
Harmonisasi
Regulasi Antar Sektor dalam Pengelolaan
Sumber Daya Alam
5.1. Disharmoni/Inkonsistensi
Peraturan Perundang-Undangan Sumber Daya Alam (SDA)
Kajian normatif
berbagai peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya alam menunjukkan
adanya kecenderungan terhadap pelanggaran asas sinkronisasi vertikal dan/atau
sinkronisasi horisontal. Bahkan, tidak jarang, dalam suatu undang-undang,
terdapat pula inkonsitensi secara
internal.
a. Inkonsistensi vertikal.
Dari penelusuran
terkait keputusan MK terhadap uji materi beberapa Undang-Undang Sumber Daya
Aalam (UUSDA) dinyatakan bahwa UUSDA tersebut bertentangan dengan UUD Negara RI
Tahun 1945, khususnya terkait Pasal 33 ayat (2) dan/atau ayat (3) dan/atau ayat
(4), di samping berbagai pasal lainnya yang berakibat terhadap ketiadaan
kekuatan mengikat pasal-pasal tertentu dalam UU yang bersangkutan. Beberapa
contoh dapat dikemukakan dalam putusan MK berikut.
1.
Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. MK
menghapuskan Pasal 22 ayat (1).
2.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. MK membatalkan
UU tersebut.
3.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Khusus
tentang jangka waktu HGU, HGB dan Hak Pakai, MK berpendapat bahwa hal itu dapat
mengurangi prinsip penguasaan oleh negara, serta memperlemah, bahkan
menghilangkan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Oleh karena itu pemberian,
perpanjangan, dan pembaruan HGU, HGB dan Hak Pakai berlaku ketentuan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang
HGU, HGB dan Hak Pakai atas Tanah.
4.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. MK menyatakan
14 pasal dalam UU tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Sebagai catatan
dapat dikemukakan bahwa inkonsistensi vertikal Undang-Undang Sumber Daya Alam
(UUSDA) terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 itu dampaknya boleh jadi tidak atau
belum dirasakan atau dialami secara langsung dalam implementasi UUSDA yang
bersangkutan. Yang lebih memprihatinkan adalah tumpang tindih antar berbagai UUSDA, implementasi dan
dampaknya. Jika inkonsistensi vertikal antar UUSDA dengan UUD Negara RI Tahun
1945 penyelesaiannya sudah jelas, yakni melalui uji materi ke MK, maka
penyelesaian inkonsistensi horisontal antar UUSDA tidaklah sederhana.
b. Tumpang tindih
pengaturan SDA.
Kajian terhadap
12 UUSDA yang dilakukan dengan menetapkan tujuh tolok ukur menunjukkan bahwa
berbagai UUSDA itu tidak sinkron, bahkan tumpang tindih satu sama lain ( dalam
Maria SW Sumardjono, Nurhasan Ismail, Ernan Rustiadi, abdullah Aman Damai,
2011), Khusus terkait tumpang tindih antara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria (UUPA) dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK) dan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan
Pokok Pertambangan (UUP) (direvisi dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba)) dapat dicermati dalam matriks
berikut.
Matrik 1
UU
|
|
|
|
Tolok
Ukur
|
|
|
|
Kelompok
SDA
|
|
Orientasi
(eksploitasi
atau konservasi)
|
Keberpihakan
(pro
– rakyat
atau pro – kapital)
|
Pengelolaan
(sentralistik/ desentralistik, sikap terhadap pluralisme hk) dan
Implementasinya
(sektoral, koordinasi, orientasi produksi)
|
Perlindungan
HAM
(gender, pengakuan
MHA,
penyelesaian sengketa)
|
Pengaturan
Good
Governance
(partisipasi, transparansi dan
akuntabilitas)
|
Hubungan
Orang dan SDA
(hak atau
izin)
|
Hubungan
Negara dan SDA
|
|||
A.
|
Undang-Undang Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – pokok
Agraria
|
Konservasi (Ps
15), nasionalisme
(Ps 9 [1],
21 [1])
|
Pro – rakyat (Ps 2 [3], 7, 11, 13), berfungsi sosial (Ps 6, 8)
Anti monopoli swasta (Ps 13[2])
Pembatasan (Ps 7)
|
Sentralistik (Ps 2 [1] dan
Penjelasan), mengakomodasi
pluralisme hukum (Ps 3 dan 5) Ada medebewind (Ps 2 [4])
Koordinasi dan intergrasi (Ps
1, 4, 8)
|
Kesetaraan Gender (Ps
9 [2]) Pengakuan MHA
(Ps 3, 5, II, VI KK),
Penyelesaian sengketa
(tidak diatur)
|
Tidak diatur
secara eksplisit
|
Hak (Ps 4 dan 16, 20 –
48)
|
HMN (Ps 2)
- Tanah
Negara
- Tanah
Ulayat
- Tanah
Hak
|
SDA meliputi kelompok:
a. permukaan
bumi dan tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air,
b. perairan
pedalaman maupun laut,
c. ruang
angkasa di atas bumi dan air.
|
B.
|
Undang-Undang Nomor 11/1967 tentang Ketentuan – ketentuan Pokok
Pertambangan
|
Eksploitasi
(“Menimbang”
Huruf
a)
|
Pro – kapital (Ps 5
– 12, Pjs Umum
Alinea 4)
|
Sentralistik (Ps 4), kecuali
Gol C (Ps 4 [2]), ada juga medebewind (Ps
4 [3]).
Pluralisme hukum (tidak diatur)
Sektoral (Ps 4);
Orientasi produksi; spesifik.
|
Tidak diatur
|
Tidak diatur
secara eksplisit
|
Kuasa pertambangan, adalah wewenang yang
diberikan kepada badan / perseorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan
(Ps 2 [i] dll), Perjanjian
Karya (Ps 10), Kuasa
(Izin) Pertambangan
Rakyat (Ps 2 [n], 11)
|
Dikuasai dan dipergunakan oleh
Negara (Ps
1)
|
Endapan-endapan
alam di daratan maupun di bawah perairan
|
UU
|
|
|
|
Tolok
Ukur
|
|
|
|
Kelompok
SDA
|
|
Orientasi
(eksploitasi
atau konservasi)
|
Keberpihakan
(pro – rakyat atau pro – kapital)
|
Pengelolaan
(sentralistik/ desentralistik, sikap
terhadap pluralisme hk) dan Implementasinya
(sektoral,
koordinasi, orientasi produksi)
|
Perlindungan
HAM
(gender,
pengakuan MHA, penyelesaian sengketa)
|
Pengaturan
Good
Governance
(partisipasi, transparansi dan
akuntabilitas)
|
Hubungan
Orang dan SDA
(hak atau
izin)
|
Hubungan
Negara dan SDA
|
|||
C.
|
Undang-Undang
Nomor 41/1999 tentang Kehutanan
|
Eksploitasi dan Konservasi
berimbang (“Menimbang” dan Pjs Umum).
Eksploitasi (Ps 23
– 39)
Konservasi
(Ps 40 – 51)
|
Pro
– rakyat di konsiderans (“Menimbang”
dan
Pjs Umum), tetapi Pro – kapital
dlm substansi (Ps 27 –
32)
|
Sentralisitik,
daerah hanya operasional (Ps 4 [1], [2],
66, Pjs Umum). Pluralisme hukum
(tidak diatur)
Sektoral (Ps 4, 6, 7, 8, dst. Pjs Umum); orientasi
produksi; spesifik.
|
Kesetaraan Gender (tidak
diatur), Pengakuan MHA (hanya “memperhatikan hak
MHA”)
hutan adat dimasukkan sbg hutan Negara) (Ps 4 [3], 5, 17 [2], 37,67, Pjs
Umum),
Penyelesaian Sengketa (Ps 74
– 76)
|
Partisipasi,
Transparansi,
Akuntabilitas (Ps 2, 11
[2], 42 [2], 60 [2], 62,
64, 68 – 70, Pjs Umum),
terdapat gugat perwakilan (Ps 71 –
73)
|
Izin (Ps 26 – 32, Pjs Umum),
izin pinjam pakai (Ps 38 [2] dan [5]), misal:
izin usaha pemanfaatan hasil
hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan
hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu (Ps 28
[2]).
|
Dikuasai oleh Negara
(HMN) (Ps 4 [1], [2], Pjs
Umum);
- Hutan
Negara
- Hutan
Hak
|
Kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan. Kawasan hutan dikelompokkan sebagai:
a. Kawasan
lindung.
b. Kawasan
hutan produksi.
|
Secara lebih ringkas, inkonsistensi
antara UUPA dengan UU Kehutanan dapat dilihat dalam matriks berikut.
