Minggu, 06 September 2015

Jurnal Hukum

EKSISTENSI TANAH BENGKOK/GANJARAN SEBAGAI ASET DESA 
PRESPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014
TENTANG DESA
(Studi Di Desa Ngujung, Maospati, Magetan, Jawa Timur)
Sigit Sapto Nugroho1
1Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun
Abstract
The purpose of this study was to determine and analyze the existence of a crooked land as an asset in the village of perspective Act No. 6 of 2014 on the village . Where the research using normative juridical method.
The results showed the existence of a crooked land as part of the assets of the village which is also the capital of a country should be done in a sensible and prudent management to improve the welfare and living standards of rural communities as well as to increase rural incomes.

Keywords : Land of Crooked , Asset Village




Pendahuluan
Tanah merupakan pokok penghidupan dan kehidupan sepanjang masa. Oleh sebab itu persoalan tanah dalam kehidupan manusia merupakan persoalan yang multi kompleks tanah juga menyimpan sejarah tidak tertulis tentang peringatan atau keberadaan para nenek moyang sebagai alas kelangsungan kehidupan masyarakat tertentu yaitu untuk kehidupan sosial, budaya, religi, ekonomi, politik dan sebagai ikatan dengan generasi yang akan datang.
Jadi hubungan tanah dalam suatu masyarakat tidak hanya sebagai alas kelangsungan kehidupan manusia dan sebagai salah satu faktor produksi, tetapi juga memiliki peranan penting lainnya baik yang menyangkut aspek sosial maupun politik. Oleh karena itu masalah tanah tidak hanya semata-mata merupakan masalah hubungan antara masyarakat dengan tanah, lebih dari itu secara normatif merupakan hubungan manusia (secara individu) dengan tanah.    Dengan kata lain bahwa tanah itu sangat erat kaitannya dengan jati diri kelompok tersebut. Masalah-masalah yang menyangkut tanah tidak dapat dipisahkan dengan masalah-masalah kekerabatan, kekuasaan dan kepemimpinan cara-cara menyambung hidup, serta upacara.[1]
Desa menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (yang selanjutnya disebut UU Desa) dinyatakan bahwa Desa dan Desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur  dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan / atau hak tradisional yang diakui dan  dihormati     dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[2]
Berkaitan dengan pemerintahan di Desa keberadaan para pengurus pemerintahan di Desa  atau biasa disebut Pamong Desa atau Perangkat Desa  atau istilah lain selama ini mendapatkan  Tanah Bengkok atau Tanah  Ganjaran, Tanah Pilunggguh atau Tanah Pancen selama mereka menjadi pengurus pemerintahan Desa yang merupakan tanah pakai adat milik Desa (termasuk Bondo Desa/kekayaan Desa). Jadi tanah Bengkok selama ini sebagai ganti atas gaji mereka  selama menjabat menjadi pengurus pemerintahan Desa. Karena sebelum adanya UU Desa perangkat Desa tidak memperoleh penghasilan tetap tetapi mendapatkan tanah Bengkok sebagai ganti gaji.
Sebutan tanah Bengkok berasal dari bahasa daerah di Jawa, Tanah Bengkok mengandung unsur kultural historis maupun unsur yuridis. Sebenarrnya secara yuridis setelah diundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang ketentuan Pokok-Pokok Agraria yang selajutnya disebut UUPA. Tanah Bengkok sudah tidak ada lagi . sebutan tanah  Bengkok mestinya sudah harus tidak ada; bila perlu bisa saja disebut tanah eks Bengkok (bekas bengkok) atau lebih tepat disebut tanah hak pakai.[3]
Setelah diundangkan UUPA tanah bengkok tersebut dialihkan statusnya (Konversi) menjadi hak pakai berdasarkan ketentuan UUPA (Konversi pasal VI) yang menyatakan :
“Hak-hak tanah yang meberikan wewenang sebagaimana mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) seperti yang disebut di bawah, yang pada mulai berlakunya Undang-Undang ini, yaitu hak vrucht gebruik, gebruik, grant controleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama  apapun juga akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak berlakunya undang-undang ini menjadi hak pakai  tersebut dalam pasal 41 ayat (1). Yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya undang-undang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini[4]

Dari pasal IV ketentuan konversi tersebut dapat diketahui isi, sifat dan perwujudan Hak pakai (proses konversi dari hak bengkok) tersebut pada pasal 41 ayat (1) UUPA yang berbunyi :
“Hak  pakai adalah untuk menggunakan dan / atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian  sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini”.[5]

Pasal 41 ayat (2) :
Hak Pakai diberikan :
a.    Selama jangka waktu yang ditentukan atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
b.    Dengan cuma-cuma dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apa pun.[6]

Walaupun sebutan baru untuk Tanah Bengkok/Tanah Ganjaran milik Desa  adalah hak pakai, tetapi karena hak pakai tanah itu masih dihubungkan dengan pemakainya dengan jabatan pengurus pemerintahan Desa, maka orang masih senang menyebut dengan Tanah Bengkok disebabkan istilah itu sudah umum merakyat, terbiasa sebagai sebutan tradisional sehari-hari. Jadi sebagai suatu nama kultural yang lebih dikenal dibandingkan dengan sebutan yuridis hak pakai.
Tanah Bengkok secara yuridis juga merupakan bagian dari aset Desa sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 UU Desa bahwa Aset Desa adalah barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hak lainnya yang sah.
Hal ini dipertegas dalam Pasal 76 ayat (1) UU Desa :
Aset  Desa  dapat  berupa  tanah  kas  Desa,  tanah ulayat, pasar Desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan Desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik Desa, mata air milik Desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik Desa.[7]

Berdasarkan latar belakang  permasalahan di atas dapat di kemukakan pokok permasalahan  antara lain : Bagaimana eksistensi Tanah Bengkok sebagai aset Desa dalam perspektif Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa?

Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis tentang eksistensi Tanah Bengkok sebagai aset Desa dalam perspektif Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Metode Penelitian
Untuk menemukan, mengembangkan atau menguji kebenaran suatu pengetahuan, maka penelitian ini diperlukan suatu metode tertentu sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah atau secara akademik. Dalam penelitian ini  metode yang dipergunakan adalah metode  penelitian hukum normatif dengan tahapan sebagai berikut :
1.      Pendekatan Masalah
Dalam upaya pendekatan masalah maka diperlukan bahan kepustakaan atau pengumpulan data-data secara lengkap, sebagai bahan untuk pembahasan lebih lanjut. Adapun metode yang dipergunakan adalah metode penelitian hukum normatif (studi kepustakaan). Pada penelitian hukum normatif yang utama adalah data sekunder. Data sekunder tersebut berupa bahan kepustakaan yang berwujud.[8]  Antara lain : Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari : UUD 1945, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Peraturan  Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanan UU Desa, serta bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, misalnya hukum adat. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Misalnya hasil karya ilmiah, penelitian-penelitian dari kalangan hukum dan sebagainya. Dan bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun perjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya kamus, ensiklopedi, dll..”
2.      Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data
Supaya data yang sudah didapatkan tersebut bisa dipergunakan maka harus diadakan penyeleksian data, sehingga didapatkan data yang benar dan sesuai dengan pembahasan. Setelah data dapat dikumpulkan maka kemudian dilakukan pegelompokan  data dilakukan pembahasan yang didasarkan pada teori-teori yang masih ada dan relevan. Di dalam mencari data, baik yang bersumber pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder , dan bahan hukum tersier dilakukan melalui studi kepustakaan . Setelah diperoleh bahan hukum yang diperlukan kemudian dihimpun, di inventarisasi yang sesuai dengan permasalahan yang  dibahas, selanjutnya dilakukan pemisahan berdasarkan relevansi pokoknya.
3.   Analisis Data
Setelah data tersebut berhasil dikumpulkan dengan lengkap dan di pisah-pisahkan/diklasifikasikan sesuai dengan relevansi permasalahan kemudian dilakukan analisa data secara normatif kualitatif, yaitu untuk membahas bahan penelitian yang datanya mengarah pada kajian yang bersifat teoritik tentang konsep-konsep, kaidah hukum, doktrin-doktrin dan bahan hukum lainnya. Selanjutnya data tersebut dipelajari dan dibahas sebagai suatu bahan yang utuh dan dituangkan di dalam bahasan dengan menggunakan metode kualitatif sehingga menghasilkan data yang diskriptif analitis.

Hasil Penelitian dan Pembahasan
Sebutan tanah Bengkok berasal dari bahasa daerah di Jawa, Tanah Bengkok mengandung unsur kultural historis maupun unsur yuridis. Sebenarnya secara yuridis setelah diundangkan UUPA Tanah Bengkok sudah tidak ada lagi . sebutan tanah  Bengkok mestinya sudah harus tidak ada; bila perlu bisa saja disebut tanah eks Bengkok (Bekas Bengkok) atau lebih tepat disebut tanah hak pakai (karena jabatan).[9] Berkaitan dengan pemerintahan di Desa keberadaan para pengurus pemerintahan di Desa  atau biasa disebut Pamong Desa atau Perangkat Desa  sebelum dikeluarkan UU Desa mendapatkan  tanah bengkok atau tanah  ganjaran, tanah pilunggguh, tanah pecaton atau tanah pancen  selama mereka menjadi pengurus pemerintahan Desa yang merupakan tanah pakai adat milik Desa  (termasuk Bondo Deso/kekayaan Desa). Jadi tanah Bengkok sebagai ganti atas gaji mereka  selama menjabat menjadi pengurus pemerintahan Desa.
Luasnya Tanah Bengkok bagi para pengurus Desa tersebut sangat tergantung pada tinggi rendahnya jabatan dalam pemerintahan Desa, Misalnya : Kepala Desa akan mendapatkan Tanah Bengkok lebih luas dibandingkan dengan seorang Sekretaris Desa (Carik), seorang Carik akan mendapatkan Tanah Bengkok lebih luas daripada seorang Kamituwo atau Kasun, dan seterusnya. Adapun wujud daripada Tanah Bengkok dapat bermacam-macam tergantung pada keadaan geografis wilayah Desa yang bersangkutan, antara lain berupa :
1.    Tanah Sawah (tanah basah).
2.    Tanah tegalan (tanah kering)
3.    Kolam ikan / Tambak.
Adapun tujuan diadakannya tanah bengkok itu adalah pemberian hak untuk menggunakan tanah yang dikuasai Desa itu untuk dinikmati hasil tanahnya sebagai ganti atas gaji mereka yang melaksanakan tugas dalam pengurus pemerintahan Desa. hak tersebut berupa ganjaran (semacam pemberian untuk dinikmati) kepada para pejabat Desa.
Berdasarkan sejarah, ada beberapa pandangan mengenai terjadinya Tanah Bengkok yang dapat dibagi menjadi dua versi, yaitu versi hukum adat dan versi penguasa kolonial/perundang-undangan di jaman Hindia Belanda[10].
1.     Versi Hukum Adat
Sebagaimana disebutkan dimuka bahwa Tanah Bengkok adalah tanah yang digunakan oleh para pejabat pemerintahan Desa sebagai pengganti atas gaji  selama mereka melaksanakan tugas pemerintahan di Desa, Hak atas tanah bengkok oleh para pejabat pemerintahan Desa adalah hak pakai adat, bukan hak milik tanah dalam hukum adat. Hal tersebut akan membawa akibat hukum , apabila tugas pejabat pemerintahan Desa telah selesai maka Tanah Bengkok harus dikembalikan ke Desa sebagai aset  Desa/ Bondo Deso.
Asal mula terjadinya Tanah Bengkok tidak dapat dilepaskan dari berdirinya suatu Desa (Babat Desa). Disatu pihak karena adanya kekuasaan untuk memimpin suatu Desa  berdasarkan rembug seluruh masyarakat yang turut dalam proses berdirinya suatu Desa maka sebagai imbalan atas tugas memimpin dan mengurus Desa maka diberikan Tanah Bengkok/Tanah Ganjaran/Tanah Pecaton atau Tanah Pancen. Disisi lain selain adanya tanah bengkok, di dalam masyarakat juga dikenal adanya Tanah Gogolan atau Tanah Pekulen. Kalau kita lihat berdasarkan susunan masyarakat sehubungan dengan fungsi warga Desa (gawai Desa) dalam masyarakat adat dipedesaan . Di Jawa susunan  tersebut secara garis besar sebagai berikut :
Kategori I : Kelompok yang berstatus Gogol/Sikep/Kuli (orang-orang yang kuat gawe atau yang sudah kawin).
Kategori II : Kelompok non Gogol/Sikep/kuli (orang-orang yang sudah tua dan anak-anak).
Yang dimaksud dengan Gogol/Sikep/kuli di Desa adalah golongan atau Sikep atau kuli yang terdiri dari golongan anggota masyarakat adat yang melaksanakan tugas gawai Desa (tugas-tugas sosial dalam pemerintahan Desa) setempat. Adapun tugas tersebut berupa rapat-rapat Desa, jaga malam, gotong royong, penanggulanagn kebakaran, banjir, serta malapetaka lainnya dan bentuk partisipasi lainnya.[11]
Status gogol itu membawa kompensasi untuk mendapatkan tanah adat yang disebut tanah gogolan sebagai sumber penghidupan keluarganya. Demikian juga dengan status sikep atau kuli akan mendapatkan tanah pekulen. Jadi istilahnya bukanlah merendahkan status derajat seseorang dalam masyarakat, justru stutus tersebut merupakan kehormatan karena dipercaya sebagai pengemban gawai Desa (tugas-tugas Desa yang mulia)
Penguasaan tertinggi tanah gogolan tetap ada pada Desa sehingga ketentuan tentang bagaimana menyelenggarakan rotasi penggunaan tetap pada pengendalian seorang Kepala Desa atau Lurah Desa , karena Seorang Kepala Desa dalam sejarah pertanahan adat mempunyai tiga (3) kewenangan di bidang pertanahan :[12]
a.    Kewenangan di bidang hukum adat menetapan ketentuan hukum yang berhubungan dengan tanah (kewenangan yuridis).
b.    Kewenangan membagi-bagi tanah menurut siapa saja berhak atas tanah gogolan yang bakal mendapat tanah pakai adat dan seterusnya (kewenangan distributif).
c.    Kewenangan pengawasan umum pertanahan dan transaksi tanah (kewenangan supervisi).
Sebelum adanya UUPA kewenangan tersebut memang cukup menonjol tetapi setelah berlakunya UUPA kewenangan itu pada dasarnya diambil alih oleh negara kecuali dalam beberapa hal yang belum atau masih diserahkan kepada masyarakat Desa (Tanah Kas Desa/Tanah Bondo Deso, Tanah Pangonan dll.)
Menurut ketentuan konversi UUPA menurut Pasal VII (1) disebutkan :
(1). Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, menjadi hak milik tersebut dalam pasal 20 ayat (1).
Ketentuan ini berarti hak gogolan tetap dikonversi menjadi hak milik. Dalam ketentuan ayat 2 dinyatakan :
(2). Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tidak tetap menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1).
Dengan ketentuan ini maka hak gogolan tidak tetap/gilir dikonversi menjadi hak pakai. Terkait dengan adanya kekuasaan dalam pemerintahan Desa yang diputuskan melalui rembug Desa maka para petinggi Desa (Kepala Desa dan pembantu-pembantunya) mendapatkan ganjaran atau imbalan yang kemudian disebut sebagai Tanah Bengkok/Tanah Ganjaran/Tanah Pilungguh serta Tanah Pecaton atau Pancen. Dengan status hak pakai adat . ketentuan hak pakai adat adalah :
a.    Dilarang memindah tangankan kepada pihak lain tanpa izin (musyawarah Desa/rembug Desa). pada asasnya tanah bengkok diperuntukan semata-mata bagi para pejabat Desa.
b.    Begitu selesai menjabat pemerintahan Desa tanah bengok harus dikembalikan kepada Desa.
Sejarah adanya tanah-tanah Desa sebenarnya berasal dari tanah hak ulayat yang dikuasai oleh persekutuan hukum adat (Desa). Van Vollen Hoven menyebut tanah hak ulayat sebagai  Beschikkingsrechts, Ciri khas tanah ulayat adalah tanah Desa sebagai tanah kebersamaan yang dapat dibagi-bagikan kepada anggota warga Desa yang membutuhkan menurut syarat-syarat dalam hukum adat setempat. Oleh sebab itu tanah ulayat dapat diumpamakan sebagai “bank tanah” di jaman dahulu. Tanah ulayat adalah ‘depologistik” bagi kebutuhan tanah di masyarakat hukum adat.[13]
Dibeberapa daerah tanah hak ulayat itu disebut Wewengkon-Jawa, Ulayat-Minangkabau, Tanah Marga-lampung, Panyampeto atau Pawatasan-Kalimantan, Limpo-Sulawesi Selatan, Pabumian atau Payar-Bali.[14]

2.    Versi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
Sebelum membahas tanah bengkok versi Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, perlu digambarkan pandangan Ter Haar yang menyatakan bahwa Tanah Bengkok itu ada kaitannya dengan tanah ganjaran yang akhirnya dipahami sebagai Tanah Bengkok tersebut.
Menurut Ter Haar Tanah Ganjaran itu berasal dari peraturan raja-raja.. Tanah Ganjaran itu diberikan kepada para punggawa kerajaan maupun kepada pengurus Desa atas nama raja. Status tanah yang diberikan oleh rajatersebut berstatus hak pakai karena jabatan (amtelijk profitrechts). Istilah Ambelijk profitrechts mengandung arti bahwa Tanah Ganjaran/Bengkok itu berkaitan dengan jabatan dalam pemerintahan Desa tadi. Di daerah yang jauh dari pusat kerajaan tentunya pengaruh pemberian tanah hak pakai oleh jabatan raja-raja tersebut sangatlah berkurang, sehingga berlakulah tanah jabatan atau Bengkok tersebut  berdasarkan kebijaksanaan menurut murni persekutuan hukum adat Desa-Desa.[15]
Catatan dari pandangan Ter Haar ini adalah : sesungguhnya ada pengaruh kerajaan dalam hal pemberian Tanah Ganjaran atau Bengkok  hal itu hanya mengenai prosedur atau formalitas pemebrian hak pakai menurut aturan kerajaan belaka. Namun secara materiil yang dibagikan sebagai tanah hak pakai tersebut juga persekutuan hukum adat yang disebut hak ulayat.[16]
Selanjutnya versi Pemerintahan Kolonial Belanda mengatakan bahwa Tanah Bengkok itu timbul proses pemberian oleh pemerintah daerah atau ada yang dari Bupati atau Residen. Contoh hal pemberian Tanah Bengkok berdasarkan beberapa Ordonansi yang terkenal dengan Inslandche Gemeente Ordonantie (IGO). Ordonansi tersebut ada yang berlaku untuk Jawa dan Madura, ada pula untuk luar Jawa dan Madura, misalnyaSumatra  Barat, Bengkulu, Palembang, Lampung dll. Di Jawa dan Madura diatur dalam Stb 1906 No. 83 jo Stb 1907 No. 212.
Kemudian sebelum Hindia Belanda menjelang jatuh ketangan bala tentara Jepang, Ordonansi tersebut diganti, Untuk Jawa dan Madura diganti dengan Desa Ordonansi Stb 1941 No. 356, sedangkan bagi luar Jawa dan Madura di ganti dengan Stb 1938 No. 490. namun ordonansi-ordonansi tersebut praktis tidak berjalan. Dengan demikian tetap berlaku ordonansi lama. Di Jawa tetap berlaku Stb. 1906 No. 83 jo Stb 1907 No 212.
Terlepas dari masalah ordonansi itu Tanah Bengkok ditentukan oleh Bupati ataukah Residen. Yang penting dicatat adalah bahwa ordonansi tersebut adalah sekedar administrasi saja secara materiil pemerintah kolonial tidak pernah memberkan tanah negara (Virjland Domein), tetapi Bengkok diambil dari tanah Desa sendiri yang berasal mulanya dari tanah ulayat Desa masyarakat hukum adat setempat.
Jadi ordonansi-ordonansi yang menyangkut Tanah Bengkok itu hanya sekedar menunjukan secara formal kekeuasaan pemerintah kolonial dalam urusan tanah Desa, termasuk terjadinya Tanah Begkok itu. Hal itu sejalan dengan politik hukum tanah kolonial yang tertuang dalm Agrarisce Besluit yang terkenal dengan pernyataan Domein Verklaring pada Stb 1970 No. 118 yang tidak mengakui hak-hak adat orang Indonesia termasuk nah ulayat. Semua tanh adat hanya menumpang pada tanah milik (domein) pemerintah Hindia Belanda. Pasal 1 Agrarische Besluit menyatakan :
“ Behoundens opvolging van de tweedw en de derde bepaling der voor meldewet blijfhet beginsel gehanhaafd, dat alle grond, wearop niet door anderen reggt van eigendom word bewezen, domein ven den staatis ( Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentan di dalam ayat 2 dan 3 Agrarische Wet, maka dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu eigendomnya (miliknya) adalah domein/milik negara.”

Pasal 1 Agrarische Besluit ini dikenal dengan Asas Domein Verklaring yang merupakan sendi berlakunya kebijakan atau politik hukum graria kolonial. Sebab berlakunya politik tersebut tidak mungkin dibuktikan pemiliknya dengan bukti hak (menurut hukum barat) demi hukum dan secara otomatis jatuh ketangan Pemerintah Hindia Belanda.[17] Dalam hal ini pemerintah kolonial Belanda pamer kekuasaan dalam proses pemberin tanah bengkok tersebut dengan menunjukan kekuasaannya untuk mengatur. Padahal kenyataanya hal terjadinya dan proses pengadaan Tanah Bengkok itu secara materil terjadi secara intern dalam kehidupan masyarakat persekutuan hukum (Desa), Melalui mekanisme rembug Desa.
 Setelah diundangkan UUPA tanah bengkok tersebut dialihkan statusnya (Konversi) menjadi hak pakai berdasarkan ketentuan UUPA (Konversi pasal VI) yang menyatakan :
“Hak-hak tanah yang meberikan wewenang sebagaimana mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) seperti yang disebut di bawah, yang pada mulai berlakunya Undang-Undang ini, yaitu hak vrucht gebruik, gebruik, grant controleur, bruikleen, ganggam bauntuik,anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama  apapun juga akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak berlakunya Undang-Undang ini menjadi hak pakai  tersebut dalam pasal 41 ayat (1). Yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini.”

Dari pasal IV ketentuan konversi tersebut dapat diketahui isi, sifat dan perwujudan Hak Pakai (proses konversi dari Hak Bengkok) tersebut pada pasal 41 ayat (1) UUPA yang berbunyi :
“Hak  pakai adalah untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian  sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini.

Pasal 41 ayat (2) :
Hak Pakai diberikan :
a.    Selama jangka waktu yang ditentukan atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
b.    Dengan Cuma-Cuma dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apa pun.

Walaupun sebutan baru untuk Tanah Bengkok/Tanah Ganjaran milik Desa  adalah hak pakai, tetapi karena hak pakai tanah itu masih dihubungkan dengan pemakainya dengan jabatan pengurus pemerintahan Desa , maka orang masih senang menyebut dengan Tanah Bengkok disebabkan istilah itu sudah umum merakyat, terbiasa sebagai sebutan tradisional sehari-hari. Jadi sebagai suatu nama kultural yang lebih dikenal dibandingkan dengan sebutan yuridis hak pakai. Padahal kalau berdasarkan Pasal Konversi tanah tersebut dikatakan Tanah Eks Bengkok bukan Tanah Bengkok lagi karena sudah dikonversi menjadi hak pakai, tetapi istilah Bengkok sudah menjadi semacam istilah yang bersifat kultur/budaya dalam masyarakat peDesaan.
Dengan demikian jelaslah hak pakai bisa terjadi karena :
a.   Perjanjian antara pemilik tanah (perorangan) dengan pemakai dalam jangka waktu yang telah disepakati (misalkan 3-6 tahun).
b.  Melalui syarat-syarat yang ditetapkan melalui keputusan pemberian oleh pejabat yang berwenang memberikan tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Jenis inilah mengenai tanah yang langsung oleh negara . Jenis inilah mengenai tanah yang selama ini disebut dengan tanah bengkok.
Seiring adanya perkembangan  dengan dikeluarkannya UU Desa Tanah Bengkok atau Tanah Pekulen di pedesaan Jawa merupakan bagian dari Tanah Kas Desa yaitu bidang-bidang tanah yang berada di dalam atau sekitar Desa atau kampung yang bukan milik kerabat, milik perseorangan, milik yayasan atau lembaga atau perusahaan sebagai tanah Desa atau tanah milik Desa yang juga merupakan aset Desa.[18] Hal ini sejalan dengan apa yang diatur dalam UU Desa Pasal 76 ayat (1). Aset  Desa  dapat  berupa  tanah  kas  Desa,  tanah ulayat, pasar Desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan Desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik Desa, mata air milik Desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik Desa.
Aset Desa merupakan bagian dari kekayaan Desa untuk itu pengelolaan bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 77 UU Desa :
(1)   Pengelolaan   kekayaan   milik   Desa   dilaksanakan berdasarkan asas kepentingan umum, fungsional, kepastian hukum, keterbukaan, efisiensi, efektivitas, akuntabilitas, dan kepastian nilai ekonomi.
(2)   Pengelolaan kekayaan milik Desa dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat Desa serta meningkatkan pendapatan Desa
(3)   Pengelolaan kekayaan milik Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibahas oleh Kepala Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan tata cara pengelolaan kekayaan milik Desa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Dengan demikian adanya UU Desa Tanah Bengkok/Tanah Ganjaran yang dulunya diperuntukan bagi para Pamong/Perangkat Desa sebagai pengganti gaji sekarang ini Kepala Desa ataupun Perangkat Desa akan mendapatkan penghasilan tetap (Pasal 66 UU Desa) sehingga Tanah Bengkok  yang merupakan aset desa dapat dikelola Pemerintah Desa untuk kepentingan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa (bagian dari pendapatan desa).
Pasal 66 UU Desa menyatakan bahwa :
(1)    Kepala   Desa   dan   perangkat   Desa   memperoleh penghasilan tetap setiap bulan.
(2)   Penghasilatetap  Kepala  Desa  dan  perangkaDesa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari dana perimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diterima oleh Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
(3)   Selain penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa dan perangkat Desa menerima tunjangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
(4)   Selain penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa dan perangkat Desa memperoleh jaminan kesehatan dan dapat memperoleh penerimaan lainnya yang sah.
(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran penghasilan tetap sebagaimana dimaksud  pada  ayat (1) dan tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) serta penerimaan lainnya yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah
Hal ini dipertegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 81 dan 82 dinyatakan :
Pasal 81
(    1)   Penghasilan   tetap   kepala   Desa   dan   perangkat   Desa dianggarkan dalam APB Desa yang         bersumber dari ADD.
(   2)   Pengalokasian ADD untuk penghasilan tetap kepala Desa dan perangkat Desa menggunakan           penghitungan sebagai berikut:

a. ADD yang berjumlah kurang dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) digunakan  maksimal 60% (enam puluh perseratus);
b.  ADD  yang berjumlah  Rp500.000.000,00  (lima  ratus juta rupiah) sampai dengan Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah) digunakan  maksimal  50% (lima puluh perseratus);
c.    ADD  yang  berjumlah  lebih  dari  Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah) sampai dengan Rp900.000.000,00 (sembilan ratus juta rupiah) digunakan maksimal 40% (empat puluh perseratus); dan
d.  ADD yang berjumlah lebih dari Rp900.000.000,00 (sembilanratus  juta  rupiah)  digunakan maksimal 30% (tiga puluh perseratus).
(   3)  Pengalokasian  batas  maksimal  sebagaimana  dimaksud pada ayat   (2) ditetapkan dengan     mempertimbangkan efisiensi,jumlah perangkat, kompleksitas  tugas pemerintahan, dan letak geografis.
(     4)   Bupati/walikota menetapkan besaran penghasilan tetap:
a.    kepala Desa;
b.    sekretaris   Desa   paling   sedikit   70%   (tujuh  puluh
c.    perseratus)   dari   penghasilan   tetap   kepala   Desa per bulan; dan
d.    perangkat Desa selain sekretaris Desa paling sedikit
e.    50% (lima puluh perseratus) dari penghasilan tetap kepala Desa per bulan.
(    5)   Besaran penghasilan tetap kepala Desa dan perangkat desa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota.

         Pasal 82
  1. (    Selain menerima penghasilan tetap sebagaimana dimaksud dalam    Pasal   81,   kepala   Desa       dan   perangkat   Desa menerima tunjangan dan penerimaan lain yang sah.
  2. (  Tunjangan  dan  penerimaan  lain  yang  sah  sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  dapat  bersumber dari APB Desa danberdasarkan    ketentuan peraturan    perundang- undangan.
  3. (      Besaran tunjangan dan   penerimaan   lain   yang   sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota.


Kesimpulan
Eksistensi Tanah Bengkok perspektif UU Desa merupakan bagian dari asset Desa yang juga merupakan kekayaan milik Desa. Di mana  kekayaan milik Desa tersebut harus dilakukan pengelolaan secara arif dan bijaksana yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat Desa serta untuk dapat meningkatkan pendapatan Desa, Adapun pengelolaan tersebut dilakukan oleh Kepala Desa bersama Badan Permusyaratan Desa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Daftar Pustaka
Barber, Charles Victor, (1999) Menyelamatkan Sisa Hutan Di Indonesia dan Amerika Serikat, Yayasan Obor, Jakarta
Bambang Sunggono, (2d002), Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta,
R. Susanto, (1980), Hukum Agraria, Pradnya Paramita, Jakarta.
Soepomo, (1983), Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
Suhartono, (1991), Apanage dan Bekel, Tiara Wacana , Yogyakarta, 1991
Ter Haar, (1979), Asas-asas dan Susunan Hukum Adat,Pradnya Paramita, Jakarta.
Tolib Setiady, (2013), Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), Alfabeta, Bandung.
Thoyib Sugiyanto, (2001), Hukum Agraria, Universitas Brawijaya Malang, Malang.
Wisnu Susanto, (1991) Masalah Tanah Bengkok Dan Tanah Gogolan, Jurnal Yuridika No. Tahun VI, Juli-Agust-Sept-Okt 1991, Surabaya.
Peraturan Perundang -undangan :
Undang-Undang Nomor 5  Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014

Catatan kaki :
[1] Barber, Charles Victor, (1999) Menyelamatkan Sisa Hutan Di Indonesia dan Amerika                          Serikat, Yayasan Obor, Jakarta, hal 32

[2] Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

[3] Wisnu Susanto, (1991) Masalah Tanah bengkok dan Tanah Gogolan, Jurnal Yuridika No. 4-5 Tahun VI,                             Juli-Agust-Sept-Okt 1991, Surabaya, hal. 59

[4] Pasal Konversi  Undang-Undang  Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan  Pokok-Pokok                   Agraria (UUPA)

[5] Ibid
[6] Ibid

[7] Pasal 76 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

[8] Bambang Sunggono,(2002), Metodelogi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,                  hal:116

             [9] Wisnu Susanto, Loc-Cit

             [10] Ibid, hal 60

[11] Suhartono, (1991), Bekel dan Apanage, Tiara Wacana, Yogyakarta, hal 25

[12] Wisnu Susanto, Op-Cit, hal 65

[13] R. Susanto, (1980), Hukum Agraria, Prandnya Paramita, Jakarta, hal 15-16

[14] Tolib Setiady, (2013), Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan),                            Alfabeta, Bandung, hal. 389

[15] Ter Haar,(1979),  Asas-Asas dan Sususnan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hal 78-                 79.

[16] Soepomo, (1979), Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hal 77-78.

[17] Thoyib Sugianto,(2001),  Hukum Agraria, Unibraw Malang, hal 20-21

[18] Tolib Setiady, Op-Cit, hal 389