BAB I
PENGERTIAN DASAR
A.
PENGANTAR
Apabila
seseorang yang berkecimpung dalam bidang hukum telah terbiasa dengan Hukum
Positif tertulis atau Peraturan Perundang-undangan, maka dia akan memasuki
suatu bidang yang sangat berbeda apabila dia mempelajari Hukum Adat. Sesuai
dengan latar belakang pendidikan serta tujuan pendidikanya itu, maka orang itu
sudah terbiasa untuk mempelajari dan menerapkan Peraturan Perundang-undangan
yang seragam dan Peraturan yang terhimpun dalam suatu kodifikasi. Misalnya :
q
Peraturan-peraturan Perdata di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(BW).
q
Peraturan-peraturan Dagang di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (W.V.k).
q
Peruran-peraturan Hukum Pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) dsb.
Atas dasar
latar belakang pendidikan serta pengalamannya, maka oang tadi kemudian
sangat percaya bahwa hukum haruslah senantiasa dipisahkan secara tegas dan
mutlak dari kepercayaan: Kesusilaan, Kesopanan, hal-hal yang gaib serta
gejala-gejala sosial lainnya.
Pada umumnya ahli hukum (barat) tersebut hanya
mengetahui bahwa peraturan perundang-undangan atau keputusan-keputusan hukum
lainnya mempunyai latar belakang sejarahnya. Akan tetapi pada umumnya tidak
mempertimbangkan betapa sejarah dan
tradisi dapat dan selalu hidup berdampingan dalam masyarakat, baik pada masa
lampau maupun di masa kini. (Soekanto : 1981,17).
Pada umumnya di dalam sistem hukum Indonesia
tradisional terdapat hukum yang tidak tertulis serta hukum yang tidak
dikodifikasikan di dalam suatu kitab undang-undang Hukum yang tidak tertulis
ini dinamakan “Hukum Adat” yang merupakan sinonim dari pengertian Hukum
Kebiasaan. Apabila kita jumpai hal-hal yang tertulis, hal ini merupakan Hukum
Adat yang tercatat (Beschetegen Adat Recht) dan Hukum Adat
didokumentasikan (Documentereerd Adat Recht). Pada umumnya Hukum Adat
yang tercatat merupakan hasil-hasil penelitian para ahli yang kemudian
dibukukan dalam bentuk monografi-monografi.
Sedangkan Hukum Adat yang didokumentasikan merupakan
pencatatan Hukum Adat yang dilakukan oleh fungsionaris-fungsionaris atau
pejabat-pejabat.
Contoh : Awig-Awig, dikalangan masyarakat Adat
di Bali.
Apabila dilihat dari sudut pandangan seorang ahli
hukum yang sangat terkesan oleh Unifikasi dan atau Kodifikasi maka keseluruhan
Hukum Adat Indonesia tidaklah teratur, tidak sempurna, tidak tegas dan mungkin
tidak pasti. Dengan demikian kemungkinannya adalah besar sekali bahwa seorang
ahli hukum yang baru pertama kali mempelajari Hukum Adat Indonesia akan
berhadapan dengan hal-hal atau gejala-gejala yang sulit sekali untuk dapat
dipahami secara kongkrit atas dasar latar belakang teoritis yang dimilikinya.
Bahkan pada masa dahulu ada yang pernah menyatakan bahwa Hukum Adat seolah-olah
hanyalah merupakan aturan-aturan ajaib, yang sebagian besar bersifat simpang
siur sehingga membingungkan sekali. (Van Vollenhoven I, 1925)
Akan tetapi apabila seseorang dengan sungguh-sungguh
memperdalam pengetahuannya terhadap Hukum Adat (tidak hanya dengan pikiran atau
pengetahuan hukum tetapi juga dengan penuh perasaan), maka dia akan melihat
sustu sistem yang sangat mengagumkan baginya.
Sebagaimna pernah dinyatakan oleh Prof. Soekanto, SH ternyata bahwa
sistem itu mencakup adat istiadat yang
hidup pada masa dahulu dan sekarang, yang berkembang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat yang bahkan berirama. (Soekanto : 1981, 18).
Kemudian lebih lanjut dikatakan bahwa apabila
adat-istiadat itu dipelajari dan diteliti lebih banyak dan lebih lanjut, maka
akan dijumpai aturan-aturan yang pada umumnya mempunyai sanksi (negatif). Apabila
aturan-aturan itu dilanggar, maka pelanggar itu akan menderita, penderitaan
yang sesungguhnya bertujuan untuk memulihkan keadaan seperti semula. (sebelum
pelanggaran itu terjadi atau dilakukan). Dan mereka akan melihat sebagai sumber
Hukum Adat, kebiasaan-kebiasaan dan adat-istiadat yang berhubungan dengan
tradisi rakyat.
B.
Beberapa Istilah
1.
Istilah Adat
Ketika orang-orang barat/Eropa datang di Indonesia ,
kebudayaan Indonesia waktu itu sudah tinggi, bangsa Indonesia sudah mempunyai
kehidupan dan ketatanegaraan sendiri dengan aturan-aturan yang disebut “Adat”.
Walaupun ketika itu Indonesia belum menjadi suatu negara kesatuan seperti
negara Republik indonesia seperti sekarang ini, namun di berbagai daerah,
kehidupan masyarakatnya sudah mempunyai tata pemerintahan adat yang teratur.
Sendi-sendi adat yang berlaku bagi bangsa Indonesia walupun masyarakatnya Ber-Bhinneka namun pada
dasarnya adalah sama.
Misalnya : - Asas kekeluargaan.
-
Tolong menolong.
- Musyawarah
dan mufakat dan tidak mementingkan diri sendiri.
Asas-asas tersebut pada umumnya sama diseluruh tanah
air walaupun di sana sini terdapat perbedaan cara-cara pemakainnya dan
pelaksanaannya. Istilah Adat sebagai nama aturan bangsa Indonesia sebelum
kedatangan orang barat itu sebagian besar masyarakat di daerah-daerah di
Indonesia pada umunya dipakai, walaupun karena dialek bahasa yang berbeda maka
terdengan agak berlainan pengucapannya :
Misalnya : - Gayo/ Aceh : Odot
- Lampung : Hadat
- Jawa
: Ngadat
- Bugis : Ade
- Halmahera : Adati.
Sebenarnya istilah Adat itu berasal dari bahasa Arab
yaitu “ADAH” yang artinya Kebiasaan yaitu sesuatu yang sering
diulang-ulang. Istilah Adat ini dapatlah dikatakan telah “Diresepsi” kedalam
Bahasa Indonesia dan hampir semua daerah di Indonesia sebagaimana telah
disebutkan di atas. Istilah Adat yang sama dengan kebiasaan disini atau
pengertian kebiasaan dalam arti adat adalah kebiasaan yang Normatif yang telah berwujud
aturan tingkah laku yang berlaku di dalam masyarakat dan dipertahankan
masyarakat. Oleh karena Adat adalah kebiasaan yang normatif dan dipertahankan
oleh masyarakat, maka walaupun ia tidak terus berulang, pada saat-saat tertentu
akan berulang dan harus dilaksanakan, dan apabila tidak dilaksanakan maka
masyarakat akan mengadakan reaksi. Selanjutnya perbedaan antara Adat dan
Kebiasaan dapat dilihat dari pemekainnya, adat dipakai secara turun temurun
sedangkan kebiasaan sudah berubah dan tidak turun temurun.
2. Istilah Hukum
Seperti halnya istilah Adat maka istilah hukum
juga berasal dari Bahasa Arab “ HUKM”
( Jama’ : AHKAM) yang artinya perintah. Jika dikatakan Hukum Syara atau
Hukum Syariat, maka berarti hukum yang harus diturut menurut Ajaran Islam, Oleh
karena Syariat Jalan yang harus diturut.
Menurut Syariat ada lima (5) macam perintah agama yang di sebut “AL-KHAMSAH”
Oleh Hazairin kelima hukum ini diuraikan sebagai berikut ;
q Fard
atau Fardu : berarti wajib, yaitu
yang mesti dilakukan.
q Haram
: berarti larangan yaitu yang dilarang
melakukanya.
q
Mahdup/ Sunnah : berarti anjuran, yaitu
yang dianjurkan untuk dilakukan.
q Makruh : berarti celaan, yaitu yang dicela jika
dilakukan.
q
Ja’ iz atau Mubah atau Halal : berarti
boleh, yaitu yang tidak disuruh dan tidak pula dilarang melakukannya.
Dengan demikian dikalangan masyarakat, khususnya
masyarakat Indonesia istilah Hukum dan istilah adat terpisah pemakainnya dan
pengertiannya sebagaimana dikemukakaan
oleh Hidjazie, K, SH “Bahwa
masyarakat Indonesia memisahkan serta
membedakan pengertian hukum dan pengertian adat.
q
Hukum :
adalah datangnya dari luar masyarakat itu sendiri dari penguasa, pemerintah
atau berdasarkan agama.
q
Adat :
adalah ketentuan yang timbul serta tumbuh dari
masyarakat itu sendiri yang mereka taati selaku hukum.”.
Jadi apabila kita akan menarik pengertian hukum Adat
dari uraian tersebut maka Hukum Adat berarti hukum yang timbul serta tumbuh
dari dalam masyarakat yang ditaati sebagai hukum. Pengertian ini memang benar
tetapi istilah Hukum adat itu bukan timbul dari masyarakat.
3. Istilah Hukum Adat
Istilah Hukum adat banyak kita jumpai dalam pelbagai
keputusan resmi dan peraturan perundang-undangan dari pemerintah Republik
Indonesia tanpa ada penjelasan lebih lanjut tentang apa yang disebut dengan Hukum Adat itu. Keputusan-keputusan
itu antara lain dapat kita jumpai di dalam :
q Disamping
itu diselenggarakan pembinaan Hukum Adat sebagaimana hukum yang kenyataannya
masih berlaku dalam masyarakat dan diarahkan kepada kesatuan bangsa dan
perkembangan pembangunan (Pelita II, hal:318).
q Undang-Undang
No. 5 Tahun 1960 (UUPA) dalam pasal 5 tercantum
“ Hukum Agraria yang berlaku atas
bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas
persatuan dan kesatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia serta……”
Selanjutnya dalam UUPA itu banyak terdapat kata-kata
Hukum Adat baik dalam konsiderannya maupun di dalam batang tubuh Undang-Undang
itu sendiri maupun dalam memori penjelasannya. Di dalam contoh-contoh tersebut
tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang apa yang disebut Hukum adat itu.
Mungkin pembuat undang-undang dan
keputusan-keputusan itu berpendapat bahwa istilah Hukum Adat telah dimengerti
dan dipahami oleh rakyat Indonesia, sedang justru hingga sekarang belum ada
kesatuan pendapat tentang pengertian istilah Hukum Adat itu.
Dengan demikian maka perlu kirannya diikuti
perkembangan pengertian Hukum Adat. Istilah Hukum adat bukanlah rangkaian istilah
Hukum dan istilah Adat melainkan sebagai terjemahan dari sitilah buatan orang
Belanda yang disebut “ADAT RECHT”. Istilah Adat Recht ini pertama kali
dikemukakan oleh Prof. Snouck Horgronje
yang merumuskan Hukum Adat sebagai “ Adat Die Recht Gevolgen Herbeb”
yang artinya Adat yang mempunyai sanksi hukum. Jadi perkataan Hukum mengandung
pengertian bahwa apabila dilanggar maka akan timbul sanksi, sedangkan perkataan
Adat merupakan kebiasaan.
Sedangkan dikalangan rakyat biasa “ The Man of The
Street” sejak jaman Hindia Belanda dulu bahkan sebelumnya tidak dikenal
istilah Hukum Adat dan Adat Recht, yang dimengerti adalah istilah hukum dan
adat. Apabila ditanyakan kepadanya, bagaimana adatnya di daerah ia tentang
perkawinan, maka akan diterangkan rentetan
upacara-upacara dalam peresmian suatu perkawinan. Misalnya (di Jawa
Tengah) upacara menginjak telur, membersihkan kaki, duduk bersama mempelai
laki-laki dan perempuan dan seterusnya. Begitu pula halnya ditanyakan adatnya
suatu daerah dalam memotong padi, dalam hal ini diterangkan upacara-upacara
memotong padi, misalnya sesaji-sesaji atau kenduri yang diadakan penduduk dan
upacara-upacara setelah memotong padi, misalnya mengadakan tari-tarian yang
dijalankan muda-mudi di desa yang bersangkutan.
Kemudian apabila ditanyakan bagaimana hukumnya dalam
memotong padi maka akan dijawab bahwa memotong padi tidak ada hukumnya. Tetapi
jika ditanyakan bagaimana hukumnya jika memakamkan jenasah atau hukumnya
jika orang mau kawin maka dijelaskan
rentetan upacara-upacaranya dalam memakamkan jenasah menurut agama Islam atau
diterangkan tentang Akad Nikah dalam upacara perkawinan. Maka bagi rakyat biasa
yang dimaksud dengan :
q Hukum
adalah aturan-aturan atau norma-norma menurut ajaran agama Islam
q Adat
adalah norma-norma menurut leluhur, kebiasan lama atau tradisi yang dipandang
pantas atau patut oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.
Kiranya pendapat rakyat biasa itu yang membedakan
antara Hukum dan Adat serta tidak mengenal istilah atau pengertian Hukum Adat,
dan hal itu sudah sejak dulu kala, jauh sebelum pemerintah Belanda menguasai
Indonesia. Hukum Adat yang diketemukan
oleh Snouck Horgronje dan kemudian diambil alih sekaligus dipopulerkan
oleh C. Van Vollenhoven yang mengemukakan istilah Adat Recht itu sebagai
istilah teknis-yuridis, yaitu istilah yang mempunyai arti tertentu dalam ilmu
pengetahuan hukum. Jalanya istilah Adat Recht digunakan sebagai obyek untuk
menyusun suatu cabang ilmu pengetahuan hukum tersendiri yang diberi nama “Adatrechtswettenschap”
Dilingkungan para ahli hukum, yang disebut Adat Recht
atau Hukum Adat menurut C. Van Vollenhoven :
“
Rangkaian aturan-aturan tingkah laku bagi golongan Bumiputra dan bagi golongan
Timur Asing yang distu pihak ada sanksinya (disebut Hukum) dan dilain pihak
tidak dikodifikasikan (karena disebut Adat).”
Sejak
saat itu maka istilah Adat Recht atau Hukum Adat menjadi tenar dikalangan
masyarakat ilmuwan yang meneliti dan memahami tentang ilmu hukum. Pada waktu
Belanda menguasai Indonesia (Netherland Indies) diketahui dan disadari
bahwa bangsa Indonesia pada waktu itui disebut Inlanders dan kemudian
diterjemahkan dengan Bumiputra yang tunduk dan mempertahankan suatu hukum yang
sifatnya berbeda sekali dengan hukum Belanda.
Waktu
diperlukan penegasan tertulis hukum apa yang berlaku bagi golongan Bumiputra
ini maka bagi golongan Bumiputra oleh pemerintah Belanda dalam penyebutannya
resmi dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan tersebut
yaitu :
1.
Dalam A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving =
Ketentuan –ketentuan Umum Perundang-undangan) Pasal 11 dipakai istilah : Godsdientige
Wetten = peraturan-peraturan keagamaan dan Volkstelingen en Gebruiken
= lembaga-lembaga rakyat dan kebiasaan-kebiasaan.
2.
Dalam R.R. (Reglement Regering) Pasal 75 ayat (3)
memakai istilah : Godsdientige Wetten = peraturan-peraturan keagamaan,
dan Instelingen en Gebruiken = lembaga-lembaga rakyat dan
kebiasaan-kebiasaan.
3.
Dalam I.S. (Indische Staats Regeling = Peraturan hukum
Negara Belanda ) Pasal 128 ayat (4) memakai istilah : Instelingen de Volks =
lembaga-lembaga rakyat.
4.
Dalam R.R pasal 78 ayat (2) dipakai istilah : Godsdientige
Wetten en Qude Herkomsten =
peraturan keagamaan dan naluri-naluri atau kebiasaan lama/kuno.
Jadi
karena ketidaktahuan sekaligus tidak mau tahu dan mempelajari serta mendalami
atturan-aturan dan hukum yang berlaku bagi penduduk asli (pribumi) maka Belanda
dalam penyebutan resminya di dalam peraturan peraturan yang berlaku bagi
golongan penduduk asli/pribumi itu dengan istilah :
q
Peraturan – peraturan Keagamaan.
q
Lembaga-lembaga rakyat.
q
Kebiasaan-kebiasaan.
q
Tradisi, naluri-naluri dan,
q
Lembaga asli.
Dan pada
waktu itu belum dikenal istilah Hukum Adat yang merupakan terjemahan dari Adat
Recht sehingga pemerintah Belanda dalam penyebutan resmi di dalam peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkannya selalu
menyebutkannya dengan istilah-istilah seperti tersebut diatas. Sedangkan
istilah Adat Recht itu dalam peraturan perundang-undangan Belanda baru muncul
pada tahun 1929 yaitu dalam : Indische Staatsregeling (I.S) pasal 134 ayat (2) mulai berlaku tahun 1929”
Sejak itu pada tahun 1929 Pemerintah Belanda memulai istilah Hukum Adat atau
Adat Recht dengan resmi di dalam peraturan perundang-undangan yang
dikeluarkannya.
Kalau
kita lihat dimuka dalam penyebutan resmi dalam peraturan perundang-undangan
sebelum tahun 1929 pemerintah Belanda dalam dan penyebutan pengertian Hukum
Adat selalu memakai istilah “Godsdientige Wetten = Peraturan-peraturan
Keagamaan” disamping istilah-istilah lainnya.
Pemakaian
istilah peraturan-peraturan keagamaan ini mencapai puncaknya pada abad ke 19
(tahun 1850). Hal ini juga mempengaruhi
pemerintah Hindia Belanda dalam penyebutan sekaligus mengartikan hukum yang
berlaku bagi golongan pribumi/asli dalam peraturan resmi yang dikeluarkan dalam
bentuk perundang-undangan sebagaimana dikemukakan diatas.
Hal ini karena dipengaruhi adanya atau timbulnya
serta berkembangnya “TEORI RECEPTIO EN COMPLEXU” yang dikemukakan oleh
Solomon Keyzer dan dikuatkan oleh Willem Christian Van Den Berg. Untuk lebih
jelasnya sekaligus lengkapnya pembahasan teori tersebut, marilah kita lihat dan
sekaligus kita bahas dalam sub bab tersendiri, yaitu istilah Peraturan
Keagamaan.
4. Istilah
Peraturan Keagamaan
Penyebutan
pengertian hukum yang berlaku di kalangan masyarakat Indonesia oleh pemerintah
Hindia Belanda ini terlihat sangat menonjol adalah penyebutan
Peraturan-peraturan Keagamaan sebagaimana disebutkan diatas. Jadi menurut
pemerintah Belanda, hukum atau peraturan yang berlaku dilingkungan masyarakat
Indonesia asli adalah berdasarkan peraturan atau hukum agama yang dianutnya.
Apakah yang melatar belakangi dari peraturan perundang-undangan di masa Hindia
Belanda dahulu memakai istilah Peraturan Keagamanaan, adalah dikarenakan
pemerintah Belanda ketika membuka Undang-Undang ketatanegaraan tersebut pada
tahun 1800 atau pertengahan abad ke 19 dipengaruhi oleh Teori Receptio En
Complexu.
Teori
ini dikemukakan oleh Solomon Keyzer (tahun 1823-1868). Beliau adalah seorang ahli bahasa dan kebudayaan Hindia
Belanda, beliau banyak menulis tentang Hukum Islam di Jawa Barat serta
menterjemahkan Al Qur’an kedalam bahasa Belanda. Pendapat atau teorinya
kemudian dikuatkan oleh Willem Christian Van Den Berg (tahun 1845- 1927).
Menurut
Van Den Berg menyatakan :
“ Hukum
Islam yang diterima sebagai kesadaran masyarakat Islam Indonesia tidak hanya
sebagian-sebagian tetapi diterima secara keseluruhan, sebagai satu kesatuan
untuk lebih jelasnya maka dapatlah dikemukakan di sini tentang teori kedua
tokoh tersebut yaitu : Adat-istiadat dan Hukum (adat) suatu golongan masyarakat
adalah Receptio (penerimaan) seluruhnya dari agama yang dianut oleh
golongan masyarakat itu”
Jadi
hukum adat suatu golongan masyarakat adalah hasil penerimaan bulat-bulat
(keseluruhan) dari hukum agama yang dianut oleh golongan masyarakat itu.
Misalnya :
q Hukum
dari yang beragama Islam adalah Hukum Islam.
q Hukum
dari yang beragama Katolik/Kristen adalah Hukum agama Kristen/Katolik.
q Hukum
dari yang beragama Hindu adalah hukum Agama Hindu dan seterusnya.
Kesalahan identifikasi ini, dimana sebagaian hukum adat
diidentikan sebagai hukum agama , khususnya
Agama Islam yang banyak dianut oleh sebagian masyarakat Indonesia yang demikian
menyamakan/mengidentikan Hukum Adat itu sama dengan Hukum Islam, sebagaimana
dianut dan diikuti oleh pembuat peraturan/ordonansi dalam hal ini pemerintah
Hindia Belanda. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah Hindia Belanda dalam
mengeluarkan peraturan/ordonansi secara resmi menyebut Hukum Adat atau Hukum
yang berlaku bagi penduduk asli/pribumi dengan sebutan perauran-peraturan
keagamaan.
Teori ini tentu mendapat tantangan terutama dari Snouck Hurgronje dan C. Vam
Vollenhoven.Menurut mereka yang diterima masyarakat dari agama Islam hanya
terbatas mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kepercayan dan kehidupan
kebatinan. Kemudian untuk menangkis pendapat dari Teori Receptio en Complexu
Snouck Horgronje dan Van Vollenhoven mengembangkan teori yang disebut “ TEORI
KONFLIK atau RECEPTIO” sebagai berikut :
q Antara
hukum Islam dan Hukum Adat adalah dua unsur yang saling bertentangan/saling
antagonistik.
q Dan
Hukum yang mengatur tata tertib masyarakat bukan Hukum Islam tetapi yang
berlaku adalah Hukum Adat.
q Memang
ke dalam Hukum Adat telah ada pengaruh Hukum Islam tetapi pengaruh itu baru
mempunyai kekuatan sebagai norma hukum apabila diterima sesuai dengan hukum
adat.
Teori ini dicetuskan oleh Snouck Horgronje (tahun 1857-1936)
berdasarkan hasil penelitian terhadap orang Aceh dan Gayo. Kemudian Teori
Receptio ini berkembang menjadi panutan bagi kalangan sarjana dan pemerintah
Hindia Belanda, di Indonesia teori ini dikembangkan Bertrand Ter Haar, BZN.
Bertitik tolak dari Teori Receptio, yang menentukan apakah hukum Islam berlaku
di masyarakat , ditentukan oleh hukum Adat. Jadi apakah suatu lembaga hukum
Islam merupakan hukum atau tidak ditentukan oleh hukum adat setempat. Berarti
Hukum Islam bukan hukum selama belum diterima oleh masyarakat menjadi hukum
Adat.
Mungkin dapat dipertanyakan motivasi dan arah yang hendak
dicapai oleh Teori Receptio tersebut. Barangkali secara tidak langsung berusaha
mengaburkan kedudukan nilai dan kesadaran hukum Islam dari Tata hukum
Indonesia. Sebab sekalipun misalnya suatu lembaga hukum Islam telah berubah
menjadi kesadaran yang hidup mengatur lalu lintas pergaulan, toh lembaga itu
bukan lagi tata hukum yang berpredikat hukum Islam, tetapi berubah warna
menjadi hukum Adat.
C.
HUKUM ADAT DAN HUKUM KEBIASAAN.
Dari beberapa pengertian dan istilah, sebagaimana disebutkan
di muka dapat kita ketahui bahwa istilah hukum Adat merupakan terjemahan dari
istilah bahasa asing/Belanda yaitu Adat Recht yang diketemukan oleh Snouck
Horgronje dan kemudian dipopulerkan oleh C. Van Vollenhoven. Ternyata istilah
hukum adat yang merupakan terjemahan dari Adat Recht itu tidak dikenal dalam
masyarakat, dan masyarakat hanya mengenal atau memakai dan memahami pengertian
adat dan hukum secara terpisah sendi-sendiri.
Di dalam masyarakat hanya dikenal kata “ADAT” saja
tetapi istilah inipun berasal dari bahasa asing/Arab. Istilah adat dapatlah
ikatakan telah diresepsi ke dalam bahasa Indonesia dan hampir seluruh daerah
Indonesia. Kemudian adat apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
berarti kebiasaan, jadi secara sederhana istilah Adat Recht dapat diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia dan seyogyanya atau seharusnya menjadi hukum
kebiasaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum Adat itu adalah sama
dengan hukum kebiasaan. Tugasnya hukum Adat merupakan istilah lain dari hukum
kebiasaan. Apakah demikian halnya?
Van Dijk tidak sependapat untuk menggunakan istilah hukum
kebiasaan sebagaimna terjemahan dari
Adat Recht untuk menggantikan Hukum Adat. Alasan dari Van Dijk dikemukakan
sebagai berikut :
“
Tidaklah tepat menterjemahkan Adat Recht menjadi hukum kebiasaan untuk
menggantikan Hukum Adat, karena yang dimaksud dengan hukum kebiasaan adalah
kompleks peraturan-peraturan hukum yang tumbuh karena kebiasaan. Artinya karena
telah demikian lamanya orang tidak bisa bertingkah laku menurut menurut suatu cara tertentu sehingga timbulah
suatu peraturan kelakuan yang diterima dan juga diinginkan oleh masyarakat,
sedang apabila orang mencari sumber yang nyata dari mana peraturan itu berasal
maka hampir semestinya akan diketemukan oleh suatu alat perlengkapan masyarakat
tertentu dalam lingkungan besar atau kecil sebagai pangkalnya.” (Van Dijk :
1960,5)
Dengan demikian Van Dijk ingin menyatakan bahwa sebenarnya
antara hukum Adat dan Hukum kebiasaan itu terdapat perbedaanya. Letak perbedaan
antara hukum Adat dan Hukum Kebiasaan itu adalah pada sumbernya, artinya bahwa
hukum kebiasaan itu tidak bersumber dari alat-alat perlengkapan masyarakat.
Lebih lanjut disebutkan oleh Van Dijk perbedaan antara Hukum
adat dn Hukum Kebiasaan itu terletak pada sifatnya, artinya bahwa :
q
Hukum Kebiasaan itu sepenuhnya bersifat tidak
tertulis.
q
Hukum Adat sebagian bersifat tertulis.
Selanjutnya perbedaan antara adat dan kebisaan dapat dilihat
dari pemakaiannya :
q
Adat : dipakai secara turun temurun.
q
Kebiasaan : mudah berubah dan tidak turun
temurun.
Apabila Van Dijk disini mngajukan sebagai contoh dari
konsepsi yang menolak untuk menggunakan
istilah hukum kebiasaan sebagai terjemahan dari Adat Recht maka berikut ini
akan menampilkan suatu konsepsi yang menerima atau setidaknya menyetujui,
walaupun tidak secara tegas menyatakan. “ Hukum Adat pada hakekatnya merupakan
Hukum Kebiasaan, artinya kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai akibat hukum “ (Sein-Sollen)
berbeda dengan kebiasaan belaka, kebiasaan yang merupakan Hukum Adat adalah
perbuatan-perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama . (Soerjono
Soekanto, 1976:11).
Apabila pernyataan diatas ditelaah, maka sederhana dapat
diungkapkan bahwa sebenarnya tidak terdapat perbedaan antara Hukum Adat dengan
Hukum Kebiasaan atau dengan kata lain perkataan pengertian Hukum Adat adalah
sama dengan Hukum Kebiasaan. Lebih lanjut dapat dikatakan disini bahwa
kebiasaan dalam arti adat adalah kebiasaan yang normatif yang telah terwujud
aturan tingkah laku di dalam masyarakat serta dipertahankan masyarakat.
Oleh karena adat adalah kebiasaan yang normatif dan dipertahankan
oleh masyarakat, maka walaupun ia tidak terus berulang-ulang, pada saat-saat
tertentu akan berulang dan harus dilaksanakan, apabila tidak dilaksanakan maka
masyarakat akan mengadakan reaksi. Dengan dasar atau alasan di atas dan juga
tidak dipertentangkan kedua konsepsi tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa
untuk selanjutnya dinyatakan bahwa pengertian Hukum Adat adalah sama dengan
Hukum Kebiasaan. Landasannya adalah :
1.
Bahwa istilah
atau kata “Adat” apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi
kebiasaan. Oleh karena itu Adat Recht dapat diterjemahkan menjadi Hukum Adat
atau Hukum Kebiasaan
2.
Bahwa memang di dalam proses pelaksanaan hukum ini
sering dikuatkan oleh atau melalui alat-alat perlengkapan masyarakat umum tidak
semua aturan di sini akan bersumber atau mempunyai sumber dari perlengkapan
masyarakat itu.
D.
ADAT DAN HUKUM ADAT
Sejak dilahirkan di dunia, telah dianugerahi suatu
naluri untuk hidup bersama dengan orang lain. Sebagai akibat adanya naluri
tersebut dan atas dasar pikiran, kehendak dan persasaan timbul hasrat untuk
bergaul yang kemudian menimbulkan interaksi sosial yang dinamis. Interaksi
sosial tadi mula-mula berpangkal tolak pada cara yang merupakan suatu bentuk
perbuatan. Apabila bentuk sustu perbuatan tersebut dirasakan sebagai suatu yang
baik, maka perbuatan tersebut mungkin menjadi kebiasaan atau perbuatan yang
diulang-ulang dalam bentuk yang sama.
Berulang-ulangnya sustu perbuatan merupakan sustu
pertanda bahwa perbuatan tersebut disukai, maka pada taraf ini, sustu pola perikelakuan
mulai dikenal dan diakui, sebab suatu penyimpangan terhadapnya akan
mengakibatkan celaan. Apabila kebiasaan tersebut di atas semata-mata dianggap
sebagai cara berperikelakuan akan tetapi diterima sebagai kaidah-kaidah
pengatur, maka kebiasaan tadi menjadi Tata kelakuan.
Tata kelakuan mencerminkan sifat-siafat hidup dari
kelompok manusia, tata kelakuan mana tidak
hanya dikenal atau dakui, akan tetapi juga dihargai. Tata kelakuan yang
kekal serta kuanya integritasnya dengan pola-pola perikelakuan masyarakat,
dapat meningkatkan kekuatan mengikatnya sehingga menjadi adat-istiadat.
Adat-istiadat merupakan kaidah-kaidah yang tidak hanya
dikenal, diakui dan dihargai akan tetapi juga ditaati. Adat-istiadat mempunyai
ikatan dan pengaruh yang kuat dalam masyarakat, kekuatan mengikat tergantung
pada masyarakat yang mendukung adat istiadat tersebut yang terutama
berpangkal pada perasaan keadilannya.
Tidak semua adat merupakan hukum, ada perbedaan antara adat dan istiadat biasa
dan Hukum adat.
Kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan
(dikodifikasikan) dan bersifat paksaan serta mempunyai sanksi (hukum) , jadi
mempunyai akibat hukum, kompleks inidisebut Hukum Adat. Untuk lebih jelasnya
kita lihat definisi atau batasan mengenai Hukum Adat yang dikemukakan oleh C.
Van Vollenhoven yang menyatakan :
“ Hukum Adat adalah keseluruhan antara tingkah laku yang mengatur
tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat yang merupakan adat dan
sekaligus mempunyai atau memberi sanksi bagi siapa saja yang melanggarnya dan
ada upaya memaksa”
Jadi dari definisi dan pengertian di atas disimpulkan
kreteria Hukum Adat antara lain :
1.
Adanya aturan tingkah laku yang mengatur kehidupan
manusia.
2.
Aturan tingkah laku itu mempunyai sanksi.
3.
Mempunyai upaya memaksa.
4.
Memberikan sanksi kepada siapa saja yang melanggar.
Dengan demikian maka yang dimaksud dengan :
q Adat
adalah aturan yang mengatur tingkah laku manusia.
q Hukum
Adat adalah aturan yang mengatur tingkah laku manusia, bagi siapa saja yang
melanggar aturan tersebut dikenai sanksi dan sanksi itu dapat dipaksakan.
Persamaannya :
q
Sama-sama mengatur norma tingkah laku manusia
q
Sama-sama mempunyai sanksi.
Perbedaanya :
q Kalau
adat sanksinya tidak dapat dipaksakan.
q Kalau
Hukum Adat sanksinya dapat dipaksakan.
Sanksi atau ancaman hukuman adalah berupa reaksi dari
masyarakat hukum yang bersangkutan, reaksi dari masyarakat hukum ini dalam
pelaksanaannya sudah barang tentu dilakukan penguasa masyarakat hukum,
dimaksudkan penguasa masyarakat hukum yang bersangkutan menjatuhkan sanksinya
terhadap sipelanggar peraturan adat dan kemudia menjatuhkan putusan hukuman.
Jadi demikianlah secara sederhana dan segi parktisnya
dapat kita lihat perbedanya antara adat dan Hukum Adat yang terletak pada
ancaman hukuman atau sanksinya, yaitu kalau adat sanksinya tidak dapat
dipaksakan sedangkan Hukum Adat dapat dipaksakan.
Secara teoritis akademis sudah timbul kesulitan-kesulitan untuk membedakan kedua
gejala sosial tadi, apalagi di dalam parkteknya dimana kedua gejala tadi
berkaitan dengan eratnya. (Soekanto, 1981: 15).
Untuk lebih jelasnya dan lebih mendalami perbedaan
antara adat dan Hukum Adat (sebaliknya), kita lihat pendapat para sarjana hukum
khususnya sarjana Hukum Adat dan juga
kita lihat beberapa pandangan dari sarjana Ilmu Sosial lainnya agar supaya
dapat diperolehsuatu gambaran yang agak jelas dan luas untuk memperoleh bahan
perbandingan (studi komparatif).
Pendapat dari ahli Hukum Adat :
q MR. Soepomo
Hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis dalam peraturan-peraturan
legislatif (Non Statutory Law) meliputi peraturan hidup meskipun tidak
dikitabkan/dikodifikasikan oleh yang berwajib toh dihormati dan didukung oleh
rakyat berdasar atas kenyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut mempunyai
kekuatan hukum. Dengan penjabaran batasan makna Hukum Adat yang demikian
kelihatan Soepomo lebih cenderung menggunakan kekuatan hukum sebagai dasar
perbedan antara adat dan Hukum Adat.
q Cornelis
Van Vollenhoven
Bahwa apabila seorang hakim menghadapi kenyataan bahwa ada peraturan
tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para warga
masyarakat serta ada perasaan umum bahwa peraturan-peraturan itu harus
dipertahankan oleh para pejabat hukum maka peraturan-peraturan tadi bersifat
hukum.
Dari pendapatnya C. Van Vollenhoven di atas dapat dinyatakan bahwa untuk
membedakan Hukum adat dengan Adat dapat dipergunakan kreteria:
1.
Kepatuhan dan keterikatan warga masyarakat akan aturan itu.
2.
Adanya perasaan umum bahwa perturan-peraturan itu harus
dipertahankan oleh para pejabat hukum.
q F.
D. Holleman
Sependapat dengan C. Van Vollenhoven yakni bahwa kaedah-kaedah hukum
merupakan kaidah-kaidah kehidupan yang disertai dengan sanksi dan jika perlu
dipaksakan oleh masyarakat atau Badan-badan yang berwenang, agar supaya diikuti
serta dihormati oleh para warga masyarakat. Didalam hal ini tidak
dipermasalahkan apakah ada terhadap kaidah-kaidah tersebut pernah ada penetapan
dari penguasa atau tidak. ( F.D. Holleman, 1937: 428)
q J.H.A.
Logemann
Bahwa kaidah-kaidah kehidupan merupakan norma-norma pergaulan hidup
artinya peraturan-peraturan tingkah laku yang harus ditaati oleh semua warga
masyarakat. Apabila kaidah tadi berlaku, maka kaidah tersebut mempunyai sanksi,
yaitu dari sanksi yang paling ringan sampai pada sanksi yang paling berat.
Logemann selanjutnya berpendapat, bahwa orang dapat menganggap semua kaidah
yang mempunyai sanksi tersebut merupakan kaidah hukum. Perbedaan antara kaidah
kesusilaan dengan kaidah Hukum bukanlah terletak pada unsur keharusan
semata-mata akan tetapi pada perbedaan sifat serta penyelenggaraan sanksinya,
oleh karena itu semua kaidah mengandung suatu keharusan. (J.H.A. Logemann,
1948: 27).
q Betrand
Ter Haar BZN
Bahwa Hukum adat mencakup seluruh peraturan-peraturan yang menjelma di
dalam keputusan-keputusan para pejabat hukum, yang mempunyai kewibawaan dan
pengaruh, serta yang di dalam pelaksananya berlaku serta merta dan dipatuhi
dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut.
Keputusan tersebut dapat mengenai suatu persengketaan, akan tetapi juga
dapat diambil berdasarkan kerukunan dan musyawarah. Dari pernyataan Ter Haar
mengenai Hukum Adat sebagaimana disebutkan tadi, dapat ditentukan indikator
yang digunakan untuk membedakan Hukum Adat dengan adat. Indikator yang
digunakan untuk membedakan Hukum adat dengan Adat, yang dipakai Ter Haar adalah
“ Atas Dasar Keputusan” yang diberikan baik oleh dan atau dari pejabat pemegang
kekuasaan dalam masyarakat maupun oleh para warga masyarakat.
Demikian beberapa pendapat dari sarjana hukum (adat)
tentang Hukum Adat dan adat. Sedangkan pendapat dari sarnrjana-sarjana ilmu
sosial lainya sebagai perbandingan adalah sebagai berikut :
q B.
Malinowski (Antropolog)
Perbedaan antara Adat / Kebiasaan dengan Hukum Adat didasarkan pada dua
kreteria, yakni sanksinya dan pelaksanaanya. Pada Adat sumber sanksi dan
pelaksanaannya adalah para warga
masyarakat secara individual atau kelompok. Pada Hukum adat sumber sanksi dan
pelaksanaanya adalah suatu kekuasaan terpusat atau badan-badan tertentu di
dalam masyarakat. Dengan kata lain hukum dilaksanakan oleh negara sebagai pemegang kedaulatan. (B.
Malinowski, 1959: 55).
q Paul
Bohannan (Antropolog)
Menyatakan bahwa untuk membedakan hukum dari kaidah-kaidah lainnya di
kenal 4 (empat) Atribut Hukum yaitu :
1.
Attributte of Authority (wewenang).
Ciri atau atribut yang pertama otoritas menentukan
bahwa aktivitas kebudayaan yang disebut hukum itu adalah keputusan-keputusan
melalui mekanisme yang diberi kuasa dan pengaruh dalam masyarakat.
Keputusan-keputusan itu memberi pemecahan terhadap ketegangan sosial yang
disebabkan karena adanya, misalnya :
a.
Serangan-serangan terhadp individu.
b.
Serangan-serangan terhadap hak orang.
c.
Serangan-serangan terhadap yang berkuasa.
d.
Serangan-serangan tehadap keamanan umum.
2.
Atributte
Intention of Universal Aplication.
Ciri atau atribut ini menentukan bahwa keputusan dari
pihak yang berkuasa itu harus dimaksudkan sebagai keputusan-keputusan yang
mempunyai jangka panjang dan harus dianggap berlaku juga terhadap
peristiwa-peristiwa yang serupa pada masa yang akan datang.
3.
Atributte of Obligation.
Ciri atau atribut ini menentukan bahwa
keputusan-keputusan dari pemegang kuasa itu harus mengandung rumusan-rumusan
dari kewajiban pihak kesatu terhadap pihak kedua, tetapi juga hak dari pihak kedua harus dipenuhi pihak kesatu.
Dalam hal ini pihak kesatu dan pihak kedua harus terdiri dari individu yang
masih hidup. Kalau keputusan itu tidak mengandung rumusan dari kewajiban maupun
hak tadi maka keputusan tidak merupakan keputusan hukum dan kalau pihak kedua
misalnya nenek moyang yang sudahmeninggal, maka keputusan hukum tadi hanya
suatu keputusan yang merumuskan suatu kewajiban
keagamaan.
4.
Atributte of Sanction
Ciri atau atribut keempat ini adalah bahwa keputusan
pihak berkuasa itu harus dikuatkan dengan sanksi dalam arti luas. Sanksi itu
bisa berupa sanksi jasmaniah berupa hukuman tubuh/fisik dan deprivasi dari
milik, tetapi juga berupa sanksi rohani seperti misalnya : menimbulkan rasa
takut, rasa malu, rasa benci, dll. (Leopold Pospisil, 1958: 54)
Apabila ditelaah pendapat dari para sarjana hukum dan
sarjana ilmu sosial lainnya di atas,
maka terasa betapa sulitnya untuk membedakan Hukum Adat dan Adat, oleh karena
kedua-duanya merupakan unsur-unsur yang membentuk mekanisme pengendalian sosial.
Pada masyarakat-masyarakat tertentu kaidah-kaidah non
hukum dapat berlaku secara lebih kuat dari pada kaidah-kaidah hukum. Hal ini
lebih-lebih berlaku pada masyarakat-masyarakat yang masih sederhana, diman
interaksi sosial lebih banyak dilakukan atas dasar hubungan-hubungan pribadi.
Namun demikian adalah keliru untuk mengaitkan hukum dengan suatu kekuasaan yang
terpusat yang mempunyai wewenang tunggal untuk menerapkan hukum. (lihat
pendapat para Antropolog di atas). Sebab apabila hal ini dianut, maka artinya
adalah bahwa masyarakat-masyarakat yang tidak mempunyai kekuasaan terpusat sama
sekali tidak mempunyai hukum.
Walaupun kesulitan-kesulitan tersebut di atas timbul
akan tetapi intinya sebenarnya terletak pada tujuan hukum itu sendiri, atau
secara khusus tujuan Hukum Adat. Dengan demikian untuk mengetahui dan
menghayati tujuan tersebut maka akan dapat ditetapkan ciri-ciri hukum tersebut
yang merupakan tanda pengenal yang membedakan dengan Adat.
Dikatakan di sini bahwa hukum bertujuan untuk mencapai
kehidupan yang damai. Kehidupan yang damai tadi akan dapat tercapai apabila ada
sesuatu keserasian antara ketertiban dengan keadilan. Kiranya ciri tersebut
dapat diterapkan terhadap Hukum Adat untuk dapat membedakan dari adat biasa. (Soerjono Soekanto, 1981: 19)
E. DEFINISI
– DEFINISI
Setelah kita mengetahui tentang istilah–istilah dan
unsur–unsur Hukum Adat maka perlulah kiranya sebagai langkah pertama dan
perkenalan kita mengetahui beberapa definisi / batasan Hukum Adat.
Hukum Adat pada dasarnya ialah keseluruhan peraturan
hukum yang berisi ketentuan adat–istiadat seluruh bangsa Indonesia yang
sebagian besarnya merupakan hukum yang tidak tertulis, dalam keadaannya yang
ber-bhineka mengingat bangsa Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa, yang
masing–masing suku bangsa tersebut memiliki adat–istiadat berdasarkan pandangan
hidup masing–masing.
Sebagai catatan kita lihat beberapa definisi / batasan
dari para tokoh ahli Hukum Adat mengenai Hukum Adat tersebut :
1. Prof.
Mr. Cornelis Van Vollenhoven
Sebagai
orang pertama yang menemukan Hukum Adat sebagai ilmu pengetahuan dan
menempatkan Hukum Adat berkedudukan sejajar dengan Hukum yang lainnya, C. Van
Vollenhoven memberikan pengertian tentang Hukum Adat sebagai berikut :
“ Aturan–aturan kelakuan yang berlaku bagi
orang–orang Pribumi dan orang–orang Timur Asing, yang disatu pihak mempunyai
sanksi (hukum) dan dilain pihak tidak dikodifikasikan (maka dikatakan adat).”
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa Hukum Adat di
masa sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia adalah hukum yang berlaku bagi
golongan penduduk seperti tersebut dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling (
I.S.) yang terdiri dari :
1. Orang – orang Eropa
2. Orang
– orang Timur Asing
3. Pribumi
/ Bumi Putra.
Hukum adat hanya berlaku bagi orang orang Indonesia asli dan orang–orang Timur
Asing seperti Cina, Arab, dan India dan sebagainya yang tidak beragama Kristen.
Dalam penjelasan lebih lanjut dapat dikatakan bahwa menurut C. Van Vollenhoven,
dalam batasannya mengenai Hukum Adat dikatakan : Disebut hukum karena
yang dimaksud adalah adat yang mempunyai sanksi, yaitu adat yang
mengandung perintah dan larangan dan apabila dilanggar maka si pelanggar akan
mendapat ancaman dari masyarakat.
Dikatakan Adat karena tidak dikodifikasikan, artinya
tidak dikumpulkan dalam suatu kitab Perundang–Undangan yang teratur menurut
sistem Hukum Barat. Jadi Hukum Adat itu bukan hukum yang tidak tertulis sama
sekali atau tidak dibukukan sama sekali, hal ini tidaklah demikian. Memang
Hukum Adat itu ada yang tidak tertulis dan tidak dibukukan, tetapi juga ada
yang ditulis dan ada yang dibukukan, walaupun tidak dibukukan menurut sistem
Hukum Barat.
Kitab–kitab Hukum Adat itu tidak saja dibuat di
pusat–pusat kerajaan masa lampau, tetapi juga dibuat di lingkungan pemerintahan
kekerabatan di daerah–daerah yang tersebar di seluruh Indonesia. Sedangkan
usaha–usaha C. Van Vollenhoven dalam memajukan Hukum Adat antara lain :
1.
Baliau menghasilkan suatu susunan yang menggambarkan
Sistematik Hukum Adat yang meliputi seluruh wilayah Indonesia.
Sistematik Hukum Adat yang
digambarkan oleh C. Van Vollenhopen tepat menggambarkan ketertiban batin dari
pada Hukum Adat.
2.
Berhasil menentang dan mematahkan usaha–usaha
melenyapkan Hukum Adat.
3.
Berhasil membina Corps Sarjana Hukum Adat, yang akan
melanjutkan pembinaan secara ilmiah dari pengetahuan tentang Hukum Adat.
Berdasarkan
hasil–hasil usaha itulah maka beliau dinamakan Bapak Ilmu Hukum Adat Indonesia,
sebab hasi–hasil usaha itu telah meningkatkan kedudukan pengetahuan tentang
Hukum Adat sejajar dengan ilmu–ilmu hukum lainnya.
2. Prof.
Mr. Betrand Ter Haar BZN
Ter Haar adalah Guru Besar Hukum Adat yang pertama ketika
Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) didirikan pada tahun 1924 di
Jakarta. Dalam rangka melanjutkan usaha Van Vollenhoven yang telah
membentangkan Sistem Hukum Adat dan memberikan dasar untuk meneliti Hukum Adat,
maka Ter Haar memberikan pengertian tentang Hukum Adat yang kemudian terkenal
dengan Ajaran TEORI KEPUTUSAN (BESLISSINGENLEER) di mana Hukum Adat
dikatakannya sebagai :
“Keseluruhan peraturan yang ditetapkan dalam keputusan – keputusan
yang berwibawa daripada fungsionaris Hukum (Misal : Hakim Adat, Rapat Desa,
Kepala Adat, Wali Tanah, Kepala Desa, dan sebagainya). Yang mempunyai wibawa (Macth, Authority) serta pengaruh yang
dalam pelaksanaannya berlaku dengan serta-merta (spontan) dan dipatuhi
dengan sepenuh hati.”
Jadi Hukum Adat menurut Ter Haar adalah Hukum
Keputusan yaitu hukum terdapat di dalam keputusan para petugas Hukum Adat (fungsionaris
hukum), baik berupa keputusan karena perselisihan / sengketa resmi, tetapi
juga di luar itu berdasarkan kesepakatan (musyawarah). (Keputusan fungsionaris
hukum di dalam dan di luar sengketa).
Keputusan–keputusan itu diambil berdasarkan
nilai–nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan
anggota–anggota persekutuan itu. Dalam perumusan Ter Haar itu tersimpul ajaran BESLISSINGENLEER
atau AJARAN KEPUTUSAN.
Dengan demikian nampak perbedaan antara Ter Haar
dengan Van Vollenhoven mengenai terjadinya Hukum Adat. C. Van Vollenhoven,
menganggap Hukum Adat sudah menjadi Hukum Adat apabila adat itu sudah
seharusnya diturut anggota masyarakat. B. Ter Haar, adat itu bukanlah Hukum
Adat apabila tidak dipertahankan dalam bentuk keputusan para pejabat adat (fungsionaris
hukum). Pada saat adanya keputusan tentang adat maka pada saat mana adat
itu menjadi Hukum Adat. Jadi menurut Ter Haar apa yang telah diputuskan saja,
menjadi Hukum Adat.
3.
Prof. Mr. R. Soepomo
Orang ketiga dalam urutan keahlian Hukum Adat Indonesia
setelah Van Vollenhoven dan Ter Haar dan sebagai ahli hukum adat bangsa
Indonesia asli pertama adalah Soepomo. Pada tahun 1936 ia telah menjadi Guru
Besar tetap dan menggantikan Prof. B. Ter Haar BZN. Menurut beliau yang
dimaksud dengan Hukum Adat adalah :
“Hukum Adat adalah Hukum Non Statutoir yang sebagian
besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil Hukum Islam”
Hukum adat itupun melingkupi hukum yang berdasarkan
keputusan–keputusan Hakim yang berisi asas–asas hukum dalam lingkungan, di mana
ia memutuskan perkara. Hukum Adat berurat-berakar pada kebudayaan tradisional,
Hukum Adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum
yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan fitrahnya sendiri, Hukum Adat terus
menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup sendiri.
Prof. Soepomo menyatakan untuk meninjau kembali
kedudukan Hukum Adat di dalam negara dan masyarakat Indonesia haruslah
ditekankan bahwa Hukum Adat sebagai hukum kebiasaan yang tidak tertulis akan
tetap menjadi sumber dari hukum baru dalam hal–hal yang tidak atau belum
ditetapkan dengan Undang–Undang.
Kesimpulan Prof. Soepomo tentang Hukum Adat ialah :
Dalam Tata Hukum Baru di Indonesia baik kiranya guna menghindarkan
kebingungan pengertian istilah Hukum Adat ini dipakai Synonim dari :
-
Hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan Legislatif
(Unstatutory Law)
-
Hukum yang hidup sebagai konvensi di badan–badan hukum
negara (Parlemen,Dewan Propinsi,Eksekutif)
-
Hukum yang timbul karena putusan– putusan Hakim (Judge
Made Law)
- Hukum
yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan
hidup baik di kota maupun di desa–desa. (Customary Law).
Semua inilah yang merupakan atau disebut Hukum Adat atau Hukum yang tidak
tertulis (yang disebut dalam Pasal 32 UUDS 1950).
4. Prof.
Dr. Soekanto, SH
Menurut beliau dalam bukunya “Meninjau Hukum Adat Indonesia”
mengemukakan : “Hukum Adat adalah sebagai kompleks adat yang kebanyakan tidak
dikodifikasikan dan besifat paksaan mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat
hukum.
5. Prof.
Dr. R. M. Soeripto, SH
Hukum adat adalah semua aturan–aturan/peraturan–peraturan
adat tingkah laku yang bersifat hukum disela segi kehidupan orang Indonesia,
yang pada umumnya tidak tertulis yang oleh masyarakat dianggap patut dan
mengikat para anggota masyarakat, yang bersifat hukum oleh karena ada kesadaran
dan perasaan keadilan umum, bahwa aturan – aturan/ peraturan–peraturan itu
harus dipertahankan oleh para petugas hukum dan petugas masyarakat dengan upaya
pemaksa atau ancaman hukum (sanksi). (Soeripto : 20)
6. Surojo
Wignjodipuro, SH
Hukum Adat adalah suatu kompleks norma–norma yang bersumber
pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan –
peraturan tingkah laku manusia adalah dalam kehidupan sehari–hari dalam
masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh
rakyat, karena mempunyai akibat hukum (sanksi)”
(Surojo
Wignjodipuro , 1973: 5).
7. Bushar
Muhammad, SH
Menurut Bushar
Muhammad “Hukum adat terutama hukum yang mengatur tingkah laku manusia
Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan
kelaziman, Kebiasaan dan kesusilaan yang benar–benar hidup di masyarakat Adat
karena dianut dan dipertahankan oleh anggota–anggota masyarakat itu.”
Adapun yang merupakan keseluruhan peraturan – peraturan yang
mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan –keputusan
para penguasa adat (Mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa memberi
keputusan dalam masyarakat adat itu). Yaitu dalam Keputusan Lurah, Penghulu,
Pembantu Lurah, Wali Tanah, Kepala Adat dan Hakim”. (Bushar Muhammad, 1961:30).
Dari beberapa definisi Hukum Adat yang telah dikemukakan di
atas maka di sini dapatlah disimpulkan bahwa :
“Hukum
adat itu adalah suatu kompleks norma – norma yang bersumber pada perasaan
keadilan rakyat yang selalu berkembang meliputi peraturan – peraturan tingkah
laku manusia dalam kehidupan sehari – hari dalam masyarakat, sebagian besar
tidak tertulis senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat karena mempunyai
akibat hukum (sanksi).”
Berdasarkan definisi sekaligus kesimpulan dari pengertian
Hukum Adat di atas, kita dapat melihat adanya satu kesatuan pandangan mengenai
apa sebenarnya Hukum Adat itu. Hukum Adat adalah Hukum yang hidup dalam
Masyarakat atau THE LIVING LAW. Konsepsi
tentang The Living Law untuk pertama kali diketengahkan oleh Eugen Ehrlich
dalam bukunya “Grundlegung Der
Sosiologie Das Recht”. pada Tahun 1913. Terjemahan dalam Bahasa Inggris “Fundamental
Principles of The Sociology Of Law, 1962)
Hal ini sebagai reaksi daripada pendangan dalam ilmu hukum
yang bersifat legalitis (yang sangat mengutamakan peraturan hukum yang termuat
dalam peraturan perundang–undangan). Di mana selalu mengabaikan tumbuhnya
gejala–gejala hukum di dalam masyarakat. Penggunaan istilah The Living Law
lazimnya dipergunakan untuk menunjukkan berbagai macam hukum yang tumbuh dan
berkembang dengan sendirinya di dalam masyarakat.
Hukum Adat sebagai The Living adalah merupakan pola hidup
kemasyarakatan tempat dimana hukum itu berproses dan sekaligus juga adalah
merupakan hasil daripada proses kemasyarakatan yan g merupakan sumber dan dasar
daripada hukum tersebut. Timbulnya hukum ini adalah secara langsung dari
landasan pokoknya yaitu : Kesadaran hukum masyarakat yang dalam hal ini adalah masyarakat
Indonesia.
Hukum Adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia
menjelaskan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Hukum Adat senantiasa tumbuh
dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup, yang
keseluruhan merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku.
(Soerojo Wignjodipuro, 1973 : 81)
Hukum Adat sebagai hukum Indonesia mempunyai corak yang khas
tersendiri berbeda dengan sistem Hukum yang dianut di negara barat. Sekalipun
Hukum Adat bersifat tradisional yang
berarti sangat terikat pada tradis
tradisi lama warisan nenek moyang mereka, namun kita tidak boleh menarik
kesimpulan secara tergesa–gesa bahwa Hukum Adat itu pantang berubah.
Kelihatannya sedikit memang agak ironi, karena antara tradisi dan perubahan
adalah merupakan dua hal (kutub) yang bertolak belakang.
q
Tradisi : menghendaki kelangsungan secara apa
adanya tanpa perubahan sedikitpun.
q
Perubahan : tidak menghendaki secara
turun–temurun dalam keadaan yang itu–itu juga, akan tetapi dalam setiap waktu
segala– galanya perlu untuk berubah dan diperbarui.
Hukum Adat itu di samping sifatnya yang tradisional juga
mempunyai corak “Dapat berubah/Dinamis” dan mempunyai “Kesanggupan
Menyesuaikan Diri / Plastisch”. Hukum bersifat Plastisch bilamana dalam
pelaksanaannya dapat diperhatikan hal–hal yang tersendiri. Sedangkan perubahan
dapat dilakukan dengan cara menghapuskan dan mengganti peraturan itu dengan
yang lain secara tiba-tiba atau perubahan itu terjadi oleh karena pengaruh
kejadian, perikehidupan yang silih
berganti. Sedangkan kesanggupannya untuk menyesuaikan diri oleh karena
bentuknya Hukum Adat itu tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan, maka dengan
sifat elastisitasnya yang luas sewaktu–waktu dapat menyesuaikan diri dengan
keadaan baru. Hukum Adat tumbuh dan berakar
dari kenyataan–kenyataan hidup dalam masyarakat, karena proses terjadi
dan terbentuknya yang lalu ditaati (proses pengkaidahannya) tidak tergantung
dari penguasa masyarakat.
Menurut Prof. Soepomo, Hukum Adat terus–menerus dalam keadaan
tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri. Sedangkan Prof. Djojodigoeno,
SH bahwa dalam pelaksanaannya Hukum Adat
sama sekali tidak terikat oleh ugeran–ugeran (norma–norma) hukum bukanlah
rangkaian ugeran (norma) melainkan suatu proses yang tidak ada hentinya. Dalam
penelitiannya mengenai Hukum Adat Prof. C. Van Vollenhoven khususnya mengenai
Perubahan dalam Hukum Adat menyebutkan : Adanya Pepatah Hukum (Recht –
Adagium) dari Minangkabau yang berbunyi :
“Sekali
Air gadang sekali tepian beranjak, sekali raja berganti sekali adat berubah” (Yang
artinya adalah : Sekali air meluap tempat pemandian bergeser, sekali raja
berganti maka sekali pula adat berubah.)
Lebih lanjut dikatakan oleh Van Vollenhoven Hukum Adat
berkembang dan terus maju, keputusan–keputusan adat menimbulkan hukum. Hukum
Adat pada waktu yang lampau agak berbeda isinya dengan Hukum Adat pada waktu
sekarang, karena hukum adat selalu menunjukkan perkembangan. Kemudian ia
melukiskan tentang bagaimana kokohnya kedudukan Hukum Adat itu dalam masyarakat
dengan kata – katanya :
“Jikalau
dari atas (penguasa) telah diputuskan untuk mempertahankan Hukum Adat padahal
hukum itu sudah mati, maka penetapan itu akan sia–sia belaka. Sebaliknya
seandainya telah diputuskan dari atas bahwa Hukum Adat harus diganti padahal di
desa–desa, di ladang–ladang dan di pasar–pasar hukum itu masih kuat dan kokoh,
maka hakimpun akan sia–sia belaka”.(C. Van Vollenhoven, 1926 ; 233)
Dari batasan – batasan di dan pengertian mengenai Hukum Adat
kemudian kesimpulan–kesimpulan dari definisi dan pengertian Hukum Adat tersebut
di atas, maka dapatlah kita lihat adanya suatu benang merah yang dapat
menyimpulkan seluruh dari pengertian diuraikan tentang Hukum Adat bahwa :
“Hukum Adat Indonesia adalah Hukum yang hidup dalam masyarakat (The Living
Law) yang selalu hidup, berubah / dapat menerima perubahan dan menyesuaikan
dengan kehidupan masyarakat modern sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar