Minggu, 03 Mei 2015

DIKTAT HUKUM SDA - BAB IV

Bagian IV
Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA)
dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan

4.1. Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan Berkelanjutan atau sustainable development sebenarnya bukanlah suatu konsep yang baru di tingkat global maupun nasional. Namun dalam pelaksanaannya masih belum dipahami dengan baik, karena masih banyak menimbulkan kerancuan pada tingkat kebijakan dan pengaturan serta mempunyai banyak hambatan pada tataran implementasi atau pelaksanaan. 
Sebagai sebuah konsep, pembangunan berkelanjutan mengandung pengertian sebagai pembangunan yang memperhatikan dan mempertimbangkan dimensi lingkungan hidup. Dalam pelaksanaannya konsep tersebut sudah menjadi topik pembicaraan dalam konferensi Stockholm (UN Conference on the Human Environment) tahun 1972 yang menganjurkan agar pembangunan dilaksanakan dengan memperhatikan faktor lingkungan, menurut Siti Sundari Rangkuti Konferensi Stocholm telah membahas masalah lingkungan serta jalan keluarnya, agar pembangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan (eco-development).
Dilaksanakannya konferensi tersebut adalah sejalan dengan keinginan dari PBB untuk menanggulangi dan memperbaiki kerusakan lingkungan yang terjadi, bertepatan dengan di umumkannya “Strategi Pembangunan Internasional” bagi “Dasawarsa Pembangunan Dunia ke–2” (The Second UN Development Decade) yang dimulai pada tanggal 1 Juni 1970. Sidang Umum PBB menyerukan untuk meningkatkan usaha dan tindakan nasional serta Internasional guna menanggulangi “proses pemerosotan kualitas lingkungan hidup” agar dapat diselamatkan keseimbangan dan keserasian ekologis, demi kelangsungan hidup manusia, secara khusus resolusi Sidang Umum PBB No. 2657 (XXV) Tahun 1970 menugaskan kepada Panitia Persiapan untuk mencurahkan perhatian kepada usaha “melindungi dan mengembangkan kepentingan-kepentingan negara yang sedang berkembang” dengan menyesuaikan dan memperpadukan secara serasi kebijakan nasional di bidang lingkungan hidup dengan rencana Pembangunan Nasional. Amanat inilah yang kemudian dikembangkan dan menjadi hasil dari Konferensi Stocholm yang dapat dianggap sebagai dasar-dasar atau cikal bakal konsep Pembangunan Berkelanjutan. 
Pengaruh Konferensi Stocholm terhadap gerakan kesadaran lingkungan tercermin dari perkembangan dan peningkatan perhatian terhadap masalah lingkungan dan terbentuknya perundang-undangan nasional di bidang lingkungan hidup, termasuk di Indonesia. Semua keputusan Konferensi tersebut diatas, disahkan oleh resolusi SU PBB No. 2997 (XXVII) tertanggal 15 Desember 1972. Pentingnya Deklarasi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia bagi negara-negara yang terlibat dalam konferensi ini dapat dilihat dari penilaian negara peserta yang mengatakan bahwa deklarasi dianggap sebagai “a first step in developing international environment law”.
Bagi Indonesia konsep ini sebenarnya merupakan suatu konsep yang relatif baru. Menurut Emil Salim, inti pokok dari Pembangunan yang lama tidak mempertimbangkan lingkungan, dan memandang kerusakan lingkungan sebagai biaya yang harus dibayar. Walaupun demikian konsep ini sebenarnya sudah dibahas mendahului Konferensi Stockholm dalam Seminar Nasional Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional di Bandung tanggal 15-18 Mei 19972 sedangkan Konferensi Stockholm berlangsung tanggal 15-18 Juni 1972. Menurut Daud Silalahi Seminar Nasional Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional 1972 di UNPAD yang bekerjasama dengan BAPPENAS telah mengawali konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan (ecodevelopment). Menurut pendapatnya pertemuan ini membawa pengaruh pada pengaturan hukum lingkungan dan pada konsep pembangunan dengan masuknya pertimbangan lingkungan dalam setiap keputusan rencana pembangunan.  Seminar Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional (1972) dengan tema “hanya dalam lingkungan hidup yang optimal, manusia dapat berkembang dengan baik, dan hanya dengan lingkungan akan berkembang ke arah yang optimal”. Otto Sumarwoto menilai seminar tersebut sebagai suatu tonggak sejarah tentang permasalahan lingkungan hidup di Indonesia. Karena itu perbincangan tentang pembangunan tentang Pembangunan Berkelanjutan sudah dibahas di Indonesia selama lebih dari tiga dasawarsa, namun hingga sekarang masih menjadi masalah yang belum dapat diwujudkan secara baik. 
Dalam kurun waktu tersebut bangsa Indonesia telah berusaha untuk menjadikan Pembangunan Berkelanjutan sebagai pembangunan yang berkelanjutan bahkan ditambah dengan berwawasan lingkungan, namun prakteknya menunjukkan lain. Dalam gambaran tentang kondisi umum mengenai pengelolaan Sumber daya alam dan lingkungan hidup, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) menyebutkan bahwa Konsep Pembangunan Berkelanjutan telah diletakkan sebagai kebijakan, namun dalam pengalaman praktek selama ini, justru terjadi pengelolaan sumber daya alam yang tidak terkendali. Karena itu pembangunan berkelanjutan adalah sebuah harapan yang harus diwujudkan dan dalam upaya mewujudkannya itu peranan hukum menjadi sangat relevan.

4.2. Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan Lingkungan Hidup.
Istilah pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup yang kita pergunakan disini merupakan terjemahan dari “sustainable development” yang sangat populer dipergunakan di negara-negara Barat. Istilah Pembangunan Berkelanjutan secara resmi dipergunakan dalam Tap MPR No. IV /MPR/1999 tentang GBHN, sedangkan istilah Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan Lingkungan Hidup digunakan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu juga dikenal ada istilah lingkungan dan pembangunan, sedang sebelumnya lebih popular digunakan istilah Pembangunan yang berwawasan Lingkungan sebagai terjemah dari Eco-development. Sejak tahun 1980-an agenda politik lingkungan hidup mulai dipusatkan pada paradigma pembangunan berkelanjutan. Pertama kali istilah ini muncul dalam World Conservation Strategy dari the International Union for the conservation of nature, lalu dipakai oleh Lester R. Brown dalam bukunya Building a Suistainable Society (1981). Istilah tersebut kemudian menjadi sangat popular melalui laporan Bruntland, Our Common Future (1987). Tahun 1992 merupakan puncak dari proses politik, yang akhirnya pada konferensi tingkat tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jainero, Brazil, paradigma Pembangunan Berkelanjutan diterima sebagai sebuah agenda politik pembangunan untuk semua negara di dunia. 
Perkembangan kebijakan lingkungan hidup, menurut Koesnadi Hardjasoemantri, didorong oleh hasil kerja World Commission on Environment and Development, disingkat WCED. WCED dibentuk PBB memenuhi keputusan Sidang Umum PBB Desember 1983 No. 38/161 dan dipimpin oleh Nyonya Gro Harlem Bruntland (Norwegia) dan dr. Mansour Khalid (Sudan), salah satu anggotanya dari Indonesia adalah Prof. Dr. Emil Salim. Salah satu tugas WCED adalah mengajukan strategi jangka panjang pengembangan lingkungan menuju pembangunan yang berkelanjutan di tahun 2000 dan sesudahnya.
WCED telah memberikan laporannya pada tahun 2000 yang diberi judul “Our Common Future” yang memuat banyak rekomendasi khusus untuk perubahan institusional dan perubahan hukum. Sedangkan Soerjani menambahkan bahwa panitia ini menghasilkan laporan yang berjudul “Our Common Future” pada tahun 1987. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dengan judul “Hari Depan Kita Bersama” 1988. Salah satu tonggak penting yang di pancangkan oleh panitia ini adalah agar pemahaman tentang perlunya wawasan lingkungan dalam Pembangunan di praktekkan di semua sektor dan terkenal dengan istilah “Sustainable Development”. 
Dalam laporan WCED “Our Common Future” ditemui sebuah rumusan tentang “Sustainable Development” sebagai berikut: “Suistainable Development is defined as development that meet the needs of the present without comprosing the ability of future generations to meet their own needs”. Ada beberapa penekanan yang kita temukan dalam terjemahan rumusan ini. Dalam terjemahan Laporan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan disebutkan “Umat memiliki kemampuan untuk menjadikan pembangunan ini berkesinambungan (sustainable) untuk memastikan bahwa Pembangunan ini dapat memenuhi kebutuhanya” . 
Selanjutanya dalam laporan Komisi Dunia untuk lingkungan hidup dan pembangunan tentang “Hari Depan Kita Bersama” (1988) dikemukakan  beberapa penegasan lebih lanjut tentang pembangunan berkelanjutan ini. Dikatakan konsep pembangunan yang berkesinabungan memang mengimplikasikan batas - bukan batas absolut akan tetapi batas yang ditentukan oleh tingkat teknologi dan organisasi sosial sekarang ini mengenai sumber daya lingkungan serta oleh kemampuan biosfer menyerap pengaruh-pengaruh kegiatan manusia, akan tetapi teknologi untuk memberi jalan bagi era baru pertumbuhan ekonomi. Kemudian ditambahkan pula bahwa Pembangunan global yang berkesinambungan juga mensyaratkan mereka yang hidup lebih mewah untuk mengambil gaya hidup dalam batas-batas kemampuan ekologi planet ini dalam hal penggunaan energi, misalnya. Lebih lanjut penduduk yang bertambah cepat dapat meningkatkan tekanan pada sumber daya dan penyelamatan naiknya taraf hidup, jadi pembangunan yang berkelanjutan hanya dapat dikejar bila besarnya populasi penduduk dan pertumbuhan selaras dengan potensi produktif yang terus berubah dari ekosistem. Akhirnya pembangunan yang berkelanjutan bukanlah suatu tingkat keselarasan yang tetap, akan tetapi lebih berupa suatu proses dengan pemanfaatan sumber daya, arah investasi, orientasi pengembangan teknologi, serta perubahan kelembagaan yang konsisten dengan kebutuhan hari depan dan kebutuhan masa kini. Kami menyadari bahwa proses itu tidak mudah. Pilihan-pilihan yang menyakitkan harus dibuat. Jadi dalam analisis akhirnya, pembangunan yang berkelanjutan pasti bersandar pada kemauan politik. 
