan Lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang
pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia.
Sedangkan penjelasannya menyatakan bahwa pengertian pelestarian mengandung
makna tercapainya kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang dan peningkatan
kemampuan tersebut. Hanya dalam lingkungan yang serasi dan seimbang dapat
dicapai kehidupan yang optimal. Berdasarkan uraian tersebut diatas, UULH ini
mengandung pengertian bahwa pembangunan yang berwawasan lingkungan hanyalah
satu bagian dari pembangunan yang berkesinambungan (lihat Pasal 1 angka 13)
atau sebagai penunjang dari pembangunan yang berkesinambungan (lihat Pasal
3).
Dalam
perkembangan selanjutnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 dicabut dan digantikan
dengan Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 1997 (LN 1997:68) tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPLH) dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
(UUPPLH). Dalam UUPLH ini tidak lagi diadakan pembedaan antara pembangunan yang
berwawasan lingkungan dengan pembangunan yang berkesinambungan seperti
dikemukakan di atas akan tetapi UUPLH ini menggunakan istilah baru lagi yaitu
“Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan Lingkungan Hidup”.
Konsideran Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997 antara lain menjelaskan tentang mengapa kita harus
melaksanakan ‘Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan Lingkungan Hidup”
seperti pada pertimbangan huruf b, bahwa dalam rangka mendaya-gunakan
sumberdaya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam UUD
1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu
dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan
memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan. Penegasan
tersebut diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan hidup berkaitan erat dengan pengelolaan SDA sebagai suatu
asset mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam pertimbangan berikutnya (huruf c)
ditegaskan bawa dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk
melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi selaras
dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup. Dalam pertimbangan ini pengelolaan lingkungan hidup dianggap
sebagai penunjang terhadap pelaksanaan pembangunan berwawasan lingkungan.
Dalam UUPLH ini
diperkenalkan suatu rumusan tentang pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup (Pasal 1 butir 3). Disebutkan dalam ketentuan tersebut bahwa pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan
terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya alam ke dalam
proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup
generasi masa kini dan masa depan.
Selanjutnya dalam
UUPLH ini dibedakan antara “asas keberlanjutan” sebagai asas pengelolaan
lingkungan hidup dan “pembangunan berwawasan lingkungan hidup” sebagai suatu
sistem pembangunan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 3 yang menyatakan:
“pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan dengan asas tanggung jawab
negara, asas keberlanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
Mengenai “asas
berkelanjutan” penjelasan UUPLH (TLN 3699) menyatakan “asas berkelanjutan
mengandung makna setiap orang memikul kewajibannya dan tanggung jawab terhadap
generasi mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu generasi, untuk
terlaksananya kewajiban dan tanggung jawab tersebut, maka kemampuan lingkungan
hidup, harus dilestarikan. Terlestarikannya kemampuan lingkungan hidup menjadi
tumpuannya dalam meningkatkan pembangunan. Hal ini kemudian ditegaskan dalam
UUD 1945 amandmen ke-4 (2002) yang menambahkan ayat (4) dan (5) terhadap Pasal
33 yang sebelumnya tidak pernah mengalami perubahan yang menyebutkan:
a.
Perekonomian nasional diselenggarakan
berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi,
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi nasional.
b.
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Sejalan dengan
pembahasan tersebut juga diadakan perubahan terhadap judul Bab XIV
Undang-Undang Dasar yang melengkapi pasal tersebut dan judul semula
“Kesejahteraan Sosial” menjadi “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan
Sosial”. Dalam konteks ini tampak ada penonjolan dimensi ekonomi dalam
penguasaan sumber daya alam, yang perlu mendapat perhatian adalah aspek
keberlanjutan dan berwawasan lingkungan bukan hanya berada dalam dimensi
ekonomi belaka tetapi juga dalam dimensi kehidupan menusia termasuk dimensi
sosial budaya, kesejahteraan sosial pada dasarnya juga harus menonjolkan aspek
keberlanjutan dan berwawasan lingkungan dengan demikian konsep pembangunan
berkelanjutan di Indonesia pada umumnya dan sistem hukum lingkungan pada
khususnya. Walaupun penjabarannya dalam pengaturan mengenai pengelolaan sumber
daya alam masih belum begitu tampak secara jelas.
Pengaturan
tentang bagaimana pengelolaan sumber daya alam di Indonesia sudah dilakukan
sejak berdirinya Negara Republik Indonesia. Selain Pasal 33 UUD 1945 yang
merupakan ketentuan dasar, ada seperangkat Undang-Undang yang mengatur tentang
hal tersebut, antara lain Undang-Undang Nomor 5 atahun 1960 tentang Ketentuan
Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 5 atahun 1967 tentang ketentuan pokok
Kehutanan, kemudian dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 41 tahun
1999 tentang Kehutanan. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang ketentuan
pokok Pertambangan yang diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang
Sumber daya Mineral dan Batu bara, Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 1974 Tentang
Pengairan diganti Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber daya air,
berikut seperangkat ketentuan pelaksanaannya, selain hal itu juga peraturan
perundang-undangan di bidang lingkungan yang telah kita sebutkan di atas dan
seperangkat ketetapan MPR yang mengatur tentang hal ini seperti TAP MPR No.
IX/MPR/2001 tentang pembaharuan Agraria dan Pengelolaan sumber daya alam.
Pasal 33
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah
dirubah dalam Tahun 2002 berbunyi selengkapnya :
1. Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasi Negara.
3. Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4. Perekonomian
nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.
5. Ketentuan lebih
lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang-Undang .
Pengelolaan sumber
daya alam adalah seperti apa yang disebutkan dalam ayat (3) yaitu melingkupi
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”. Ketentuan ini
kemudian diperluas dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dengan menambah unsur
ruang angkasa sehingga meliputi “ Bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya.
Ketentuan Pasal
33 ayat (3) UUD 1945 memberikan penegasan tentang dua hal yaitu:
1. Memberikan
kekuasaan kepada negara untuk “menguasai” bumi dan air serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya sehingga negara mempunyai “Hak Menguasai”. Hak ini
adalah hak yang berfungsi dalam rangkaian hak-hak penguasaan sumber daya alam
di Indonesia.
2. Membebaskan di
satu sisi serta memberikan kewajiban di sisi lain kepada negara untuk
mempergunakan sumber daya alam yang ada untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Pengertian
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menunjukkan kepada kita bahwa rakyatlah yang
harus menerima manfaat kemakmuran dari sumber daya alam yang ada di Indonesia.
Secara singkat pasal ini memberikan hak kepada negara untuk mengatur dan
menggunakan sumber daya alam yang wajib ditaati oleh seluruh rakyat Indonesia,
juga membebankan suatu kewajiban kepada negara untuk menggunakan sumber daya
alam untuk kemakmuran rakyat, bilamana hal ini merupakan kewajiban negara, maka
pada sisi lain adalah merupakan hak bagi rakyat Indonesia untuk mendapat
kemakmuran melalui pengelolaan sumber daya alam.
Pertanyaan yang
muncul adalah rakyat Indonesia yang mana yang paling berhak untuk mendapatkan
kemakmuran dari pengelolaan sumber daya alam Indonesia? Pada dasarnya seluruh
rakyat Indonesia yang berdiam di seluruh wilayah Negara Kesatuan Indonesia pada
tingkat atau lapisan manapun mempunyai hak yang sama untuk menikmati kemakmuran
tersebut, namun kalau kita membicarakan siapa yang lebih diutamakan tentu saja
masyarakat yang berada disekitar sumber daya alam itu berada harus lebih
diutamakan dari mereka yang bertempat tinggal jauh dari sumber daya alam yang
dimaksud.
Hal ini ditegaskan
antara lain dalam Pasal 3 ayat (1) Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tetang
penyelenggaraan Otonomi Daerah, pengaturan pembangunan dan pemanfaatan sumber
daya yang berkeadilan serta perimbangan keuangan Pusat dan daerah dilaksanakan
secara adil untuk kemakmuran masyarakat daerah dan bangsa keseluruhannya. Dalam
pasal ini disebutkan lebih dahulu masyarakat daerah dari bangsa Indonesia
secara keseluruhan. Mengisyaratkan kepada kita bahwa masyarakat setempat harus
diberikan prioritas haknya untuk menikmati kemakmuran dalam pemanfaatan sumber
daya alam ketimbang orang-orang yang jauh bertempat dari sumber daya alam
dimaksud. Hak ini telah diberi penekanan dalam rangka pelaksanaan otonomi
daerah sebagai reaksi dari apa yang selama ini dikenal hegemoni pusat. Orang-orang
yang ada di pusat lebih banyak menikmati kemakmuran dari pada masyarakat daerah
atau masyarakat setempat. Selain itu kemakmuran dalam rangka pemanfaatan sumber
daya alam bukan hanya sekedar menjadi hak dari generasi masa kini saja. Anak
cucu kita sebagai generasi mendatang juga mempunyai hak yang sama untuk
menikmati kemakmuran dari pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia. Karena
itu kemakmuran yang ingin diwujudkan menurut Undang-Undang Dasar adalah
bersifat transgeneration dan oleh
karenanya hak untuk mendapat kemakmuran harus berkesinambungan atau
berkelanjutan (sustainable). Karena
hal ini sejalan dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan .
Selanjutnya UU
lain yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam adalah Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun
2005-2025. Dalam Lampiran UU tersebut Bab II Kondisi Umum arah kebijakan
pembangunan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup disebutkan:
1.
Mengelola sumber daya alam dan
memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat
dari satu generasi ke generasi lain.
2.
Meningkatkan pemanfaatan potensi
sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi
dan penghematan penggunaan dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan.
3.
Mendelegasikan secara bertahap
wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan
pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup
sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga yang diatur dengan Undang-Undang.
4.
Mendayagunakan sumber daya alam untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan
keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan
ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang yang pengusahaanya
diatur dengan Undang-Undang.
5.
Menerapkan indikator-indikator yang
memungkinkan pelestarian kemampuan, keterbatasan sumber daya alam yang dapat
diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat balik.
Lima prinsip ini
kemudian dijabarkan lebih jauh dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN). Dalam gambaran umum mengenai pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup ditegaskan bahwa peran pemerintah dalam perumusan kebijakan
pengelolaan sumber daya alam harus dioptimalkan karena sumber daya alam sangat
penting peranannya terutama dalam rangka meningkatkan pendapatan negara melalui
mekanisme pajak, restribusi dan bagi hasil yang jelas dan adil serta perlindungan
dari bencana ekologis. Sejalan dengan otonomi daerah pendayagunaan secara
bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan
sumber daya alam dimaksud untuk meningkatkan peranan masyarakat lokal dan tetap
terjaganya fungsi lingkungan.
Ditegaskan lebih
jauh dalam UU ini, dengan memperhatikan permasalahan dan kondisi sumber daya
alam dan lingkungan hidup dewasa ini, kebijakan di bidang sumber daya alam dan
lingkungan hidup ditujukan pada upaya:
1.
Mengelola sumber daya alam, baik yang
dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui melalui penerapan
teknologi ramah lingkungan dengan memperhatikan daya dukung dan daya
tampungnya.
2.
Menegakkan hukum secara adil dan
konsisten untuk menghindari kerusakan sumber daya alam dan pencemaran
lingkungan .
3.
Mendelegasikan kewenangan dan
tanggungjawab kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup secara bertahap.
4.
Memberdayakan masyarakat dan kekuatan
ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat global.
5.
Menerapkan secara efektif penggunaan
indikator-indikator untuk mengetahui keberhasilan pengelolaan sumber daya alam
dan lingkungan hidup.
6.
Memelihara kawasan konservasi yang
sudah ada dan menetapkan kawasan konservasi baru di wilayah tertentu, dan
7.
Mengikutsertakan masyarakat dalam
rangka menanggulangi permasalahan lingkungan global.
Bilamana kita teliti
pengarusutamaan tentang rencana pembangunan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2007 tersebut khususnya yang berkenaan dengan pengelolaan sumber
daya alam dan lingkungan hidup – menggambarkan telah dimasukkannya perkembangan
pemikiran di bidang lingkungan dalam pelaksanaan pembangunan nasional, sehingga
cukup beralasan bahwa di Indonesia, pembangunan berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan hidup telah dilaksanakan walaupun mungkin baru sebatas dalam aturan
hukum.
Selanjutnya yang
perlu mendapat perhatian adalah Tap MPR/IX/2001 tentang pembaharuan Agraria dan
pengelolaan Sumber daya alam Pasal 3 ketetapan ini menyatakan bahwa pengelolaan
sumber daya alam yang terkandung di daratan, lautan dan angkasa dilakukan
secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Kemudian dalam
Pasal 4 ditentukan bahwa pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya harus
dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip:
a)
Memelihara dan mempertahankan keutuhan
negara kesatuan Republik Indonesia.
b)
Menghormati dan menjunjung tinggi hak
asasi manusia.
c)
Menghormati supremasi hukum dengan
mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum.
d)
Mensejahterakan rakyat, terutama
melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia
e)
Mengembangkan demokrasi, kepatuhan
hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat.
f)
Mewujudkan keadilan termasuk
kesetaraan gender dalam penguasaan, peruntukan, penggunaan, pemanfatan dan
pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam.
g)
Memelihara keberlanjutan yang dapat
memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi yang
akan datang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung
lingkungan
h)
Melaksanakan fungsional, kelestarian,
dan fungsi ekologi sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat.
i)
Meningkatkan keterpaduan dan
koordinasi antar pembangunan antar daerah dalam pelaksanaan pembangunan agraria
dan pengelolaan sumber daya alam.
j)
Mengakui, menghormati dan melindungi
hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya
agraria/sumber daya alam.
k)
Mengupayakan keseimbangan hak dan
kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa
atau yang setingkat) masyarakat dan individu.
l)
Melaksanakan desentralisasi berupa
pembagian kewenangan, ditingkat nasional, daerah propinsi, kabupaten/kota dan
desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alasan dan pengelolaan sumber daya
agraris/sumber daya alam.
Prinsip-prinsip
ini memberikan landasan formal pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan. Selanjutnya
dalam Pasal 5 ayat (2) ketetapan ini menentukan bahwa arah kebijakan dalam
pengelolaan sumber daya alam adalah:
a)
Melakukan pengkajian ulang terhadap
berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber
daya alam dalam rangka sosialisasi kebijakan antar sektor yang berdasarkan
prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 ketetapan ini.
b)
Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan
berbagai sumber daya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan
kuantitas sumber daya alam sebagai potensi pembangunan
c)
Memperluas pemberian akses informasi
kepada masyarakat mengenai potensi sumber daya alam di daerahnya dan mendorong
terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan
termasuk teknologi tradisional.
d)
Memeperhatikan sifat dan karakteristik
dari berbagai jenis sumber daya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan
nilai tambah dari produk sumber daya alam tersebut.
e)
Menyelesaikan konflik-konflik
pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat
mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya
penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagai mana dimaksud
Pasal 14 ketetapan ini.
f)
Mengupayakan pemulihan ekosistem yang
telah rusak akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan.
g)
Menyusun strategi pemanfaatan sumber
daya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan
potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat dan kondisi daerah maupun nasional.
Pengelolaan sumber daya alam di Indonesia
secara umum sudah mempunyai landasan formal yang cukup kuat dalam pelaksanaan
pembangunan nasional yang berbasis pembangunan berkelanjutan. Namun apakah dalam realitanya memang sudah
seperti apa yang ditentukan dalam ketentuan dimaksud? Dalam gambaran tentang
kondisi umum mengenai pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025 menentukan : konsep
pembangunan berkelanjutan telah diletakkan sebagai kebijakan, namun dalam
pengalaman praktek selama ini, justru terjadi pengelolaan sumber daya alam yang
tidak terkendali dengan akibat perusakan lingkungan yang mengganggu pelestarian
alam; ungkapan ini menunjukkan adanya pengakuan dari lembaga negara di
Indonesia tentang masih belum terlaksananya pembangunan berkelanjutan dalam
pengelolaan sumber daya alam.
Konsideran Tap IX/MPR/2001 menyatakan bahwa
pengelolaan sumber daya agraria/ sumber daya alam yang berlangsung selama ini
telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai
konflik. Kemudian disebutkan pula bahwa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria atau sumber daya alam saling
tumpang tindih dan bertentangan.
Persoalan ini tidak hanya dihadapi di
Indonesia akan tetapi juga berlaku secara global dan proses globalisasi itu
sendirilah sebenarnya yang memperlemah pelaksanaan pembangunan berkelanjutan,
seperti yang dikatakan oleh Martin Khor bahwa proses globalisasi telah semakin
mendapat kekuatan, dan proses tersebut telah dan akan semakin menenggelamkan
agenda pembangunan berkelanjutan.
Dalam tulisannya, Sonny Keraf menyebutkan ada
dua penyebab kegagalan penerapan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Menurut
pendapatnya salah satu sebab dari kegagalan mengimplementasikan paradigma
tersebut adalah, paradigma tersebut kurang dipahami sebagai prinsip-prinsip
kerja yang menentukan dan menjiwai seluruh proses pembangunan. Paradigma ini
tidak dipahami sebagai bentuk prinsip pokok politik pembangunan itu sendiri.
Pada akhir cita-cita yang dituju dan ingin diwujudkan dibalik paradigma
tersebut tidak tercapai. Karena, prinsip politik pembangunan yang seharusnya
menuntut pemerintah dan semua pihak lainnya dalam rencana dan implementasi
pembangunan tidak dipatuhi dengan kata lain, paradigma pembangunan
berkelanjutan harus dipahami sebagai etika politik pembangunan, yaitu sebuah
komitmen moral tentang bagaimana seharusnya pembangunan itu diorganisir dan
dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Dalam kaitan dengan itu, paradigma
pembangunan berkelanjutan bukti sebuah konsep tentang pembangunan lingkungan
hidup. Paradigma pembangunan berkelanjutan juga bukan hanya tentang pembangunan
ekonomi. Ini sebuah etika politik pembangunan mengenai pembangunan secara
keseluruhan dan bagaimana pembangunan itu seharusnya dijalankan. Dalam arti
ini, selama paradigma pembangunan berkelanjutan tersebut tidak dipahami, atau
dipahami secara luas, cita-cita moral yang terkandung di dalamnya tidak akan
terwujud . Alasan kedua, mengapa paradigma itu tidak jalan, khususnya mengapa
krisis ekologi tetap saja terjadi, karena paradigma tersebut kembali menegaskan
ideologi developmentalisme. Apa yang dicapai di KTT Bumi di Rio de Janeiro
tujuh belas tahun lalu, tidak lain adalah sebuah kompromi usulan tentang
pembangunan, dengan fokus utama berupa pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, selama
tujuh belas tahun terakhir ini, tidak banyak perubahan yang dialami semua
negara di dunia dalam rangka mengoreksi pembangunan ekonominya yang tetap saja
sama, yaitu penguasaan dan eksploitasi sumber daya alam dengan segala dampak
negatifnya bagi lingkungan hidup, baik kerusakan sumber daya alam maupun
pencemaran lingkungan hidup.
Sekalipun pembangunan berkelanjutan berada
pada suatu titik terendah, menurut Martin Khor, namun muncul juga tanda
kebangkitannya kembali sebagai suatu paradigma. Keterbatasan dan kegagalan
globalisasi telah menyebabkan munculnya reaksi negatif dari sebagian masyarakat
yang pada akhirnya mungkin akan berdampak pada terjadinya perubahan sejumlah
kebijakan. Dengan munculnya kekuatan pro pembangunan berkelanjutan dalam
pemerintahan di negara-negara sedang berkembang (NSB) mereka menjadi lebih
sadar akan hak-hak dan tanggungjawab untuk meralat berbagai persoalan yang ada
pada saat ini termasuk mengubah sejumlah peraturan dalam WTO. World
Summit On Sustainable Development - WSSD (Konferensi Dunia tentang
Pembangunan Berkelanjutan) memberikan kesempatan untuk memusatkan kembali
perhatian masyarakat maupun upaya-upaya pemantapan, bukan semata-mata mengenai
persoalan itu, melainkan juga kebutuhan untuk menggeser
paradigma-paradigma.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan di Indonesia patut di catat penilaian dari D. Pearce & G
Atkinson dalam tulisanya “A Measure of
Sustainable Development” sebagaimana dikutip oleh Soerjani. Dua penulis ini
menilai pembangunan Indonesia dinilai masih belum sustainable. Hal ini dengan alasan bahwa depresiasi sumber daya
alam Indonesia besarnya adalah 17% dari GDB, sedangkan investasinya hanya 15 %.
Pembangunan itu baru dinilai sustainable
dalam memanfaatkan sumber daya alam itu melalui rekayasa teknologi dan seni,
sehingga kalau yang kita konsumsi nilai tambahnya, sangat mungkin dapat
ditabung untuk investasi senilai 17% atau bahkan lebih. Jadi jelas bahwa
kemampuan sumber daya manusia untuk memberi “nilai tambah” sumber daya
pendukung pembangunan melalui penerapan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
merupakan kunci apakah pembangunan yang dilaksanakan itu sustainable berkelanjutan, berkesinambungan atau tidak.
Dengan demikian sekalipun secara formal sudah
jelas pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia harus berupa Pembangunan
Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan Hidup tetapi masih baru pada tataran das solen dan melalui perangkat hukum
diharapkan dapat diwujudkan pada tataran das
sein. Namun keberhasilan ini masih tergantung pada banyak faktor, selain
faktor yang bersifat yuridis, juga politis dan budaya termasuk kondisi sumber
daya manusia yang menjadi pelaksanaanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar