Minggu, 03 Mei 2015

DIKTAT HUKUM SDA - BAB V

Bagian V
Harmonisasi Regulasi Antar Sektor  dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam


5.1. Disharmoni/Inkonsistensi Peraturan Perundang-Undangan Sumber Daya Alam (SDA)
Kajian normatif berbagai peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya alam menunjukkan adanya kecenderungan terhadap pelanggaran asas sinkronisasi vertikal dan/atau sinkronisasi horisontal. Bahkan, tidak jarang, dalam suatu undang-undang, terdapat pula inkonsitensi secara  internal.
a. Inkonsistensi vertikal.
Dari penelusuran terkait keputusan MK terhadap uji materi beberapa Undang-Undang Sumber Daya Aalam (UUSDA) dinyatakan bahwa UUSDA tersebut bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945, khususnya terkait Pasal 33 ayat (2) dan/atau ayat (3) dan/atau ayat (4), di samping berbagai pasal lainnya yang berakibat terhadap ketiadaan kekuatan mengikat pasal-pasal tertentu dalam UU yang bersangkutan. Beberapa contoh dapat dikemukakan dalam putusan MK berikut.
1.         Undang-Undang Nomor  22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. MK menghapuskan Pasal 22 ayat (1).
2.         Undang-Undang Nomor  2 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. MK membatalkan UU tersebut.
3.         Undang-Undang Nomor  25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Khusus tentang jangka waktu HGU, HGB dan Hak Pakai, MK berpendapat bahwa hal itu dapat mengurangi prinsip penguasaan oleh negara, serta memperlemah, bahkan menghilangkan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Oleh karena itu pemberian, perpanjangan, dan pembaruan HGU, HGB dan Hak Pakai berlaku ketentuan Undang-Undang Nomor  5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai atas Tanah.
4.         Undang-Undang Nomor  27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. MK menyatakan  14 pasal dalam UU tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa inkonsistensi vertikal Undang-Undang Sumber Daya Alam (UUSDA) terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 itu dampaknya boleh jadi tidak atau belum dirasakan atau dialami secara langsung dalam implementasi UUSDA yang bersangkutan. Yang lebih memprihatinkan adalah tumpang  tindih antar berbagai UUSDA, implementasi dan dampaknya. Jika inkonsistensi vertikal antar UUSDA dengan UUD Negara RI Tahun 1945 penyelesaiannya sudah jelas, yakni melalui uji materi ke MK, maka penyelesaian inkonsistensi horisontal antar UUSDA tidaklah sederhana.

b. Tumpang tindih pengaturan SDA.
Kajian terhadap 12 UUSDA yang dilakukan dengan menetapkan tujuh tolok ukur menunjukkan bahwa berbagai UUSDA itu tidak sinkron, bahkan tumpang tindih satu sama lain ( dalam Maria SW Sumardjono, Nurhasan Ismail, Ernan Rustiadi, abdullah Aman Damai, 2011), Khusus terkait tumpang tindih antara Undang-Undang Nomor  5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) dengan Undang-Undang Nomor  41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK) dan Undang-Undang Nomor  11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok  Pertambangan (UUP) (direvisi dengan Undang-Undang Nomor  4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba)) dapat dicermati dalam matriks berikut.


Matrik 1

UU



Tolok Ukur 



Kelompok SDA
Orientasi 
(eksploitasi atau konservasi)
Keberpihakan (pro
– rakyat atau pro – kapital)
Pengelolaan (sentralistik/ desentralistik, sikap terhadap pluralisme hk) dan
Implementasinya (sektoral, koordinasi, orientasi produksi)
Perlindungan HAM
(gender, pengakuan
MHA, penyelesaian sengketa)
Pengaturan Good
Governance
(partisipasi, transparansi dan akuntabilitas)

Hubungan Orang dan SDA
(hak atau izin)
Hubungan Negara dan SDA

A.
 Undang-Undang Nomor  5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – pokok Agraria
Konservasi (Ps
15), nasionalisme
(Ps 9 [1], 21 [1])
Pro – rakyat (Ps 2 [3],  7, 11, 13), berfungsi sosial (Ps 6, 8)
Anti monopoli swasta (Ps 13[2])
Pembatasan (Ps 7) 
Sentralistik (Ps 2 [1] dan
Penjelasan), mengakomodasi pluralisme hukum (Ps 3 dan 5)  Ada medebewind (Ps 2 [4])
Koordinasi dan intergrasi (Ps
1, 4, 8)
Kesetaraan Gender (Ps
9 [2]) Pengakuan MHA
(Ps 3, 5, II, VI KK),
Penyelesaian sengketa
(tidak diatur)
Tidak diatur secara eksplisit
Hak (Ps 4 dan 16, 20 –
48)
HMN (Ps 2)
-   Tanah Negara
-   Tanah Ulayat
-   Tanah Hak

SDA meliputi kelompok:
a.  permukaan bumi dan tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air,
b.  perairan pedalaman maupun laut,
c.  ruang angkasa di atas bumi dan air.
B.
 Undang-Undang Nomor  11/1967 tentang Ketentuan – ketentuan Pokok Pertambangan
Eksploitasi  
(“Menimbang”
Huruf a) 
Pro – kapital (Ps 5
– 12, Pjs Umum
Alinea 4)
Sentralistik (Ps 4), kecuali Gol C (Ps 4 [2]), ada juga medebewind (Ps 4 [3]).
Pluralisme hukum (tidak diatur)
Sektoral (Ps 4);
Orientasi produksi; spesifik.
Tidak diatur
Tidak diatur secara eksplisit
Kuasa  pertambangan, adalah wewenang yang diberikan kepada badan / perseorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan
 (Ps 2 [i] dll), Perjanjian
Karya (Ps 10), Kuasa
(Izin) Pertambangan
Rakyat (Ps 2 [n], 11)
Dikuasai dan dipergunakan oleh
Negara (Ps 1)
Endapan-endapan alam di daratan maupun di bawah perairan





UU



Tolok Ukur 



Kelompok SDA
Orientasi 
(eksploitasi atau konservasi)
Keberpihakan (pro – rakyat atau pro – kapital)
Pengelolaan (sentralistik/ desentralistik, sikap
terhadap pluralisme hk) dan Implementasinya
(sektoral, koordinasi, orientasi produksi)
Perlindungan HAM
(gender, pengakuan MHA, penyelesaian sengketa)
Pengaturan Good
Governance
(partisipasi, transparansi dan akuntabilitas)

Hubungan Orang dan SDA
(hak atau izin)
Hubungan Negara dan SDA

C. 

Undang-Undang Nomor  41/1999 tentang Kehutanan
Eksploitasi dan Konservasi berimbang  (“Menimbang” dan Pjs Umum).
Eksploitasi (Ps 23
– 39)
Konservasi
(Ps 40 – 51) 
Pro – rakyat di konsiderans  (“Menimbang” dan
Pjs Umum), tetapi Pro – kapital dlm substansi (Ps 27 –
32)
Sentralisitik, daerah hanya operasional (Ps 4 [1], [2],
66, Pjs Umum). Pluralisme hukum (tidak diatur)  
Sektoral (Ps 4,  6, 7, 8, dst. Pjs Umum); orientasi produksi; spesifik.
Kesetaraan Gender (tidak diatur), Pengakuan MHA (hanya “memperhatikan hak
MHA”) hutan adat dimasukkan sbg hutan Negara) (Ps 4 [3], 5, 17 [2], 37,67, Pjs Umum),
Penyelesaian Sengketa (Ps 74
– 76)
Partisipasi,
Transparansi,
Akuntabilitas (Ps 2, 11
[2], 42 [2],  60 [2], 62,
64, 68 – 70, Pjs Umum), terdapat gugat perwakilan (Ps 71 –
73)
Izin (Ps 26 – 32, Pjs Umum), izin pinjam pakai (Ps 38 [2] dan [5]), misal:
izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu (Ps 28 [2]). 

Dikuasai oleh Negara
(HMN) (Ps 4 [1], [2], Pjs Umum);
- Hutan Negara
- Hutan Hak 
Kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Kawasan hutan dikelompokkan sebagai:
a.  Kawasan lindung.
b.  Kawasan hutan produksi.



Secara lebih ringkas, inkonsistensi antara UUPA dengan UU Kehutanan dapat dilihat dalam matriks berikut.
Matriks 2
Ketidakkonsistenan antara UUPA dengan UU Kehutanan
ASPEK
UUPA
UU Kehutanan
Tekstual
Kontekstual
Tekstual
Kontekstual
Orientasi
Konservasi.
Konservasi
Produksi & konservasi
Keseimbangan antara produksi & konservasi
Akses Memanfaatkan
Orang perorangan
(WNA/WNI)
Badan hukum
(Indonesia/asing)
Keadilan komutatif
Badan Usaha
Negara & warga masyarakat
Keadilan distributif
Hubungan Negara dengan Obyek
Negara menguasai
Hak Bangsa & HMN
Kekayaan
Nasional & dikuasai Negara
HMN
disubordinasikan pada Hak Bangsa
Pelaksana
Kewenangan
Negara
Pemerintah 
Sentralistik, 
ada medebewind
Pemerintah,
Pemda pelaksana
Sentralistik
Hubungan Orang dengan Obyek
Hak 
Kontrol Negara
Ijin pemanfaatan
Kontrol Negara
HAM
-          Gender 
-          Hak ulayat MHA
Pengakuan 
MHA diakui;
Hutan Ulayat  menjadi hutan
Negara
Pengakuan setengah hati
Good Governance
Tidak disebut dengan tegas
Dapat dijumpai dalam beberapa ketentuan
(fungsi sosial, larangan monopoli)
Tiga prinsip
Relatif cukup

Tumpang tindih antara UUPA dengan UUK antara lain dapat diindikasikan pada hal-hal berikut:
·      Dalam hubungan antara negara dengan tanah menurut UUPA, diakui keberadaan tiga entitas, yakni tanah negara, tanah (hak) ulayat masyarakat hukum adat (MHA) dan tanah hak yakni tanah yang dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah menurut UUPA oleh orang perorangan maupun badan hukum. Namun, dalam hubungan hukum antara negara dengan hutan, yang muncul hanyalah dua entitas, yakni hutan negara (“hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah”) dan hutan hak. Adapun hutan adat adalah hutan negara yang berada di wilayah MHA. Dengan perkataan lain, hutan adat dimasukkan dalam kategori hutan negara. Dengan perkataan lain hutan adat dimasukkan dalam kategori hutan negara.
Pemahaman tentang status hutan tersebut berimplikasi terhadap dua hal: Pertama, UUK tidak mengakui keberadaan hutan adat, yang sejatinya merupakan bagian dari hak ulayat MHA. Namun demikian, UUK yang tidak mengakui keberadaan hutan adat itu, mengakui dan menentukan persyaratan keberadaan MHA; hal ini merupakan suatu kontradiksi karena UUK tidak mengakui obyeknya (hutan adat) tetapi mengakui keberadaan subyeknya (MHA) jika memenuhi persyaratan. Jika terjadi sengketa hak ulayat MHA terkait dengan hutan adat, penyelesaiannya menurut UUPA dan UUK akan berbeda.
Kedua, terkait status hutan, disebutkan bahwa hutan negara adalah “hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani dengan hak atas tanah”. Dalam konteks UUPA, tanah yang tidak dibebani dengan hak atas tanah itu adalah tanah negara (garis bawah oleh penulis). Dengan demikian konsekuensinya adalah: (a) tanah-tanah di kawasan hutan negara itu sejatinya adalah tanah negara. Namun demikian, dalam praktik administrasi, terjadi hambatan dalam pengadministrasian tanah negara di kawasan hutan. Sampai dengan saat ini pengadministrasian tanah negara pada umumnya berlaku di kawasan non hutan, padahal sesuai dengan pemahaman terkait hutan negara dalam konteks  UUK sendiri, pengadministrasian tanah negara seharusnya dilakukan di seluruh wilayah RI tanpa membedakan kawasan hutan atau non hutan, sesuai amanat Pasal 19 UUPA. Jelas dalam hal ini bahwa dampak inkonsistensi tersebut adalah koordinasi dan kewenangan pengelolaan yang “gagap” atau “raguragu”.

 

 

Matriks 3

Ketidakkonsistenan antara UUPA dengan UU Minerba
ASPEK
UUPA
UU Minerba
Tekstual
Kontekstual
Tekstual
Kontekstual
Orientasi
Konservasi.
Konservasi
Produksi & konservasi
Tekanan pada produksi
Akses Memanfaatkan
Orang perorangan
(WNA/WNI)
Badan hukum
(Indonesia/asing)
Keadilan komutatif
BUMN/D, BUMS,
Koperasi, perorangan
Keadilan distributif
Hubungan Negara dengan Obyek
Negara menguasai
Hak Bangsa & HMN
Kekayaan
Nasional & dikuasai Negara
HMN
disubordinasikan pada Hak Bangsa
Pelaksana
Kewenangan
Negara
Pemerintah 
Sentralistik, 
ada medebewind
Pemerintah, Pemda, DPR-RI
Desentralistik 
Hubungan Orang dengan Obyek
Hak 
Kontrol Negara
Ijin 
Kontrol Negara
HAM
- Gender 
- Hak ulayat MHA
Pengakuan 
Masyarakat yang terkena dampak
negatif,
masyarakat yang tanahnya terdapat
sumberdaya minerba
Tidak mengatur tentang gender,
MHA
Good Governance
Tidak disebut dengan tegas
Dapat dijumpai dalam beberapa ketentuan
(fungsi sosial, larangan monopoli)
Tiga prinsip
Relatif tinggi

Sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa UU Minerba tidak mengatur secara eksplisit tentang hak ulayat Masyarakat Hukum Adat (MHA). Mengingat lokasi kegiatan terkait minerba pada umumnya dilakukan di luar pulau Jawa, maka kemungkinan untuk bersinggungan dengan tanah ulayat MHA besar sekali.
Pertanyaannya, apakah UU Minerba alpa mengatur tentang hal ini? Atau,  apakah UU Minerba beranggapan bahwa pemberian ganti kerugian kepada MHA sama saja dengan pemberian ganti kerugian kepada masyarakat?
Semestinya hal ini tidak diabaikan karena untuk pemberian ganti kerugian kepada MHA perlu dipahami kerugian apa saja yang dapat dialami oleh MHA dan apa bentuk ganti kerugiannya yang adil. Kegiatan minerba yang bersinggungan dengan hak ulayat MHA dapat menimbulkan kerugian bagi MHA karena (1) kehilangan tanah (pertanian, pekarangan, akses ke hutan dan SDA lain, tanah bersama); (2) kehilangan bangunan; (3) kehilangan pendapatan dan sumber penghidupan karena ketergantungannya kepada hutan dan SDA lainnya; (4) kehilangan pusat kehidupan dan budaya. 
Adapun ganti kerugiannya dapat berbentuk: penggantian tanah kepunyaan bersama, penggantian bangunan, relokasi, akses ke sumberdaya alam. Untuk ganti kerugian terhadap kehilangan pendapatan dapat diberikan dalam bentuk pemberian dana abadi, pemberian kesempatan kerja, pelatihan, permodalan, dll.

Matriks 4

Ketidakkonsistenan antara UUPA dengan UU SDAir

ASPEK  
UUPA  
UU SDA  
Tekstual  
Kontekstual  
Tekstual  
Kontekstual  
Orientasi  
Konservasi.  
Konservasi  
Produksi & konservasi  
Tekanan pada konservasi  
Akses Memanfaatkan  
Orang perorangan
(WNA/WNI)  
Badan hukum
(Indonesia/asing)  
Keadilan komutatif  
Semua kelompok kegiatan 
Keadilan korektif 
Hubungan
Negara dengan Obyek  
Negara menguasai  
Hak Bangsa & HMN  
SDA dikuasai Negara  
HMN 
Pelaksana
Kewenangan Negara  
Pemerintah 
Sentralistik, 
ada medebewind  
Pemerintah dan/atau Pemda 
Dapat sentralistik atau desentralistik 
Hubungan
Orang dengan Obyek  
Hak 
Kontrol Negara  
Perijinan, HGPA + HGUA tidak jelas  
Kontrol Negara 
HAM  
-   Gender 
-   Hak ulayat MHA  
Pengakuan 
Pengakuan Hak Ulayat MHA 
Pengakuan bersyarat 
Good Governance  
Tidak disebut dengan tegas  
Dapat dijumpai dalam beberapa ketentuan
(fungsi sosial, larangan monopoli)  
Tiga prinsip  
Relatif tinggi  

UUSDA menentukan hubungan hukum antara orang perorangan maupun badan hukum dengan SDA dalam bentuk Hak Guna Air (HGA). Lebih lanjut HGA dibedakan menjadi Hak Guna Pakai Air (HGPA) dan Hak Guna Usaha Air
(HGUA). Walaupun menggunakan istilah “hak”, namun yang dimaksudkan dengan HGA, HGPA dan HGUA adalah “ijin”. Hal ini sudah tepat, karena hubungan antara orang-perorangan/badan hukum dengan air adalah hubungan pemanfaatan. Jika dilihat dari asalnya terkait dengan istilah HGA diatur dalam Pasal 47 UUPA, namun konteks HGA dalam UUPA berbeda dengan UUSDA.
UUSDA mengakui hak ulayat MHA. Pasal 6 ayat (3) menentukan: “hak ulayat MHA atas SDA tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan Perda setempat”. Fungsi Perda dalam hal ini harus dipahami sebagai penetapan yang bersifat declaratoir dan bukan konstitutif.

 

 

 

 

Matriks 5

Ketidakkonsistenan antara UUPR dengan UU Kehutanan
ASPEK 
UUPR 
UU Kehutanan 
Tekstual 
Kontekstual 
Tekstual 
Kontekstual 
Orientasi 
Ruang konservasi
& produksi
(budidaya) 
Tekanan pada  konservasi 
Produksi & konservasi 
Keseimbangan antara produksi & konservasi 
Akses Memanfaatkan 
Investasii & usaha rakyat 
Keadilan komutatif 
Badan Usaha Negara & warga masyarakat 
Keadilan distributif 
Hubungan Negara dengan Obyek 
Tidak tegas menyebutkan 
Hak Bangsa & HMN 
Kekayaan Nasional & dikuasai Negara 
HMN disubordinasikan pada Hak Bangsa 
Pelaksana
Kewenangan Negara 
Pemerintah & Pemda 
Pembagian kewenangan 
Pemerintah, Pemda pelaksana 
Sentralistik 
Hubungan Orang dengan Obyek 
Ijin pemanfaatan ruang 
Kontrol Negara 
Ijin pemanfaatan 
Kontrol Negara 
HAM 
Memberi perhatian pada
MHA 
Tidak dlm rangka pengakuan 
MHA diakui & Hutan
Ulayat  menjadi hutan Negara 
Pengakuan setengah hati 
Good Governance 
Ketiga prinsip 
Cukup tinggi 
Ketiga prinsip 
Relatif cukup 

             




 

Matriks 6

Ketidakkonsistenan antara UU Kehutanan dengan UU Minerba
ASPEK  
UU Kehutanan 
UU Minerba  
Tekstual 
Kontekstual 
Tekstual  
Kontekstual  
Orientasi  
Produksi & konservasi  
Keseimbangan antara produksi & konservasi 
Produksi & konservasi  
Tekanan pada produksi  
Akses
Memanfaatka
n  
Badan Usaha
Negara & warga masyarakat 
Keadilan distributif 
BUMN/D, BUMS,
Koperasi, perorangan  
Keadilan distributif  
Hubungan
Negara dengan Obyek  
Kekayaan Nasional & dikuasai Negara 
HMN disubordinasikan pada Hak Bangsa 
Kekayaan Nasional & dikuasai Negara  
HMN disubordinasikan pada Hak Bangsa  
Pelaksana
Kewenangan Negara  
Pemerintah, Pemda pelaksana 
Sentralistik 
Pemerintah, Pemda, DPR-RI  
Desentralistik 
Hubungan




Orang dengan Obyek  
Ijin pemanfaatan 
Kontrol Negara 
Ijin 
Kontrol Negara  
HAM  
MHA diakui & Hutan
Ulayat  menjadi hutan Negara 
Pengakuan setengah hati  
Masyarakat yang terkena dampak
negatif, masyarakat yang tanahnya
terdapat sumberdaya minerba  
Tidak mengatur tentang gender, MHA  
Good Governance  
Ketiga prinsip 
Relatif cukup 
Tiga prinsip  
Relatif tinggi  

 

 

 

Matriks 7

Ketidakkonsistenan antara UU Kehutanan dengan UU SDAir
ASPEK  
UU Kehutanan 
UU SDA  
Tekstual 
Kontekstual 
Tekstual  
Kontekstual  
Orientasi  
Produksi & konservasi  
Keseimbangan antara produksi & konservasi 
Produksi & konservasi  
Tekanan pada konservasi  
Akses Memanfaatkan  
Badan Usaha
Negara & warga masyarakat  
Keadilan distributif 
Semua kelompok kegiatan 
Keadilan korektif 
Hubungan
Negara dengan Obyek  
Kekayaan Nasional & dikuasai Negara 
HMN disubordinasikan pada Hak Bangsa 
SDA dikuasai Negara 
HMN 
Pelaksana
Kewenangan Negara  
Pemerintah, Pemda pelaksana 
Sentralistik 
Pemerintah dan/atau Pemda 
Dapat sentralistik atau desentralistik 
Hubungan
Orang dengan Obyek  
Ijin pemanfaatan 
Kontrol Negara 
Perijinan, HGPA + HGUA tidak jelas 
Kontrol Negara 
HAM  
MHA diakui & Hutan
Ulayat  menjadi hutan Negara 
Pengakuan setengah hati  
Pengakuan Hak Ulayat MHA 
Pengakuan bersyarat 
Good Governance  
Tiga prinsip 
Relatif cukup 
Tiga prinsip  
Relatif tinggi  

 

 

 

Matriks 8

Ketidakkonsistenan antara UU Minerba dengan UU SDAir
ASPEK  
UU Minerba  
UU SDA  
Tekstual  
Kontekstual  
Tekstual  
Kontekstual  
Orientasi  
Produksi & konservasi  
Tekanan pada produksi  
Produksi & konservasi  
Tekanan pada konservasi  
Akses Memanfaatkan  
BUMN/D, BUMS,
Koperasi, perorangan  
Keadilan distributif  
Semua kelompok kegiatan 
Keadilan korektif 
Hubungan
Negara dengan Obyek  
Kekayaan Nasional & dikuasai Negara  
HMN disubordinasikan pada Hak Bangsa  
SDA dikuasai Negara 
HMN 
Pelaksana
Kewenangan Negara  
Pemerintah, Pemda, DPR-RI  
Desentralistik 
Pemerintah dan/atau Pemda 
Dapat sentralistik atau desentralistik 
Hubungan
Orang dengan Obyek  
Ijin 
Kontrol Negara  
Perijinan, HGPA + HGUA tidak jelas  
Kontrol Negara 
HAM  
Masyarakat yang terkena dampak
negatif, masyarakat yang tanahnya terdapat
sumberdaya minerba  
Tidak mengatur tentang gender, MHA  
Pengakuan Hak Ulayat MHA 
Pengakuan bersyarat 
Good Governance  
Tiga prinsip  
Relatif tinggi  
Tiga prinsip  
Relatif tinggi  



5. 2. Harmonisasi Regulasi Pengaturan SDA
a. Tumpang tindih pengaturan SDA merupakan penyakit kronis sejak tahun 1970-an.
Dampak dari inkonsistensi peraturan perundang-undangan SDA antara lain adalah sebagai berikut.
1)    kelangkaan dan kemunduran kualitas dan kuantitas SDA;
2)    ketimpangan struktur penguasaan/pemilikan, peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan SDA;
3)    timbulnya berbagai konflik dan sengketa dalam penguasaan/pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan SDA (antar sektor, antara sektor dengan MHA/masyarakat, antara investor dengan MHA/masyarakat, dan antar investor terkait hak/ijin pemanfaatan SDA).
Penyelesaian masalah tumpang tindih itu tidak mudah karena masing-masing sektor berpegang kepada UU sektoralnya dan UU sektoral itu sama derajatnya. UUPA, yang pada awalnya dimaksudkan untuk dapat dijadikan landasan bagi pengaturan lebih lanjut peraturan perundang-undangan di bidang SDA, telah didegradasikan kedudukannya sejak awal 1970-an seiring dengan terbitnya berbagai UU sektoral. UUPA sama  sekali tidak dimuat dalam konsiderans UU sektoral, semua UU sektoral langsung mengacu kepada Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI 1945.
Tumpang tindih substansi dalam pengaturan SDA tersebut seiring sejalan dengan tidak adanya satu kementerian/departemen yang berwenang untuk mengkoordinasikan kebijakan terkait SDA dan implementasinya. Masingmasing sektor dinaungi oleh Kementerian dan semenjak tahun 1988, sektor pertanahan dinaungi oleh Badan Pertanahan Nasional.
Undang-undang sektoral yang proses penerbitannya melalui lembaga legislatif itu tidak dijamin bebas dari tumpang tindih karena pembahasan UU sektoral dilakukan melalui komisi-komisi yang berbeda sesuai bidang masing-masing. Tugas harmonisasi yang dibebankan pada Kementerian Hukum dan HAM juga tidak selalu dapat diharapkan hasilnya yang maksimal karena berbagai kendala. Di tengah-tengah berbagai permasalahan tersebut, jalan keluarnya, walaupun tidak mudah, harus ditempuh.

b. Kata kunci: harmonisasi dan koordinasi.
Telah digambarkan sebelumnya bahwa mengupayakan solusi ini “mudah dikatakan” tapi tidak selalu mudah dilaksanakan, kecuali dengan itikad baik dan komitmen semua pihak. Upaya-upaya tersebut di atas antara lain adalah sebagai berikut.
1)       Penghentian sementara (moratorium) penyusunan UU sektoral sambil memberikan kesempatan kepada DPR-RI untuk melakukan legislative review  terhadap UU sektoral yang diindikasikan tumpang tindih. Usulan moratorium itu mudah dikatakan tetapi sulit dilaksanakan, karena: (1) tidak ada landasan hukum yang secara eksplisit memerintahkan moratorium tersebut (walaupun secara implisit hal tersebut dirumuskan dalam TAP MPR RI No. IX/MPR/2001, khususnya arah kebijakan huruf a): dan (2) akan bertabrakan dengan urgensi penyusunan peraturan perundang-undangan sektoral, baik yang berupa UU yang sama sekali baru ataupun UU yang dimaksudkan untuk menyempurnakan/melengkapi UU sebelumnya.
2)       Jikalau hal ini “terpaksa” dilakukan/ tidak dapat ditunda, diperlukan upaya untuk meminimalkan kemungkinan ketidaksinkronan baik vertikal maupun horisontal. Untuk menunjang sinkronisasi horisontal tersebut, maka penyusunan Naskah Akademik harus betul-betul berkualitas, dengan memberikan waktu dan perhatian khusus untuk memahami semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan UU sektoral yang diusulkan tersebut. Upaya ini paling tidak, akan dapat meminimalkan tumpang tindih dengan UU sektoral lain. 
3)       Harmonisasi yang ideal, hanya dapat dicapai bila ada undang-undang yang berlaku sebagai lex generalis bagi semua pengaturan terkait SDA. UU itu akan dapat diwujudkan bila ada kemauan bersama antar sektor untuk duduk bersama menyusun asas-asas/prinsip-prinsip pengelolaan dan pemanfaatan SDA sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan oleh Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001. Sebelum UU yang bersifat lex generalis itu terbentuk, tumpang tindih masih belum dapat dihindari sepenuhnya karena setiap sektor mempunyai visi dan misinya masing-masing yang belum tentu sejalan dengan visi dan misi sektor lain.
4)       Upaya lain untuk harmonisasi pengaturan  SDA adalah legislative review terhadap UU sektoral yang tumpang tindih. Untuk melakukan hal ini diperlukan komitmen dari DPR-RI untuk menginisiasinya. Legislative review dilakukan karena hal ini sesuai dengan arah Kebijakan Pembaruan Agraria sebagaimana dimuat oleh TAP MPR RI No. IX/MPR/2001, yakni:
“Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundangundangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip Pembangunan Sumber Daya Agraria dan Pembangunan Sumber Daya Alam”. 
Kaji ulang peraturan perundang-undangan sektoral, paling tidak terhadap lebih dari 12 UU telah dilakukan (lihat a.l. studi Maria Sumardjono, dkk). Jika diperlukan, dapat dilakukan tambahan kaji ulang peraturan perundang-undangan  yang belum sempat dilakukan. Berdasarkan hasil kajian tersebut, dapat dilakukan legislative review terhadap peraturan perundang-undangan sektoral yang bersangkutan. Upaya legislative review juga tidak dapat diharapkan maksimal hasilnya karena belum adanya UU terkait SDA yang bersifat lex generalis. Sementara UU lex generalis itu belum ada, setidaknya “batu uji” sinkronisasi horisontal dapat dilandaskan pada prinsip-prinsip dasar yang diatur UUPA dan TAP MPR RI No. IX/MPR/2001.
Oleh karena itu, tidak kalah pentingnya untuk meletakkan dasar bahwa hukum (di bidang SDA) itu merupakan sistem, yakni dengan mengagendakan terbentuknya UU terkait pengelolaan dan pemanfaatan SDA/SD Agraria sebagai lex generalis yang akan menjadi landasan bagi peraturan perundang-undangan sektoral (lex specialis) untuk menyesuaikan diri setelah terbitnya UU yang bersifat lex generalis tersebut.
Demikian pula, perlu dipertimbangkan gagasan untuk adanya suatu kementerian yang mempunyai tugas pokok dan fungsi mengkoordinasikan kebijakan dan peraturan perundang-undangan di bidang SDA dan implementasinya. Barangkali dapat dicontoh keberadaan Ministry of Land and Resources di RRC.
Tanpa adanya kesadaran untuk melakukan tindakan konkrit untuk mengatasi masalah tumpang tindih pengaturan SDA, maka dampak negatif sebagaimana diuraikan di atas tetap akan berlangsung dalam skala yang lebih luas.
Memperjuangkan keberlanjutan SDA, keadilan untuk memiliki/menguasai dan memanfaatkannya, serta menyelesaikan konflik terkait SDA yang sudah mencapai titik yang sangat rawan, adalah pekerjaan rumah yang tidak pernah akan selesai, jika upaya ke arah itu belum  dilakukan  secara terkoordinasi dengan dilandasi oleh semangat bersinergi antar semua pihak terkait.


             


Tidak ada komentar:

Posting Komentar