EKSISTENSI TANAH
BENGKOK/GANJARAN SEBAGAI ASET DESA
PRESPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014
TENTANG DESA
(Studi Di Desa Ngujung,
Maospati, Magetan, Jawa Timur)
Sigit Sapto Nugroho1
1Dosen Fakultas Hukum Universitas
Merdeka Madiun
Abstract
The
purpose of this study was to determine and analyze the existence of a crooked
land as an asset in the village of perspective Act No. 6 of 2014 on the village
. Where the research using normative juridical method.
The
results showed the existence of a crooked land as part of the assets of the
village which is also the capital of a country should be done in a sensible and
prudent management to improve the welfare and living standards of rural
communities as well as to increase rural incomes.
Keywords : Land of Crooked , Asset Village
Pendahuluan
Tanah merupakan pokok
penghidupan dan kehidupan sepanjang masa. Oleh sebab itu persoalan tanah dalam
kehidupan manusia merupakan persoalan yang multi kompleks tanah juga menyimpan
sejarah tidak tertulis tentang peringatan atau keberadaan para nenek moyang
sebagai alas kelangsungan kehidupan masyarakat tertentu yaitu untuk kehidupan
sosial, budaya, religi, ekonomi, politik dan sebagai ikatan dengan generasi
yang akan datang.
Jadi hubungan tanah dalam
suatu masyarakat tidak hanya sebagai alas kelangsungan kehidupan manusia dan
sebagai salah satu faktor produksi, tetapi juga memiliki peranan penting
lainnya baik yang menyangkut aspek sosial maupun politik. Oleh karena itu
masalah tanah tidak hanya semata-mata merupakan masalah hubungan antara
masyarakat dengan tanah, lebih dari itu secara normatif merupakan hubungan manusia
(secara individu) dengan tanah. Dengan kata lain bahwa tanah itu sangat
erat kaitannya dengan jati diri kelompok tersebut. Masalah-masalah yang
menyangkut tanah tidak dapat dipisahkan dengan masalah-masalah kekerabatan,
kekuasaan dan kepemimpinan cara-cara menyambung hidup, serta upacara.[1]
Desa menurut ketentuan
Pasal 1 angka 1 dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (yang
selanjutnya disebut UU Desa) dinyatakan bahwa Desa dan Desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,
dan / atau hak tradisional yang diakui
dan
dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[2]
Berkaitan dengan
pemerintahan di Desa keberadaan para pengurus pemerintahan di Desa atau biasa disebut Pamong Desa atau Perangkat
Desa atau istilah lain selama ini
mendapatkan Tanah Bengkok atau Tanah Ganjaran, Tanah Pilunggguh atau Tanah Pancen selama
mereka menjadi pengurus pemerintahan Desa yang merupakan tanah pakai adat milik
Desa (termasuk Bondo Desa/kekayaan Desa). Jadi tanah Bengkok selama ini sebagai
ganti atas gaji mereka selama menjabat
menjadi pengurus pemerintahan Desa. Karena sebelum adanya UU Desa perangkat Desa
tidak memperoleh penghasilan tetap tetapi mendapatkan tanah Bengkok sebagai
ganti gaji.
Sebutan tanah Bengkok
berasal dari bahasa daerah di Jawa, Tanah Bengkok mengandung unsur kultural
historis maupun unsur yuridis. Sebenarrnya secara yuridis setelah diundangkan
Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang
ketentuan Pokok-Pokok Agraria yang selajutnya disebut UUPA. Tanah Bengkok sudah
tidak ada lagi . sebutan tanah Bengkok
mestinya sudah harus tidak ada; bila perlu bisa saja disebut tanah eks Bengkok
(bekas bengkok) atau lebih tepat disebut tanah hak pakai.[3]
Setelah diundangkan UUPA
tanah bengkok tersebut dialihkan statusnya (Konversi) menjadi hak pakai
berdasarkan ketentuan UUPA (Konversi pasal VI) yang menyatakan :
“Hak-hak
tanah yang meberikan wewenang sebagaimana mirip dengan hak yang dimaksud dalam
pasal 41 ayat (1) seperti yang disebut di bawah, yang pada mulai berlakunya
Undang-Undang ini, yaitu hak vrucht gebruik, gebruik, grant controleur,
bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak-hak
lain dengan nama apapun juga akan
ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak berlakunya undang-undang ini
menjadi hak pakai tersebut dalam pasal
41 ayat (1). Yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana yang dipunyai oleh
pemegang haknya pada mulai berlakunya undang-undang ini, sepanjang tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini[4]
Dari pasal IV ketentuan
konversi tersebut dapat diketahui isi, sifat dan perwujudan Hak pakai (proses
konversi dari hak bengkok) tersebut pada pasal 41 ayat (1) UUPA yang berbunyi :
“Hak pakai adalah untuk menggunakan dan / atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik
orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian
dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian
sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini”.[5]
Pasal 41 ayat (2) :
Hak Pakai diberikan :
a.
Selama jangka waktu yang ditentukan atau selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
Walaupun sebutan baru
untuk Tanah Bengkok/Tanah Ganjaran milik Desa
adalah hak pakai, tetapi karena hak pakai tanah itu masih dihubungkan
dengan pemakainya dengan jabatan pengurus pemerintahan Desa, maka orang masih
senang menyebut dengan Tanah Bengkok disebabkan istilah itu sudah umum
merakyat, terbiasa sebagai sebutan tradisional sehari-hari. Jadi sebagai suatu
nama kultural yang lebih dikenal dibandingkan dengan sebutan yuridis hak pakai.
Tanah Bengkok secara
yuridis juga merupakan bagian dari aset Desa sebagaimana dinyatakan dalam
ketentuan Pasal 1 angka 11 UU Desa bahwa Aset
Desa adalah barang milik Desa yang berasal dari
kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hak lainnya yang sah.
Hal ini dipertegas dalam
Pasal 76 ayat (1) UU Desa :
“Aset Desa
dapat
berupa
tanah
kas
Desa,
tanah
ulayat, pasar Desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan Desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik
Desa, mata air milik Desa, pemandian
umum, dan aset lainnya milik Desa.”[7]
Berdasarkan latar
belakang permasalahan di atas dapat di
kemukakan pokok permasalahan antara lain
: Bagaimana eksistensi Tanah Bengkok sebagai
aset Desa dalam perspektif Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa?
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui dan menganalisis tentang eksistensi Tanah Bengkok sebagai aset Desa
dalam perspektif Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Metode Penelitian
Untuk menemukan, mengembangkan
atau menguji kebenaran suatu pengetahuan, maka penelitian ini diperlukan suatu
metode tertentu sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
atau secara akademik. Dalam penelitian ini
metode yang dipergunakan adalah metode
penelitian hukum normatif dengan tahapan sebagai berikut :
1.
Pendekatan Masalah
Dalam upaya
pendekatan masalah maka diperlukan bahan kepustakaan atau pengumpulan data-data
secara lengkap, sebagai bahan untuk pembahasan lebih lanjut. Adapun metode yang
dipergunakan adalah metode penelitian hukum normatif (studi kepustakaan). Pada penelitian hukum normatif yang
utama adalah data sekunder. Data sekunder tersebut berupa bahan kepustakaan
yang berwujud.[8] Antara lain : Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan
hukum yang mengikat, yang terdiri dari : UUD 1945, Undang-Undang Nomor 5 tahun
1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa, Peraturan Pemerintah Nomor
43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanan UU Desa, serta bahan hukum yang
tidak dikodifikasikan, misalnya hukum adat. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer. Misalnya hasil karya ilmiah, penelitian-penelitian dari
kalangan hukum dan sebagainya. Dan bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun perjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, misalnya kamus, ensiklopedi, dll..”
2.
Teknik Pengumpulan dan Pengolahan
Data
Supaya data yang sudah didapatkan tersebut bisa dipergunakan maka harus
diadakan penyeleksian data, sehingga didapatkan data yang benar dan sesuai
dengan pembahasan. Setelah data dapat dikumpulkan maka kemudian dilakukan
pegelompokan data dilakukan pembahasan
yang didasarkan pada teori-teori yang masih ada dan relevan. Di dalam mencari
data, baik yang bersumber pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder , dan
bahan hukum tersier dilakukan melalui studi kepustakaan . Setelah diperoleh
bahan hukum yang diperlukan kemudian dihimpun, di inventarisasi yang sesuai
dengan permasalahan yang dibahas,
selanjutnya dilakukan pemisahan berdasarkan relevansi pokoknya.
3. Analisis Data
Setelah
data tersebut berhasil dikumpulkan dengan lengkap dan di
pisah-pisahkan/diklasifikasikan sesuai dengan relevansi permasalahan kemudian
dilakukan analisa data secara normatif kualitatif, yaitu untuk membahas bahan
penelitian yang datanya mengarah pada kajian yang bersifat teoritik tentang
konsep-konsep, kaidah hukum, doktrin-doktrin dan bahan hukum lainnya.
Selanjutnya data tersebut dipelajari dan dibahas sebagai suatu bahan yang utuh
dan dituangkan di dalam bahasan dengan menggunakan metode kualitatif sehingga
menghasilkan data yang diskriptif analitis.
Hasil Penelitian
dan Pembahasan
Sebutan tanah Bengkok
berasal dari bahasa daerah di Jawa, Tanah Bengkok mengandung unsur kultural
historis maupun unsur yuridis. Sebenarnya secara yuridis setelah diundangkan UUPA
Tanah Bengkok sudah tidak ada lagi . sebutan tanah Bengkok mestinya sudah harus tidak ada; bila
perlu bisa saja disebut tanah eks Bengkok (Bekas Bengkok) atau lebih tepat
disebut tanah hak pakai (karena jabatan).[9]
Berkaitan dengan pemerintahan di Desa keberadaan para pengurus pemerintahan di Desa atau biasa disebut Pamong Desa atau Perangkat
Desa sebelum dikeluarkan UU Desa mendapatkan tanah bengkok atau tanah ganjaran, tanah pilunggguh, tanah pecaton
atau tanah pancen selama mereka menjadi
pengurus pemerintahan Desa yang merupakan tanah pakai adat milik Desa (termasuk Bondo Deso/kekayaan Desa). Jadi
tanah Bengkok sebagai ganti atas gaji mereka
selama menjabat menjadi pengurus pemerintahan Desa.
Luasnya Tanah
Bengkok bagi para pengurus Desa tersebut sangat tergantung pada tinggi
rendahnya jabatan dalam pemerintahan Desa, Misalnya : Kepala Desa akan
mendapatkan Tanah Bengkok lebih luas dibandingkan dengan seorang Sekretaris Desa
(Carik), seorang Carik akan mendapatkan Tanah Bengkok lebih luas daripada
seorang Kamituwo atau Kasun, dan seterusnya. Adapun wujud daripada Tanah
Bengkok dapat bermacam-macam tergantung pada keadaan geografis wilayah Desa
yang bersangkutan, antara lain berupa :
1. Tanah Sawah (tanah basah).
2. Tanah tegalan (tanah kering)
3. Kolam ikan / Tambak.
Adapun tujuan
diadakannya tanah bengkok itu adalah pemberian hak untuk menggunakan tanah yang
dikuasai Desa itu untuk dinikmati hasil tanahnya sebagai ganti atas gaji mereka
yang melaksanakan tugas dalam pengurus pemerintahan Desa. hak tersebut berupa
ganjaran (semacam pemberian untuk dinikmati) kepada para pejabat Desa.
Berdasarkan
sejarah, ada beberapa pandangan mengenai terjadinya Tanah Bengkok yang dapat
dibagi menjadi dua versi, yaitu versi hukum adat dan versi penguasa
kolonial/perundang-undangan di jaman Hindia Belanda[10].
1.
Versi Hukum Adat
Sebagaimana
disebutkan dimuka bahwa Tanah Bengkok adalah tanah yang digunakan oleh para
pejabat pemerintahan Desa sebagai pengganti atas gaji selama mereka melaksanakan tugas pemerintahan
di Desa, Hak atas tanah bengkok oleh para pejabat pemerintahan Desa adalah hak
pakai adat, bukan hak milik tanah dalam hukum adat. Hal tersebut akan membawa
akibat hukum , apabila tugas pejabat pemerintahan Desa telah selesai maka Tanah
Bengkok harus dikembalikan ke Desa sebagai aset
Desa/ Bondo Deso.
Asal mula
terjadinya Tanah Bengkok tidak dapat dilepaskan dari berdirinya suatu Desa
(Babat Desa). Disatu pihak karena adanya kekuasaan untuk memimpin suatu Desa berdasarkan rembug seluruh masyarakat yang
turut dalam proses berdirinya suatu Desa maka sebagai imbalan atas tugas
memimpin dan mengurus Desa maka diberikan Tanah Bengkok/Tanah Ganjaran/Tanah
Pecaton atau Tanah Pancen. Disisi lain selain adanya tanah bengkok, di dalam
masyarakat juga dikenal adanya Tanah Gogolan atau Tanah Pekulen. Kalau kita
lihat berdasarkan susunan masyarakat sehubungan dengan fungsi warga Desa (gawai
Desa) dalam masyarakat adat dipedesaan . Di Jawa susunan tersebut secara garis besar sebagai berikut :
Kategori I :
Kelompok yang berstatus Gogol/Sikep/Kuli (orang-orang yang kuat gawe atau yang
sudah kawin).
Kategori II :
Kelompok non Gogol/Sikep/kuli (orang-orang yang sudah tua dan anak-anak).
Yang dimaksud
dengan Gogol/Sikep/kuli di Desa adalah golongan atau Sikep atau kuli yang
terdiri dari golongan anggota masyarakat adat yang melaksanakan tugas gawai Desa
(tugas-tugas sosial dalam pemerintahan Desa) setempat. Adapun tugas tersebut
berupa rapat-rapat Desa, jaga malam, gotong royong, penanggulanagn kebakaran,
banjir, serta malapetaka lainnya dan bentuk partisipasi lainnya.[11]
Status gogol
itu membawa kompensasi untuk mendapatkan tanah adat yang disebut tanah gogolan
sebagai sumber penghidupan keluarganya. Demikian juga dengan status sikep atau
kuli akan mendapatkan tanah pekulen. Jadi istilahnya bukanlah merendahkan
status derajat seseorang dalam masyarakat, justru stutus tersebut merupakan
kehormatan karena dipercaya sebagai pengemban gawai Desa (tugas-tugas Desa yang
mulia)
Penguasaan
tertinggi tanah gogolan tetap ada pada Desa sehingga ketentuan tentang
bagaimana menyelenggarakan rotasi penggunaan tetap pada pengendalian seorang
Kepala Desa atau Lurah Desa , karena Seorang Kepala Desa dalam sejarah
pertanahan adat mempunyai tiga (3) kewenangan di bidang pertanahan :[12]
a. Kewenangan di bidang hukum adat
menetapan ketentuan hukum yang berhubungan dengan tanah (kewenangan yuridis).
b. Kewenangan membagi-bagi tanah menurut
siapa saja berhak atas tanah gogolan yang bakal mendapat tanah pakai adat dan
seterusnya (kewenangan distributif).
c. Kewenangan pengawasan umum pertanahan
dan transaksi tanah (kewenangan
supervisi).
Sebelum
adanya UUPA kewenangan tersebut memang cukup menonjol tetapi setelah berlakunya
UUPA kewenangan itu pada dasarnya diambil alih oleh negara kecuali dalam
beberapa hal yang belum atau masih diserahkan kepada masyarakat Desa (Tanah Kas
Desa/Tanah Bondo Deso, Tanah Pangonan dll.)
Menurut
ketentuan konversi UUPA menurut Pasal VII (1) disebutkan :
(1). Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat
tetap yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, menjadi hak milik
tersebut dalam pasal 20 ayat (1).
Ketentuan ini
berarti hak gogolan tetap dikonversi menjadi hak milik. Dalam ketentuan ayat 2
dinyatakan :
(2). Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat
tidak tetap menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1).
Dengan
ketentuan ini maka hak gogolan tidak tetap/gilir dikonversi menjadi hak pakai. Terkait
dengan adanya kekuasaan dalam pemerintahan Desa yang diputuskan melalui rembug Desa
maka para petinggi Desa (Kepala Desa dan pembantu-pembantunya) mendapatkan
ganjaran atau imbalan yang kemudian disebut sebagai Tanah Bengkok/Tanah
Ganjaran/Tanah Pilungguh serta Tanah Pecaton atau Pancen. Dengan status hak
pakai adat . ketentuan hak pakai adat adalah :
a. Dilarang memindah tangankan kepada
pihak lain tanpa izin (musyawarah Desa/rembug Desa). pada asasnya tanah bengkok
diperuntukan semata-mata bagi para pejabat Desa.
b. Begitu selesai menjabat pemerintahan Desa
tanah bengok harus dikembalikan kepada Desa.
Sejarah
adanya tanah-tanah Desa sebenarnya berasal dari tanah hak ulayat yang dikuasai
oleh persekutuan hukum adat (Desa). Van Vollen Hoven menyebut tanah hak ulayat
sebagai Beschikkingsrechts, Ciri
khas tanah ulayat adalah tanah Desa sebagai tanah kebersamaan yang dapat
dibagi-bagikan kepada anggota warga Desa yang membutuhkan menurut syarat-syarat
dalam hukum adat setempat. Oleh sebab itu tanah ulayat dapat diumpamakan
sebagai “bank tanah” di jaman dahulu. Tanah ulayat adalah ‘depologistik”
bagi kebutuhan tanah di masyarakat hukum adat.[13]
Dibeberapa
daerah tanah hak ulayat itu disebut Wewengkon-Jawa,
Ulayat-Minangkabau, Tanah Marga-lampung, Panyampeto atau Pawatasan-Kalimantan,
Limpo-Sulawesi Selatan, Pabumian atau Payar-Bali.[14]
2.
Versi Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda
Sebelum
membahas tanah bengkok versi Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, perlu
digambarkan pandangan Ter Haar yang menyatakan bahwa Tanah Bengkok itu ada
kaitannya dengan tanah ganjaran yang akhirnya dipahami sebagai Tanah Bengkok tersebut.
Menurut Ter Haar
Tanah Ganjaran itu berasal dari peraturan raja-raja.. Tanah Ganjaran itu
diberikan kepada para punggawa kerajaan maupun kepada pengurus Desa atas nama
raja. Status tanah yang diberikan oleh rajatersebut berstatus hak pakai karena
jabatan (amtelijk profitrechts).
Istilah Ambelijk profitrechts
mengandung arti bahwa Tanah Ganjaran/Bengkok itu berkaitan dengan jabatan dalam
pemerintahan Desa tadi. Di daerah yang jauh dari pusat kerajaan tentunya
pengaruh pemberian tanah hak pakai oleh jabatan raja-raja tersebut sangatlah
berkurang, sehingga berlakulah tanah jabatan atau Bengkok tersebut berdasarkan kebijaksanaan menurut murni
persekutuan hukum adat Desa-Desa.[15]
Catatan dari
pandangan Ter Haar ini adalah : sesungguhnya ada pengaruh kerajaan dalam hal
pemberian Tanah Ganjaran atau Bengkok
hal itu hanya mengenai prosedur atau formalitas pemebrian hak pakai
menurut aturan kerajaan belaka. Namun secara materiil yang dibagikan sebagai
tanah hak pakai tersebut juga persekutuan hukum adat yang disebut hak ulayat.[16]
Selanjutnya
versi Pemerintahan Kolonial Belanda mengatakan bahwa Tanah Bengkok itu timbul
proses pemberian oleh pemerintah daerah atau ada yang dari Bupati atau Residen.
Contoh hal pemberian Tanah Bengkok berdasarkan beberapa Ordonansi yang terkenal
dengan Inslandche Gemeente Ordonantie (IGO).
Ordonansi tersebut ada yang berlaku untuk Jawa dan Madura, ada pula untuk luar
Jawa dan Madura, misalnyaSumatra Barat, Bengkulu,
Palembang, Lampung dll. Di Jawa dan Madura diatur dalam Stb 1906 No. 83 jo Stb
1907 No. 212.
Kemudian
sebelum Hindia Belanda menjelang jatuh ketangan bala tentara Jepang, Ordonansi
tersebut diganti, Untuk Jawa dan Madura diganti dengan Desa Ordonansi Stb 1941
No. 356, sedangkan bagi luar Jawa dan Madura di ganti dengan Stb 1938 No. 490.
namun ordonansi-ordonansi tersebut praktis tidak berjalan. Dengan demikian
tetap berlaku ordonansi lama. Di Jawa tetap berlaku Stb. 1906 No. 83 jo Stb
1907 No 212.
Terlepas dari
masalah ordonansi itu Tanah Bengkok ditentukan oleh Bupati ataukah Residen.
Yang penting dicatat adalah bahwa ordonansi tersebut adalah sekedar
administrasi saja secara materiil pemerintah kolonial tidak pernah memberkan
tanah negara (Virjland Domein),
tetapi Bengkok diambil dari tanah Desa sendiri yang berasal mulanya dari tanah
ulayat Desa masyarakat hukum adat setempat.
Jadi
ordonansi-ordonansi yang menyangkut Tanah Bengkok itu hanya sekedar menunjukan
secara formal kekeuasaan pemerintah kolonial dalam urusan tanah Desa, termasuk
terjadinya Tanah Begkok itu. Hal itu sejalan dengan politik hukum tanah
kolonial yang tertuang dalm Agrarisce Besluit yang terkenal dengan pernyataan
Domein Verklaring pada Stb 1970 No. 118 yang tidak mengakui hak-hak adat orang
Indonesia termasuk nah ulayat. Semua tanh adat hanya menumpang pada tanah milik
(domein) pemerintah Hindia Belanda. Pasal 1 Agrarische Besluit menyatakan :
“ Behoundens opvolging van de tweedw en de derde
bepaling der voor meldewet blijfhet beginsel gehanhaafd, dat alle grond, wearop
niet door anderen reggt van eigendom word bewezen, domein ven den staatis ( Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentan di dalam
ayat 2 dan 3 Agrarische Wet, maka dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang
pihak lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu eigendomnya (miliknya)
adalah domein/milik negara.”
Pasal 1
Agrarische Besluit ini dikenal dengan Asas Domein Verklaring yang merupakan
sendi berlakunya kebijakan atau politik hukum graria kolonial. Sebab berlakunya
politik tersebut tidak mungkin dibuktikan pemiliknya dengan bukti hak (menurut
hukum barat) demi hukum dan secara otomatis jatuh ketangan Pemerintah Hindia
Belanda.[17] Dalam
hal ini pemerintah kolonial Belanda pamer kekuasaan dalam proses pemberin tanah
bengkok tersebut dengan menunjukan kekuasaannya untuk mengatur. Padahal
kenyataanya hal terjadinya dan proses pengadaan Tanah Bengkok itu secara
materil terjadi secara intern dalam kehidupan masyarakat persekutuan hukum (Desa),
Melalui mekanisme rembug Desa.
Setelah diundangkan UUPA tanah bengkok
tersebut dialihkan statusnya (Konversi) menjadi hak pakai berdasarkan ketentuan
UUPA (Konversi pasal VI) yang menyatakan :
“Hak-hak tanah yang meberikan wewenang sebagaimana
mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) seperti yang disebut di
bawah, yang pada mulai berlakunya Undang-Undang ini, yaitu hak vrucht gebruik,
gebruik, grant controleur, bruikleen, ganggam bauntuik,anggaduh, bengkok,
lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama
apapun juga akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak berlakunya
Undang-Undang ini menjadi hak pakai
tersebut dalam pasal 41 ayat (1). Yang memberi wewenang dan kewajiban
sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya
Undang-undang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan
Undang-Undang ini.”
Dari pasal IV
ketentuan konversi tersebut dapat diketahui isi, sifat dan perwujudan Hak Pakai
(proses konversi dari Hak Bengkok) tersebut pada pasal 41 ayat (1) UUPA yang
berbunyi :
“Hak pakai
adalah untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai
langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan
kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang
bukan perjanjian sewa menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa
dan ketentuan undang-undang ini.
Pasal 41 ayat (2) :
Hak Pakai
diberikan :
a.
Selama jangka waktu yang ditentukan atau selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
b.
Dengan Cuma-Cuma dengan pembayaran atau pemberian jasa
berupa apa pun.
Walaupun
sebutan baru untuk Tanah Bengkok/Tanah Ganjaran milik Desa adalah hak pakai, tetapi karena hak pakai
tanah itu masih dihubungkan dengan pemakainya dengan jabatan pengurus
pemerintahan Desa , maka orang masih senang menyebut dengan Tanah Bengkok disebabkan
istilah itu sudah umum merakyat, terbiasa sebagai sebutan tradisional
sehari-hari. Jadi sebagai suatu nama kultural yang lebih dikenal dibandingkan
dengan sebutan yuridis hak pakai. Padahal kalau berdasarkan Pasal Konversi
tanah tersebut dikatakan Tanah Eks Bengkok bukan Tanah Bengkok lagi karena
sudah dikonversi menjadi hak pakai, tetapi istilah Bengkok sudah menjadi
semacam istilah yang bersifat kultur/budaya dalam masyarakat peDesaan.
Dengan demikian jelaslah hak pakai
bisa terjadi karena :
a. Perjanjian antara pemilik tanah
(perorangan) dengan pemakai dalam jangka waktu yang telah disepakati (misalkan
3-6 tahun).
b. Melalui syarat-syarat yang ditetapkan
melalui keputusan pemberian oleh pejabat yang berwenang memberikan tanah yang
dikuasai langsung oleh negara. Jenis inilah mengenai tanah yang langsung oleh
negara . Jenis inilah mengenai tanah yang selama ini disebut dengan tanah
bengkok.
Seiring adanya perkembangan
dengan dikeluarkannya UU Desa Tanah Bengkok atau Tanah Pekulen di pedesaan
Jawa merupakan bagian dari Tanah Kas Desa yaitu bidang-bidang tanah yang berada
di dalam atau sekitar Desa atau kampung yang bukan milik kerabat, milik
perseorangan, milik yayasan atau lembaga atau perusahaan sebagai tanah Desa
atau tanah milik Desa yang juga merupakan aset Desa.[18]
Hal ini sejalan dengan apa yang diatur dalam UU Desa Pasal 76 ayat (1). “Aset Desa
dapat
berupa
tanah
kas
Desa,
tanah
ulayat, pasar Desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan Desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik
Desa, mata air milik Desa, pemandian
umum, dan aset lainnya milik Desa.”
Aset Desa merupakan bagian dari kekayaan Desa untuk
itu pengelolaan bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 77 UU Desa :
(1)
Pengelolaan kekayaan milik
Desa
dilaksanakan berdasarkan asas kepentingan umum, fungsional,
kepastian hukum, keterbukaan, efisiensi, efektivitas, akuntabilitas, dan
kepastian nilai ekonomi.
(2)
Pengelolaan kekayaan
milik Desa dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat Desa serta
meningkatkan pendapatan Desa
(3) Pengelolaan
kekayaan milik Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibahas oleh Kepala Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan tata cara pengelolaan kekayaan milik
Desa yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Dengan demikian adanya UU Desa Tanah Bengkok/Tanah Ganjaran yang dulunya
diperuntukan bagi para Pamong/Perangkat Desa sebagai pengganti gaji sekarang
ini Kepala Desa ataupun Perangkat Desa akan mendapatkan penghasilan tetap
(Pasal 66 UU Desa) sehingga Tanah Bengkok
yang merupakan aset desa dapat dikelola Pemerintah Desa untuk
kepentingan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa (bagian dari
pendapatan desa).
Pasal 66 UU Desa menyatakan bahwa :
(1)
Kepala Desa dan
perangkat Desa
memperoleh penghasilan tetap setiap
bulan.
(2)
Penghasilan tetap
Kepala Desa dan
perangkat Desa
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bersumber dari dana
perimbangan dalam Anggaran
Pendapatan
dan Belanja Negara yang diterima
oleh Kabupaten/Kota
dan ditetapkan
dalam
Anggaran
Pendapatan
dan Belanja
Daerah Kabupaten/Kota.
(3)
Selain penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa
dan perangkat Desa menerima tunjangan yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
(4)
Selain penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa
dan perangkat Desa memperoleh jaminan kesehatan dan dapat
memperoleh penerimaan lainnya yang sah.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran
penghasilan tetap sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) serta penerimaan lainnya yang sah sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) diatur dalam Peraturan
Pemerintah
Hal ini dipertegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 81 dan 82 dinyatakan
:
Pasal 81
( 1)
Penghasilan
tetap kepala Desa
dan perangkat Desa
dianggarkan dalam APB Desa yang bersumber dari
ADD.
( 2)
Pengalokasian ADD untuk penghasilan tetap kepala Desa dan perangkat Desa menggunakan penghitungan sebagai berikut:
a. ADD yang berjumlah kurang
dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) digunakan
maksimal 60%
(enam puluh perseratus);
b. ADD
yang
berjumlah Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) sampai dengan Rp700.000.000,00
(tujuh ratus juta rupiah) digunakan maksimal
50% (lima puluh perseratus);
c. ADD
yang
berjumlah lebih dari Rp700.000.000,00
(tujuh ratus
juta
rupiah) sampai dengan
Rp900.000.000,00 (sembilan ratus juta rupiah) digunakan maksimal 40% (empat
puluh perseratus); dan
d. ADD yang berjumlah lebih dari Rp900.000.000,00 (sembilanratus juta
rupiah)
digunakan
maksimal 30%
(tiga puluh perseratus).
( 3) Pengalokasian batas maksimal sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan dengan mempertimbangkan efisiensi,jumlah perangkat, kompleksitas tugas pemerintahan, dan letak geografis.
( 4)
Bupati/walikota menetapkan besaran penghasilan tetap:
a. kepala Desa;
b. sekretaris Desa
paling sedikit
70% (tujuh puluh
c. perseratus) dari penghasilan tetap
kepala
Desa per bulan; dan
d. perangkat Desa selain sekretaris Desa paling sedikit
e. 50% (lima puluh perseratus) dari
penghasilan tetap kepala Desa per bulan.
( 5)
Besaran penghasilan tetap kepala Desa dan perangkat desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) ditetapkan dengan
peraturan bupati/walikota.
Pasal 82
- ( Selain menerima penghasilan tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81, kepala Desa dan perangkat Desa menerima tunjangan dan penerimaan lain yang sah.
- ( Tunjangan dan penerimaan lain yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari APB Desa danberdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan.
- ( Besaran tunjangan dan penerimaan lain yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota.
Kesimpulan
Eksistensi Tanah Bengkok perspektif UU Desa merupakan bagian dari asset Desa
yang juga merupakan kekayaan milik Desa. Di mana kekayaan milik Desa tersebut harus dilakukan
pengelolaan secara arif dan bijaksana yang bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat Desa serta untuk dapat meningkatkan
pendapatan Desa, Adapun pengelolaan tersebut dilakukan oleh Kepala Desa bersama
Badan Permusyaratan Desa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Daftar Pustaka
Barber, Charles Victor, (1999) Menyelamatkan Sisa Hutan Di Indonesia dan
Amerika Serikat, Yayasan
Obor, Jakarta
Bambang
Sunggono, (2d002), Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Press,
Jakarta,
R.
Susanto, (1980),
Hukum Agraria, Pradnya Paramita,
Jakarta.
Soepomo, (1983), Bab-bab tentang
Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
Suhartono, (1991), Apanage dan
Bekel, Tiara Wacana , Yogyakarta, 1991
Ter
Haar, (1979), Asas-asas
dan Susunan Hukum Adat,Pradnya
Paramita, Jakarta.
Tolib
Setiady, (2013), Intisari Hukum Adat
Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan),
Alfabeta, Bandung.
Thoyib
Sugiyanto, (2001), Hukum
Agraria,
Universitas Brawijaya Malang, Malang.
Wisnu
Susanto, (1991) Masalah Tanah Bengkok Dan Tanah Gogolan, Jurnal Yuridika No. Tahun VI, Juli-Agust-Sept-Okt 1991,
Surabaya.
Peraturan
Perundang -undangan
:
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok
Agraria (UUPA)
Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014
Catatan kaki :
[1]
Barber, Charles Victor, (1999) Menyelamatkan
Sisa Hutan Di Indonesia dan Amerika Serikat, Yayasan Obor, Jakarta,
hal 32
[2]
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
[3] Wisnu
Susanto, (1991) Masalah Tanah bengkok dan Tanah
Gogolan, Jurnal
Yuridika No. 4-5 Tahun VI, Juli-Agust-Sept-Okt 1991,
Surabaya, hal. 59
[5]
Ibid
[6]
Ibid
[7]
Pasal 76 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
[8]
Bambang Sunggono,(2002), Metodelogi
Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal:116
[9]
Wisnu Susanto, Loc-Cit
[10]
Ibid, hal 60
[11]
Suhartono, (1991), Bekel dan Apanage,
Tiara Wacana, Yogyakarta, hal 25
[12]
Wisnu Susanto, Op-Cit, hal 65
[13]
R. Susanto, (1980), Hukum Agraria,
Prandnya Paramita, Jakarta, hal 15-16
[14]
Tolib Setiady, (2013), Intisari Hukum
Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), Alfabeta, Bandung, hal. 389
[15]
Ter Haar,(1979), Asas-Asas dan Sususnan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hal
78- 79.
[16]
Soepomo, (1979), Bab-Bab Tentang Hukum
Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hal 77-78.
[17]
Thoyib Sugianto,(2001), Hukum Agraria, Unibraw Malang, hal 20-21
[18]
Tolib Setiady, Op-Cit, hal 389