Dalam menanggapi rumusan Pembangunan Berkelanjutan, Emil Salim dalam terjemahan laporan ke dalam bahasa Indonesia mengemukakan bahwa rumusan pembangunan berkelanjutan memuat dua konsep pokok yakni, pertama, konsep “kebutuhan”, khususnya kebutuhan pokok kaum miskin sedunia, terhadap siapa prioritas utama perlu diberikan; dan kedua, gagasan keterbatasan yang bersumber pada keadaan teknologi dan organisasi sosial yang dikenakan terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan masa depan. Dengan demikian keprihatinan kemiskinan dan ikhtiar menanggapi keterbatasan akibat keadaan teknologi dan organisasi sosial menjadi latar belakang pembahasan masalah-masalah lingkungan dan pembangunan. Selain hal itu dikemukakan ada beberapa asumsi dasar serta ide pokok yang mendasari konsep pembangunan berkelanjutan ini, yaitu : Pertama, proses pembangunan itu mesti berlangsung secara berlanjut, terus menerus di topang oleh sumber daya alam, kualitas lingkungan dan manusia yang berkembang secara berlanjut, Kedua, sumber daya alam terutama udara, air dan tanah memiliki ambang batas, sehingga penggunaannya akan menurunkan kualitas dan kuantitasnya. Penurunan itu berarti berkurangnya kemampuan sumber daya alam tersebut untuk menopang pembangunan secara berkelanjutan, sehingga menimbulkan gangguan pada keserasian sumber daya alam dengan sumber daya manusia. Ketiga, kualitas lingkungan berkolerasi langsung dengan kualitas hidup. Semakin baik kualitas lingkungan, semakin posistif pengaruhnya pada kualitas hidup, yang antara lain tercermin pada meningkatnya kualitas fisik, pada harapan usia hidup, pada turunnya tingkat kematian dan lain sebagainya. Oleh karena itu pembangunan berkelanjutan, akan memberi pengaruh positif terhadap kualitas hidup.  Keempat, pembangunan berkelanjutan menumbuhkan solidaritas transgenerasi, dimana pembangunan ini memungkinkan generasi sekarang untuk meningkatkan kesejahteraannya, tanpa mengurangi kemungkinan bagi generasi masa depan untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Pandangan yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Ignas Kleden yang antara lain menyatakan bahwa ada dua hal yang dipertaruhkan disini, yaitu daya dukung sumber-sumber daya tersebut, dan solidaritas transgenerasi; maksudnya adalah bagaimana kita mengekang diri untuk tidak merusak sumber-sumber daya yang ada, agar dapat bersikap adil terhadap masa depan umat manusia. Kegagalan kita untuk memelihara daya dukung sumber-sumber daya itu akan menyebabkan kita berdosa karena telah melakukan sesuatu (sin of commission) sementara kegagalan untuk mewujudkan solidaritas transgenerasi itu akan menyebabkan kita berdosa karena telah melalaikan sesuatu. 
Sebagai sebuah konsep, pembangunan berkelanjutan tidak lepas dari berbagai interpretasi. Moeljarto Tjokrowinoto misalnya menyebutkan ada interpretasi yang lahir dari pemikiran kaum environmentalist dan ada pula interpretasi yang datang dari para pakar lembaga-lembaga donor. Kedua interpretasi pembangunan berkelanjutan tadi mempunyai implikasi administratif tertentu. Menurut Moeljarto munculnya konsep pembangunan berkelanjutan didorong oleh kenyataan tingginya mortality rate proyekproyek pembangunan di negara berkembang. Alokasi input yang berkesinambungan tidak menjadikan proyek pembangunan tadi berkembang dengan kekuatan tersendiri. Dikatakan pula bahwa sustainable development atau pembangunan berkelanjutan ini mungkin diwujudkan melalui keterkaitan (interlinkages) yang tepat antara alam, aspek sosio-ekonomis dan kultur. Dikatakan juga bahwa sustainable development bukanlah suatu situasi harmoni yang tetap dan statis, akan tetapi merupakan suatu proses perubahan dimana eksploitasi sumber daya alam, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi, perubahan kelembagaan konsisten dengan kebutuhan pada saat ini dan di masa mendatang. 
Pandangan lain diungkapkan Sonny Keraf. Dikemukakannya bahwa paradigma pembangunan berkelanjutan adalah sebuah kritik pembangunan di satu pihak tetapi di pihak lain adalah suatu teori normatif yang menyodorkan praksis pembangunan yang baru sebagai jalan keluar dari kegagalan developmentalisme selama ini. 
Sedangkan menurut Mas Achmad Santoso istilah sustainable development mengandung berbagai penafsiran yang berbeda-beda karena terminologi pembangunan berkelanjutan sangat terbuka untuk ditafsirkan dengan berbagai pengertian.
Disamping konsep sustainable development yang berasal dari WCED, muncul pula batasan tentang pembangunan yang didukung oleh Bank Dunia, World Conservation Society (IUCN) serta IUCN bersama UNEP dan WWF yang antara lain menekankan pada perbaikan sosial ekonomi, pelestarian sumber daya alam dan perhatian pada daya dukung sumber daya alam serta keanekaragamannya dalam jangka panjang. Konsep ini dirumuskan dalam apa yang dinamakan “ Carrying for the Earth: The Strategy for Sustainable Living”  menggantikan World Conservation Strategy (WCS). Dalam rumusan Carrying for the Earth disingkat CE (1991) perumusan tentang sustainable development digariskan sebagai berikut:
improving the quality of human life while living within the carrying capacity of supporting ecosystem. A sustainable economy is the product of sustainable development. It maintains natural resources base, it can continue to develop by adopting and through improvement in knowledge, organization, technical efficiency and wisdom”.

Konsep pembangunan berkelanjutan ini mengakui tentang pentingnya peranan hukum untuk menopang terlaksananya pembangunan berkelanjutan. Menurut Koesnadi Hardjosoemantri, pertama kali dalam evolusi konsep pembangunan berkelanjutan telah dilakukan upaya untuk menggariskan kerangka hukum yang komprehensif guna menetapkan pembangunan berkelanjutan. Dalam mengemukakan pentingnya mekanisme hukum dalam tingkat nasional, regional dan global dalam menetapkan dan melaksanakan pembangunan berkelanjutan. CE menyatakan bahwa hukum lingkungan, dalam pengertiannya yang luas, adalah sarana esensial bagi mencapai keberlanjutan. 
Konsep pembangunan berkelanjutan dikembangkan lebih jauh dalam KTT Bumi yang diselenggarakan di Rio de Jenairo pada tanggal 3-14 Juni 1992, konferensi ini merupakan momentum global untuk mencapai pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan membentuk kemitraan dunia untuk mencapai kehidupan dan kualitas dunia, yang lebih baik. Konferensi ini menghasilkan banyak keputusan penting antara lain “The Rio Declaration on Environment and Development” dan agenda 21. Prinsip pertama dari Rio Declaration menyatakan bahwa:” human beings are as the center of the concern for sustainable development. They are entitled to a healthy and productive life in harmony with nature (manusia merupakan perhatian dari pembangunan berkelanjutan. Mereka berhak untuk mendapatkan suatu kehidupan yang baik dan produktif yang harmonis dengan alam).  Selanjutnya berdasarkan Agenda 21, pada tahun 1992 telah diselenggarakan Sidang Umum PBB dan The Economic and Social Council (ECOSOC) yang membentuk Commision on Sustainable Development (CSD) yang beranggota 53 negara yang dipilih oleh ECOSOC dengan memperhatikan kelayakan distribusi geografis. Sekretariat CSD berkedudukan di New York dan pertemuan-pertemuan diselenggarakan di New York dan Genewa.
CSD bertujuan untuk : “ ensure the effective follow-up of UNCED, as well as to enhance international cooperation and rationalize the intergovermental decision making capacity for the integration of environment and development issues and to examine the progress of the implementation of agenda 21 at the national, regional and international levels, fully guided by the principles of the Conference, in other to achive sustainable development. Dengan demikian sudah ada suatu badan dunia yan menangani pengembangan pembangunan berkelanjutan yang meliputi tatanan nasional, regional dan global.
Pertemuan terakhir yang membahas tentang pembangunan berkelanjutan ini adalah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang diadakan di Johannesburg, Afrika Selatan (2002) sebagai kelanjutan dari KTT Rio de Jenairo. Dalam KTT ini lebih ditegaskan lagi mengenai perubahan paradigma pembangunan. Pembangunan yang dilaksanakan tidak saja harus dilihat sebagai pembangunan ekonomi semata, akan tetapi harus memperhatikan dimensi sosial yaitu tentang manusianya sendiri dan alam ciptaan Tuhan yang dianugrahkan kepada manusia. Melalui pendekatan tersebut maka pembangunan berkelanjutan (sustainable development) mempunyai dasar dan landasan yang lebih kokoh untuk diterapkan, hanya saja konsep tersebut masih harus di sosialisasikan secara lebih luas.
Sebagai tindak lanjut dari seminar pengelolaan lingkungan hidup dan pembangunan nasional (1972) untuk tingkat nasional dan UN conference on the human and environment (1972) untuk tingkat global pemerintah tidak hanya memasukkan aspek lingkungan hidup dalam GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) tetapi juga membentuk institusi atau lembaga yang membidangi lingkungan hidup, sejak tahun 1973 aspek lingkungan hidup masuk dalam GBHN. Kemudian pengelolaan lingkungan hidup dimasukkan ke Repelita II dan berlangsung terus dalam GBHN 1978 dengan penjabarannya dalam Repelita III. Pada tahun 1978 dibentuk Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) yang kemudian pada tahun 1982 diubah menjadi Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) yang kemudian pada 1992 dirubah menjadi Menteri Negara Lingkungan Hidup (LH) sampai sekarang. Kelembagaan ini mempunyai peranan penting dalam memberi landasan aspek lingkungan bagi pelaksanaan pembangunan di negara kita. 
Pada tahun 1982 telah diundangkan Undang-Undang No. 14 Tahun 1982 (LN 1982 No. 12) tentang ketentuan-ketentuan pokok Pengelolaan Lingkungan hidup (UULH) secara terpadu dengan mengamanatkan keharusan untuk mengkaitkan pelaksanaan pembangun-an dengan pengelolaan lingkungan hidup melalui apa yang dinamakan “pembangunan berwawasan lingkungan” Undang-Undang ini mempunyai arti penting tersendiri, menurut Siti Sundari Rangkuti UULH ini mengadung berbagai konsepsi dari pemikiran inovatif dibidang hukum lingkungan baik nasional maupun internasional yang mempunyai implikasi terhadap pembinaan hukum lingkungan Indonesia, sehingga perlu dikajinya perundang-undangan lingkungan modern sebagai satu sistem keterpaduan. 
Dalam Pasal 4 huruf d Undang-Undang ini disebutkan bahwa salah satu tujuan pengelolaan lingkungan hidup adalah “terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang”. Mengenai pengertian pembangunan bewawasan lingkungan dirumuskan dalam Pasal 1 angka 13 yang menyatakan bahwa “pembangunan berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan terencana menggunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup”. Penjelasan UULH (TLN.3215) dinyatakan bahwa penggunaan dan pengelolaan sumber daya secara bijaksana berarti senantiasa memperhitungkan dampak kegiatan tersebut terhadap lingkungan serta kemampuan sumber daya alam untuk menopang pembangunan secara berkesinambungan. Ketentuan tersebut selain menggunakan istilah “pembangunan berwawasan lingkungan” juga menggunakan istilah “pembangunan berkesinabungan” istilah yang disebutkan terakhir dapat juga dijadikan acuan istilah sustainable development  karena kata “berkesinabungan” dan “berkelanjutan “ dalam bahasa Indonesia mempunyai makna yang sama.
Hal lain yang ditegaskan kembali dalam Pasal 3 tentang asas pengelolaan lingkungan hidup. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa “pengelolaan Lingkungan Hidup Berazaskan Pelestarian Kemampuan Lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia. Sedangkan penjelasannya menyatakan bahwa pengertian pelestarian mengandung makna tercapainya kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang dan peningkatan kemampuan tersebut. Hanya dalam lingkungan yang serasi dan seimbang dapat dicapai kehidupan yang optimal. Berdasarkan uraian tersebut diatas, UULH ini mengandung pengertian bahwa pembangunan yang berwawasan lingkungan hanyalah satu bagian dari pembangunan yang berkesinambungan (lihat Pasal 1 angka 13) atau sebagai penunjang dari pembangunan yang berkesinambungan (lihat Pasal 3). 
Dalam perkembangan selanjutnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 1997 (LN 1997:68) tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 (UUPPLH). Dalam UUPLH ini tidak lagi diadakan pembedaan antara pembangunan yang berwawasan lingkungan dengan pembangunan yang berkesinambungan seperti dikemukakan di atas akan tetapi UUPLH ini menggunakan istilah baru lagi yaitu “Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan Lingkungan Hidup”.
Konsideran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 antara lain menjelaskan tentang mengapa kita harus melaksanakan ‘Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan Lingkungan Hidup” seperti pada pertimbangan huruf b, bahwa dalam rangka mendaya-gunakan sumberdaya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam UUD 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan. Penegasan tersebut diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berkaitan erat dengan pengelolaan SDA sebagai suatu asset mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam pertimbangan berikutnya (huruf c) ditegaskan bawa dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi selaras dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Dalam pertimbangan ini pengelolaan lingkungan hidup dianggap sebagai penunjang terhadap pelaksanaan pembangunan berwawasan lingkungan. 
Dalam UUPLH ini diperkenalkan suatu rumusan tentang pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup (Pasal 1 butir 3). Disebutkan dalam ketentuan tersebut bahwa pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya alam ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan. 
Selanjutnya dalam UUPLH ini dibedakan antara “asas keberlanjutan” sebagai asas pengelolaan lingkungan hidup dan “pembangunan berwawasan lingkungan hidup” sebagai suatu sistem pembangunan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 3 yang menyatakan: “pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Mengenai “asas berkelanjutan” penjelasan UUPLH (TLN 3699) menyatakan “asas berkelanjutan mengandung makna setiap orang memikul kewajibannya dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu generasi, untuk terlaksananya kewajiban dan tanggung jawab tersebut, maka kemampuan lingkungan hidup, harus dilestarikan. Terlestarikannya kemampuan lingkungan hidup menjadi tumpuannya dalam meningkatkan pembangunan. Hal ini kemudian ditegaskan dalam UUD 1945 amandmen ke-4 (2002) yang menambahkan ayat (4) dan (5) terhadap Pasal 33 yang sebelumnya tidak pernah mengalami perubahan yang menyebutkan:
a.         Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi nasional.
b.         Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Sejalan dengan pembahasan tersebut juga diadakan perubahan terhadap judul Bab XIV Undang-Undang Dasar yang melengkapi pasal tersebut dan judul semula “Kesejahteraan Sosial” menjadi “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial”. Dalam konteks ini tampak ada penonjolan dimensi ekonomi dalam penguasaan sumber daya alam, yang perlu mendapat perhatian adalah aspek keberlanjutan dan berwawasan lingkungan bukan hanya berada dalam dimensi ekonomi belaka tetapi juga dalam dimensi kehidupan menusia termasuk dimensi sosial budaya, kesejahteraan sosial pada dasarnya juga harus menonjolkan aspek keberlanjutan dan berwawasan lingkungan dengan demikian konsep pembangunan berkelanjutan di Indonesia pada umumnya dan sistem hukum lingkungan pada khususnya. Walaupun penjabarannya dalam pengaturan mengenai pengelolaan sumber daya alam masih belum begitu tampak secara jelas.
Pengaturan tentang bagaimana pengelolaan sumber daya alam di Indonesia sudah dilakukan sejak berdirinya Negara Republik Indonesia. Selain Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan ketentuan dasar, ada seperangkat Undang-Undang yang mengatur tentang hal tersebut, antara lain Undang-Undang Nomor 5 atahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 5 atahun 1967 tentang ketentuan pokok Kehutanan, kemudian dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang ketentuan pokok Pertambangan yang diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Sumber daya Mineral dan Batu bara, Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan diganti Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber daya air, berikut seperangkat ketentuan pelaksanaannya, selain hal itu juga peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan yang telah kita sebutkan di atas dan seperangkat ketetapan MPR yang mengatur tentang hal ini seperti TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang pembaharuan Agraria dan Pengelolaan sumber daya alam. 
Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah dirubah dalam Tahun 2002 berbunyi selengkapnya :
1.      Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
2.      Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasi Negara.
3.      Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 
4.      Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. 
5.      Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang-Undang .
Pengelolaan sumber daya alam adalah seperti apa yang disebutkan dalam ayat (3) yaitu melingkupi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”. Ketentuan ini kemudian diperluas dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dengan menambah unsur ruang angkasa sehingga meliputi “ Bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. 
Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 memberikan penegasan tentang dua hal yaitu:
1.      Memberikan kekuasaan kepada negara untuk “menguasai” bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sehingga negara mempunyai “Hak Menguasai”. Hak ini adalah hak yang berfungsi dalam rangkaian hak-hak penguasaan sumber daya alam di Indonesia.
2.      Membebaskan di satu sisi serta memberikan kewajiban di sisi lain kepada negara untuk mempergunakan sumber daya alam yang ada untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pengertian sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menunjukkan kepada kita bahwa rakyatlah yang harus menerima manfaat kemakmuran dari sumber daya alam yang ada di Indonesia. Secara singkat pasal ini memberikan hak kepada negara untuk mengatur dan menggunakan sumber daya alam yang wajib ditaati oleh seluruh rakyat Indonesia, juga membebankan suatu kewajiban kepada negara untuk menggunakan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat, bilamana hal ini merupakan kewajiban negara, maka pada sisi lain adalah merupakan hak bagi rakyat Indonesia untuk mendapat kemakmuran melalui pengelolaan sumber daya alam.
Pertanyaan yang muncul adalah rakyat Indonesia yang mana yang paling berhak untuk mendapatkan kemakmuran dari pengelolaan sumber daya alam Indonesia? Pada dasarnya seluruh rakyat Indonesia yang berdiam di seluruh wilayah Negara Kesatuan Indonesia pada tingkat atau lapisan manapun mempunyai hak yang sama untuk menikmati kemakmuran tersebut, namun kalau kita membicarakan siapa yang lebih diutamakan tentu saja masyarakat yang berada disekitar sumber daya alam itu berada harus lebih diutamakan dari mereka yang bertempat tinggal jauh dari sumber daya alam yang dimaksud. 
Hal ini ditegaskan antara lain dalam Pasal 3 ayat (1) Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tetang penyelenggaraan Otonomi Daerah, pengaturan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya yang berkeadilan serta perimbangan keuangan Pusat dan daerah dilaksanakan secara adil untuk kemakmuran masyarakat daerah dan bangsa keseluruhannya. Dalam pasal ini disebutkan lebih dahulu masyarakat daerah dari bangsa Indonesia secara keseluruhan. Mengisyaratkan kepada kita bahwa masyarakat setempat harus diberikan prioritas haknya untuk menikmati kemakmuran dalam pemanfaatan sumber daya alam ketimbang orang-orang yang jauh bertempat dari sumber daya alam dimaksud. Hak ini telah diberi penekanan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sebagai reaksi dari apa yang selama ini dikenal hegemoni pusat. Orang-orang yang ada di pusat lebih banyak menikmati kemakmuran dari pada masyarakat daerah atau masyarakat setempat. Selain itu kemakmuran dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam bukan hanya sekedar menjadi hak dari generasi masa kini saja. Anak cucu kita sebagai generasi mendatang juga mempunyai hak yang sama untuk menikmati kemakmuran dari pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia. Karena itu kemakmuran yang ingin diwujudkan menurut Undang-Undang Dasar adalah bersifat transgeneration dan oleh karenanya hak untuk mendapat kemakmuran harus berkesinambungan atau berkelanjutan (sustainable). Karena hal ini sejalan dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan .
Selanjutnya UU lain yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Dalam Lampiran UU tersebut Bab II Kondisi Umum arah kebijakan pembangunan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup disebutkan:
1.         Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari satu generasi ke generasi lain.
2.         Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan.
3.         Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga yang diatur dengan Undang-Undang.
4.         Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang yang pengusahaanya diatur dengan Undang-Undang. 
5.         Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan, keterbatasan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat balik.
Lima prinsip ini kemudian dijabarkan lebih jauh dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Dalam gambaran umum mengenai pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup ditegaskan bahwa peran pemerintah dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumber daya alam harus dioptimalkan karena sumber daya alam sangat penting peranannya terutama dalam rangka meningkatkan pendapatan negara melalui mekanisme pajak, restribusi dan bagi hasil yang jelas dan adil serta perlindungan dari bencana ekologis. Sejalan dengan otonomi daerah pendayagunaan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam dimaksud untuk meningkatkan peranan masyarakat lokal dan tetap terjaganya fungsi lingkungan. 
Ditegaskan lebih jauh dalam UU ini, dengan memperhatikan permasalahan dan kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup dewasa ini, kebijakan di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup ditujukan pada upaya:
1.        Mengelola sumber daya alam, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui melalui penerapan teknologi ramah lingkungan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampungnya.
2.        Menegakkan hukum secara adil dan konsisten untuk menghindari kerusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan .
3.        Mendelegasikan kewenangan dan tanggungjawab kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara bertahap.
4.        Memberdayakan masyarakat dan kekuatan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat global.
5.        Menerapkan secara efektif penggunaan indikator-indikator untuk mengetahui keberhasilan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
6.        Memelihara kawasan konservasi yang sudah ada dan menetapkan kawasan konservasi baru di wilayah tertentu, dan 
7.        Mengikutsertakan masyarakat dalam rangka menanggulangi permasalahan lingkungan global.
Bilamana kita teliti pengarusutamaan tentang rencana pembangunan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tersebut khususnya yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup – menggambarkan telah dimasukkannya perkembangan pemikiran di bidang lingkungan dalam pelaksanaan pembangunan nasional, sehingga cukup beralasan bahwa di Indonesia, pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup telah dilaksanakan walaupun mungkin baru sebatas dalam aturan hukum. 
Selanjutnya yang perlu mendapat perhatian adalah Tap MPR/IX/2001 tentang pembaharuan Agraria dan pengelolaan Sumber daya alam Pasal 3 ketetapan ini menyatakan bahwa pengelolaan sumber daya alam yang terkandung di daratan, lautan dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan. 
Kemudian dalam Pasal 4 ditentukan bahwa pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip:
a)        Memelihara dan mempertahankan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia.
b)        Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. 
c)         Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum.
d)        Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia 
e)        Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat.
f)          Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, peruntukan, penggunaan, pemanfatan dan pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam.
g)        Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi yang akan datang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan 
h)        Melaksanakan fungsional, kelestarian, dan fungsi ekologi sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat.
i)          Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar pembangunan antar daerah dalam pelaksanaan pembangunan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.
j)          Mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam.
k)         Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat) masyarakat dan individu.
l)          Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan, ditingkat nasional, daerah propinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alasan dan pengelolaan sumber daya agraris/sumber daya alam.
Prinsip-prinsip ini memberikan landasan formal pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.  Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat (2) ketetapan ini menentukan bahwa arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah:
a)        Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sosialisasi kebijakan antar sektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 ketetapan ini.
b)        Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai potensi pembangunan
c)        Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumber daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional.
d)        Memeperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber daya alam tersebut.
e)        Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagai mana dimaksud Pasal 14 ketetapan ini.
f)         Mengupayakan pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan.
g)        Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat dan kondisi daerah maupun nasional.
Pengelolaan sumber daya alam di Indonesia secara umum sudah mempunyai landasan formal yang cukup kuat dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang berbasis pembangunan berkelanjutan.  Namun apakah dalam realitanya memang sudah seperti apa yang ditentukan dalam ketentuan dimaksud? Dalam gambaran tentang kondisi umum mengenai pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup  Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025 menentukan : konsep pembangunan berkelanjutan telah diletakkan sebagai kebijakan, namun dalam pengalaman praktek selama ini, justru terjadi pengelolaan sumber daya alam yang tidak terkendali dengan akibat perusakan lingkungan yang mengganggu pelestarian alam; ungkapan ini menunjukkan adanya pengakuan dari lembaga negara di Indonesia tentang masih belum terlaksananya pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Konsideran Tap IX/MPR/2001 menyatakan bahwa pengelolaan sumber daya agraria/ sumber daya alam yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik. Kemudian disebutkan pula bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria atau sumber daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan.
Persoalan ini tidak hanya dihadapi di Indonesia akan tetapi juga berlaku secara global dan proses globalisasi itu sendirilah sebenarnya yang memperlemah pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, seperti yang dikatakan oleh Martin Khor bahwa proses globalisasi telah semakin mendapat kekuatan, dan proses tersebut telah dan akan semakin menenggelamkan agenda pembangunan berkelanjutan.
Dalam tulisannya, Sonny Keraf menyebutkan ada dua penyebab kegagalan penerapan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Menurut pendapatnya salah satu sebab dari kegagalan mengimplementasikan paradigma tersebut adalah, paradigma tersebut kurang dipahami sebagai prinsip-prinsip kerja yang menentukan dan menjiwai seluruh proses pembangunan. Paradigma ini tidak dipahami sebagai bentuk prinsip pokok politik pembangunan itu sendiri. Pada akhir cita-cita yang dituju dan ingin diwujudkan dibalik paradigma tersebut tidak tercapai. Karena, prinsip politik pembangunan yang seharusnya menuntut pemerintah dan semua pihak lainnya dalam rencana dan implementasi pembangunan tidak dipatuhi dengan kata lain, paradigma pembangunan berkelanjutan harus dipahami sebagai etika politik pembangunan, yaitu sebuah komitmen moral tentang bagaimana seharusnya pembangunan itu diorganisir dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Dalam kaitan dengan itu, paradigma pembangunan berkelanjutan bukti sebuah konsep tentang pembangunan lingkungan hidup. Paradigma pembangunan berkelanjutan juga bukan hanya tentang pembangunan ekonomi. Ini sebuah etika politik pembangunan mengenai pembangunan secara keseluruhan dan bagaimana pembangunan itu seharusnya dijalankan. Dalam arti ini, selama paradigma pembangunan berkelanjutan tersebut tidak dipahami, atau dipahami secara luas, cita-cita moral yang terkandung di dalamnya tidak akan terwujud . Alasan kedua, mengapa paradigma itu tidak jalan, khususnya mengapa krisis ekologi tetap saja terjadi, karena paradigma tersebut kembali menegaskan ideologi developmentalisme. Apa yang dicapai di KTT Bumi di Rio de Janeiro tujuh belas tahun lalu, tidak lain adalah sebuah kompromi usulan tentang pembangunan, dengan fokus utama berupa pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, selama tujuh belas tahun terakhir ini, tidak banyak perubahan yang dialami semua negara di dunia dalam rangka mengoreksi pembangunan ekonominya yang tetap saja sama, yaitu penguasaan dan eksploitasi sumber daya alam dengan segala dampak negatifnya bagi lingkungan hidup, baik kerusakan sumber daya alam maupun pencemaran lingkungan hidup. 
Sekalipun pembangunan berkelanjutan berada pada suatu titik terendah, menurut Martin Khor, namun muncul juga tanda kebangkitannya kembali sebagai suatu paradigma. Keterbatasan dan kegagalan globalisasi telah menyebabkan munculnya reaksi negatif dari sebagian masyarakat yang pada akhirnya mungkin akan berdampak pada terjadinya perubahan sejumlah kebijakan. Dengan munculnya kekuatan pro pembangunan berkelanjutan dalam pemerintahan di negara-negara sedang berkembang (NSB) mereka menjadi lebih sadar akan hak-hak dan tanggungjawab untuk meralat berbagai persoalan yang ada pada saat ini termasuk mengubah sejumlah peraturan dalam WTO.  World Summit On Sustainable Development - WSSD (Konferensi Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan) memberikan kesempatan untuk memusatkan kembali perhatian masyarakat maupun upaya-upaya pemantapan, bukan semata-mata mengenai persoalan itu, melainkan juga kebutuhan untuk menggeser paradigma-paradigma. 
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di Indonesia patut di catat penilaian dari D. Pearce & G Atkinson dalam tulisanya “A Measure of Sustainable Development” sebagaimana dikutip oleh Soerjani. Dua penulis ini menilai pembangunan Indonesia dinilai masih belum sustainable. Hal ini dengan alasan bahwa depresiasi sumber daya alam Indonesia besarnya adalah 17% dari GDB, sedangkan investasinya hanya 15 %. Pembangunan itu baru dinilai sustainable dalam memanfaatkan sumber daya alam itu melalui rekayasa teknologi dan seni, sehingga kalau yang kita konsumsi nilai tambahnya, sangat mungkin dapat ditabung untuk investasi senilai 17% atau bahkan lebih. Jadi jelas bahwa kemampuan sumber daya manusia untuk memberi “nilai tambah” sumber daya pendukung pembangunan melalui penerapan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni merupakan kunci apakah pembangunan yang dilaksanakan itu sustainable berkelanjutan, berkesinambungan atau tidak.
Dengan demikian sekalipun secara formal sudah jelas pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia harus berupa Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan Hidup tetapi masih baru pada tataran das solen dan melalui perangkat hukum diharapkan dapat diwujudkan pada tataran das sein. Namun keberhasilan ini masih tergantung pada banyak faktor, selain faktor yang bersifat yuridis, juga politis dan budaya termasuk kondisi sumber daya manusia yang menjadi pelaksanaanya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar