BAB
IV_____________________________________
MENUJU DESENTRALISASI PENGELOLAAN
HUTAN
4.1.
Politik Hukum
Sentralistik dalam Pengelolaan Hutan
Sebagaimana
telah dikemukakan oleh Barber bahwa sifat dan fungsi hukum di Indonesia sangat
mempengaruhi struktur birokrasi di sektor kehutanan serta kebijakan yang
dihasilkan. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945
sebagai dasar hak menguasai negara, oleh pemerintah telah ditafsirkan sebagai
kekuasaan eklusif sebagai pengatur segala kegiatan manusia yang berhubungan
dengan masalah penguasaan dan penggunaan kawasan hutan. (Hasanu Simon, 1999,
85).
Studi
tentang kawasan hutan setelah kemerdekaan, pada hakekatnya adalah sebuah upaya
melihat dan menelaah tentang keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967
tentang Pokok-Pokok Kehutanan dan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah yang saling
berinteraksi dan berintegrasi melaksanakan misinya sebagai politico legal
concept. Kedua undang-undang inilah
yang memayungi bagaimana sebenarnya teknis politik hukum penguasaan dan
penggunaan (pengelolaan) kawasan hutan
dan bagaimana politik hukum yang sentralistik dijalankan.
Dalam
konsideran huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, secara filosofis
merumuskan bahwa tujuan dilahirkan undang-undang ini adalah untuk “melindungi
dan memanfaatkan hutan guna kesejahteraan rakyat secara lestari”. Setidaknya
ada empat pokok pikiran yang terkandung dalam tujuan filosofis ini yaitu;
“melindungi, memanfaatkan, kesejahteraan rakyat dan kelestarian”, yang
seharusnya dituangkan sebagai legal norm dalam batang tubuh
undang-undang tersebut. Pemanfaatan hutan lebih banyak didominasi oleh
tujuan-tujuan ekonomis dari pada tujuan filosofis lainnya. Dijadikannya prioritas ekonomi
sebagai prioritas utama, bukanlah suatu keanehan, sebagaimana dapat kita lihat
dalam paragrap II penjelasan umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 yang menyatakan: “Penggalian
sumber kekayaan alam yang berupa hutan ini secara intensif, adalah merupakan
pelaksanaan amanat penderitaan rakyat yang tidak boleh ditunda-tunda lagi dalam
rangka pembangunan ekonomi nasional untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.”
Kawasan
hutan di Indonesia, maka sebagai landasan hukum yang kuat untuk mewujudkan
hutan sebagai kekuatan pembangunan ekonomi nasional, maka dirumuskan ketentuan Pasal
5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967yang mengatur
bahwa “ Semua hutan di Indonesia adalah dikuasai negara”. Berdasarkan atas
konsepsi hak menguasai negara tersebut, Pasal 5 ayat 2 huruf c yaitu: negara “ menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang atau badan hukum dengan hutan
dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai hutan.” Dari ketentuan Pasal tersebut nampak sekali nuasa hukum yang sangat
terpusat (centralisme), yang dinominasi oleh pemerintah yang dalam hal
ini diwakili oleh Departemen Kehutanan, sedangkan untuk kawasan hutan di Jawa
diserahkan kepada Perum Perhutani. Semangat desentralisasi yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 dirasakan sangat sederhana dan
sumir yaitu diatur dalam ketentuan Pasal 12, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 yang menyatakan:
“Pemerintah pusat dapat menyerahkan sebagian dari wewenangnya di bidang
kehutanan kepada pemerintah daerah dengan Peraturan Pemerintah”.
Dinamika
politik hukum penguasaan dan penggunaan kawasan hutan di bawah payung hukum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, selanjutnya mengalami
relatif sedikit perubahan, sebagai respon dari berbagai tuntutan demokratisasi
dan otonomisasi dari masyarakat untuk mengelola sumber daya hutan, melalui
Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan
Pemerintahan di Bidang Kehutanan Kepada Daerah.
Kepada daerah tingkat I diserahkan urusan yang meliputi; pengelolaan
taman hutan raya dan penataan batas hutan sedangkan daerah tingkat II
diserahkan urusan bidang; 1) penghijauan dan konservasi tanah dan air; 2)
persuteraan alam; 3) perlebahan; 4) pengelolaan hutan milik/hutan rakyat; 5)
pengelolaan hutan lindung; 6) penyuluhan kehutanan; 7) pengelolaan hasil hutan
non kayu; 8) perburuan tradisional satwa liar yang tidak dilindungi pada areal
buru; 9) perlindungan hutan dan pelatihan masyarakat di bidang ketrampilan masyarakat di bidang kehutanan.
Pengelolaan
kawasan hutan di Jawa, semestinya daerah juga perlu diberikan peran dan
otoritas. ADM di daerah ternyata tidak lebih hanya sebagai kepanjangan tangan
dari Dirut Perum Perhutani yang sama sekali tidak punya wewenang apapun
terhadap kawasan hutan, akan tetapi lebih pada mengamankan kebijakan pusat di
daerah, sehinggga baik buruknya seorang ADM sangat tergantung keamanan hutan di
daerahnya masing-masing.
Sudah
menjadi sebuah kecenderungan bahwa selama berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, meskipun telah
diterbitkan peraturan pemerintah yang menyerahkan sebagaian urusan kepada
daerah, akan tetapi tanpa dilahirkan peraturan pelaksanaan yang setingkat
Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri, maka peraturan pemerintah tersebut
tidak akan pernah berjalan efektif sama sekali. Hal ini disebabkan karena
prinsip desentralisasi yang diterapkan masih bersifat bertingkat, yang diawali
dari daerah tingkat I, baru kepada daerah tingkat II. Keadaan akan semakin
lambat karena biasanya akan dilingkupi oleh kepentingan-kepentingan sempit dan
sesaat dari unsur struktur birokrasi kehutanan,
semua urusan yang strategis tidak akan diserahkan kepada daerah,
demikian seterusnya sampai di daerah tingkat II. Hal ini yang nantinya memicu
konflik antara pusat dan daerah dan sekaligus sebagai penghambat pelaksanaan
desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (Heriman, 2001).
Setiap
kabupaten di Jawa yang wilayahnya memiliki potensi wilayah hutan selama politik
hukum masih sentralistik, pemerintah daerah tidak akan pernah memiliki otoritas
dalam pengelolaan tanah kawasan hutan di daerahnya. Otoritas yang dimaksud di
sini adalah suatu lembaga yang otonom yang menangani urusan pemerintahan di
bidang pengelolaan kawasan hutan, hak-hak keuangan baik yang bersifat pajak
maupun retribusi daerah maupun hak-hak untuk membuat produk hukum daerah.
Rasionalitas
pengelolaan kawasan hutan yang selalu dipegang oleh pusat dikarenakan
berkembangnya anggapan bahwa daerah dianggap belum/tidak cukup mampu
melaksanakan tugas pengelolaan dan intrumentalisme, sentralisme hukum,
politik negara yang otoriter yang tidak memberi ruang gerak berkembangnya
kehidupan demokrasi dan kepentingan stabilitas nasional sesuai dengan teori
tentang negara yang memiliki sifat monopoli dan memaksa atau yang selama ini
dikenal dengan pendekatan menggunakan alat-alat keamanan keamanan (security
approach). Dalam pengamanan dan perlindungan atas kawasan hutan setiap
pejabat kehutanan dilengkapi dengan kewenangan polisional, yang berwenang
mengurus kasus-kasus pelanggaran peraturan perundang-undangan.
4.2.
Hutan
Sebagai Komoditas Ekonomi
Paradigma
pengelolaan kawasan hutan yang berbasis pada negara yang disertai dengan
pemikiran bahwa hutan adalah sebagai emas hijau atau sumber pendapatan bahkan
devisa negara dan pola pengelolaan hutan yang berpijak pada timber
management seperti yang terjadi selama ini, akhirnya hanyalah mengingkari
kaidah ekologi dan menyisakan kerusahan
kawasan hutan yang sangat serius (desforestation and degradation).
Bertitik tolak dari pernyataan ini dapat diambil kesimpulan bahwa hutan hanya
dipandang dari segi komoditas yang menghasilkan pendapatan negara, devisa
negara atau lebih banyak dipandang dari segi ekonomi belaka, padahal seharusnya
aspek konservasi hutan harus selalu melekat pada pengertian hutan.
Kawasan
hutan di Jawa, tentunya bukan hanya kayu jati saja, akan tetapi masih banyak
yang lain seperti; cemara emas, damar laut, pinus, keningar dan berbagai getah
kayu, yang secara ekonomis memiliki nilai yang sangat tinggi. Nilai ekonomis
yang sangat tinggi inilah yang justru menjadi alasan mengapa pusat terus mempertahankan
kebijakan hukum yang sentralistik dan kesan kurang atau tidak mendukung
kebijakan yang bersifat desentralistik. Nilai ekonomis yang tinggi inilah yang
justru banyak mendatangkan masalah, karena keinginan pemerintah pusat untuk
tetap mempertahankan sebagai pendapatan pusat, namun banyak ditentang oleh
daerah yang merasa memiliki wilayah kawasan hutan dan dianggap sebagai potensi
yang dapat mengangkat pendapatan asli daerah. Sedangkan bentuk tantangan yang
lain yaitu datang dari masyarakat sekitar hutan yang merasa memiliki sumber
daya hutan sebagai peninggalan nenek moyangnya dan merasakan juga nilai
ekonomis yang tinggi dari kayu, banyak memicu terjadinya pencurian kayu.
Efek
negatif dari pencurian yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan ini,
akhirnya juga muncul perusahaan pengolah hasil hutan (kayu) baik yang resmi
maupun yang tidak (illegal).
Perusahaan ini lebih banyak bertindak sebagai pelaku penadah kayu hasil curian
masyarakat atau dengan cara memberikan fasilitas modal kepada para pelaku
penjarah. Penegakan hukum masih sangat lemah, karena jumlah penegak hukum yang
dimiliki Perum Perhutani, juga sangat terbatas dan tidak didukung dengan sarana
dan prasarana yang memadai. Di sisi lain wilayah yang harus diampu jauh lebih
luas. Berdasarkan kenyataan tidak jarang seorang Polhut, harus menghadapi
pencuri (penjarah) kayu dalam jumlah besar atau lebih dari 20 - 35 orang. Dalam
hal demikian sangatlah wajar apabila seorang Polhut dituntut harus berpikir
realistis dan lebih baik lari menyelamatkan diri dari pada mati konyol.
4.3.
Memarginalkan Masyarakat Sekitar Hutan
Banyak penelitian yang mengungkapkan telah terjadi proses
peminggiran terhadap hak-hak masyarakat lokal. Demikian juga yang terjadi pada
masyarakat sekitar hutan di Jawa, dimana masyarakat yang sudah secara
turun-temurun menggantungkan hidupnya dari hutan, telah menjadi masyarakat
asing di tanah kelahirannya/leluhurnya sendiri.
Gambaran pengelolaan kawasan hutan, belum mampu
memberikan kontribusi yang maksimal terhadap peningkatan kesejahteraan yang
merupakan tujuan utama hukum dan tujuan pembangunan kawasan hutan. Sebaliknya
dampak yang nyata-nyata terjadi pada masyarakat sekitar hutan
sekurang-kurangnya dapat berwujud;
a.
Peminggiran secara ekonomis yang berwujud; masyarakat
lapar tanah (tuna kisna) karena 80 % tidak memiliki tanah dan hanya tergantung
pada pekerjaan mencari rencek/kayu bakar yang semakin sulit untuk mengimbangi
tingginya harga bahan kebutuhan pokok, langkanya pekerjaan dan terbatasnya
keahlian yang memaksa mereka hanya tergantung pada hutan di tengah semakin
sulitnya bercocok tanam di tengah hutan, masyarakat miskin atau kantong-kantong
kemiskinan di sekitar kawasan hutan yang terus bertambah, sedangkan lapangan
pekerjaan di sekitar hutan sangat tergantung pada musim menanam, tebang dan
lain lain;
b.
Peminggiran secara sosial yang berwujud terputusnya akses
pendidikan, pelayanan kesehatan dan fasilitas umum lainnya, sehingga sering
dikeluhkan mahalnya biaya transportasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
biaya pendidikan, pelayanan kesehatan dan lain-lain;
c.
Peminggiran secara politis yang berwujud tidak pernah
terserapnya aspiarasi politik masyarakat dalam kegiatan demokrasi;
d.
Peminggiran secara kultural yang berwujud ketertingalan
dari berbagai bentuk informasi ke arah perubahan yang lebih positif.
4.4.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Meskipun tidak banyak
dimunculkan ke permukaan, sejak masa penjajahan Belanda sampai sekarang sering
terjadi pelanggaran hak azasi manusia.
Dari beberapa peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku, dapat
dipastikan terdapat beberapa Pasal yang
dari segi esensinya justru bermakna menstigma, mencurigai, membelenggu,
mendiskreditkan, mengurangi dan mehilangkan kemerdekaan rakyat sekitar hutan.
Setelah digulirkannya
pemberantasan illegal loging di bawah kendali Menteri Koordinator
Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
Menteri Kehutanan sebagai pihak yang diberi tanggung jawab percepatan (ekselerasi)
pemberantasan, praktek di lapangan di beberapa daerah telah dilanjutkan dengan
sandi ”operasi wana lestari”, banyak mengakibatkan pelanggaran HAM,
misalnya perusakan rumah rakyat, penyitaan kayu (diduga illegal loging), ketakutan yang berlebihan, penangkapan, penahanan
tidak syah, praktek pemerasan dan penyuapan dan menimbulkan rasa traumatis bagi
rakyat desa sekitar hutan.
4.5.
Menuju
Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Realitas
politik tentang otonomi daerah yang berkaitan dengan penguasaan dan penggunaan
tanah kawasan hutan hendaknya dicermati secara baik, kepala dingin, bijaksana
dan berpandangan luas ke depan. Hasil penelitian menunjukan sekurang-kurangnya
ada tiga pandangan yang berhembus kencang dari daerah-daerah kabupaten di
Jawa-Madura, yang sebagian wilayahnya
terdiri dari kawasan hutan. Adapun pandangan-pandangan tersebut sebagai
berikut:
a. ada sebagian pemerintah
kabupaten yang menghendaki seluruh kawasan hutan wajib diserahkan kepada
pemerintah daerah kabupaten;
b. ada sebagian pemerintah daerah
kabupaten yang menghendaki pengelolaan saja wajib diserahkan kepada pemerintah
daerah kabupaten;
c. ada pemerintah daerah yang
hanya menghendaki pembagian manfaat ekonomi dari hutan yang lebih adil dan
proporsional.
Berdasarkan
tiga pandangan tersebut, nampak sangat jelas ada beberapa sikap daerah otonom,
yang sangat membutuhkan penyatuan atau perlu disikapi secara arif juga. Ketiga
pandangan tersebut, sekaligus juga menunjukan, bahwa semangat otonomi daerah
masih terbatas memperjuangkan kepentingan pemerintah daerah kabupaten saja dan
masih berkutat pada masalah peningkatan pendapat asli daerah (PAD) dan belum
sampai berpikir pada partisipasi dan kesejahteraan rakyat.
Pencarian
kerangka landasan yuridis dari pelaksanaan desentralisasi pengelolaan tanah
kawasan hutan Perhutani, dalam era otonomi daerah khususnya yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan adalah Pasal
66 dalam beberapa ayat yang menyatakan
bahwa:
(1) Dalam rangka penyelenggaraan
kehutanan, Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah.
(2) Pelaksanaan penyerahan sebagian
kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan
efektivitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Mencermati
ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan tersebut
di atas, tujuan dilaksanakannya penyerahan kewenangan tersebut adalah untuk
meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dan dalam rangka pengembangan otonomi
daerah, maka dengan demikian nampak jelas bahwa secara yuridis normatif
desentralisasi pengelolaan tanah kawasan hutan masih terkait langsung dengan
otonomi daerah. Masih dalam kerangka desentralisasi pengelolaan tanah kawasan
hutan kepada pemerintah daerah, semakin tampak jelas dengan penjelasan yang terdapat
dalam alinia ke 10 penjelasan umum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan pada
prinsipnya menjelaskan bahwa; “…pelaksanaan sebagian pengurusan hutan yang
bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat propinsi dan
kabupaten/kota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat nasional atau makro,
wewenang pengaturannya dilaksanakan pemerintah pusat”.
Mencermati isi Penjelasan Umum alinia 10, Pasal
66 ayat (1), (2) dan (3) dan Pasal 10 ayat 1, 2 dan 3, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan, beserta
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah
tersebut, sebenarnya telah nampak jelas bahwa kedua undang-undang tersebut dari
segi sinkronisasi horizontal (harmonisasi) sudah sangat sinkron (harmonis),
jelasnya bahwa bidang kehutanan sama sekali tidak termasuk urusan yang diatur
dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah
dan tidak menjadi wewenang pemerintah pusat atau dengan
kata lain telah didesentralisasikan. Dengan demikian secara yuridis formal
tanah kawasan hutan, tidak perlu diragukan dan
seharusnya sudah merupakan urusan yang menjadi kewenangan pemerintah
daerah Kabupaten.
Namun
setelah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 1999 tentang Perum
Perhutani yang memberi kekuasaan penuh kepada Perum Perhutani sebagai pengelola
tanah kawasan hutan lindung dan hutan produksi di Jawa, harapan menjadi lain.
Sentralisasi tidak mungkin akan segera berubah menjadi desentralisasi tanpa
melalui quasi desentralisasi, atau dengan kata lain desentralisasi
akan tetap semu belaka tanpa perjuangan yang serius. Jelasnya
dalam proses tersebut diawali dari “sentralisasi, -> quasi desentralisasi
atau desentralisasi semu, -> desentralisasi”.
Desentralisasi penguasaan dan
pendayagunaan tanah kawasan hutan, sebagai strategi percepatan tercapainya
kesejahteraan rakyat, masih memerlukan perjuangan yang panjang, dikarenakan
banyaknya tarik menarik berbagai kepentingan, maka atas dasar kenyataan ini,
harus dikembalikan pada pendayagunaan hukum dan atau kebijakan dan
pendayagunaan institusional. Upaya desentralisasi akan menghadapi
kendala-kendala sebagai berikut; 1) ketidak-pastian hukum; 2) sikap ragu-ragu;
3) minimnya sumber daya manusia di daerah; 4) sengketa perbatasan. Di samping
kendala-kendala tersebut desentralisasi juga berimplikasi pada; 1) konflik
perundang-undangan (conflict of norm); 2) konflik kewenangan (conflict
of authority); 3) konflik ekonomi kerakyatan dengan ekonomi liberal
kapitalis (conflict of economic); 4) euforia peningkatan pendapatan asli
daerah (PAD); 5) munculnya primordialisme kedaerahan.
4.6 Kebijakan
Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Perspektif Otonomi Daerah
Kawasan hutan yang dikelola dan diusahakan Perum Perhutani
terletak berbatasan dengan kurang lebih 6172 desa, dengan jumlah penduduk yang
diperkirakan mencapai 30 juta jiwa. Lebih dari 60 % dari jumlah penduduk yang
tinggal di desa-desa sekitar hutan dan menggantungkan hidupnya pada sumber daya
hutan. Penduduk membuka ladang, menebang kayu, mengambil kayu bakar,
mengumpulkan dedaunan dan rumput pakan ternak, dan bahkan menggembalakan ternak
di dalam kawasan hutan (Barber, 1989;Simon,1983)
Perubahan
kondisi sosial, ekonomi, politik dan ekologi di Pulau Jawa yang demikian cepat
memerlukan perubahan paradigma baru dalam pengelolaan sumber daya hutan di
pulau ini. Sekalipun pengelolaan hutan di Jawa yang dilaksanakan oleh Perhutani
telah mengalami beberapa kali perubahan , tetapi kenyataan menunjukan bahwa
perubahan-perubahan tersebut belum dapat menjawab
permasalahan-permasalahan yang terus
berkembang.
Perum
Perhutani pada dasarnya merupakan keberlanjutan dari suatu sistem penguasaaan
dan pengelolaan hutan yang dioperasikan pada masa pemerintahan kolonial
Belanda, sehingga konsep pengelolaan dan pengusahaan sumber daya hutan termasuk
sebagaian dari instrumen hukum peninggalan pemerintah Belanda masih
diimplementasikan sampai sekarang (Barber, 1989; Peluso,1992; Simon,1999).
Konsekuensi dari multi visi dan tugas yang dibebankan kepada Perum Perhutani
sebagai BUMN penghasil devisa negara (economical
mission), sebagai institusi yang bertanggungjawab dalam konservasi kawasan
hutan (ecological mission), dan juga
menjalankan misi peningkatan kesejahteraan penduduk desa-desa sekitar hutan (social mission), maka BUMN ini dituntut
untuk menggunakan struktur yang bercirikan hirarkhis, perencanaan dan
pengambilan keputusan yang bersifat sentralistik, dan pola implementasi
kebijakan atas bawah, karena itu sikap monoloyalitas terhadap keputusan,
instruksi, atau perintah atasan sangat diperlukan untuk menunjang struktur
hirarkhis dan proses atas bawah tersebut. Tetapi dengan adanya perubahan kondisi sosial, ekonomi,
politik dan ekologi yang demikian cepat memerlukan perubahan paradigma baru
dalam pengelolaan sumber daya hutan yang mengedepankan warga negara dalam basis
pengelolaan sumber daya hutan atau berorientasi ekonomi kerakyatan.
Dalam konteks otonomi daerah Perhutani juga mempunyai kewajiban untuk melakukan
koordinasi dan kerjasama yang bersifat mutualistik dengan pemerintah daerah,
mulai dari sinkronisasi perencanaan wilayah, penyusunan kebijakan dan program
pemberdayaan masyarakat di desa-desa sekitar hutan.
Untuk merespon hal tersebut Perum Perhutani yang mengemban
tugas untuk mengelola hutan di Jawa menjawab perubahan tersebut dengan
melaksanakan program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)
berdasarkan Surat Keputusan Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani (Selaku
Pengurus Perusahaan) Nomor 136/KPts/Dir/2001. Dan dalam
perkembangan pada tanggal 8 Maret 2007 ditetapkan Keputusan Direksi Perum
Perhutani Nomor : 268/KPTS/DIR/2007
tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Plus (PHBM Plus).
Sebenarnya
sejak berdirinya Perhutani sampai dengan
awal tahun 70-an pengelolaan hutan di Jawa tidak banyak mengalami perubahan
yang berarti. Dalam kurun waktu ini, peran serta masyarakat dalam pengelolaan
sumber daya hutan masih sangat terbatas, Selain itu pelaksanaan pengelolaan
hutan dengan sistem tumpangsari baru
mengalami sedikit perbaikan pada tahun 1972 ketika Perhutani mulai melaksanakan
Program Kesejahteraan Masyarakat (Prosperity
Approach). Dengan tujuan adalah mengembalikan potensi dan fungsi hutan
serta sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kegiatankegiatan utama
program ini meliputi Intensifikasi masal tumpangsari, Intensifikasi khusus
tumpangsari, pembuatan tanaman kayu bakar, rumput gajah, usaha perlebahan, dan
sebagainya. Program ini kemudian disempurnakan pada tahun 1982 menjadi Program
Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) yang ditandai antara lain dengan (a).
Pembentukan Kelompok Tani Hutan(KTH) yang merupakan wadah musyawarah antara perusahaan
dengan masyarakat, dan (b). Meningkatkan kegiatan agroforestry. Pada tahun 1984
PMDH disempurnakan dengan Pembinaan
Masyarakat Desa Terpadu (PMDHT) Program-program yang dilaksanakan
Perum Perhutani dalam pengelolaan kawasan
hutan di Jawa pada dasarnya tetap menggunakan prinsip-prinsip tumpangsari, seperti
yang diperkenalkan lebih dari satu abad yang lalu, yang pada prinsip-prinsipnya
antara lain :
1.
Setelah
satu areal hutan ditebang habis maka penduduk yang tinggal di sekitar kawasan
hutan diminta untuk bekerja sebagai penggarap lahan tumpangsari (pesanggem). Setiap pesanggem menyiapkan
bagian lahan tumpangsarinya untuk ditanami bibit pohon jati, ukuran dengan
jarak tanam 1 X 3 atau lebih, tergantung pada tingkat kesuburan tanahnya.
2.
Kegiatan
untuk menyiapkan lahan tumpangsarinya dilakukan pada bulan Agustus, dan
penanaman bibit jati mulai dilakukan pada bulan September. Pada waktu yang
bersamaan dengan penanaman bibit jati, para pesanggem diperbolehkan menanam
palawija di sela-sela bibit pohon jati selama 2 tahun, dengan kewajiban
memelihara tanaman jati dengan sebaik-baiknya sehingga dapat tumbuh dengan
subur.
3.
Selain
seluruh hasil palawija menjadi hak pesanggem, maka pesanggem juga menerima upah
kerja dari Jawatan Kehutanan. Pesanggem juga boleh mengambil sisa-sisa kayu di
lahan-lahan bekas tebangan, mengumpulkan ranting kayu yang sudah kering
(rencek) atau kayu yang telah mati/roboh untuk kayu bakar selama menjadi
pesanggem.
4.
Upah
kerja yang diberikan kepada pesanggem lebih tinggi apabila lahan yang digarap
kurang subur, karena hasil palawija yang diperoleh pesanggem lebih sedikit
dibandingkan dengan hasil pada lahan yang subur.
Model pengelolaan hutan dengan sistem
tumpangsari pada tahun-tahun selajutnya menjadi semakin dikenal dan kemudian dilaksanakan
di seluruh kawasan hutan di Jawa karena selain dipandang lebih berhasil guna
dan menguntungkan secara ekonomis, juga dirasakan paling sesuai dengan kondisi
geografis dan kondisi sosial ekonomis serta perkembangan penduduk di Jawa.
Program-program
yang dilaksanakan Perum Perhutani dalam pengelolaan kawasan hutan di Jawa pada
dasarnya menggunakan prinsip-prinsip
tumpangsari, walaupun telah banyak
mengalami modifikasi yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan
kelembagaan modern, tetapi sistem tumpangsari tetap menjadi elemen utama dalam
pelaksanaan program perhutanan sosial.
Tumpangsari
sebagai salah satu bentuk agro-silvikultur dalam wanatani (agroforestry), selain membantu percepatan permudaan kawasan
hutan,juga membantu pemecahan masalah keterbatasan tanah pertanian bagi
penduduk di sekitar kawasan hutan. Dengan kata lain, sistem tumpangsari yang
telah diterapkan selama lebih dari satu abad ini memberi kontribusi yang
berarti untuk menyediakan lahan garapan yang semakin terbatas untuk
petani-petani miskin di desa-desa sekitar hutan (Peluso,1992:146)
Program-program yang telah
dilakukan oleh Perhutani ternyata belum mencapai tujuan-tujuan secara optimal.
Hal ini dapat diamati dari berbagai kenyataan di lapangan antara lain : (a).
Kualitas hutan makin menurun dari tahun ketahun, (b). Permasalahan sosial yang
dihadapi perusahaan semakin berat. Permasalahan-permasalahan ini timbul karena
program-program yang telah dilaksanakan (Tumpangsari, Prosperity Approach,
Ma-Lu, PMDH, PMDHT, Social Forestry) belum sesuai dan sejalan dengan kebutuhan
dan aspirasi masyarakat. Disamping itu peran serta masyarakat dalam pengelolaan
hutan sangat terbatas.
Berdasarkan kenyataan
tersebut, Perhutani dengan sadar mulai melaksanakan Program Pengelolaan Sumber
daya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) untuk mengakomodir aspirasi masyarakat,
mempertimbangkan kebutuhan masyarakat dan menempatkan masyarakat sebagai
partner yang sesungguhnya dalam pengelolaan hutan.
PHBM merupakan suatu sistem
pengelolaan sumber daya hutan yang dilakukan Perhutani dengan masyarakat desa
dengan pihak yang berkepentingan yang dilandasi dengan jiwa berbagi, sehingga
kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya
hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional. Adapun tujuan
Pengelolaan Sumber daya Hutan Bersama Masyarakat (Pasal 4 Ayat (2) Keputusan Ketua Dewan Pengawas
Perum Perhutani Nomor 136/KPTS/Dir/2001) antara lain :
1.
Meningkatkan
tanggung jawab perusahaan, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan
terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan.
2.
Meningkatkan
peran perusahaan, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan
sumberdaya hutan.
3.
Menselaraskan
kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan kegiatan pembangunan
wilayah sesuai kondisi dan dinamika sosial masyarakat desa hutan.
4.
Meningkatkan
mutu sumber daya hutan sesuai karakteristik wilayah.
5.
Meningkatkan
pendapatan perusahaan, masyarakat desa hutan serta pihak yang berkepentingan
secara simultan.
Untuk mencapai berbagai tujuan
pelaksanaan PHBM mendasarkan diri pada prinsip-prinsip sebagai berikut : (a).
Keadilan dan demokratis; (b) Keterbukaan dan kebersamaan; (c). Pembelajaran
bersama dan saling memahami; (d). Kejelasan hak dan Kewajiban; (e). Pemberdayan
ekonomi kerakyatan; (f). Kerjasama kelembagaan; (g). Perencanaan partisipasif;
(h). Kesederhanaan sistem dan prosedur; (i). Perusahaan sebagai fasilitator;
dan (j). Kesesuaian pengelolaan dengan karakteristik wilayah.
Kegiatan PHBM mencakup kegiatan
berbasis lahan dan bukan lahan. Kegiatan berbasis lahan dilakukan di dalam
kawasan hutan dan dapat dikembangkan di luar kawasan hutan dengan memanfaatkan
lahan dan atau ruang melalui pengaturan pola tanam yang sesuai dengan
karakteristik wilayah setempat. Sementara itu, kegiatan berbasis bukan lahan
dilakukan dengan mengembangkan produk industri, jasa dan perdagangan untuk
menumbuhkembangkan keswadayaan dan pengembangan ekonomi masyarakat desa
hutan. Dalam PHBM, masyarakat
bersama-sama dengan Perhutani berhak menyusun rencana, melakukan monitoring dan
evaluasi. Disamping itu masyarakat juga berhak memperoleh manfaat dari hasil
kegiatan dengan nilai dan proporsi faktor produksi yang dikontribusikannya.
Sebagai tambahan mereka juga berhak memperoleh fasilitas dari perusahaan
(Perhutani) dan atau pihak yang berkepentingan (stakeholders) untuk mencapai kesejahteraan dan kemandirian.
Kewajiban yang harus dilakukan oleh masyarakat yang terlibat dalam PHBM tidak
hanya menjaga dan melindungi sumberdaya hutan untuk kepentingan keberlanjutan
fungsi dan manfaatnya tetapi juga memberikan kontribusi faktor produksi yang
sesuai dengan kemampuannya serta mempersiapkan kelompok untuk mengoptimalkan
fasilitas yang diberikan Perhutani atau pihak yang berkepentingan. Sedangkan
kewajiban perusahaan (Perhutani) meliputi : (a). Memfasilitasi masyarakat desa
hutan dalam proses penyusunan rencana, monitoring dan evaluasi; (b). Memberikan
kontribusi faktor produksi; (c) mempersiapkan sistem, struktur, dan budaya
perusahaan yang kondusif; dan (d). Bekerjasama dengan pihak yang berkepentingan
dalam rangka mendorong proses optimalisasi dan berkembangnya kegiatan.
Hutan sebagai salah satu sumber
daya alam tidak bisa dikelola hanya bertumpu pada pendekatan bisnis kayu saja.
Hutan adalah sumber daya publik yang memiliki fungsi dimensi : sosial, ekonomi
dan ekologi. PHBM merupakan salah satu instrumen kehutanan yang bernuansa
sosial yang lahir didorong oleh kenyataan bahwa pengelolaan hutan tidak bisa
mengesampingkan persoalanpersoalan sosial dalam masyarakat, khususnya
masyarakat desa hutan dan sekitarnya. (Warta FKKM, Maret 2002: 9)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar