
Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA)
Dalam Perspektif Otonomi Daerah
3.1.
Otonomi Daerah Atas SDA
Otonomi Daerah
adalah salah satu mekanisme untuk mendekatkan pemerintah dengan rakyat sehingga
ruang partisipasi rakyat demi demokratisasi menjadi terbuka. Dengan dekatnya
‘jarak’ baik politik maupun geografis antara rakyat dengan pembuat kebijakan
seharusnya, kontrol terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah
daerah semakin besar. Otonomi dianggap jauh lebih demokratis dibanding sistem
yang terpusat, bahkan lebih menjamin
adanya pluralitas (tidak menggunakan pendekatan yang seragam seperti pada
masa orde baru), karena menghindari dominasi suatu kekuasaan berdasarkan budaya
atau agama atau kepercayaan/ideologi tertentu. Dengan otonomi maka daerah
diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan kebijakan sendiri
sesuai dengan kebutuhannya.
Dalam bidang
pengelolaan sumber daya alam, otonomi daerah berarti:
a.
Menyesuaikan kebijakan pengelolaan
sumber daya alam dengan ekosistem setempat.
b.
Menghormati kearifan tradisional yang
sudah dikembangkan masyarakat didalam pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup secara lestari.
c.
Tidak berdasarkan batas administratif,
tetapi berdasarkan batas ekologi (bioecoregion).
d.
Meningkatkan kemampuan daya dukung
lingkungan setempat dan bukan menghancurkan daya dukung ekosistem dengan
eksploitasi yang melewati daya dukung.
e.
Pelibatan secara aktif masyarakat adat
dan penduduk setempat sebagai pihak yang paling berkepentingan (menentukan)
dalam pembuatan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Agar kebijakan
pemerintah dan penyelenggaraan kekuasaan daerah dapat memenuhi rasa keadilan,
kebutuhan dan keadilan masyarakat setempat, maka pelaksanaan otonomi harus
memenuhi prasyarat sebagai berikut :
1.
Otonomi bukan hanya menyangkut
penyelenggaraan kekuasaan pemerintah atau pun legislatif, tetapi yang lebih
penting lagi adalah merupakan perwujudan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu,
pengalihan kekuasaan dari pemerintahan yang selama ini terpusat harus menjadi
bagian dari proses demokratisasi yang dicirikan oleh adanya pengembangan
kemampuan (capacity) dan sistem
pertanggung-jawaban secara politik maupun hukum (tanggung-gugat) secara terbuka
oleh para pejabat daerah; serta pengembangan kemampuan dan peluang rakyat
setempat dalam melakukan pengawasan.
2.
Untuk menjamin adanya demokratisasi
dan pertanggung-jawaban pemerintah daerah dan DPRD maka sangatlah penting untuk
mengubah sistem pemilihan umum.
3.
Pemilihan umum harus dilakukan dengan
sistem distrik, sehingga para anggota DPRD yang dipilih langsung oleh rakyat
akan lebih bertanggung-jawab kepada para pemilihnya dan bukan kepada partai
seperti yang terjadi saat ini. Selain itu, sistem pemilihan kepala daerah
(Gubernur, Bupati, Walikota, dan Kepala Desa/Lurah) hingga pemerintah yang ada
pada unit terkecil harus dilakukan dengan cara pemilihan langsung. Ini akan
menghindari munculnya persokongkolan antara partai atau DPRD dengan kepala
daerah, bahkan membuka peluang bagi rakyat untuk mempersoalkan atau menggugat
kebijakan pemerintah setempat yang merugikan kepentingan rakyat.
4.
Otonomi yang paling dasar haruslah ada
pada tingkat komunitas masyarakat yang terkecil seperti desa atau sejenis.
Disini rakyatlah yang memutuskan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut
kehidupannya. Rakyat diberi hak dan jaminan hukum untuk ikut menentukan
kebijakan pengelolaan sumber daya alam di desanya, misalnya soal penataan ruang
atau kawasan, pemberian ijin investasi,
bahkan hak untuk memperoleh prioritas dalam memanfaatkan atau menikmati
hasil pengelolaan sumberdaya alam setempat.
5.
Agar otonomi terhindar dari sistem
negara di dalam negara, maka pengelolaan daerah-daerah otonom harus dilandaskan
pada konstitusi nasional maupun pada peraturan perundangan lainnya yang berlaku
secara nasional dan universal yaitu
peraturan perundangan yang mengatur lingkungan hidup, hak azasi manusia,
moneter, kebijakan luar negeri, dan pertahanan.
6.
Daerah otonom juga harus menghormati
hukum internasional yang telah disepakati oleh banyak negara, misalnya konvensi
tentang hak-hak buruh; tentang anak-anak dan perempuan; tentang keanekaragaman
hayati; tentang perdagangan bahan beracun berbahaya atau B3 (konvensi Basel);
tentang perdagangan satwa (CITES);
tentang hak azasi manusia; tentang hak untuk berpindah dan menetap;
diskriminasi etnik dan ras, dan sebagainya.
7.
Oleh karena itu, otonomi memerlukan
adanya masyarakat sipil (civil society)
yang terdiri dari berbagai unsur yang ada di dalam masyarakat, yang kuat,
solid, selalu berpikir kritis, dan mampu melakukan kontrol atau pengawasan
terhadap penyelenggaraan kekuasaan daerah yang berada di tangan eksekutif,
legislatif dan yudikatif.
8.
Otonomi haruslah mengubah pandangan
dan perilaku penyelenggara kekuasaan di daerah untuk benar-benar menjadi
pelayan masyarakat. Artinya pemerintah benarbenar meletakkan kepentingan dan
suara masyarakat sebagai pijakan dari semua kebijakan publik yang dibuat.
Berdasarkan
uraian di atas, nampak bahwa begitu banyak masalah yang terkait dengan
pengelolaan lingkungan hidup khususnya pemanfaatan sumber daya alam yang
berkaitan dengan otonomi daerah. Masalah tersebut dapat timbul akibat proses
pembangunan daerah yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup. Di era
otonomi ini tampak bahwa ada kecenderungan permasalahan lingkungan hidup
semakin bertambah kompleks, yang seharusnya tidak demikian halnya. Ada sementara
dugaan bahwa kemerosotan lingkungan hidup terkait dengan pelaksanaan otonomi
daerah, di mana daerah ingin meningkatkan PAD dengan melakukan eksploitasi
sumberdaya alam yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup dengan
semestinya.
Dengan cara
seperti ini maka terjadi kemerosotan kualitas lingkungan di mana-mana, yang
diikuti dengan timbulnya bencana alam. Terdapat banyak hal yang menyebabkan
aspek lingkungan hidup menjadi kurang diperhatikan dalam proses pembangunan
daerah, yang bervariasi dari daerah satu dengan daerah yang lain, dari halhal
yang bersifat lokal seperti ketersediaan SDM sampai kepada hal-hal yang
berskala lebih luas seperti penerapan teknologi yang tidak ramah
lingkungan.
Peraturan
perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam sudah cukup
memadai, namun demikian di dalam pelaksanaanya, termasuk dalam pengawasan,
pelaksanaannya perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Hal ini sangat
terkait dengan niat baik pemerintah termasuk pemerintah daerah, masyarakat dan
pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengelola sumber daya alam dengan sebaik-baiknya
agar prinsip pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan dapat
terselenggara dengan baik. Oleh karena pembangunan pada dasarnya untuk
kesejahteraan masyarakat, maka aspirasi dari masyarakat perlu didengar dan
program-program kegiatan pembangunan betul-betul yang menyentuh kepentingan
masyarakat.
3.2. Kebijakan Nasional Dan Daerah
Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pengelolaan
sumber daya alam termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan dan pencemaran
serta pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut dikembangkannya berbagai
perangkat kebijaksanaan dan program serta kegiatan yang didukung oleh sistem
pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem tersebut mencakup kemantapan
kelembagaan,sumberdaya manusia dan kemitraan lingkungan, disamping perangkat
hukum dan perundangan, informasi serta pendanaan. Sifat keterkaitan
(interdependensi) dan keseluruhan (holistik) dari esensi lingkungan telah
membawa konsekuensi bahwa pengelolaan sumber daya alam, termasuk sistem
pendukungnya tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi terintegrasikan dan
menjadi roh dan bersenyawa dengan seluruh pelaksanaan pembangunan sektor dan
daerah.
Sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor
38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, dalam bidang lingkungan
hidup memberikan pengakuan politis melalui transfer otoritas dari pemerintah
pusat kepada daerah:
1.
Meletakkan daerah pada posisi penting
dalam pengelolaan lingkungan hidup.
2.
Memerlukan prakarsa lokal dalam
mendesain kebijakan.
3.
Membangun hubungan interdependensi
antar daerah.
4.
Menetapkan pendekatan kewilayahan.
Dapat dikatakan
bahwa konsekuensi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pengelolaan
sumber daya alam titik tekannya ada di Daerah, maka kebijakan nasional dalam
bidang lingkungan hidup secara eksplisit RPJPN merumuskan program yang disebut
sebagai pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Program itu mencakup
:
1. Program
Pengembangaan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Hidup.
Program ini
bertujuan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap mengenai
potensi dan produktivitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui
inventarisasi dan evaluasi, serta penguatan sistem informasi. Sasaran yang
ingin dicapai melalui program ini adalah tersedia dan teraksesnya informasi
sumberdaya alam dan lingkungan hidup, baik berupa infrastruktur data spasial,
nilai dan neraca sumberdaya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat luas di
setiap daerah.
2. Program
Peningkatan Efektifitas Pengelolaan, Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya
Alam.
Tujuan dari
program ini adalah menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya
alam dan lingkungan hidup hutan, laut, air udara dan mineral. Sasaran yang akan
dicapai dalam program ini adalah termanfaatkannya, sumber daya alam untuk
mendukung kebutuhan bahan baku industri secara efisien dan berkelanjutan.
Sasaran lain di program adalah terlindunginya kawasankawasan konservasi dari
kerusakan akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali dan
eksploitatif
3. Program
Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup.
Tujuan program
ini adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah
kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan yang
rusak akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan, serta kegiatan industri
dan transportasi. Sasaran program ini adalah tercapainya kualitas lingkungan
hidup yang bersih dan sehat adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang
bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu lingkungan yang ditetapkan.
4. Program Penataan
Kelembagaan dan Penegakan Hukum, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian
Lingkungan Hidup.
Program ini
bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan, menata sistem hukum, perangkat hukum
dan kebijakan, serta menegakkan hukum untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya
alam dan pelestarian lingkungan hidup yang efektif dan berkeadilan. Sasaran
program ini adalah tersedianya kelembagaan bidang sumber daya alam dan
lingkungan hidup yang kuat dengan didukung oleh perangkat hukum dan perundangan
serta terlaksannya upaya penegakan hukum secara adil dan konsisten.
5. Progam
Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya alam dan
Pelestarian fungsi Lingkungan Hidup.
Tujuan dari
program ini adalah untuk meningkatkan peranan dan kepedulian pihak-pihak yang
berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi
lingkungan hidup. Sasaran program ini adalah tersediaanya sarana bagi
masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan
hidup sejak proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, perencanaan,
pelaksanaan sampai pengawasan.
Dengan pesatnya
pembangunan nasional yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ada
beberapa sisi lemah, yang menonjol antara lain adalah tidak diimbangi ketaatan
aturan oleh pelaku pembangunan atau sering mengabaikan landasan aturan yang
mestinya sebagai pegangan untuk dipedomani dalam melaksanakan dan mengelola
usaha dan atau kegiatannya, khususnya menyangkut bidang sosial dan lingkungan
hidup, sehingga hal ini dapat menimbulkan permasalahan lingkungan.
Oleh karena itu,
sesuai dengan rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan dalam Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dilakukan meningkatkan kualitas lingkungan melalui
upaya pengembangan sistem hukum, instrumen hukum, penaatan dan penegakan hukum
termasuk instrumen alternatif, serta upaya rehabilitasi lingkungan. Kebijakan
daerah dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup khususnya permasalahan
kebijakan dan penegakan hukum yang merupakan salah satu permasalahan lingkungan
hidup di daerah dapat meliputi :
1.
Regulasi Perda tentang Sumber Daya
Alam.
2.
Penguatan Kelembagaan Lingkungan
Hidup.
3.
Penerapan dokumen pengelolaan
lingkungan hidup dalam proses perijinan
4.
Sosialisasi/pendidikan tentang
peraturan perundangan dan pengetahuan lingkungan hidup.
5.
Meningkatkan kualitas dan kuantitas
koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders
6.
Pengawasan terpadu tentang penegakan
hukum lingkungan.
7.
Memformulasikan bentuk dan macam
sanksi pelanggaran lingkungan hidup.
8.
Peningkatan kualitas dan kuantitas
sumberdaya manusia.
9.
Peningkatan pendanaan dalam
pengelolaan lingkungan hidup.
Pengelolaan
Sumber Daya Alam adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan
hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan,
pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup,
sedangkan yang dimaksud lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk
hidup lain.
Kondisi
lingkungan hidup dari waktu ke waktu ada kecenderungan terjadi penurunan
kualitasnya, penyebab utamanya yaitu karena pada tingkat pengambilan keputusan,
kepentingan pelestarian sering diabaikan sehingga menimbulkan adanya pencemaran
dan kerusakan lingkungan. Dengan terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan
ternyata juga menimbulkan konflik sosial maupun konflik lingkungan. Dengan
berbagai permasalahan tersebut diperlukan perangkat hukum perlindungan terhadap
lingkungan hidup, secara umum telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).
Namun berdasarkan
pengalaman dalam pelaksanaan berbagai ketentuan tentang penegakan hukum
sebagaimana tercantum dalam UUPLH, maka undang-undang ini merupakan salah satu
alat yang kuat dalam melindungi lingkungan hidup. Dalam penerapannya ditunjang
dengan peraturan perundang-undangan sektoral. Hal ini mengingat pengelolaan
sumber daya alam memerlukan koordinasi dan keterpaduan secara sektoral dilakukan
oleh departemen dan lembaga pemerintah non-departemen sesuai dengan bidang
tugas dan tanggungjawab masing-masing, seperti Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 Tentang Gas dan Bumi, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan,
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan diikuti pengaturan
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan
Menteri, Peraturan Daerah maupun Peraturan Gubernur.
Mengingat
kompleksnya pengelolaan sumber daya alam dan permasalahan yang bersifat lintas
sektor dan wilayah, maka dalam pelaksanaan pembangunan daerah diperlukan
perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam yang sejalan dengan
prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan ekonomi, sosial budaya,
lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilar-pilar yang saling tergantung dan
saling memperkuat satu sama lain. Di dalam pelaksanaannya melibatkan berbagai
fihak, serta ketegasan dalam penaatan hukum lingkungan.
Diharapkan dengan
adanya partisipasi barbagai pihak dan pengawasan serta penaatan hukum yang
betul-betul dapat ditegakkan, dapat dijadikan acuan bersama untuk mengelola
lingkungan hidup dengan cara yang bijaksana sehingga tujuan pembangunan
berkelanjutan betul-betul dapat diimplementasikan di lapangan dan tidak
berhenti pada slogan semata. Namun demikian fakta di lapangan seringkali
bertentangan dengan apa yang diharapkan. Hal ini terbukti dengan menurunnya
kualitas lingkungan hidup dari waktu ke waktu, ditunjukkan beberapa fakta di
lapangan yang dapat diamati. Hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan sumber
daya alam di daerah dalam era otonomi daerah antara lain sebagai berikut.
1.
Ego sektoral dan
daerah. Otonomi daerah yang diharapkan dapat
melimpahkan sebagian kewenangan mengelola sumber daya alam di daerah belum
mampu dilaksanakan dengan baik. Ego kedaerahan masih sering nampak dalam
pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam, demikian juga ego sektor. Pengelolaan
sumber daya alam sering dilaksanakan overlaping
antar sektor yang satu dengan sektor yang lain, tumpang tindih perencanaan
antar sektor. Kenyataan menunjukkan bahwa dalam perencanaan program (termasuk
pengelolaan sumber daya alam) terjadi tumpang tindih antara satu sektor dan
sektor lain
2.
Pendanaan yang
masih sangat kurang untuk bidang lingkungan hidup. Program dan
kegiatan mesti didukung dengan dana yang memadai apabila mengharapkan
keberhasilan dengan baik. Walaupun semua orang mengakui bahwa lingkungan hidup
merupakan bidang yang penting dan sangat diperlukan, namun pada kenyataannya
PAD masih terlalu rendah yang dialokasikan untuk program pengelolaan sumber
daya alam, diperparah lagi tidak adanya dana dari APBN yang dialokasikan
langsung ke daerah untuk pengelolaan sumber daya alam.
3.
Keterbatasan
sumberdaya manusia. Harus diakui bahwa didalam pengelolaan
sumber daya alam selain dana yang memadai juga harus didukung oleh sumberdaya
yang mumpuni. Sumberdaya manusia seringkali masih belum mendukung. Personil
yang seharusnya bertugas melaksanakan pengelolaan sumber daya alam (termasuk
aparat pemda) banyak yang belum memahami secara baik tentang arti pentingnya
lingkungan hidup.
4.
Eksploitasi
sumberdaya alam masih terlalu mengedepankan profit dari sisi ekonomi. Sumberdaya alam
seharusnya digunakan untuk pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Walaupun kenyataannya tidak demikian; eksploitasi bahan tambang, logging hanya menguntungkan sebagian
masyarakat, aspek lingkungan hidup yang seharusnya, kenyataannya banyak
diabaikan. Fakta menunjukkan bahwa tidak terjadi keseimbangan antara ekonomi
dan lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup masih belum mendapatkan porsi
yang semestinya.
5.
Lemahnya
implementasi paraturan perundang-undangan. Peraturan
perundangundangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup, cukup banyak, tetapi
dalam implementasinya masih lemah. Ada beberapa pihak yang justru tidak
melaksanakan peraturan perundang-undangan dengan baik, bahkan mencari kelemahan
dari peraturan perundang-undangan tersebut untuk dimanfaatkan guna mencapai
tujuannya.
6.
Lemahnya
penegakan hukum lingkungan khususnya dalam pengawasan. Berkaitan
dengan implementasi peraturan perundang-undangan adalah sisi pengawasan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Banyak pelanggaran yang dilakukan
(pencemaran lingkungan, perusakan lingkungan), namun sangat lemah didalam
pemberian sanksi hukum.
7.
Pemahaman
masyarakat tentang lingkungan hidup. Pemahaman dan kesadaran akan
pentingnya lingkungan hidup sebagian masyarakat masih lemah dan hal ini, perlu
ditingkatkan. Tidak hanya masyarakat golongan bawah, tetapi dapat juga
masyarakat golongan menegah ke atas, bahkan yang berpendidikan tinggi pun masih
kurang kesadarannya tentang lingkungan hidup.
8.
Penerapan
teknologi yang tidak ramah lingkungan. Penerapan teknologi tidak ramah
lingkungan dapat terjadi untuk mengharapkan hasil yang instant, cepat dapat
dinikmati. Mungkin dari sisi ekonomi menguntungkan tetapi mengabaikan dampak
lingkungan yang ditimbulkan. Penggunaan pupuk, pestisida, yang tidak tepat
dapat menyebabkan pencemaran lingkungan.
Perlu dicatat
bahwa sebetulnya di tiap-tiap daerah terdapat kearifan lokal yang sering sudah
menggunakan teknologi yang ramah lingkungan secara turun-temurun. Tentu saja
masih banyak masalah-masalah lingkungan hidup yang terjadi di daerah-daerah
otonom yang hampir tidak mungkin untuk diidentifikasi satu per satu, yang
kesemuanya ini timbul akibat “pembangunan” di daerah yang pada intinya ingin
mensejahterakan masyarakat, dengan segala dampak yang ditimbulkan.
Dengan fakta di
atas maka akan timbul pertanyaan, apakah sebetulnya pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan masih diperhatikan dalam pembangunan kita. Apakah
kondisi lingkungan kita dari waktu ke waktu bertambah baik, atau bertambah
jelek? Hal ini sangat diperkuat dengan fakta seringnya terjadi bencana alam
baik tsunami, gempa bumi, banjir, kekeringan, tanah longsor, semburan lumpur
dan bencana alam lain yang menyebabkan lingkungan kita menjadi turun
kualitasnya. Tentu saja tidak ada yang mengharapkan itu semua terjadi. Sebagian
bencana alam juga disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri.
3.3. Pengelolaan SDA dalam Perspektif
Otonomi Daerah
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka 5 menyebutkan
bahwa Otonomi Daerah diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Konsep dasar dari
Otonomi Daerah adalah memberikan wewenang kepada daerah untuk merencanakan dan
melaksanakan pembangunan daerahnya masing-masing sesuai dengan apa yang mereka
kehendaki dan mereka butuhkan, dan pemerintah pusat akan membantu dan
memelihara kegiatan-kegiatan yang tidak mungkin dilaksanakan didaerah seperti
masalah moneter, pembangunan jalan antar kota dan provinsi, maupun pemeliharaan
sistem pengairan yang melintasi berbagai wilayah. Selanjutnya yang dimaksud
dengan Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum dengan batas daerah tertentu
berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Tujuan dari Otonomi Daerah
adalah :
a. Memberdayakan
masyarakat.
b. Menumbuhkan
prakarsa dan kreatifitas.
c. Meningkatkan
peran serta masyarakat.
d. Mengembangkan
peran dan fungsi DPRD.
Dalam memahami
penggunaan istilah perlu dipahami perbedaan pengertian antara istilah desentralisasi
dan dekonsentrasi.
Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang ke daerah; sedangkan
dekonsentrasi sebagai pelimpahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah otonom
yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat dan atau perangkat pusat didaerah.
Penyelenggaraan
Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan
bertanggung jawab kepada Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah disamping itu penyelenggaraan
otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran-serta
masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah.
Kewenangan
otonomi luas adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang
mencakup kewenangan semua urusan pemerintahan, kecuali urusan pemerintahan
dibidang politk luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan agama,
serta urusan pemerintahan lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan). Disamping itu
keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam
penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
pengendalian dan evaluasi. Pengelolaan sumber daya alam (SDA) merupakan urusan
pemerintahan yang telah diserahkan ke daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 tersebut.
Pemanfaatan
sumber daya alam untuk pemenuhan kebutuhan umat manusia sudah berlangsung sejak
lama, dan ini adalah sangat manusiawi, yang jadi persoalan adalah dampak
negarif dari kesalahan dalam pengelolaan tersebut. Di Indonesia kerusakan alam
dan lingkungan sangat signifikan terjadi sejak orde baru, bahkan sampai era
yang disebut sebagai era reformasi hal ini malah semakin tidak terkendali.
Dalam soal
koordinasi pengelolaan sumber daya alam misalnya, kekhawatiran munculnya
ketidakpaduan cukup beralasan. Kekhawatiran ini bukan hanya karena Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tidak tegas dalam
soal itu tapi juga dikuatkan oleh pengalaman semenjak UU tersebut efektif
diberlakukan sejak 1 Januari 2001. Hingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
direvisi pada tahun 2004 telah dikeluarkan berbagai bentuk peraturan
perundangan dan kebijakan yang menampilkan aura ego sektoral yang berujung pada
semakin kacaunya regulasi sumber daya alam. Eksesnya mudah untuk dilihat, yakni
pengurasan dan pengrusakan terhadap sumberdaya hutan dan laut terus berlanjut tanpa
menunjukan tanda-tanda berkurang, apalagi berhenti.
Pengelolaan
sumber daya alam selama ini yang telah mendatangkan berbagai dampak dan
permasalahan berawal dari berbagai produk perundang-undangan yang berkaitan
dengan sumber daya alam memberikan legitimasi kepada praktek pemanfaatan sumber
daya alam yang tidak memperhatikan keseimbangan sumber daya alam dan
kepentingan masyarakat daerah. Berbagai Undang-Undang yang mengatur tentang
sumber daya alam mempunyai kelemahan substansial antara lain;
1.
Berorientasi pada ekspolitasi sumber
daya alam untuk mengejar keuntungan ekonomi semata, sehingga lebih berpihak
kepada para pengusaha besar.
2. Berpusat pada
negara, sehingga menggunakan pendekatan kekuasaan secara sentralisitis.
3. Bersifat
sektoral, sehingga banyak regulasi, kebijakan, kepentingan maupun pengelolaan
yang tumpang tindih.
4. Mengabaikan
keadilan terhadap masyarakat daerah setempat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar