Minggu, 03 Mei 2015

Diktat Hukum Adat Bab I

BAB I

PENGERTIAN DASAR


A.    PENGANTAR

      Apabila seseorang yang berkecimpung dalam bidang hukum telah terbiasa dengan Hukum Positif tertulis atau Peraturan Perundang-undangan, maka dia akan memasuki suatu bidang yang sangat berbeda apabila dia mempelajari Hukum Adat. Sesuai dengan latar belakang pendidikan serta tujuan pendidikanya itu, maka orang itu sudah terbiasa untuk mempelajari dan menerapkan Peraturan Perundang-undangan yang seragam dan Peraturan yang terhimpun dalam suatu kodifikasi. Misalnya :
q   Peraturan-peraturan Perdata  di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW).
q   Peraturan-peraturan Dagang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (W.V.k).
q   Peruran-peraturan Hukum  Pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dsb.
Atas dasar  latar belakang pendidikan serta pengalamannya, maka oang tadi kemudian sangat percaya bahwa hukum haruslah senantiasa dipisahkan secara tegas dan mutlak dari kepercayaan: Kesusilaan, Kesopanan, hal-hal yang gaib serta gejala-gejala sosial lainnya.
Pada umumnya ahli hukum (barat) tersebut hanya mengetahui bahwa peraturan perundang-undangan atau keputusan-keputusan hukum lainnya mempunyai latar belakang sejarahnya. Akan tetapi pada umumnya tidak mempertimbangkan betapa sejarah  dan tradisi dapat dan selalu hidup berdampingan dalam masyarakat, baik pada masa lampau maupun di masa kini. (Soekanto : 1981,17).
Pada umumnya di dalam sistem hukum Indonesia tradisional terdapat hukum yang tidak tertulis serta hukum yang tidak dikodifikasikan di dalam suatu kitab undang-undang Hukum yang tidak tertulis ini dinamakan “Hukum Adat” yang merupakan sinonim dari pengertian Hukum Kebiasaan. Apabila kita jumpai hal-hal yang tertulis, hal ini merupakan Hukum Adat yang tercatat (Beschetegen Adat Recht) dan Hukum Adat didokumentasikan (Documentereerd Adat Recht). Pada umumnya Hukum Adat yang tercatat merupakan hasil-hasil penelitian para ahli yang kemudian dibukukan dalam bentuk monografi-monografi.
Sedangkan Hukum Adat yang didokumentasikan merupakan pencatatan Hukum Adat yang dilakukan oleh fungsionaris-fungsionaris atau pejabat-pejabat.
Contoh : Awig-Awig, dikalangan masyarakat Adat di Bali.
Apabila dilihat dari sudut pandangan seorang ahli hukum yang sangat terkesan oleh Unifikasi dan atau Kodifikasi maka keseluruhan Hukum Adat Indonesia tidaklah teratur, tidak sempurna, tidak tegas dan mungkin tidak pasti. Dengan demikian kemungkinannya adalah besar sekali bahwa seorang ahli hukum yang baru pertama kali mempelajari Hukum Adat Indonesia akan berhadapan dengan hal-hal atau gejala-gejala yang sulit sekali untuk dapat dipahami secara kongkrit atas dasar latar belakang teoritis yang dimilikinya. Bahkan pada masa dahulu ada yang pernah menyatakan bahwa Hukum Adat seolah-olah hanyalah merupakan aturan-aturan ajaib, yang sebagian besar bersifat simpang siur sehingga membingungkan sekali. (Van Vollenhoven I, 1925)
Akan tetapi apabila seseorang dengan sungguh-sungguh memperdalam pengetahuannya terhadap Hukum Adat (tidak hanya dengan pikiran atau pengetahuan hukum tetapi juga dengan penuh perasaan), maka dia akan melihat sustu sistem yang sangat mengagumkan baginya.  Sebagaimna pernah dinyatakan oleh Prof. Soekanto, SH ternyata bahwa sistem  itu mencakup adat istiadat yang hidup pada masa dahulu dan sekarang, yang berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang bahkan berirama. (Soekanto : 1981, 18).
Kemudian lebih lanjut dikatakan bahwa apabila adat-istiadat itu dipelajari dan diteliti lebih banyak dan lebih lanjut, maka akan dijumpai aturan-aturan yang pada umumnya mempunyai sanksi (negatif). Apabila aturan-aturan itu dilanggar, maka pelanggar itu akan menderita, penderitaan yang sesungguhnya bertujuan untuk memulihkan keadaan seperti semula. (sebelum pelanggaran itu terjadi atau dilakukan). Dan mereka akan melihat sebagai sumber Hukum Adat, kebiasaan-kebiasaan dan adat-istiadat yang berhubungan dengan tradisi rakyat.

B.     Beberapa Istilah

1.      Istilah Adat
Ketika orang-orang barat/Eropa datang di Indonesia , kebudayaan Indonesia waktu itu sudah tinggi, bangsa Indonesia sudah mempunyai kehidupan dan ketatanegaraan sendiri dengan aturan-aturan yang disebut “Adat”. Walaupun ketika itu Indonesia belum menjadi suatu negara kesatuan seperti negara Republik indonesia seperti sekarang ini, namun di berbagai daerah, kehidupan masyarakatnya sudah mempunyai tata pemerintahan adat yang teratur. Sendi-sendi adat yang berlaku bagi bangsa Indonesia  walupun masyarakatnya Ber-Bhinneka namun pada dasarnya adalah sama.
Misalnya : - Asas kekeluargaan.
-          Tolong menolong.
-  Musyawarah dan mufakat dan tidak mementingkan diri sendiri.
Asas-asas tersebut pada umumnya sama diseluruh tanah air walaupun di sana sini terdapat perbedaan cara-cara pemakainnya dan pelaksanaannya. Istilah Adat sebagai nama aturan bangsa Indonesia sebelum kedatangan orang barat itu sebagian besar masyarakat di daerah-daerah di Indonesia pada umunya dipakai, walaupun karena dialek bahasa yang berbeda maka terdengan agak berlainan pengucapannya :
Misalnya :   - Gayo/ Aceh             : Odot
                    - Lampung                  : Hadat
- Jawa                         : Ngadat
- Bugis                        : Ade
- Halmahera                : Adati.
Sebenarnya istilah Adat itu berasal dari bahasa Arab yaitu “ADAH” yang artinya Kebiasaan yaitu sesuatu yang sering diulang-ulang. Istilah Adat ini dapatlah dikatakan telah “Diresepsi” kedalam Bahasa Indonesia dan hampir semua daerah di Indonesia sebagaimana telah disebutkan di atas. Istilah Adat yang sama dengan kebiasaan disini atau pengertian kebiasaan dalam arti adat adalah kebiasaan yang Normatif yang telah berwujud aturan tingkah laku yang berlaku di dalam masyarakat dan dipertahankan masyarakat. Oleh karena Adat adalah kebiasaan yang normatif dan dipertahankan oleh masyarakat, maka walaupun ia tidak terus berulang, pada saat-saat tertentu akan berulang dan harus dilaksanakan, dan apabila tidak dilaksanakan maka masyarakat akan mengadakan reaksi. Selanjutnya perbedaan antara Adat dan Kebiasaan dapat dilihat dari pemekainnya, adat dipakai secara turun temurun sedangkan kebiasaan sudah berubah dan tidak turun temurun.

 2. Istilah Hukum
Seperti halnya istilah Adat maka istilah hukum juga  berasal dari Bahasa Arab “ HUKM” ( Jama’ : AHKAM) yang artinya perintah. Jika dikatakan Hukum Syara atau Hukum Syariat, maka berarti hukum yang harus diturut menurut Ajaran Islam, Oleh karena  Syariat Jalan yang harus diturut. Menurut Syariat ada lima (5) macam perintah agama yang di sebut “AL-KHAMSAH” Oleh Hazairin kelima hukum ini diuraikan sebagai berikut ;
q Fard atau Fardu  : berarti wajib, yaitu yang mesti dilakukan.
q Haram :  berarti larangan yaitu yang dilarang melakukanya.
q               Mahdup/ Sunnah : berarti anjuran, yaitu yang dianjurkan untuk  dilakukan.
q Makruh  : berarti celaan, yaitu yang dicela jika dilakukan.
q                          Ja’ iz atau Mubah atau Halal : berarti boleh, yaitu yang tidak disuruh dan tidak pula dilarang melakukannya.
Dengan demikian dikalangan masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia istilah Hukum dan istilah adat terpisah pemakainnya dan pengertiannya sebagaimana dikemukakaan  oleh Hidjazie, K, SH     “Bahwa masyarakat Indonesia  memisahkan serta membedakan pengertian hukum dan pengertian adat.
q        Hukum  : adalah datangnya dari luar masyarakat itu sendiri dari penguasa, pemerintah atau berdasarkan agama.
q      Adat  : adalah ketentuan yang timbul serta tumbuh dari  masyarakat itu sendiri yang mereka taati selaku hukum.”.
Jadi apabila kita akan menarik pengertian hukum Adat dari uraian tersebut maka Hukum Adat berarti hukum yang timbul serta tumbuh dari dalam masyarakat yang ditaati sebagai hukum. Pengertian ini memang benar tetapi istilah Hukum adat itu bukan timbul dari masyarakat.

3. Istilah Hukum Adat
Istilah Hukum adat banyak kita jumpai dalam pelbagai keputusan resmi dan peraturan perundang-undangan dari pemerintah Republik Indonesia tanpa ada penjelasan lebih lanjut tentang apa yang disebut  dengan Hukum Adat itu. Keputusan-keputusan itu antara lain dapat kita jumpai di dalam :              
q  Disamping itu diselenggarakan pembinaan Hukum Adat sebagaimana hukum yang kenyataannya masih berlaku dalam masyarakat dan diarahkan kepada kesatuan bangsa dan perkembangan pembangunan (Pelita II, hal:318).
q  Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA) dalam pasal 5 tercantum
“ Hukum Agraria yang berlaku atas  bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan dan kesatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia serta……”
Selanjutnya dalam UUPA itu banyak terdapat kata-kata Hukum Adat baik dalam konsiderannya maupun di dalam batang tubuh Undang-Undang itu sendiri maupun dalam memori penjelasannya. Di dalam contoh-contoh tersebut tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang apa yang disebut Hukum adat itu. Mungkin  pembuat undang-undang dan keputusan-keputusan itu berpendapat bahwa istilah Hukum Adat telah dimengerti dan dipahami oleh rakyat Indonesia, sedang justru hingga sekarang belum ada kesatuan pendapat tentang pengertian istilah Hukum Adat itu.
Dengan demikian maka perlu kirannya diikuti perkembangan pengertian Hukum Adat. Istilah Hukum adat bukanlah rangkaian istilah Hukum dan istilah Adat melainkan sebagai terjemahan dari sitilah buatan orang Belanda yang disebut “ADAT RECHT”. Istilah Adat Recht ini pertama kali dikemukakan oleh Prof. Snouck  Horgronje yang merumuskan Hukum Adat sebagai “ Adat Die Recht Gevolgen Herbeb” yang artinya Adat yang mempunyai sanksi hukum. Jadi perkataan Hukum mengandung pengertian bahwa apabila dilanggar maka akan timbul sanksi, sedangkan perkataan Adat merupakan kebiasaan.
Sedangkan dikalangan rakyat biasa “ The Man of The Street” sejak jaman Hindia Belanda dulu bahkan sebelumnya tidak dikenal istilah Hukum Adat dan Adat Recht, yang dimengerti adalah istilah hukum dan adat. Apabila ditanyakan kepadanya, bagaimana adatnya di daerah ia tentang perkawinan, maka akan diterangkan rentetan  upacara-upacara dalam peresmian suatu perkawinan. Misalnya (di Jawa Tengah) upacara menginjak telur, membersihkan kaki, duduk bersama mempelai laki-laki dan perempuan dan seterusnya. Begitu pula halnya ditanyakan adatnya suatu daerah dalam memotong padi, dalam hal ini diterangkan upacara-upacara memotong padi, misalnya sesaji-sesaji atau kenduri yang diadakan penduduk dan upacara-upacara setelah memotong padi, misalnya mengadakan tari-tarian yang dijalankan muda-mudi di desa yang bersangkutan.
Kemudian apabila ditanyakan bagaimana hukumnya dalam memotong padi maka akan dijawab bahwa memotong padi tidak ada hukumnya. Tetapi jika ditanyakan bagaimana hukumnya jika memakamkan jenasah atau hukumnya jika  orang mau kawin maka dijelaskan rentetan upacara-upacaranya dalam memakamkan jenasah menurut agama Islam atau diterangkan tentang Akad Nikah dalam upacara perkawinan. Maka bagi rakyat biasa yang dimaksud dengan :
q  Hukum adalah aturan-aturan atau norma-norma menurut ajaran agama Islam
q  Adat adalah norma-norma menurut leluhur, kebiasan lama atau tradisi yang dipandang pantas atau patut oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.
Kiranya pendapat rakyat biasa itu yang membedakan antara Hukum dan Adat serta tidak mengenal istilah atau pengertian Hukum Adat, dan hal itu sudah sejak dulu kala, jauh sebelum pemerintah Belanda menguasai Indonesia. Hukum Adat yang diketemukan  oleh Snouck Horgronje dan kemudian diambil alih sekaligus dipopulerkan oleh C. Van Vollenhoven yang mengemukakan istilah Adat Recht itu sebagai istilah teknis-yuridis, yaitu istilah yang mempunyai arti tertentu dalam ilmu pengetahuan hukum. Jalanya istilah Adat Recht digunakan sebagai obyek untuk menyusun suatu cabang ilmu pengetahuan hukum tersendiri yang diberi nama “Adatrechtswettenschap”
Dilingkungan para ahli hukum, yang disebut Adat Recht atau Hukum Adat menurut C. Van Vollenhoven :
“ Rangkaian aturan-aturan tingkah laku bagi golongan Bumiputra dan bagi golongan Timur Asing yang distu pihak ada sanksinya (disebut Hukum) dan dilain pihak tidak dikodifikasikan (karena disebut Adat).”
Sejak saat itu maka istilah Adat Recht atau Hukum Adat menjadi tenar dikalangan masyarakat ilmuwan yang meneliti dan memahami tentang ilmu hukum. Pada waktu Belanda menguasai Indonesia (Netherland Indies) diketahui dan disadari bahwa bangsa Indonesia pada waktu itui disebut Inlanders dan kemudian diterjemahkan dengan Bumiputra yang tunduk dan mempertahankan suatu hukum yang sifatnya berbeda sekali dengan hukum Belanda.
Waktu diperlukan penegasan tertulis hukum apa yang berlaku bagi golongan Bumiputra ini maka bagi golongan Bumiputra oleh pemerintah Belanda dalam penyebutannya resmi dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan tersebut yaitu :
1.      Dalam A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving = Ketentuan –ketentuan Umum Perundang-undangan) Pasal 11 dipakai istilah : Godsdientige Wetten = peraturan-peraturan keagamaan dan Volkstelingen en Gebruiken = lembaga-lembaga rakyat dan kebiasaan-kebiasaan.
2.      Dalam R.R. (Reglement Regering) Pasal 75 ayat (3) memakai istilah : Godsdientige Wetten = peraturan-peraturan keagamaan, dan Instelingen en Gebruiken = lembaga-lembaga rakyat dan kebiasaan-kebiasaan.
3.      Dalam I.S. (Indische Staats Regeling = Peraturan hukum Negara Belanda ) Pasal 128 ayat (4) memakai istilah : Instelingen de Volks = lembaga-lembaga rakyat.
4.      Dalam R.R pasal 78 ayat (2) dipakai istilah : Godsdientige Wetten  en Qude Herkomsten = peraturan keagamaan dan naluri-naluri atau kebiasaan lama/kuno.
Jadi karena ketidaktahuan sekaligus tidak mau tahu dan mempelajari serta mendalami atturan-aturan dan hukum yang berlaku bagi penduduk asli (pribumi) maka Belanda dalam penyebutan resminya di dalam peraturan peraturan yang berlaku bagi golongan penduduk asli/pribumi itu dengan istilah :
q            Peraturan – peraturan Keagamaan.
q            Lembaga-lembaga rakyat.
q            Kebiasaan-kebiasaan.
q            Tradisi, naluri-naluri dan,
q            Lembaga asli.
Dan pada waktu itu belum dikenal istilah Hukum Adat yang merupakan terjemahan dari Adat Recht sehingga pemerintah Belanda dalam penyebutan resmi di dalam peraturan perundang-undangan yang dikeluarkannya selalu  menyebutkannya dengan istilah-istilah seperti tersebut diatas. Sedangkan istilah Adat Recht itu dalam peraturan perundang-undangan Belanda baru muncul pada tahun 1929 yaitu dalam : Indische Staatsregeling (I.S)  pasal 134 ayat (2) mulai berlaku tahun 1929” Sejak itu pada tahun 1929 Pemerintah Belanda memulai istilah Hukum Adat atau Adat Recht dengan resmi di dalam peraturan perundang-undangan yang dikeluarkannya.
Kalau kita lihat dimuka dalam penyebutan resmi dalam peraturan perundang-undangan sebelum tahun 1929 pemerintah Belanda dalam dan penyebutan pengertian Hukum Adat selalu memakai istilah “Godsdientige Wetten = Peraturan-peraturan Keagamaan” disamping istilah-istilah lainnya.
Pemakaian istilah peraturan-peraturan keagamaan ini mencapai puncaknya pada abad ke 19 (tahun 1850). Hal ini juga  mempengaruhi pemerintah Hindia Belanda dalam penyebutan sekaligus mengartikan hukum yang berlaku bagi golongan pribumi/asli dalam peraturan resmi yang dikeluarkan dalam bentuk perundang-undangan sebagaimana dikemukakan diatas.
Hal  ini karena dipengaruhi adanya atau timbulnya serta berkembangnya “TEORI RECEPTIO EN COMPLEXU” yang dikemukakan oleh Solomon Keyzer dan dikuatkan oleh Willem Christian Van Den Berg. Untuk lebih jelasnya sekaligus lengkapnya pembahasan teori tersebut, marilah kita lihat dan sekaligus kita bahas dalam sub bab tersendiri, yaitu istilah Peraturan Keagamaan.




4.  Istilah Peraturan Keagamaan
Penyebutan pengertian hukum yang berlaku di kalangan masyarakat Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda ini terlihat sangat menonjol adalah penyebutan Peraturan-peraturan Keagamaan sebagaimana disebutkan diatas. Jadi menurut pemerintah Belanda, hukum atau peraturan yang berlaku dilingkungan masyarakat Indonesia asli adalah berdasarkan peraturan atau hukum agama yang dianutnya. Apakah yang melatar belakangi dari peraturan perundang-undangan di masa Hindia Belanda dahulu memakai istilah Peraturan Keagamanaan, adalah dikarenakan pemerintah Belanda ketika membuka Undang-Undang ketatanegaraan tersebut pada tahun 1800 atau pertengahan abad ke 19 dipengaruhi oleh Teori Receptio En Complexu.
Teori ini dikemukakan oleh Solomon Keyzer (tahun 1823-1868). Beliau adalah  seorang ahli bahasa dan kebudayaan Hindia Belanda, beliau banyak menulis tentang Hukum Islam di Jawa Barat serta menterjemahkan Al Qur’an kedalam bahasa Belanda. Pendapat atau teorinya kemudian dikuatkan oleh Willem Christian Van Den Berg (tahun 1845- 1927).
Menurut Van Den Berg menyatakan :
 “  Hukum Islam yang diterima sebagai kesadaran masyarakat Islam Indonesia tidak hanya sebagian-sebagian tetapi diterima secara keseluruhan, sebagai satu kesatuan untuk lebih jelasnya maka dapatlah dikemukakan di sini tentang teori kedua tokoh tersebut yaitu : Adat-istiadat dan Hukum (adat) suatu golongan masyarakat adalah Receptio (penerimaan) seluruhnya dari agama yang dianut oleh golongan masyarakat itu”

Jadi hukum adat suatu golongan masyarakat adalah hasil penerimaan bulat-bulat (keseluruhan) dari hukum agama yang dianut oleh golongan masyarakat itu. Misalnya :
q  Hukum dari yang beragama Islam adalah Hukum Islam.
q  Hukum dari yang beragama Katolik/Kristen adalah Hukum agama Kristen/Katolik.
q  Hukum dari yang beragama Hindu adalah hukum Agama Hindu dan seterusnya.
Kesalahan identifikasi ini, dimana sebagaian hukum adat diidentikan sebagai hukum agama , khususnya  Agama Islam yang banyak dianut oleh sebagian  masyarakat Indonesia yang demikian menyamakan/mengidentikan Hukum Adat itu sama dengan Hukum Islam, sebagaimana dianut dan diikuti oleh pembuat peraturan/ordonansi dalam hal ini pemerintah Hindia Belanda. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah Hindia Belanda dalam mengeluarkan peraturan/ordonansi secara resmi menyebut Hukum Adat atau Hukum yang berlaku bagi penduduk asli/pribumi dengan sebutan perauran-peraturan keagamaan.
Teori ini tentu mendapat tantangan terutama  dari Snouck Hurgronje dan C. Vam Vollenhoven.Menurut mereka yang diterima masyarakat dari agama Islam hanya terbatas mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kepercayan dan kehidupan kebatinan. Kemudian untuk menangkis pendapat dari Teori Receptio en Complexu Snouck Horgronje dan Van Vollenhoven mengembangkan teori yang disebut “ TEORI KONFLIK atau RECEPTIO” sebagai berikut :
q  Antara hukum Islam dan Hukum Adat adalah dua unsur yang saling bertentangan/saling antagonistik.
q  Dan Hukum yang mengatur tata tertib masyarakat bukan Hukum Islam tetapi yang berlaku adalah Hukum Adat.
q  Memang ke dalam Hukum Adat telah ada pengaruh Hukum Islam tetapi pengaruh itu baru mempunyai kekuatan sebagai norma hukum apabila diterima sesuai dengan hukum adat.
Teori ini dicetuskan oleh Snouck Horgronje (tahun 1857-1936) berdasarkan hasil penelitian terhadap orang Aceh dan Gayo. Kemudian Teori Receptio ini berkembang menjadi panutan bagi kalangan sarjana dan pemerintah Hindia Belanda, di Indonesia teori ini dikembangkan Bertrand Ter Haar, BZN. Bertitik tolak dari Teori Receptio, yang menentukan apakah hukum Islam berlaku di masyarakat , ditentukan oleh hukum Adat. Jadi apakah suatu lembaga hukum Islam merupakan hukum atau tidak ditentukan oleh hukum adat setempat. Berarti Hukum Islam bukan hukum selama belum diterima oleh masyarakat menjadi hukum Adat.
Mungkin dapat dipertanyakan motivasi dan arah yang hendak dicapai oleh Teori Receptio tersebut. Barangkali secara tidak langsung berusaha mengaburkan kedudukan nilai dan kesadaran hukum Islam dari Tata hukum Indonesia. Sebab sekalipun misalnya suatu lembaga hukum Islam telah berubah menjadi kesadaran yang hidup mengatur lalu lintas pergaulan, toh lembaga itu bukan lagi tata hukum yang berpredikat hukum Islam, tetapi berubah warna menjadi hukum Adat.

C.    HUKUM ADAT DAN HUKUM KEBIASAAN.

Dari beberapa pengertian dan istilah, sebagaimana disebutkan di muka dapat kita ketahui bahwa istilah hukum Adat merupakan terjemahan dari istilah bahasa asing/Belanda yaitu Adat Recht yang diketemukan oleh Snouck Horgronje dan kemudian dipopulerkan oleh C. Van Vollenhoven. Ternyata istilah hukum adat yang merupakan terjemahan dari Adat Recht itu tidak dikenal dalam masyarakat, dan masyarakat hanya mengenal atau memakai dan memahami pengertian adat dan hukum secara terpisah sendi-sendiri.
Di dalam masyarakat hanya dikenal kata “ADAT” saja tetapi istilah inipun berasal dari bahasa asing/Arab. Istilah adat dapatlah ikatakan telah diresepsi ke dalam bahasa Indonesia dan hampir seluruh daerah Indonesia. Kemudian adat apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti kebiasaan, jadi secara sederhana istilah Adat Recht dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan seyogyanya atau seharusnya menjadi hukum kebiasaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum Adat itu adalah sama dengan hukum kebiasaan. Tugasnya hukum Adat merupakan istilah lain dari hukum kebiasaan. Apakah demikian halnya?
Van Dijk tidak sependapat untuk menggunakan istilah hukum kebiasaan  sebagaimna terjemahan dari Adat Recht untuk menggantikan Hukum Adat. Alasan dari Van Dijk dikemukakan sebagai berikut :
“ Tidaklah tepat menterjemahkan Adat Recht menjadi hukum kebiasaan untuk menggantikan Hukum Adat, karena yang dimaksud dengan hukum kebiasaan adalah kompleks peraturan-peraturan hukum yang tumbuh karena kebiasaan. Artinya karena telah demikian lamanya orang tidak bisa bertingkah laku menurut  menurut suatu cara tertentu sehingga timbulah suatu peraturan kelakuan yang diterima dan juga diinginkan oleh masyarakat, sedang apabila orang mencari sumber yang nyata dari mana peraturan itu berasal maka hampir semestinya akan diketemukan oleh suatu alat perlengkapan masyarakat tertentu dalam lingkungan besar atau kecil sebagai pangkalnya.” (Van Dijk : 1960,5)

Dengan demikian Van Dijk ingin menyatakan bahwa sebenarnya antara hukum Adat dan Hukum kebiasaan itu terdapat perbedaanya. Letak perbedaan antara hukum Adat dan Hukum Kebiasaan itu adalah pada sumbernya, artinya bahwa hukum kebiasaan itu tidak bersumber dari alat-alat perlengkapan masyarakat.
Lebih lanjut disebutkan oleh Van Dijk perbedaan antara Hukum adat dn Hukum Kebiasaan itu terletak pada sifatnya, artinya bahwa :
q   Hukum Kebiasaan itu sepenuhnya bersifat tidak tertulis.
q   Hukum Adat sebagian bersifat tertulis.
Selanjutnya perbedaan antara adat dan kebisaan dapat dilihat dari pemakaiannya :
q   Adat : dipakai secara turun temurun.
q   Kebiasaan : mudah berubah dan tidak turun temurun.
Apabila Van Dijk disini mngajukan sebagai contoh dari konsepsi yang menolak  untuk menggunakan istilah hukum kebiasaan sebagai terjemahan dari Adat Recht maka berikut ini akan menampilkan suatu konsepsi yang menerima atau setidaknya menyetujui, walaupun tidak secara tegas menyatakan. “ Hukum Adat pada hakekatnya merupakan Hukum Kebiasaan, artinya kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai akibat hukum “ (Sein-Sollen) berbeda dengan kebiasaan belaka, kebiasaan yang merupakan Hukum Adat adalah perbuatan-perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama . (Soerjono Soekanto, 1976:11).
Apabila pernyataan diatas ditelaah, maka sederhana dapat diungkapkan bahwa sebenarnya tidak terdapat perbedaan antara Hukum Adat dengan Hukum Kebiasaan atau dengan kata lain perkataan pengertian Hukum Adat adalah sama dengan Hukum Kebiasaan. Lebih lanjut dapat dikatakan disini bahwa kebiasaan dalam arti adat adalah kebiasaan yang normatif yang telah terwujud aturan tingkah laku di dalam masyarakat serta dipertahankan masyarakat.
Oleh karena adat adalah kebiasaan yang normatif dan dipertahankan oleh masyarakat, maka walaupun ia tidak terus berulang-ulang, pada saat-saat tertentu akan berulang dan harus dilaksanakan, apabila tidak dilaksanakan maka masyarakat akan mengadakan reaksi. Dengan dasar atau alasan di atas dan juga tidak dipertentangkan kedua konsepsi tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa untuk selanjutnya dinyatakan bahwa pengertian Hukum Adat adalah sama dengan Hukum Kebiasaan. Landasannya adalah :

1.        Bahwa istilah atau kata “Adat” apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi kebiasaan. Oleh karena itu Adat Recht dapat diterjemahkan menjadi Hukum Adat atau Hukum Kebiasaan

2.        Bahwa memang di dalam proses pelaksanaan hukum ini sering dikuatkan oleh atau melalui alat-alat perlengkapan masyarakat umum tidak semua aturan di sini akan bersumber atau mempunyai sumber dari perlengkapan masyarakat itu.

D.    ADAT DAN HUKUM ADAT

Sejak dilahirkan di dunia, telah dianugerahi suatu naluri untuk hidup bersama dengan orang lain. Sebagai akibat adanya naluri tersebut dan atas dasar pikiran, kehendak dan persasaan timbul hasrat untuk bergaul yang kemudian menimbulkan interaksi sosial yang dinamis. Interaksi sosial tadi mula-mula berpangkal tolak pada cara yang merupakan suatu bentuk perbuatan. Apabila bentuk sustu perbuatan tersebut dirasakan sebagai suatu yang baik, maka perbuatan tersebut mungkin menjadi kebiasaan atau perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama.
Berulang-ulangnya sustu perbuatan merupakan sustu pertanda bahwa perbuatan tersebut disukai, maka pada taraf ini, sustu pola perikelakuan mulai dikenal dan diakui, sebab suatu penyimpangan terhadapnya akan mengakibatkan celaan. Apabila kebiasaan tersebut di atas semata-mata dianggap sebagai cara berperikelakuan akan tetapi diterima sebagai kaidah-kaidah pengatur, maka kebiasaan tadi menjadi Tata kelakuan.
Tata kelakuan mencerminkan sifat-siafat hidup dari kelompok manusia, tata kelakuan mana tidak  hanya dikenal atau dakui, akan tetapi juga dihargai. Tata kelakuan yang kekal serta kuanya integritasnya dengan pola-pola perikelakuan masyarakat, dapat meningkatkan kekuatan mengikatnya sehingga menjadi adat-istiadat.
Adat-istiadat merupakan kaidah-kaidah yang tidak hanya dikenal, diakui dan dihargai akan tetapi juga ditaati. Adat-istiadat mempunyai ikatan dan pengaruh yang kuat dalam masyarakat, kekuatan mengikat tergantung pada masyarakat yang mendukung adat istiadat tersebut yang terutama berpangkal  pada perasaan keadilannya. Tidak semua adat merupakan hukum, ada perbedaan antara adat dan istiadat biasa dan Hukum adat.
Kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan (dikodifikasikan) dan bersifat paksaan serta mempunyai sanksi (hukum) , jadi mempunyai akibat hukum, kompleks inidisebut Hukum Adat. Untuk lebih jelasnya kita lihat definisi atau batasan mengenai Hukum Adat yang dikemukakan oleh C. Van Vollenhoven yang menyatakan :
“ Hukum Adat adalah keseluruhan antara tingkah laku yang mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat yang merupakan adat dan sekaligus mempunyai atau memberi sanksi bagi siapa saja yang melanggarnya dan ada upaya memaksa”

Jadi dari definisi dan pengertian di atas disimpulkan kreteria Hukum Adat antara lain :
1.      Adanya aturan tingkah laku yang mengatur kehidupan manusia.
2.      Aturan tingkah laku itu mempunyai sanksi.
3.      Mempunyai upaya memaksa.
4.      Memberikan sanksi kepada siapa saja yang melanggar.
Dengan demikian maka yang dimaksud dengan :
q  Adat adalah aturan yang mengatur tingkah laku manusia.
q  Hukum Adat adalah aturan yang mengatur tingkah laku manusia, bagi siapa saja yang melanggar aturan tersebut dikenai sanksi dan sanksi itu dapat dipaksakan.
 Persamaannya :
q        Sama-sama mengatur norma tingkah laku manusia
q        Sama-sama mempunyai sanksi.
             Perbedaanya :
q  Kalau adat sanksinya tidak dapat dipaksakan.
q  Kalau Hukum Adat sanksinya dapat dipaksakan.
Sanksi atau ancaman hukuman adalah berupa reaksi dari masyarakat hukum yang bersangkutan, reaksi dari masyarakat hukum ini dalam pelaksanaannya sudah barang tentu dilakukan penguasa masyarakat hukum, dimaksudkan penguasa masyarakat hukum yang bersangkutan menjatuhkan sanksinya terhadap sipelanggar peraturan adat dan kemudia menjatuhkan putusan hukuman.
Jadi demikianlah secara sederhana dan segi parktisnya dapat kita lihat perbedanya antara adat dan Hukum Adat yang terletak pada ancaman hukuman atau sanksinya, yaitu kalau adat sanksinya tidak dapat dipaksakan sedangkan Hukum Adat dapat dipaksakan.
Secara teoritis akademis sudah timbul  kesulitan-kesulitan untuk membedakan kedua gejala sosial tadi, apalagi di dalam parkteknya dimana kedua gejala tadi berkaitan dengan eratnya. (Soekanto, 1981: 15).
Untuk lebih jelasnya dan lebih mendalami perbedaan antara adat dan Hukum Adat (sebaliknya), kita lihat pendapat para sarjana hukum khususnya sarjana  Hukum Adat dan juga kita lihat beberapa pandangan dari sarjana Ilmu Sosial lainnya agar supaya dapat diperolehsuatu gambaran yang agak jelas dan luas untuk memperoleh bahan perbandingan (studi komparatif).
Pendapat dari ahli Hukum Adat :
q  MR.  Soepomo
Hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis dalam peraturan-peraturan legislatif (Non Statutory Law) meliputi peraturan hidup meskipun tidak dikitabkan/dikodifikasikan oleh yang berwajib toh dihormati dan didukung oleh rakyat berdasar atas kenyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Dengan penjabaran batasan makna Hukum Adat yang demikian kelihatan Soepomo lebih cenderung menggunakan kekuatan hukum sebagai dasar perbedan antara adat dan Hukum Adat.

q  Cornelis Van Vollenhoven
Bahwa apabila seorang hakim menghadapi kenyataan bahwa ada peraturan tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para warga masyarakat serta ada perasaan umum bahwa peraturan-peraturan itu harus dipertahankan oleh para pejabat hukum maka peraturan-peraturan tadi bersifat hukum.
Dari pendapatnya C. Van Vollenhoven di atas dapat dinyatakan bahwa untuk membedakan Hukum adat dengan Adat dapat dipergunakan kreteria:
1.      Kepatuhan dan keterikatan  warga masyarakat akan aturan itu.
2.      Adanya perasaan umum bahwa perturan-peraturan itu harus dipertahankan oleh para pejabat hukum.      

q  F. D. Holleman
Sependapat dengan C. Van Vollenhoven yakni bahwa kaedah-kaedah hukum merupakan kaidah-kaidah kehidupan yang disertai dengan sanksi dan jika perlu dipaksakan oleh masyarakat atau Badan-badan yang berwenang, agar supaya diikuti serta dihormati oleh para warga masyarakat. Didalam hal ini tidak dipermasalahkan apakah ada terhadap kaidah-kaidah tersebut pernah ada penetapan dari penguasa atau tidak. ( F.D. Holleman, 1937: 428)

q  J.H.A. Logemann
Bahwa kaidah-kaidah kehidupan merupakan norma-norma pergaulan hidup artinya peraturan-peraturan tingkah laku yang harus ditaati oleh semua warga masyarakat. Apabila kaidah tadi berlaku, maka kaidah tersebut mempunyai sanksi, yaitu dari sanksi yang paling ringan sampai pada sanksi yang paling berat. Logemann selanjutnya berpendapat, bahwa orang dapat menganggap semua kaidah yang mempunyai sanksi tersebut merupakan kaidah hukum. Perbedaan antara kaidah kesusilaan dengan kaidah Hukum bukanlah terletak pada unsur keharusan semata-mata akan tetapi pada perbedaan sifat serta penyelenggaraan sanksinya, oleh karena itu semua kaidah mengandung suatu keharusan. (J.H.A. Logemann, 1948: 27).

q  Betrand Ter Haar BZN
Bahwa Hukum adat mencakup seluruh peraturan-peraturan yang menjelma di dalam keputusan-keputusan para pejabat hukum, yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta yang di dalam pelaksananya berlaku serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut.
Keputusan tersebut dapat mengenai suatu persengketaan, akan tetapi juga dapat diambil berdasarkan kerukunan dan musyawarah. Dari pernyataan Ter Haar mengenai Hukum Adat sebagaimana disebutkan tadi, dapat ditentukan indikator yang digunakan untuk membedakan Hukum Adat dengan adat. Indikator yang digunakan untuk membedakan Hukum adat dengan Adat, yang dipakai Ter Haar adalah “ Atas Dasar Keputusan” yang diberikan baik oleh dan atau dari pejabat pemegang kekuasaan dalam masyarakat maupun oleh para warga masyarakat.
Demikian beberapa pendapat dari sarjana hukum (adat) tentang Hukum Adat dan adat. Sedangkan pendapat dari sarnrjana-sarjana ilmu sosial lainya sebagai perbandingan adalah sebagai berikut :
q  B. Malinowski (Antropolog)
Perbedaan antara Adat / Kebiasaan dengan Hukum Adat didasarkan pada dua kreteria, yakni sanksinya dan pelaksanaanya. Pada Adat sumber sanksi dan pelaksanaannya adalah para  warga masyarakat secara individual atau kelompok. Pada Hukum adat sumber sanksi dan pelaksanaanya adalah suatu kekuasaan terpusat atau badan-badan tertentu di dalam masyarakat. Dengan kata lain hukum dilaksanakan oleh  negara sebagai pemegang kedaulatan. (B. Malinowski, 1959: 55).
q  Paul Bohannan (Antropolog)
Menyatakan bahwa untuk membedakan hukum dari kaidah-kaidah lainnya di kenal 4 (empat) Atribut Hukum yaitu :
1.      Attributte of Authority (wewenang).
Ciri atau atribut yang pertama otoritas menentukan bahwa aktivitas kebudayaan yang disebut hukum itu adalah keputusan-keputusan melalui mekanisme yang diberi kuasa dan pengaruh dalam masyarakat. Keputusan-keputusan itu memberi pemecahan terhadap ketegangan sosial yang disebabkan karena adanya, misalnya :
a.       Serangan-serangan terhadp individu.
b.      Serangan-serangan terhadap hak orang.
c.       Serangan-serangan terhadap yang berkuasa.
d.      Serangan-serangan tehadap keamanan umum.
2.      Atributte  Intention of Universal Aplication.
Ciri atau atribut ini menentukan bahwa keputusan dari pihak yang berkuasa itu harus dimaksudkan sebagai keputusan-keputusan yang mempunyai jangka panjang dan harus dianggap berlaku juga terhadap peristiwa-peristiwa yang serupa pada masa yang akan datang.
3.      Atributte of Obligation.
Ciri atau atribut ini menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pemegang kuasa itu harus mengandung rumusan-rumusan dari kewajiban pihak kesatu terhadap pihak kedua, tetapi juga hak  dari pihak kedua harus dipenuhi pihak kesatu. Dalam hal ini pihak kesatu dan pihak kedua harus terdiri dari individu yang masih hidup. Kalau keputusan itu tidak mengandung rumusan dari kewajiban maupun hak tadi maka keputusan tidak merupakan keputusan hukum dan kalau pihak kedua misalnya nenek moyang yang sudahmeninggal, maka keputusan hukum tadi hanya suatu keputusan yang merumuskan suatu kewajiban  keagamaan.
4.      Atributte of Sanction
Ciri atau atribut keempat ini adalah bahwa keputusan pihak berkuasa itu harus dikuatkan dengan sanksi dalam arti luas. Sanksi itu bisa berupa sanksi jasmaniah berupa hukuman tubuh/fisik dan deprivasi dari milik, tetapi juga berupa sanksi rohani seperti misalnya : menimbulkan rasa takut, rasa malu, rasa benci, dll. (Leopold Pospisil, 1958: 54)
Apabila ditelaah pendapat dari para sarjana hukum dan sarjana  ilmu sosial lainnya di atas, maka terasa betapa sulitnya untuk membedakan Hukum Adat dan Adat, oleh karena kedua-duanya merupakan unsur-unsur yang membentuk mekanisme pengendalian sosial.
Pada masyarakat-masyarakat tertentu kaidah-kaidah non hukum dapat berlaku secara lebih kuat dari pada kaidah-kaidah hukum. Hal ini lebih-lebih berlaku pada masyarakat-masyarakat yang masih sederhana, diman interaksi sosial lebih banyak dilakukan atas dasar hubungan-hubungan pribadi. Namun demikian adalah keliru untuk mengaitkan hukum dengan suatu kekuasaan yang terpusat yang mempunyai wewenang tunggal untuk menerapkan hukum. (lihat pendapat para Antropolog di atas). Sebab apabila hal ini dianut, maka artinya adalah bahwa masyarakat-masyarakat yang tidak mempunyai kekuasaan terpusat sama sekali tidak mempunyai hukum.
Walaupun kesulitan-kesulitan tersebut di atas timbul akan tetapi intinya sebenarnya terletak pada tujuan hukum itu sendiri, atau secara khusus tujuan Hukum Adat. Dengan demikian untuk mengetahui dan menghayati tujuan tersebut maka akan dapat ditetapkan ciri-ciri hukum tersebut yang merupakan tanda pengenal yang membedakan dengan Adat.
Dikatakan di sini bahwa hukum bertujuan untuk mencapai kehidupan yang damai. Kehidupan yang damai tadi akan dapat tercapai apabila ada sesuatu keserasian antara ketertiban dengan keadilan. Kiranya ciri tersebut dapat diterapkan terhadap Hukum Adat untuk dapat membedakan dari  adat biasa. (Soerjono Soekanto, 1981: 19)

    E. DEFINISI – DEFINISI

Setelah kita mengetahui tentang istilah–istilah dan unsur–unsur Hukum Adat maka perlulah kiranya sebagai langkah pertama dan perkenalan kita mengetahui beberapa definisi / batasan Hukum Adat.
Hukum Adat pada dasarnya ialah keseluruhan peraturan hukum yang berisi ketentuan adat–istiadat seluruh bangsa Indonesia yang sebagian besarnya merupakan hukum yang tidak tertulis, dalam keadaannya yang ber-bhineka mengingat bangsa Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa, yang masing–masing suku bangsa tersebut memiliki adat–istiadat berdasarkan pandangan hidup masing–masing.
Sebagai catatan kita lihat beberapa definisi / batasan dari para tokoh ahli Hukum Adat mengenai Hukum Adat tersebut :
1.  Prof. Mr. Cornelis Van Vollenhoven
    Sebagai orang pertama yang menemukan Hukum Adat sebagai ilmu pengetahuan dan menempatkan Hukum Adat berkedudukan sejajar dengan Hukum yang lainnya, C. Van Vollenhoven memberikan pengertian tentang Hukum Adat sebagai berikut :
“ Aturan–aturan kelakuan yang berlaku bagi orang–orang Pribumi dan orang–orang Timur Asing, yang disatu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan dilain pihak tidak dikodifikasikan (maka dikatakan adat).”
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa Hukum Adat di masa sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia adalah hukum yang berlaku bagi golongan penduduk seperti tersebut dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling ( I.S.) yang terdiri dari :
1. Orang – orang Eropa
2.  Orang – orang Timur Asing
3.  Pribumi / Bumi Putra.
Hukum adat hanya berlaku bagi orang  orang Indonesia asli dan orang–orang Timur Asing seperti Cina, Arab, dan India dan sebagainya yang tidak beragama Kristen. Dalam penjelasan lebih lanjut dapat dikatakan bahwa menurut C. Van Vollenhoven, dalam batasannya mengenai Hukum Adat dikatakan : Disebut hukum  karena  yang dimaksud adalah adat yang mempunyai sanksi, yaitu adat yang mengandung perintah dan larangan dan apabila dilanggar maka si pelanggar akan mendapat ancaman dari masyarakat.
Dikatakan Adat karena tidak dikodifikasikan, artinya tidak dikumpulkan dalam suatu kitab Perundang–Undangan yang teratur menurut sistem Hukum Barat. Jadi Hukum Adat itu bukan hukum yang tidak tertulis sama sekali atau tidak dibukukan sama sekali, hal ini tidaklah demikian. Memang Hukum Adat itu ada yang tidak tertulis dan tidak dibukukan, tetapi juga ada yang ditulis dan ada yang dibukukan, walaupun tidak dibukukan menurut sistem Hukum Barat.
Kitab–kitab Hukum Adat itu tidak saja dibuat di pusat–pusat kerajaan masa lampau, tetapi juga dibuat di lingkungan pemerintahan kekerabatan di daerah–daerah yang tersebar di seluruh Indonesia. Sedangkan usaha–usaha C. Van Vollenhoven dalam memajukan Hukum Adat antara lain :
1.      Baliau menghasilkan suatu susunan yang menggambarkan Sistematik Hukum Adat yang meliputi seluruh wilayah Indonesia.
Sistematik Hukum Adat yang digambarkan oleh C. Van Vollenhopen tepat menggambarkan ketertiban batin dari pada Hukum Adat.
2.      Berhasil menentang dan mematahkan usaha–usaha melenyapkan Hukum Adat.
3.      Berhasil membina Corps Sarjana Hukum Adat, yang akan melanjutkan pembinaan secara ilmiah dari pengetahuan tentang Hukum Adat.
 Berdasarkan hasil–hasil usaha itulah maka beliau dinamakan Bapak Ilmu Hukum Adat Indonesia, sebab hasi–hasil usaha itu telah meningkatkan kedudukan pengetahuan tentang Hukum Adat sejajar dengan ilmu–ilmu hukum lainnya.

2.  Prof. Mr. Betrand Ter Haar BZN
Ter Haar adalah Guru Besar Hukum Adat yang pertama ketika Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) didirikan pada tahun 1924 di Jakarta. Dalam rangka melanjutkan usaha Van Vollenhoven yang telah membentangkan Sistem Hukum Adat dan memberikan dasar untuk meneliti Hukum Adat, maka Ter Haar memberikan pengertian tentang Hukum Adat yang kemudian terkenal dengan Ajaran TEORI KEPUTUSAN (BESLISSINGENLEER) di mana Hukum Adat dikatakannya sebagai :
“Keseluruhan peraturan yang ditetapkan dalam keputusan – keputusan yang berwibawa daripada fungsionaris Hukum (Misal : Hakim Adat, Rapat Desa, Kepala Adat, Wali Tanah, Kepala Desa, dan sebagainya).  Yang mempunyai wibawa  (Macth, Authority) serta pengaruh yang dalam pelaksanaannya berlaku dengan serta-merta (spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh hati.”
Jadi Hukum Adat menurut Ter Haar adalah Hukum Keputusan yaitu hukum terdapat di dalam keputusan para petugas Hukum Adat (fungsionaris hukum), baik berupa keputusan karena perselisihan / sengketa resmi, tetapi juga di luar itu berdasarkan kesepakatan (musyawarah). (Keputusan fungsionaris hukum di dalam dan di luar sengketa).
Keputusan–keputusan itu diambil berdasarkan nilai–nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota–anggota persekutuan itu. Dalam perumusan Ter Haar itu tersimpul ajaran BESLISSINGENLEER atau AJARAN KEPUTUSAN.
Dengan demikian nampak perbedaan antara Ter Haar dengan Van Vollenhoven mengenai terjadinya Hukum Adat. C. Van Vollenhoven, menganggap Hukum Adat sudah menjadi Hukum Adat apabila adat itu sudah seharusnya diturut anggota masyarakat. B. Ter Haar, adat itu bukanlah Hukum Adat apabila tidak dipertahankan dalam bentuk keputusan para pejabat adat (fungsionaris hukum). Pada saat adanya keputusan tentang adat maka pada saat mana adat itu menjadi Hukum Adat. Jadi menurut Ter Haar apa yang telah diputuskan saja, menjadi Hukum Adat.

3.      Prof. Mr. R. Soepomo
Orang ketiga dalam urutan keahlian Hukum Adat Indonesia setelah Van Vollenhoven dan Ter Haar dan sebagai ahli hukum adat bangsa Indonesia asli pertama adalah Soepomo. Pada tahun 1936 ia telah menjadi Guru Besar tetap dan menggantikan Prof. B. Ter Haar BZN. Menurut beliau yang dimaksud dengan Hukum Adat adalah :
“Hukum Adat adalah Hukum Non Statutoir yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil Hukum Islam”
Hukum adat itupun melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan–keputusan Hakim yang berisi asas–asas hukum dalam lingkungan, di mana ia memutuskan perkara. Hukum Adat berurat-berakar pada kebudayaan tradisional, Hukum Adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan fitrahnya sendiri, Hukum Adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup sendiri.
Prof. Soepomo menyatakan untuk meninjau kembali kedudukan Hukum Adat di dalam negara dan masyarakat Indonesia haruslah ditekankan bahwa Hukum Adat sebagai hukum kebiasaan yang tidak tertulis akan tetap menjadi sumber dari hukum baru dalam hal–hal yang tidak atau belum ditetapkan dengan Undang–Undang.
Kesimpulan Prof. Soepomo tentang Hukum Adat ialah :
Dalam Tata Hukum Baru di Indonesia baik kiranya guna menghindarkan kebingungan pengertian istilah Hukum Adat ini dipakai Synonim dari :
-      Hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan Legislatif (Unstatutory Law)
-      Hukum yang hidup sebagai konvensi di badan–badan hukum negara (Parlemen,Dewan Propinsi,Eksekutif)
-      Hukum yang timbul karena putusan– putusan Hakim (Judge Made Law)
-      Hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup baik di kota maupun di desa–desa. (Customary Law).
Semua inilah yang merupakan atau disebut Hukum Adat atau Hukum yang tidak tertulis (yang disebut dalam Pasal 32 UUDS 1950).

4.  Prof. Dr. Soekanto, SH
Menurut beliau dalam bukunya “Meninjau Hukum Adat Indonesia” mengemukakan : “Hukum Adat adalah sebagai kompleks adat yang kebanyakan tidak dikodifikasikan dan besifat paksaan mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum.

5.  Prof. Dr. R. M. Soeripto, SH
Hukum adat adalah semua aturan–aturan/peraturan–peraturan adat tingkah laku yang bersifat hukum disela segi kehidupan orang Indonesia, yang pada umumnya tidak tertulis yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para anggota masyarakat, yang bersifat hukum oleh karena ada kesadaran dan perasaan keadilan umum, bahwa aturan – aturan/ peraturan–peraturan itu harus dipertahankan oleh para petugas hukum dan petugas masyarakat dengan upaya pemaksa atau ancaman hukum (sanksi). (Soeripto : 20)

6.  Surojo Wignjodipuro, SH
Hukum Adat adalah suatu kompleks norma–norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan – peraturan tingkah laku manusia adalah dalam kehidupan sehari–hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai akibat hukum (sanksi)”
(Surojo Wignjodipuro , 1973: 5).

7.  Bushar Muhammad, SH
 Menurut Bushar Muhammad “Hukum adat terutama hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman, Kebiasaan dan kesusilaan yang benar–benar hidup di masyarakat Adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota–anggota masyarakat itu.”
Adapun yang merupakan keseluruhan peraturan – peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan –keputusan para penguasa adat (Mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa memberi keputusan dalam masyarakat adat itu). Yaitu dalam Keputusan Lurah, Penghulu, Pembantu Lurah, Wali Tanah, Kepala Adat dan Hakim”. (Bushar Muhammad, 1961:30).
Dari beberapa definisi Hukum Adat yang telah dikemukakan di atas maka di sini dapatlah disimpulkan bahwa :
“Hukum adat itu adalah suatu kompleks norma – norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang meliputi peraturan – peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari – hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat karena mempunyai akibat hukum (sanksi).”
Berdasarkan definisi sekaligus kesimpulan dari pengertian Hukum Adat di atas, kita dapat melihat adanya satu kesatuan pandangan mengenai apa sebenarnya Hukum Adat itu. Hukum Adat adalah Hukum yang hidup dalam Masyarakat atau THE LIVING LAW.  Konsepsi tentang The Living Law untuk pertama kali diketengahkan oleh Eugen Ehrlich dalam  bukunya “Grundlegung Der Sosiologie Das Recht”. pada Tahun 1913. Terjemahan dalam Bahasa Inggris “Fundamental Principles of The Sociology Of Law, 1962)
Hal ini sebagai reaksi daripada pendangan dalam ilmu hukum yang bersifat legalitis (yang sangat mengutamakan peraturan hukum yang termuat dalam peraturan perundang–undangan). Di mana selalu mengabaikan tumbuhnya gejala–gejala hukum di dalam masyarakat. Penggunaan istilah The Living Law lazimnya dipergunakan untuk menunjukkan berbagai macam hukum yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya di dalam masyarakat.
Hukum Adat sebagai The Living adalah merupakan pola hidup kemasyarakatan tempat dimana hukum itu berproses dan sekaligus juga adalah merupakan hasil daripada proses kemasyarakatan yan g merupakan sumber dan dasar daripada hukum tersebut. Timbulnya hukum ini adalah secara langsung dari landasan pokoknya yaitu : Kesadaran hukum masyarakat  yang dalam hal ini adalah masyarakat Indonesia.
Hukum Adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia menjelaskan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Hukum Adat senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup, yang keseluruhan merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku. (Soerojo Wignjodipuro, 1973 : 81)
Hukum Adat sebagai hukum Indonesia mempunyai corak yang khas tersendiri berbeda dengan sistem Hukum yang dianut di negara barat. Sekalipun Hukum Adat bersifat tradisional  yang berarti sangat terikat pada tradis  tradisi lama warisan nenek moyang mereka, namun kita tidak boleh menarik kesimpulan secara tergesa–gesa bahwa Hukum Adat itu pantang berubah. Kelihatannya sedikit memang agak ironi, karena antara tradisi dan perubahan adalah merupakan dua hal (kutub) yang bertolak belakang.
q           Tradisi : menghendaki kelangsungan secara apa adanya tanpa  perubahan sedikitpun.
q              Perubahan : tidak menghendaki secara turun–temurun dalam keadaan yang itu–itu juga, akan tetapi dalam setiap waktu segala– galanya perlu untuk berubah dan diperbarui.
Hukum Adat itu di samping sifatnya yang tradisional juga mempunyai corak “Dapat berubah/Dinamis” dan mempunyai “Kesanggupan Menyesuaikan Diri / Plastisch”. Hukum bersifat Plastisch bilamana dalam pelaksanaannya dapat diperhatikan hal–hal yang tersendiri. Sedangkan perubahan dapat dilakukan dengan cara menghapuskan dan mengganti peraturan itu dengan yang lain secara tiba-tiba atau perubahan itu terjadi oleh karena pengaruh kejadian, perikehidupan  yang silih berganti. Sedangkan kesanggupannya untuk menyesuaikan diri oleh karena bentuknya Hukum Adat itu tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan, maka dengan sifat elastisitasnya yang luas sewaktu–waktu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan baru. Hukum Adat tumbuh dan berakar  dari kenyataan–kenyataan hidup dalam masyarakat, karena proses terjadi dan terbentuknya yang lalu ditaati (proses pengkaidahannya) tidak tergantung dari penguasa masyarakat.
Menurut Prof. Soepomo, Hukum Adat terus–menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri. Sedangkan Prof. Djojodigoeno, SH  bahwa dalam pelaksanaannya Hukum Adat sama sekali tidak terikat oleh ugeran–ugeran (norma–norma) hukum bukanlah rangkaian ugeran (norma) melainkan suatu proses yang tidak ada hentinya. Dalam penelitiannya mengenai Hukum Adat Prof. C. Van Vollenhoven khususnya mengenai Perubahan dalam Hukum Adat menyebutkan : Adanya Pepatah Hukum (Recht – Adagium) dari Minangkabau yang berbunyi :
Sekali Air gadang sekali tepian beranjak, sekali raja berganti sekali adat berubah” (Yang artinya adalah : Sekali air meluap tempat pemandian bergeser, sekali raja berganti maka sekali pula adat berubah.)
Lebih lanjut dikatakan oleh Van Vollenhoven Hukum Adat berkembang dan terus maju, keputusan–keputusan adat menimbulkan hukum. Hukum Adat pada waktu yang lampau agak berbeda isinya dengan Hukum Adat pada waktu sekarang, karena hukum adat selalu menunjukkan perkembangan. Kemudian ia melukiskan tentang bagaimana kokohnya kedudukan Hukum Adat itu dalam masyarakat dengan kata – katanya :
“Jikalau dari atas (penguasa) telah diputuskan untuk mempertahankan Hukum Adat padahal hukum itu sudah mati, maka penetapan itu akan sia–sia belaka. Sebaliknya seandainya telah diputuskan dari atas bahwa Hukum Adat harus diganti padahal di desa–desa, di ladang–ladang dan di pasar–pasar hukum itu masih kuat dan kokoh, maka hakimpun akan sia–sia belaka”.(C. Van Vollenhoven, 1926 ; 233)

Dari batasan – batasan di dan pengertian mengenai Hukum Adat kemudian kesimpulan–kesimpulan dari definisi dan pengertian Hukum Adat tersebut di atas, maka dapatlah kita lihat adanya suatu benang merah yang dapat menyimpulkan seluruh dari pengertian diuraikan tentang Hukum Adat bahwa : “Hukum Adat Indonesia adalah Hukum yang hidup dalam masyarakat (The Living Law) yang selalu hidup, berubah / dapat menerima perubahan dan menyesuaikan dengan kehidupan masyarakat modern sekarang ini.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar