Minggu, 03 Mei 2015

Diktat Hukum Kehutanan (Bab IV)

BAB IV_____________________________________
MENUJU DESENTRALISASI PENGELOLAAN HUTAN


4.1.        Politik Hukum Sentralistik dalam Pengelolaan Hutan
Sebagaimana telah dikemukakan oleh Barber bahwa sifat dan fungsi hukum di Indonesia sangat mempengaruhi struktur birokrasi di sektor kehutanan serta kebijakan yang dihasilkan. Pasal  33 ayat 3 UUD 1945 sebagai dasar hak menguasai negara, oleh pemerintah telah ditafsirkan sebagai kekuasaan eklusif sebagai pengatur segala kegiatan manusia yang berhubungan dengan masalah penguasaan dan penggunaan kawasan hutan. (Hasanu Simon, 1999, 85).
Studi tentang kawasan hutan setelah kemerdekaan, pada hakekatnya adalah sebuah upaya melihat dan menelaah tentang keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang  Pokok-Pokok Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah yang saling berinteraksi dan berintegrasi melaksanakan misinya sebagai politico legal concept.  Kedua undang-undang inilah yang memayungi bagaimana sebenarnya teknis politik hukum penguasaan dan penggunaan (pengelolaan) kawasan hutan  dan bagaimana politik hukum yang sentralistik dijalankan.
Dalam konsideran huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, secara filosofis merumuskan bahwa tujuan dilahirkan undang-undang ini adalah untuk “melindungi dan memanfaatkan hutan guna kesejahteraan rakyat secara lestari”. Setidaknya ada empat pokok pikiran yang terkandung dalam tujuan filosofis ini yaitu; “melindungi, memanfaatkan, kesejahteraan rakyat dan kelestarian”, yang seharusnya dituangkan sebagai legal norm dalam batang tubuh undang-undang tersebut. Pemanfaatan hutan lebih banyak didominasi oleh tujuan-tujuan ekonomis dari pada tujuan filosofis lainnya. Dijadikannya prioritas ekonomi sebagai prioritas utama, bukanlah suatu keanehan, sebagaimana dapat kita lihat dalam paragrap II penjelasan umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 yang menyatakan: “Penggalian sumber kekayaan alam yang berupa hutan ini secara intensif, adalah merupakan pelaksanaan amanat penderitaan rakyat yang tidak boleh ditunda-tunda lagi dalam rangka pembangunan ekonomi nasional untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.”
Kawasan hutan di Indonesia, maka sebagai landasan hukum yang kuat untuk mewujudkan hutan sebagai kekuatan pembangunan ekonomi nasional, maka dirumuskan ketentuan Pasal  5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967yang mengatur bahwa “ Semua hutan di Indonesia adalah dikuasai negara”. Berdasarkan atas konsepsi hak menguasai negara tersebut, Pasal  5 ayat 2 huruf c yaitu: negara “ menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang atau badan hukum dengan hutan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai hutan.” Dari ketentuan Pasal  tersebut nampak sekali nuasa hukum yang sangat terpusat (centralisme), yang dinominasi oleh pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Departemen Kehutanan, sedangkan untuk kawasan hutan di Jawa diserahkan kepada Perum Perhutani. Semangat desentralisasi yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 dirasakan sangat sederhana dan sumir yaitu diatur dalam ketentuan Pasal  12, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 yang menyatakan: “Pemerintah pusat dapat menyerahkan sebagian dari wewenangnya di bidang kehutanan kepada pemerintah daerah dengan Peraturan Pemerintah”.
Dinamika politik hukum penguasaan dan penggunaan kawasan hutan di bawah payung hukum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, selanjutnya mengalami relatif sedikit perubahan, sebagai respon dari berbagai tuntutan demokratisasi dan otonomisasi dari masyarakat untuk mengelola sumber daya hutan, melalui Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan Kepada Daerah.  Kepada daerah tingkat I diserahkan urusan yang meliputi; pengelolaan taman hutan raya dan penataan batas hutan sedangkan daerah tingkat II diserahkan urusan bidang; 1) penghijauan dan konservasi tanah dan air; 2) persuteraan alam; 3) perlebahan; 4) pengelolaan hutan milik/hutan rakyat; 5) pengelolaan hutan lindung; 6) penyuluhan kehutanan; 7) pengelolaan hasil hutan non kayu; 8) perburuan tradisional satwa liar yang tidak dilindungi pada areal buru; 9) perlindungan hutan dan pelatihan masyarakat di bidang ketrampilan  masyarakat di bidang kehutanan.
Pengelolaan kawasan hutan di Jawa, semestinya daerah juga perlu diberikan peran dan otoritas. ADM di daerah ternyata tidak lebih hanya sebagai kepanjangan tangan dari Dirut Perum Perhutani yang sama sekali tidak punya wewenang apapun terhadap kawasan hutan, akan tetapi lebih pada mengamankan kebijakan pusat di daerah, sehinggga baik buruknya seorang ADM sangat tergantung keamanan hutan di daerahnya masing-masing.
Sudah menjadi sebuah kecenderungan bahwa selama berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, meskipun telah diterbitkan peraturan pemerintah yang menyerahkan sebagaian urusan kepada daerah, akan tetapi tanpa dilahirkan peraturan pelaksanaan yang setingkat Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri, maka peraturan pemerintah tersebut tidak akan pernah berjalan efektif sama sekali. Hal ini disebabkan karena prinsip desentralisasi yang diterapkan masih bersifat bertingkat, yang diawali dari daerah tingkat I, baru kepada daerah tingkat II. Keadaan akan semakin lambat karena biasanya akan dilingkupi oleh kepentingan-kepentingan sempit dan sesaat dari unsur struktur birokrasi kehutanan,  semua urusan yang strategis tidak akan diserahkan kepada daerah, demikian seterusnya sampai di daerah tingkat II. Hal ini yang nantinya memicu konflik antara pusat dan daerah dan sekaligus sebagai penghambat pelaksanaan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (Heriman, 2001).
Setiap kabupaten di Jawa yang wilayahnya memiliki potensi wilayah hutan selama politik hukum masih sentralistik, pemerintah daerah tidak akan pernah memiliki otoritas dalam pengelolaan tanah kawasan hutan di daerahnya. Otoritas yang dimaksud di sini adalah suatu lembaga yang otonom yang menangani urusan pemerintahan di bidang pengelolaan kawasan hutan, hak-hak keuangan baik yang bersifat pajak maupun retribusi daerah maupun hak-hak untuk membuat produk hukum daerah.
Rasionalitas pengelolaan kawasan hutan yang selalu dipegang oleh pusat dikarenakan berkembangnya anggapan bahwa daerah dianggap belum/tidak cukup mampu melaksanakan tugas pengelolaan dan intrumentalisme, sentralisme hukum, politik negara yang otoriter yang tidak memberi ruang gerak berkembangnya kehidupan demokrasi dan kepentingan stabilitas nasional sesuai dengan teori tentang negara yang memiliki sifat monopoli dan memaksa atau yang selama ini dikenal dengan pendekatan menggunakan alat-alat keamanan keamanan (security approach). Dalam pengamanan dan perlindungan atas kawasan hutan setiap pejabat kehutanan dilengkapi dengan kewenangan polisional, yang berwenang mengurus kasus-kasus pelanggaran peraturan perundang-undangan.

4.2.        Hutan Sebagai  Komoditas Ekonomi
Paradigma pengelolaan kawasan hutan yang berbasis pada negara yang disertai dengan pemikiran bahwa hutan adalah sebagai emas hijau atau sumber pendapatan bahkan devisa negara dan pola pengelolaan hutan yang berpijak pada timber management seperti yang terjadi selama ini, akhirnya hanyalah mengingkari kaidah ekologi dan  menyisakan kerusahan kawasan hutan yang sangat serius (desforestation and degradation). Bertitik tolak dari pernyataan ini dapat diambil kesimpulan bahwa hutan hanya dipandang dari segi komoditas yang menghasilkan pendapatan negara, devisa negara atau lebih banyak dipandang dari segi ekonomi belaka, padahal seharusnya aspek konservasi hutan harus selalu melekat pada pengertian hutan.
Kawasan hutan di Jawa, tentunya bukan hanya kayu jati saja, akan tetapi masih banyak yang lain seperti; cemara emas, damar laut, pinus, keningar dan berbagai getah kayu, yang secara ekonomis memiliki nilai yang sangat tinggi. Nilai ekonomis yang sangat tinggi inilah yang justru menjadi alasan mengapa pusat terus mempertahankan kebijakan hukum yang sentralistik dan kesan kurang atau tidak mendukung kebijakan yang bersifat desentralistik. Nilai ekonomis yang tinggi inilah yang justru banyak mendatangkan masalah, karena keinginan pemerintah pusat untuk tetap mempertahankan sebagai pendapatan pusat, namun banyak ditentang oleh daerah yang merasa memiliki wilayah kawasan hutan dan dianggap sebagai potensi yang dapat mengangkat pendapatan asli daerah. Sedangkan bentuk tantangan yang lain yaitu datang dari masyarakat sekitar hutan yang merasa memiliki sumber daya hutan sebagai peninggalan nenek moyangnya dan merasakan juga nilai ekonomis yang tinggi dari kayu, banyak memicu terjadinya pencurian kayu.
Efek negatif dari pencurian yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan ini, akhirnya juga muncul perusahaan pengolah hasil hutan (kayu) baik yang resmi maupun yang tidak (illegal). Perusahaan ini lebih banyak bertindak sebagai pelaku penadah kayu hasil curian masyarakat atau dengan cara memberikan fasilitas modal kepada para pelaku penjarah. Penegakan hukum masih sangat lemah, karena jumlah penegak hukum yang dimiliki Perum Perhutani, juga sangat terbatas dan tidak didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai. Di sisi lain wilayah yang harus diampu jauh lebih luas. Berdasarkan kenyataan tidak jarang seorang Polhut, harus menghadapi pencuri (penjarah) kayu dalam jumlah besar atau lebih dari 20 - 35 orang. Dalam hal demikian sangatlah wajar apabila seorang Polhut dituntut harus berpikir realistis dan lebih baik lari menyelamatkan diri dari pada mati konyol.

4.3.        Memarginalkan Masyarakat Sekitar Hutan
Banyak penelitian yang mengungkapkan telah terjadi proses peminggiran terhadap hak-hak masyarakat lokal. Demikian juga yang terjadi pada masyarakat sekitar hutan di Jawa, dimana masyarakat yang sudah secara turun-temurun menggantungkan hidupnya dari hutan, telah menjadi masyarakat asing di tanah kelahirannya/leluhurnya sendiri.
Gambaran pengelolaan kawasan hutan, belum mampu memberikan kontribusi yang maksimal terhadap peningkatan kesejahteraan yang merupakan tujuan utama hukum dan tujuan pembangunan kawasan hutan. Sebaliknya dampak yang nyata-nyata terjadi pada masyarakat sekitar hutan sekurang-kurangnya dapat berwujud;
a.    Peminggiran secara ekonomis yang berwujud; masyarakat lapar tanah (tuna kisna) karena 80 % tidak memiliki tanah dan hanya tergantung pada pekerjaan mencari rencek/kayu bakar yang semakin sulit untuk mengimbangi tingginya harga bahan kebutuhan pokok, langkanya pekerjaan dan terbatasnya keahlian yang memaksa mereka hanya tergantung pada hutan di tengah semakin sulitnya bercocok tanam di tengah hutan, masyarakat miskin atau kantong-kantong kemiskinan di sekitar kawasan hutan yang terus bertambah, sedangkan lapangan pekerjaan di sekitar hutan sangat tergantung pada musim menanam, tebang dan lain lain;
b.    Peminggiran secara sosial yang berwujud terputusnya akses pendidikan, pelayanan kesehatan dan fasilitas umum lainnya, sehingga sering dikeluhkan mahalnya biaya transportasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pendidikan, pelayanan kesehatan dan lain-lain;
c.    Peminggiran secara politis yang berwujud tidak pernah terserapnya aspiarasi politik masyarakat dalam kegiatan demokrasi;
d.    Peminggiran secara kultural yang berwujud ketertingalan dari berbagai bentuk informasi ke arah perubahan yang lebih positif.

4.4.        Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Meskipun tidak banyak dimunculkan ke permukaan, sejak masa penjajahan Belanda sampai sekarang sering terjadi pelanggaran hak azasi manusia.  Dari beberapa peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku, dapat dipastikan terdapat beberapa Pasal  yang dari segi esensinya justru bermakna menstigma, mencurigai, membelenggu, mendiskreditkan, mengurangi dan mehilangkan kemerdekaan rakyat sekitar hutan.
Setelah digulirkannya pemberantasan illegal loging di bawah kendali Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Kehutanan sebagai pihak yang diberi tanggung jawab percepatan (ekselerasi) pemberantasan, praktek di lapangan di beberapa daerah telah dilanjutkan dengan sandi ”operasi wana lestari”, banyak mengakibatkan pelanggaran HAM, misalnya perusakan rumah rakyat, penyitaan kayu (diduga illegal loging), ketakutan yang berlebihan, penangkapan, penahanan tidak syah, praktek pemerasan dan penyuapan dan menimbulkan rasa traumatis bagi rakyat desa sekitar hutan.

4.5.        Menuju Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Realitas politik tentang otonomi daerah yang berkaitan dengan penguasaan dan penggunaan tanah kawasan hutan hendaknya dicermati secara baik, kepala dingin, bijaksana dan berpandangan luas ke depan. Hasil penelitian menunjukan sekurang-kurangnya ada tiga pandangan yang berhembus kencang dari daerah-daerah kabupaten di Jawa-Madura,  yang sebagian wilayahnya terdiri dari kawasan hutan. Adapun pandangan-pandangan tersebut sebagai berikut:
a.    ada sebagian pemerintah kabupaten yang menghendaki seluruh kawasan hutan wajib diserahkan kepada pemerintah daerah kabupaten;
b.    ada sebagian pemerintah daerah kabupaten yang menghendaki pengelolaan saja wajib diserahkan kepada pemerintah daerah kabupaten;
c.    ada pemerintah daerah yang hanya menghendaki pembagian manfaat ekonomi dari hutan yang lebih adil dan proporsional.
Berdasarkan tiga pandangan tersebut, nampak sangat jelas ada beberapa sikap daerah otonom, yang sangat membutuhkan penyatuan atau perlu disikapi secara arif juga. Ketiga pandangan tersebut, sekaligus juga menunjukan, bahwa semangat otonomi daerah masih terbatas memperjuangkan kepentingan pemerintah daerah kabupaten saja dan masih berkutat pada masalah peningkatan pendapat asli daerah (PAD) dan belum sampai berpikir pada partisipasi dan kesejahteraan rakyat.
Pencarian kerangka landasan yuridis dari pelaksanaan desentralisasi pengelolaan tanah kawasan hutan Perhutani, dalam era otonomi daerah khususnya yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan adalah Pasal  66 dalam beberapa ayat yang menyatakan bahwa:
(1)       Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah.
(2)       Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah.
(3)       Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Mencermati ketentuan Pasal  66 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan tersebut di atas, tujuan dilaksanakannya penyerahan kewenangan tersebut adalah untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dan dalam rangka pengembangan otonomi daerah, maka dengan demikian nampak jelas bahwa secara yuridis normatif desentralisasi pengelolaan tanah kawasan hutan masih terkait langsung dengan otonomi daerah. Masih dalam kerangka desentralisasi pengelolaan tanah kawasan hutan kepada pemerintah daerah, semakin tampak jelas dengan penjelasan yang terdapat dalam alinia ke 10 penjelasan umum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan pada prinsipnya menjelaskan bahwa; “…pelaksanaan sebagian pengurusan hutan yang bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat propinsi dan kabupaten/kota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat nasional atau makro, wewenang pengaturannya dilaksanakan pemerintah pusat”.
 Mencermati isi Penjelasan Umum alinia 10, Pasal  66 ayat (1), (2) dan (3) dan Pasal  10 ayat 1, 2 dan 3, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, beserta Pasal  10 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah tersebut, sebenarnya telah nampak jelas bahwa kedua undang-undang tersebut dari segi sinkronisasi horizontal (harmonisasi) sudah sangat sinkron (harmonis), jelasnya bahwa bidang kehutanan sama sekali tidak termasuk urusan yang diatur dalam Pasal  10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan tidak  menjadi wewenang pemerintah pusat atau dengan kata lain telah didesentralisasikan. Dengan demikian secara yuridis formal tanah kawasan hutan, tidak perlu diragukan dan  seharusnya sudah merupakan urusan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah Kabupaten.
Namun setelah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 1999 tentang Perum Perhutani yang memberi kekuasaan penuh kepada Perum Perhutani sebagai pengelola tanah kawasan hutan lindung dan hutan produksi di Jawa, harapan menjadi lain. Sentralisasi tidak mungkin akan segera berubah menjadi desentralisasi tanpa melalui quasi desentralisasi, atau dengan kata lain desentralisasi akan tetap semu belaka tanpa perjuangan yang serius. Jelasnya dalam proses tersebut diawali dari “sentralisasi, -> quasi desentralisasi atau desentralisasi semu, -> desentralisasi”.
Desentralisasi penguasaan dan pendayagunaan tanah kawasan hutan, sebagai strategi percepatan tercapainya kesejahteraan rakyat, masih memerlukan perjuangan yang panjang, dikarenakan banyaknya tarik menarik berbagai kepentingan, maka atas dasar kenyataan ini, harus dikembalikan pada pendayagunaan hukum dan atau kebijakan dan pendayagunaan institusional. Upaya desentralisasi akan menghadapi kendala-kendala sebagai berikut; 1) ketidak-pastian hukum; 2) sikap ragu-ragu; 3) minimnya sumber daya manusia di daerah; 4) sengketa perbatasan. Di samping kendala-kendala tersebut desentralisasi juga berimplikasi pada; 1) konflik perundang-undangan (conflict of norm); 2) konflik kewenangan (conflict of authority); 3) konflik ekonomi kerakyatan dengan ekonomi liberal kapitalis (conflict of economic); 4) euforia peningkatan pendapatan asli daerah (PAD); 5) munculnya primordialisme kedaerahan.


4.6  Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)  Perspektif Otonomi Daerah           
        Kawasan hutan  yang dikelola dan diusahakan Perum Perhutani terletak berbatasan dengan kurang lebih 6172 desa, dengan jumlah penduduk yang diperkirakan mencapai 30 juta jiwa. Lebih dari 60 % dari jumlah penduduk yang tinggal di desa-desa sekitar hutan dan menggantungkan hidupnya pada sumber daya hutan. Penduduk membuka ladang, menebang kayu, mengambil kayu bakar, mengumpulkan dedaunan dan rumput pakan ternak, dan bahkan menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan (Barber, 1989;Simon,1983)      
Perubahan kondisi sosial, ekonomi, politik dan ekologi di Pulau Jawa yang demikian cepat memerlukan perubahan paradigma baru dalam pengelolaan sumber daya hutan di pulau ini. Sekalipun pengelolaan hutan di Jawa yang dilaksanakan oleh Perhutani telah mengalami beberapa kali perubahan , tetapi kenyataan menunjukan bahwa perubahan-perubahan tersebut belum dapat menjawab permasalahan-permasalahan  yang terus berkembang.
Perum Perhutani pada dasarnya merupakan keberlanjutan dari suatu sistem penguasaaan dan pengelolaan hutan yang dioperasikan pada masa pemerintahan kolonial Belanda, sehingga konsep pengelolaan dan pengusahaan sumber daya hutan termasuk sebagaian dari instrumen hukum peninggalan pemerintah Belanda masih diimplementasikan sampai sekarang (Barber, 1989; Peluso,1992; Simon,1999). Konsekuensi dari multi visi dan tugas yang dibebankan kepada Perum Perhutani sebagai BUMN penghasil devisa negara (economical mission), sebagai institusi yang bertanggungjawab dalam konservasi kawasan hutan (ecological mission), dan juga menjalankan misi peningkatan kesejahteraan penduduk desa-desa sekitar hutan (social mission), maka BUMN ini dituntut untuk menggunakan struktur yang bercirikan hirarkhis, perencanaan dan pengambilan keputusan yang bersifat sentralistik, dan pola implementasi kebijakan atas bawah, karena itu sikap monoloyalitas terhadap keputusan, instruksi, atau perintah atasan sangat diperlukan untuk menunjang struktur hirarkhis dan proses atas bawah tersebut. Tetapi  dengan adanya perubahan kondisi sosial, ekonomi, politik dan ekologi yang demikian cepat memerlukan perubahan paradigma baru dalam pengelolaan sumber daya hutan yang mengedepankan warga negara dalam basis pengelolaan sumber daya hutan atau berorientasi ekonomi kerakyatan.
  Dalam konteks otonomi daerah Perhutani  juga mempunyai kewajiban untuk melakukan koordinasi dan kerjasama yang bersifat mutualistik dengan pemerintah daerah, mulai dari sinkronisasi perencanaan wilayah, penyusunan kebijakan dan program pemberdayaan masyarakat di desa-desa sekitar hutan.
Untuk merespon hal tersebut Perum Perhutani yang mengemban tugas untuk mengelola hutan di Jawa menjawab perubahan tersebut dengan melaksanakan program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) berdasarkan Surat Keputusan Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani (Selaku Pengurus Perusahaan) Nomor 136/KPts/Dir/2001. Dan dalam perkembangan pada tanggal 8 Maret 2007 ditetapkan Keputusan Direksi Perum Perhutani  Nomor : 268/KPTS/DIR/2007 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Plus (PHBM Plus).
Sebenarnya sejak berdirinya Perhutani  sampai dengan awal tahun 70-an pengelolaan hutan di Jawa tidak banyak mengalami perubahan yang berarti. Dalam kurun waktu ini, peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan masih sangat terbatas, Selain itu pelaksanaan pengelolaan hutan dengan sistem tumpangsari  baru mengalami sedikit perbaikan pada tahun 1972 ketika Perhutani mulai melaksanakan Program Kesejahteraan Masyarakat (Prosperity Approach). Dengan tujuan adalah mengembalikan potensi dan fungsi hutan serta sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kegiatankegiatan utama program ini meliputi Intensifikasi masal tumpangsari, Intensifikasi khusus tumpangsari, pembuatan tanaman kayu bakar, rumput gajah, usaha perlebahan, dan sebagainya. Program ini kemudian disempurnakan pada tahun 1982 menjadi Program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) yang ditandai antara lain dengan (a). Pembentukan Kelompok Tani Hutan(KTH) yang merupakan wadah musyawarah antara perusahaan dengan masyarakat, dan (b). Meningkatkan kegiatan agroforestry. Pada tahun 1984 PMDH disempurnakan dengan Pembinaan Masyarakat Desa Terpadu (PMDHT) Program-program yang  dilaksanakan Perum Perhutani dalam pengelolaan kawasan hutan di Jawa pada dasarnya tetap menggunakan prinsip-prinsip tumpangsari, seperti yang diperkenalkan lebih dari satu abad yang lalu, yang pada prinsip-prinsipnya antara lain :
1.    Setelah satu areal hutan ditebang habis maka penduduk yang tinggal di sekitar kawasan hutan diminta untuk bekerja sebagai penggarap lahan tumpangsari (pesanggem). Setiap pesanggem menyiapkan bagian lahan tumpangsarinya untuk ditanami bibit pohon jati, ukuran dengan jarak tanam 1 X 3 atau lebih, tergantung pada tingkat kesuburan tanahnya.
2.    Kegiatan untuk menyiapkan lahan tumpangsarinya dilakukan pada bulan Agustus, dan penanaman bibit jati mulai dilakukan pada bulan September. Pada waktu yang bersamaan dengan penanaman bibit jati, para pesanggem diperbolehkan menanam palawija di sela-sela bibit pohon jati selama 2 tahun, dengan kewajiban memelihara tanaman jati dengan sebaik-baiknya sehingga dapat tumbuh dengan subur.
3.    Selain seluruh hasil palawija menjadi hak pesanggem, maka pesanggem juga menerima upah kerja dari Jawatan Kehutanan. Pesanggem juga boleh mengambil sisa-sisa kayu di lahan-lahan bekas tebangan, mengumpulkan ranting kayu yang sudah kering (rencek) atau kayu yang telah mati/roboh untuk kayu bakar selama menjadi pesanggem.
4.    Upah kerja yang diberikan kepada pesanggem lebih tinggi apabila lahan yang digarap kurang subur, karena hasil palawija yang diperoleh pesanggem lebih sedikit dibandingkan dengan hasil pada lahan yang subur.
   Model pengelolaan hutan dengan sistem tumpangsari pada tahun-tahun selajutnya menjadi semakin dikenal dan kemudian dilaksanakan di seluruh kawasan hutan di Jawa karena selain dipandang lebih berhasil guna dan menguntungkan secara ekonomis, juga dirasakan paling sesuai dengan kondisi geografis dan kondisi sosial ekonomis serta perkembangan penduduk di Jawa.
Program-program yang dilaksanakan Perum Perhutani dalam pengelolaan kawasan hutan di Jawa pada dasarnya menggunakan prinsip-prinsip tumpangsari,  walaupun telah banyak mengalami modifikasi yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan kelembagaan modern, tetapi sistem tumpangsari tetap menjadi elemen utama dalam pelaksanaan program perhutanan sosial.
Tumpangsari sebagai salah satu bentuk agro-silvikultur dalam wanatani (agroforestry), selain membantu percepatan permudaan kawasan hutan,juga membantu pemecahan masalah keterbatasan tanah pertanian bagi penduduk di sekitar kawasan hutan. Dengan kata lain, sistem tumpangsari yang telah diterapkan selama lebih dari satu abad ini memberi kontribusi yang berarti untuk menyediakan lahan garapan yang semakin terbatas untuk petani-petani miskin di desa-desa sekitar hutan (Peluso,1992:146) 
                  Program-program yang telah dilakukan oleh Perhutani ternyata belum mencapai tujuan-tujuan secara optimal. Hal ini dapat diamati dari berbagai kenyataan di lapangan antara lain : (a). Kualitas hutan makin menurun dari tahun ketahun, (b). Permasalahan sosial yang dihadapi perusahaan semakin berat. Permasalahan-permasalahan ini timbul karena program-program yang telah dilaksanakan (Tumpangsari, Prosperity Approach, Ma-Lu, PMDH, PMDHT, Social Forestry) belum sesuai dan sejalan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Disamping itu peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan sangat terbatas.
                  Berdasarkan kenyataan tersebut, Perhutani dengan sadar mulai melaksanakan Program Pengelolaan Sumber daya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) untuk mengakomodir aspirasi masyarakat, mempertimbangkan kebutuhan masyarakat dan menempatkan masyarakat sebagai partner yang sesungguhnya dalam pengelolaan hutan. 
             PHBM merupakan suatu sistem pengelolaan sumber daya hutan yang dilakukan Perhutani dengan masyarakat desa dengan pihak yang berkepentingan yang dilandasi dengan jiwa berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional. Adapun tujuan Pengelolaan Sumber daya Hutan Bersama Masyarakat (Pasal  4 Ayat (2) Keputusan Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani Nomor 136/KPTS/Dir/2001) antara lain :
1.   Meningkatkan tanggung jawab perusahaan, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan.
2.   Meningkatkan peran perusahaan, masyarakat desa hutan dan pihak yang   berkepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan.
3.   Menselaraskan kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan kegiatan pembangunan wilayah sesuai kondisi dan dinamika sosial masyarakat desa hutan.
4.   Meningkatkan mutu sumber daya hutan sesuai karakteristik wilayah.
5.   Meningkatkan pendapatan perusahaan, masyarakat desa hutan serta pihak yang berkepentingan secara simultan.
      Untuk mencapai berbagai tujuan pelaksanaan PHBM mendasarkan diri pada prinsip-prinsip sebagai berikut : (a). Keadilan dan demokratis; (b) Keterbukaan dan kebersamaan; (c). Pembelajaran bersama dan saling memahami; (d). Kejelasan hak dan Kewajiban; (e). Pemberdayan ekonomi kerakyatan; (f). Kerjasama kelembagaan; (g). Perencanaan partisipasif; (h). Kesederhanaan sistem dan prosedur; (i). Perusahaan sebagai fasilitator; dan (j). Kesesuaian pengelolaan dengan karakteristik wilayah. 
Kegiatan PHBM mencakup kegiatan berbasis lahan dan bukan lahan. Kegiatan berbasis lahan dilakukan di dalam kawasan hutan dan dapat dikembangkan di luar kawasan hutan dengan memanfaatkan lahan dan atau ruang melalui pengaturan pola tanam yang sesuai dengan karakteristik wilayah setempat. Sementara itu, kegiatan berbasis bukan lahan dilakukan dengan mengembangkan produk industri, jasa dan perdagangan untuk menumbuhkembangkan keswadayaan dan pengembangan ekonomi masyarakat desa hutan.   Dalam PHBM, masyarakat bersama-sama dengan Perhutani berhak menyusun rencana, melakukan monitoring dan evaluasi. Disamping itu masyarakat juga berhak memperoleh manfaat dari hasil kegiatan dengan nilai dan proporsi faktor produksi yang dikontribusikannya. Sebagai tambahan mereka juga berhak memperoleh fasilitas dari perusahaan (Perhutani) dan atau pihak yang berkepentingan (stakeholders) untuk mencapai kesejahteraan dan kemandirian. Kewajiban yang harus dilakukan oleh masyarakat yang terlibat dalam PHBM tidak hanya menjaga dan melindungi sumberdaya hutan untuk kepentingan keberlanjutan fungsi dan manfaatnya tetapi juga memberikan kontribusi faktor produksi yang sesuai dengan kemampuannya serta mempersiapkan kelompok untuk mengoptimalkan fasilitas yang diberikan Perhutani atau pihak yang berkepentingan. Sedangkan kewajiban perusahaan (Perhutani) meliputi : (a). Memfasilitasi masyarakat desa hutan dalam proses penyusunan rencana, monitoring dan evaluasi; (b). Memberikan kontribusi faktor produksi; (c) mempersiapkan sistem, struktur, dan budaya perusahaan yang kondusif; dan (d). Bekerjasama dengan pihak yang berkepentingan dalam rangka mendorong proses optimalisasi dan berkembangnya kegiatan.
Hutan sebagai salah satu sumber daya alam tidak bisa dikelola hanya bertumpu pada pendekatan bisnis kayu saja. Hutan adalah sumber daya publik yang memiliki fungsi dimensi : sosial, ekonomi dan ekologi. PHBM merupakan salah satu instrumen kehutanan yang bernuansa sosial yang lahir didorong oleh kenyataan bahwa pengelolaan hutan tidak bisa mengesampingkan persoalanpersoalan sosial dalam masyarakat, khususnya masyarakat desa hutan dan sekitarnya. (Warta FKKM, Maret 2002: 9)       


Tidak ada komentar:

Posting Komentar