Matriks 2
Ketidakkonsistenan antara UUPA dengan UU
Kehutanan
ASPEK
|
UUPA
|
UU
Kehutanan
|
||
Tekstual
|
Kontekstual
|
Tekstual
|
Kontekstual
|
|
Orientasi
|
Konservasi.
|
Konservasi
|
Produksi
& konservasi
|
Keseimbangan
antara produksi & konservasi
|
Akses
Memanfaatkan
|
Orang perorangan
(WNA/WNI)
Badan hukum
(Indonesia/asing)
|
Keadilan
komutatif
|
Badan Usaha
Negara &
warga masyarakat
|
Keadilan
distributif
|
Hubungan
Negara dengan Obyek
|
Negara menguasai
|
Hak Bangsa
& HMN
|
Kekayaan
Nasional
& dikuasai Negara
|
HMN
disubordinasikan
pada Hak Bangsa
|
Pelaksana
Kewenangan
Negara
|
Pemerintah
|
Sentralistik,
ada medebewind
|
Pemerintah,
Pemda pelaksana
|
Sentralistik
|
Hubungan
Orang dengan Obyek
|
Hak
|
Kontrol
Negara
|
Ijin
pemanfaatan
|
Kontrol
Negara
|
HAM
|
-
Gender
-
Hak ulayat MHA
|
Pengakuan
|
MHA diakui;
Hutan Ulayat menjadi hutan
Negara
|
Pengakuan
setengah hati
|
Good
Governance
|
Tidak
disebut dengan tegas
|
Dapat dijumpai dalam beberapa
ketentuan
(fungsi
sosial, larangan monopoli)
|
Tiga prinsip
|
Relatif
cukup
|
Tumpang tindih
antara UUPA dengan UUK antara lain dapat diindikasikan pada hal-hal berikut:
·
Dalam hubungan antara negara dengan
tanah menurut UUPA, diakui keberadaan tiga entitas, yakni tanah negara, tanah
(hak) ulayat masyarakat hukum adat (MHA) dan tanah hak yakni tanah yang
dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah menurut UUPA oleh orang perorangan
maupun badan hukum. Namun, dalam hubungan hukum antara negara dengan hutan,
yang muncul hanyalah dua entitas, yakni hutan negara (“hutan yang berada pada
tanah yang tidak dibebani hak atas tanah”) dan hutan hak. Adapun hutan adat
adalah hutan negara yang berada di wilayah MHA. Dengan perkataan lain, hutan
adat dimasukkan dalam kategori hutan negara. Dengan perkataan lain hutan adat
dimasukkan dalam kategori hutan negara.
Pemahaman tentang
status hutan tersebut berimplikasi terhadap dua hal: Pertama, UUK tidak
mengakui keberadaan hutan adat, yang sejatinya merupakan bagian dari hak ulayat
MHA. Namun demikian, UUK yang tidak mengakui keberadaan hutan adat itu, mengakui
dan menentukan persyaratan keberadaan MHA; hal ini merupakan suatu kontradiksi
karena UUK tidak mengakui obyeknya (hutan adat) tetapi mengakui keberadaan
subyeknya (MHA) jika memenuhi persyaratan. Jika terjadi sengketa hak ulayat MHA
terkait dengan hutan adat, penyelesaiannya menurut UUPA dan UUK akan berbeda.
Kedua, terkait status
hutan, disebutkan bahwa hutan negara adalah “hutan yang berada pada tanah yang
tidak dibebani dengan hak atas tanah”. Dalam konteks UUPA, tanah yang tidak
dibebani dengan hak atas tanah itu adalah tanah
negara (garis bawah oleh penulis). Dengan demikian konsekuensinya adalah:
(a) tanah-tanah di kawasan hutan negara itu sejatinya adalah tanah negara.
Namun demikian, dalam praktik administrasi, terjadi hambatan dalam pengadministrasian
tanah negara di kawasan hutan. Sampai dengan saat ini pengadministrasian tanah
negara pada umumnya berlaku di kawasan non hutan, padahal sesuai dengan
pemahaman terkait hutan negara dalam konteks
UUK sendiri, pengadministrasian tanah negara seharusnya dilakukan di
seluruh wilayah RI tanpa membedakan kawasan hutan atau non hutan, sesuai amanat
Pasal 19 UUPA. Jelas dalam hal ini bahwa dampak inkonsistensi tersebut adalah
koordinasi dan kewenangan pengelolaan yang “gagap” atau “raguragu”.
Matriks 3
Ketidakkonsistenan antara UUPA dengan UU
Minerba
ASPEK
|
UUPA
|
UU
Minerba
|
||
Tekstual
|
Kontekstual
|
Tekstual
|
Kontekstual
|
|
Orientasi
|
Konservasi.
|
Konservasi
|
Produksi
& konservasi
|
Tekanan pada
produksi
|
Akses
Memanfaatkan
|
Orang perorangan
(WNA/WNI)
Badan hukum
(Indonesia/asing)
|
Keadilan
komutatif
|
BUMN/D, BUMS,
Koperasi,
perorangan
|
Keadilan
distributif
|
Hubungan
Negara dengan Obyek
|
Negara menguasai
|
Hak Bangsa
& HMN
|
Kekayaan
Nasional
& dikuasai Negara
|
HMN
disubordinasikan
pada Hak Bangsa
|
Pelaksana
Kewenangan
Negara
|
Pemerintah
|
Sentralistik,
ada medebewind
|
Pemerintah,
Pemda, DPR-RI
|
Desentralistik
|
Hubungan
Orang dengan Obyek
|
Hak
|
Kontrol
Negara
|
Ijin
|
Kontrol
Negara
|
HAM
|
- Gender
- Hak
ulayat MHA
|
Pengakuan
|
Masyarakat yang terkena dampak
negatif,
masyarakat yang tanahnya
terdapat
sumberdaya
minerba
|
Tidak
mengatur tentang gender,
MHA
|
Good
Governance
|
Tidak
disebut dengan tegas
|
Dapat dijumpai dalam beberapa
ketentuan
(fungsi
sosial, larangan monopoli)
|
Tiga prinsip
|
Relatif
tinggi
|
Sebagai catatan
dapat dikemukakan bahwa UU Minerba tidak mengatur secara eksplisit tentang hak
ulayat Masyarakat Hukum Adat (MHA). Mengingat lokasi kegiatan terkait minerba
pada umumnya dilakukan di luar pulau Jawa, maka kemungkinan untuk bersinggungan
dengan tanah ulayat MHA besar sekali.
Pertanyaannya,
apakah UU Minerba alpa mengatur tentang hal ini? Atau, apakah UU Minerba beranggapan bahwa pemberian
ganti kerugian kepada MHA sama saja dengan pemberian ganti kerugian kepada
masyarakat?
Semestinya hal
ini tidak diabaikan karena untuk pemberian ganti kerugian kepada MHA perlu
dipahami kerugian apa saja yang dapat dialami oleh MHA dan apa bentuk ganti
kerugiannya yang adil. Kegiatan minerba yang bersinggungan dengan hak ulayat
MHA dapat menimbulkan kerugian bagi MHA karena (1) kehilangan tanah (pertanian,
pekarangan, akses ke hutan dan SDA lain, tanah bersama); (2) kehilangan
bangunan; (3) kehilangan pendapatan dan sumber penghidupan karena
ketergantungannya kepada hutan dan SDA lainnya; (4) kehilangan pusat kehidupan
dan budaya.
Adapun ganti
kerugiannya dapat berbentuk: penggantian tanah kepunyaan bersama, penggantian
bangunan, relokasi, akses ke sumberdaya alam. Untuk ganti kerugian terhadap
kehilangan pendapatan dapat diberikan dalam bentuk pemberian dana abadi,
pemberian kesempatan kerja, pelatihan, permodalan, dll.
Matriks 4
Ketidakkonsistenan
antara UUPA dengan UU SDAir
ASPEK
|
UUPA
|
UU
SDA
|
||
Tekstual
|
Kontekstual
|
Tekstual
|
Kontekstual
|
|
Orientasi
|
Konservasi.
|
Konservasi
|
Produksi
& konservasi
|
Tekanan pada
konservasi
|
Akses
Memanfaatkan
|
Orang perorangan
(WNA/WNI)
Badan hukum
(Indonesia/asing)
|
Keadilan
komutatif
|
Semua
kelompok kegiatan
|
Keadilan
korektif
|
Hubungan
Negara
dengan Obyek
|
Negara menguasai
|
Hak Bangsa
& HMN
|
SDA dikuasai Negara
|
HMN
|
Pelaksana
Kewenangan
Negara
|
Pemerintah
|
Sentralistik,
ada medebewind
|
Pemerintah dan/atau Pemda
|
Dapat
sentralistik atau desentralistik
|
Hubungan
Orang dengan
Obyek
|
Hak
|
Kontrol
Negara
|
Perijinan,
HGPA + HGUA tidak jelas
|
Kontrol
Negara
|
HAM
|
-
Gender
- Hak
ulayat MHA
|
Pengakuan
|
Pengakuan
Hak Ulayat MHA
|
Pengakuan bersyarat
|
Good
Governance
|
Tidak
disebut dengan tegas
|
Dapat dijumpai dalam beberapa
ketentuan
(fungsi
sosial, larangan monopoli)
|
Tiga prinsip
|
Relatif
tinggi
|
UUSDA menentukan
hubungan hukum antara orang perorangan maupun badan hukum dengan SDA dalam
bentuk Hak Guna Air (HGA). Lebih lanjut HGA dibedakan menjadi Hak Guna Pakai
Air (HGPA) dan Hak Guna Usaha Air
(HGUA). Walaupun
menggunakan istilah “hak”, namun yang dimaksudkan dengan HGA, HGPA dan HGUA
adalah “ijin”. Hal ini sudah tepat, karena hubungan antara
orang-perorangan/badan hukum dengan air adalah hubungan pemanfaatan. Jika
dilihat dari asalnya terkait dengan istilah HGA diatur dalam Pasal 47 UUPA,
namun konteks HGA dalam UUPA berbeda dengan UUSDA.
UUSDA mengakui
hak ulayat MHA. Pasal 6 ayat (3) menentukan: “hak ulayat MHA atas SDA tetap
diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan Perda
setempat”. Fungsi Perda dalam hal ini harus dipahami sebagai penetapan yang
bersifat declaratoir dan bukan konstitutif.
Matriks 5
Ketidakkonsistenan antara UUPR dengan UU
Kehutanan
ASPEK
|
UUPR
|
UU
Kehutanan
|
||
Tekstual
|
Kontekstual
|
Tekstual
|
Kontekstual
|
|
Orientasi
|
Ruang konservasi
& produksi
(budidaya)
|
Tekanan
pada konservasi
|
Produksi & konservasi
|
Keseimbangan
antara produksi & konservasi
|
Akses
Memanfaatkan
|
Investasii
& usaha rakyat
|
Keadilan
komutatif
|
Badan Usaha Negara & warga
masyarakat
|
Keadilan
distributif
|
Hubungan
Negara dengan Obyek
|
Tidak tegas
menyebutkan
|
Hak Bangsa & HMN
|
Kekayaan
Nasional & dikuasai Negara
|
HMN
disubordinasikan pada Hak Bangsa
|
Pelaksana
Kewenangan
Negara
|
Pemerintah
& Pemda
|
Pembagian
kewenangan
|
Pemerintah,
Pemda pelaksana
|
Sentralistik
|
Hubungan
Orang dengan Obyek
|
Ijin
pemanfaatan ruang
|
Kontrol
Negara
|
Ijin
pemanfaatan
|
Kontrol
Negara
|
HAM
|
Memberi perhatian pada
MHA
|
Tidak dlm
rangka pengakuan
|
MHA diakui & Hutan
Ulayat menjadi hutan Negara
|
Pengakuan
setengah hati
|
Good
Governance
|
Ketiga
prinsip
|
Cukup
tinggi
|
Ketiga
prinsip
|
Relatif
cukup
|
Matriks 6
Ketidakkonsistenan antara UU Kehutanan dengan
UU Minerba
ASPEK
|
UU
Kehutanan
|
UU
Minerba
|
||
Tekstual
|
Kontekstual
|
Tekstual
|
Kontekstual
|
|
Orientasi
|
Produksi
& konservasi
|
Keseimbangan
antara produksi & konservasi
|
Produksi
& konservasi
|
Tekanan pada produksi
|
Akses
Memanfaatka
n
|
Badan Usaha
Negara &
warga masyarakat
|
Keadilan
distributif
|
BUMN/D, BUMS,
Koperasi, perorangan
|
Keadilan
distributif
|
Hubungan
Negara
dengan Obyek
|
Kekayaan Nasional &
dikuasai Negara
|
HMN
disubordinasikan pada Hak Bangsa
|
Kekayaan Nasional &
dikuasai Negara
|
HMN
disubordinasikan pada Hak Bangsa
|
Pelaksana
Kewenangan
Negara
|
Pemerintah,
Pemda pelaksana
|
Sentralistik
|
Pemerintah,
Pemda, DPR-RI
|
Desentralistik
|
Hubungan
|
|
|
|
|
Orang dengan
Obyek
|
Ijin
pemanfaatan
|
Kontrol
Negara
|
Ijin
|
Kontrol
Negara
|
HAM
|
MHA diakui & Hutan
Ulayat menjadi hutan Negara
|
Pengakuan
setengah hati
|
Masyarakat yang terkena dampak
negatif,
masyarakat yang tanahnya
terdapat
sumberdaya minerba
|
Tidak mengatur tentang gender,
MHA
|
Good
Governance
|
Ketiga
prinsip
|
Relatif
cukup
|
Tiga prinsip
|
Relatif
tinggi
|
Matriks 7
Ketidakkonsistenan antara UU Kehutanan dengan
UU SDAir
ASPEK
|
UU
Kehutanan
|
UU
SDA
|
||
Tekstual
|
Kontekstual
|
Tekstual
|
Kontekstual
|
|
Orientasi
|
Produksi
& konservasi
|
Keseimbangan
antara produksi & konservasi
|
Produksi
& konservasi
|
Tekanan pada
konservasi
|
Akses
Memanfaatkan
|
Badan Usaha
Negara &
warga masyarakat
|
Keadilan
distributif
|
Semua
kelompok kegiatan
|
Keadilan
korektif
|
Hubungan
Negara dengan Obyek
|
Kekayaan Nasional &
dikuasai Negara
|
HMN
disubordinasikan pada Hak Bangsa
|
SDA dikuasai Negara
|
HMN
|
Pelaksana
Kewenangan
Negara
|
Pemerintah,
Pemda pelaksana
|
Sentralistik
|
Pemerintah dan/atau Pemda
|
Dapat
sentralistik atau desentralistik
|
Hubungan
Orang dengan
Obyek
|
Ijin
pemanfaatan
|
Kontrol
Negara
|
Perijinan,
HGPA + HGUA tidak jelas
|
Kontrol
Negara
|
HAM
|
MHA diakui & Hutan
Ulayat menjadi hutan Negara
|
Pengakuan
setengah hati
|
Pengakuan
Hak Ulayat MHA
|
Pengakuan
bersyarat
|
Good
Governance
|
Tiga
prinsip
|
Relatif
cukup
|
Tiga prinsip
|
Relatif
tinggi
|
Matriks 8
Ketidakkonsistenan antara UU Minerba dengan UU
SDAir
ASPEK
|
UU
Minerba
|
UU
SDA
|
||
Tekstual
|
Kontekstual
|
Tekstual
|
Kontekstual
|
|
Orientasi
|
Produksi
& konservasi
|
Tekanan pada produksi
|
Produksi
& konservasi
|
Tekanan pada
konservasi
|
Akses
Memanfaatkan
|
BUMN/D, BUMS,
Koperasi, perorangan
|
Keadilan
distributif
|
Semua
kelompok kegiatan
|
Keadilan
korektif
|
Hubungan
Negara dengan Obyek
|
Kekayaan Nasional & dikuasai
Negara
|
HMN
disubordinasikan pada Hak Bangsa
|
SDA dikuasai Negara
|
HMN
|
Pelaksana
Kewenangan
Negara
|
Pemerintah,
Pemda, DPR-RI
|
Desentralistik
|
Pemerintah dan/atau Pemda
|
Dapat
sentralistik atau desentralistik
|
Hubungan
Orang dengan
Obyek
|
Ijin
|
Kontrol
Negara
|
Perijinan,
HGPA + HGUA tidak jelas
|
Kontrol
Negara
|
HAM
|
Masyarakat yang terkena dampak
negatif,
masyarakat yang tanahnya terdapat
sumberdaya
minerba
|
Tidak mengatur tentang gender,
MHA
|
Pengakuan
Hak Ulayat MHA
|
Pengakuan
bersyarat
|
Good
Governance
|
Tiga prinsip
|
Relatif
tinggi
|
Tiga prinsip
|
Relatif
tinggi
|
5. 2. Harmonisasi
Regulasi Pengaturan SDA
a. Tumpang tindih pengaturan SDA
merupakan penyakit kronis sejak tahun 1970-an.
Dampak dari
inkonsistensi peraturan perundang-undangan SDA antara lain adalah sebagai
berikut.
1)
kelangkaan dan kemunduran kualitas dan
kuantitas SDA;
2)
ketimpangan struktur
penguasaan/pemilikan, peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan SDA;
3)
timbulnya berbagai konflik dan
sengketa dalam penguasaan/pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan SDA (antar
sektor, antara sektor dengan MHA/masyarakat, antara investor dengan
MHA/masyarakat, dan antar investor terkait hak/ijin pemanfaatan SDA).
Penyelesaian
masalah tumpang tindih itu tidak mudah karena masing-masing sektor berpegang
kepada UU sektoralnya dan UU sektoral itu sama derajatnya. UUPA, yang pada
awalnya dimaksudkan untuk dapat dijadikan landasan bagi pengaturan lebih lanjut
peraturan perundang-undangan di bidang SDA, telah didegradasikan kedudukannya
sejak awal 1970-an seiring dengan terbitnya berbagai UU sektoral. UUPA
sama sekali tidak dimuat dalam
konsiderans UU sektoral, semua UU sektoral langsung mengacu kepada Pasal 33
ayat (3) UUD Negara RI 1945.
Tumpang tindih
substansi dalam pengaturan SDA tersebut seiring sejalan dengan tidak adanya
satu kementerian/departemen yang berwenang untuk mengkoordinasikan kebijakan
terkait SDA dan implementasinya. Masingmasing sektor dinaungi oleh Kementerian
dan semenjak tahun 1988, sektor pertanahan dinaungi oleh Badan Pertanahan
Nasional.
Undang-undang
sektoral yang proses penerbitannya melalui lembaga legislatif itu tidak dijamin
bebas dari tumpang tindih karena pembahasan UU sektoral dilakukan melalui
komisi-komisi yang berbeda sesuai bidang masing-masing. Tugas harmonisasi yang
dibebankan pada Kementerian Hukum dan HAM juga tidak selalu dapat diharapkan
hasilnya yang maksimal karena berbagai kendala. Di tengah-tengah berbagai
permasalahan tersebut, jalan keluarnya, walaupun tidak mudah, harus ditempuh.
b. Kata kunci:
harmonisasi dan koordinasi.
Telah digambarkan
sebelumnya bahwa mengupayakan solusi ini “mudah dikatakan” tapi tidak selalu
mudah dilaksanakan, kecuali dengan itikad baik dan komitmen semua pihak.
Upaya-upaya tersebut di atas antara lain adalah sebagai berikut.
1)
Penghentian sementara (moratorium)
penyusunan UU sektoral sambil memberikan kesempatan kepada DPR-RI untuk
melakukan legislative review terhadap UU sektoral yang diindikasikan
tumpang tindih. Usulan moratorium itu mudah dikatakan tetapi sulit
dilaksanakan, karena: (1) tidak ada landasan hukum yang secara eksplisit
memerintahkan moratorium tersebut (walaupun secara implisit hal tersebut
dirumuskan dalam TAP MPR RI No. IX/MPR/2001, khususnya arah kebijakan huruf a):
dan (2) akan bertabrakan dengan urgensi penyusunan peraturan perundang-undangan
sektoral, baik yang berupa UU yang sama sekali baru ataupun UU yang dimaksudkan
untuk menyempurnakan/melengkapi UU sebelumnya.
2)
Jikalau hal ini “terpaksa” dilakukan/
tidak dapat ditunda, diperlukan upaya untuk meminimalkan kemungkinan
ketidaksinkronan baik vertikal maupun horisontal. Untuk menunjang sinkronisasi
horisontal tersebut, maka penyusunan Naskah Akademik harus betul-betul berkualitas,
dengan memberikan waktu dan perhatian khusus untuk memahami semua peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan UU sektoral yang diusulkan tersebut.
Upaya ini paling tidak, akan dapat meminimalkan tumpang tindih dengan UU
sektoral lain.
3)
Harmonisasi yang ideal, hanya dapat
dicapai bila ada undang-undang yang berlaku sebagai lex generalis bagi semua
pengaturan terkait SDA. UU itu akan dapat diwujudkan bila ada kemauan bersama
antar sektor untuk duduk bersama menyusun asas-asas/prinsip-prinsip pengelolaan
dan pemanfaatan SDA sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan oleh
Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001. Sebelum UU yang bersifat lex generalis itu
terbentuk, tumpang tindih masih belum dapat dihindari sepenuhnya karena setiap
sektor mempunyai visi dan misinya masing-masing yang belum tentu sejalan dengan
visi dan misi sektor lain.
4)
Upaya lain untuk harmonisasi
pengaturan SDA adalah legislative review
terhadap UU sektoral yang tumpang tindih. Untuk melakukan hal ini diperlukan
komitmen dari DPR-RI untuk menginisiasinya. Legislative review dilakukan karena
hal ini sesuai dengan arah Kebijakan Pembaruan Agraria sebagaimana dimuat oleh
TAP MPR RI No. IX/MPR/2001, yakni:
“Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan
perundangundangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan
antarsektor demi terwujudnya peraturan
perundangundangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip Pembangunan Sumber Daya Agraria
dan Pembangunan Sumber Daya Alam”.
Kaji ulang
peraturan perundang-undangan sektoral, paling tidak terhadap lebih dari 12 UU
telah dilakukan (lihat a.l. studi Maria Sumardjono, dkk). Jika diperlukan,
dapat dilakukan tambahan kaji ulang peraturan perundang-undangan yang belum sempat dilakukan. Berdasarkan
hasil kajian tersebut, dapat dilakukan legislative review terhadap peraturan
perundang-undangan sektoral yang bersangkutan. Upaya legislative review juga
tidak dapat diharapkan maksimal hasilnya karena belum adanya UU terkait SDA
yang bersifat lex generalis. Sementara UU lex generalis itu belum ada,
setidaknya “batu uji” sinkronisasi horisontal dapat dilandaskan pada
prinsip-prinsip dasar yang diatur UUPA dan TAP MPR RI No. IX/MPR/2001.
Oleh karena itu,
tidak kalah pentingnya untuk meletakkan dasar bahwa hukum (di bidang SDA) itu
merupakan sistem, yakni dengan mengagendakan terbentuknya UU terkait
pengelolaan dan pemanfaatan SDA/SD Agraria sebagai lex generalis yang akan menjadi landasan bagi peraturan
perundang-undangan sektoral (lex
specialis) untuk menyesuaikan diri setelah terbitnya UU yang bersifat lex generalis tersebut.
Demikian pula,
perlu dipertimbangkan gagasan untuk adanya suatu kementerian yang mempunyai
tugas pokok dan fungsi mengkoordinasikan kebijakan dan peraturan
perundang-undangan di bidang SDA dan implementasinya. Barangkali dapat dicontoh
keberadaan Ministry of Land and Resources
di RRC.
Tanpa adanya
kesadaran untuk melakukan tindakan konkrit untuk mengatasi masalah tumpang
tindih pengaturan SDA, maka dampak negatif sebagaimana diuraikan di atas tetap
akan berlangsung dalam skala yang lebih luas.
Memperjuangkan
keberlanjutan SDA, keadilan untuk memiliki/menguasai dan memanfaatkannya, serta
menyelesaikan konflik terkait SDA yang sudah mencapai titik yang sangat rawan,
adalah pekerjaan rumah yang tidak pernah akan selesai, jika upaya ke arah itu
belum dilakukan secara terkoordinasi dengan dilandasi oleh
semangat bersinergi antar semua pihak terkait.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar