BAB V
TATA SUSUNAN RAKYAT DI
INDONESIA
Berdasarkan penyelidikan Hukum Adat dari dulu hingga sekarang dapat
dikatakan membenarkan pernyataan C Van Vollenhoven dalam orasinya tanggal 2
Oktober 1901 :
“ Bahwa untuk mengetahui hukum, maka adalah terutama perlu diselidiki
pada waktu apapun dan di daerah mana jugapun, sifat dan susunan badan – badan
persekutuan hukum, di mana orang – orang yang dikuasai oleh hukum itu hidup
sehari – hari “
Penguraian tentang badan–badan persekutuan
itu harus tidak didasarkan atas sesuatu dogmatika, melainkan harus berdasarkan
atas kehidupan yang nyata dari masyarakat yang bersangkutan. Apabila Hukum Adat
hingga kini masih terus hidup, bahkan maju terus menuju kepada kehidupan
sendiri meskipun berpuluh–puluh tahun mendapat rintangan, tantangan dan
ancaman–ancaman sebagai berbagai rupa terutama pada jaman kolonial sebelum
tahun 1928, maka segala sesuatu itu disebabkan oleh kekuatan mempertahankan
serta kekuatan hidup dari badan–badan Persekutuan Hukum Indonesia sendiri. Oleh
karenanya, maka dalam tiap uraian tentang Hukum Adat dari sesuatu lingkungan
hukum (Rechtkringen) susunan badan–badan persekutuan perlu dikemukakan
juga.
( Soepomo , 1977 : 49 )
Persekutuan–persekutuan yang
manakah di Indonesia ini yang bersifat Persekutuan Hukum ? Ter Haar dalam bukunya “ Asas–asas Dan
Susunan Hukum Adat Indonesia” Halaman 15
– 16, menegaskan sebagai berikut :
“ Di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat
jelata, terdapat pergaulan hidup di
dalam golongan–golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia
lahir dan batin. Golongan–golongan itu mempunyai tata susunan yang tetap dan
kekal dan orang–orang dalam golongan itu mempunyai masing–masing mengalami
kehidupannya dalam golongan sebagai hal yang sewajarnya hal menurut kodrat
alam.
Tidak ada dari
seorangpun mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran golongan
itu. Golongan ini mempunyai pengurus sendiri, harta benda sendiri, milik
keduniawian milik gaib. Golongan–golongan demikianlah yang bersifat Persekutuan
Hukum “
Jadi
Persekutuan Hukum itu merupakan kesatuan–kesatuan yang mempunyai tata susunan
yang teratur dan kekal serta memiliki pengurus sendiri dan kekayaan sendiri,
baik kekayaan meteriil maupun kekayaan inmateriil.
Jadi,
kalau kita sederhanakan pengertian diatas, adalah sebagai berikut :
Pengelompokan orang–orang yang bertindak sebagai kesatuan baik ke luar maupun
ke dalam. Di mana tiap–tiap orang yang ada dalam kelompok merasa dirinya
sebagai anggota kelompok dan tiap–tiap anggota menghayati keanggotaanya itu
dalam kelompok yang bersangkutan. Bagi anggota kelompok pada umumnya
berkeyakinan bahwa tindakan seorang anggota kelompok tidak hanya akan membawa
akibat bagi dirinya sendiri saja, melainkan akan dirasakan oleh anggota–anggota
sekelompok.
Sebagaimana telah dikemukakan oleh Ter
Haar di muka, tiap–tiap kelompok itu
hidup dalam susunan ketertiban tertentu, kelompok itu sebagai suatu kesatuan
mempunyai pimpinannya sendiri dan mempunyai kekayaan sendiri, baik berwujud
maupun tidak berwujud maupun tidak berwujud
selain juga mempunyai wilayah sendiri yang tertentu. Dan di dalam
batas–batas wilayah itu kelompok yang
bersangkutan menjadi kehidupan, kelompok yang demikian ini disebut PERSEKUTUAN
HUKUM.
Jadi Persekutuan Hukum adalah
sekelompok orang–orang yang terikat
sebagai satu kesatuan dalam suatu susunan yang teratur yang bersifat
abadi, dan memiliki pimpinan serta kekayaan yang baik berwujud maupun tidak
berwujud dan mendiami atau hidup di atas suatu wilayah tertentu. Lebih lanjut
dapat disebutkan disini bahwa, persekutuan hukum sangat berguna untuk
mempelajari berbagai Lembaga Hukum yang ada dalam masyarakat tersebut (Mis,
Hukum Perkawinan, Pewarisan, Hukum Tanah dll). Atau dengan kata lain adalah
untuk mengetahui lembaga hukum yang ada dalam satu masyarakat haruslah mengetahui tentang Struktur
Masyarakat yang bersangkutan.
Struktur
Masyarakat menentukan sistem (Struktur) hukum yang berlaku di masyarakat
itu. Struktur Masyarakat = Persekutuan Hidup = Masyarakat Hukum =
Persekutuan Hukum / Rechtgemenschappen, adalah :
“ Kesatuan manusia yang teratur, menetap di suatu daerah
tertentu, yang didirikan terikat dalam kesatuan yang bersatu padu dan penuh
solidaritas.
Jadi, Perikatan yang
bertindak dalam pergaulan hukum sebagai kesatuan”
Diantara faktor – faktor yang mengikat dan
menjadi dasar pokok untuk kesatuan Persekutuan Hukum tersebut harus dikemukakan
dua (2) faktor yang berbeda dan yang sangat penting untuk dapat memahami
Susunan Persekutuam Hukum tersebut :
q Faktor
Genealogis / Keturunan / Kekerabatan
q Faktor
Teritorial / Kedaerahan
Berdasarkan dua (2) faktor pengikat itu, maka dapatlah dibedakan tiga
(3) Tipe pokok utama Persekutuan Hukum yaitu :
1.
Persekutuan Hukum Genealogis
Persekutuan Hukum Genealogis, adalah
persekutuan hukum di mana dasar pengikat utama anggota–anggota kelompok
tersebut adalah kerena persamaan dalam keturunan, artinya anggota–anggota
kelompok itu terikat karena merasa berasal dari negara nenek moyang yang sama.
2.
Persekutuan Hukum Teritorial
Persekutuan Hukum Teritorial, adalah persekutuan hukum itu
ada karena para anggota anggotanya merasa terikat satui dengan yang lainnya
karena merasa dilahirkan dan menjalani kehidupan bersama ditempat yang sama
3.
Persekutuan Hukum Genealogis dan Teritorial
Persekutuan Hukum
Genealogis dan Teritorial, adalah Persekutuan Hukum dimana baik faktor
Genealogis maupun faktor Teritorial menjadi dasar pengikat antara anggota –
anggota kelompok.
A.
PERSEKUTUAN HUKUM GENEALOGIS
Yang menjadikan faktor pengikat persekutuan hukum itu adalah karena
keturunan. Seseorang menjadi anggota dari persatuan hukum tersebut adalah
berdasarkan keturunan dari anggota tersebut. Karena setiap orang selalu
diturunkan oleh 2 (dua) orang, yakni seorang pria dan seorang wanita, maka
secara sistematis pada dasarnya dapat dibedakan 2 macam Persekutuan Hukum
Genealogis ditambah dengan 1 bentuk khusus yaitu :
- Masyarakat Unilateral
Masyarakat Unilateral adalah masyarakat di mana
anggota–anggotanya menarik garis keturunan hanya dari satu pihak yaitu dari
pihak laki–laki saja (Ayah) atau dari pihak wanita saja (Ibu)
Ciri – ciri Masyarakat Unilateral
a.
Menarik garis keturunan hanya dari satu pihak saja
b.
Masyarakatnya terbagi–bagi dalam kelompok–kelompok yang
disebut Clan (sub – clan)
c.
Sistem Perkawinan adalah Eksogami
d.
Tiap kelompok atau Clan mempunyai Harta Pustaka yang
tidak boleh dibagi–bagi
Masyarakat Hukum yang Unilateral
ini dapat dibedakan atas dua (2) macam dari satu bentuk khusus :
1.
Masyarakat Matrilinial, yaitu masyarakat dimana
anggota– anggotanya menarik garis keturunan hanya dari pihak Ibu saja terus
menerus ke atas, hingga berakhir pada suatu kepercayaan bahwa mereka semua
berasal dari Seorang Ibu asal
Misalnya : Masyarakat Minagkabau, kerinci dan Semendo.
2.
Masyarakat Patrilinial, adalah masyarakat di
mana anggota– anggotanya menarik garis ketentuan dari pihak laki–laki (Ayah)
saja terus menerus ke atas, sehingga berakhir pada suatu kepercayaan bahwa
mereka semua berasal dari Satu Bapa asal
Misalnya : Masyarakat Batak, Bali dan Ambon dll
3.
Masyarakat Dobel Unilateral, adalah masyarakat
yang menarik garis keturunan dari pihak ayah dan dari pihak Ibu yang dilakukan
bersama– sama, berdasarkan hal – hal tertentu (Seseorang mempunyai Clan dua
yaitu ayah dan Ibu)
Caranya, yaitu mengenai hal–hal tertentu garis keturunan ditarik melalui
garis Ibu, sedangkan mengenai hal–hal tertentu garis keturunan ditarik melalui
garis Ayah.
Biasanya hal ini
dilihat dari kepentingan pewarisan, dalam pewarisan benda–benda yang
berhubungan dengan keperluan kewanitaan diwariskan melalui garis keibuan.
Sedangkan benda–benda yang ada sangkut pautnya dengan kepriaan diwariskan
melalui garis kebapaan. Dengan demikian dimanifestasi dari bentuk Double
Unilateral terdapat pada pewarisan. Hal ini terdapat di Timor – timor.
- Masyarakat Bilateral / Parental
Pada susunan masyarakat yang Bilateral ini anggota –
anggotanya menarik garis keturunan, baik melalui garis laki – laki (Ayah) atau
garis perempuan (Ibu). Jadi, garis keturunan ditarik melalui orang tua
(Parental) karena itu masyarakat bilateral ini dinamakan juga Parental.
Masyarakat hukum yang tersusun secara Parental bentuk perkawinannya bebas,
artinya tidak terikat pada keharusan Exogami maupun Endogami dan disebut Sistem
Eleutherogami.
Masyarakat Hukum Bilateral ini terediri dari :
a.
Masyarakat Bilateral yang bersendikan pada kesatuan
Rumah tangga (Gezin). Titik berat dari masyarakat itu terletak pada
Rumah Tangga.
Contoh :
Masyarakat yang bersendikan pada kesatuan rumah tangga ini terdapat di Jawa dan Madura
b.
Masyarakat Bilateral yang bersendikan pada
Rumpun–rumpun (Trible) titik berat dari masyarakat ini terletak pada
rumpun.
Contoh : Masyarakat yang bersendikan pada rumpun ini
terdapat pada orang – orang Dayak di Kalimantan
Pada
masyarakat yang bersendikan rumput ini dianjurkan untuk mengadakan perkawinan
secara Endogami.
- Masyarakat Alternerend (berganti – ganti)
Masyarakat
Alternerend adalah masyarakat dimana garis keturunan seseorang ditarik berganti–ganti
sesuai dengan bentuk perkawinan yang dilakukan oleh oranbg tuanya. Apabila
perkawinan yang dilakukan oleh orang tuanya dilakukan menurut hukum ke Ibuan
ataudisebut juga kawin semendo, maka anak yang lahir dari perkawinan ini
menarik garis keturunan melalui Ibu
Sedangkan apabila
perkawinan yang dilakukan oleh orang tuanya menurut hukum ke bapaan atau
disebut kawin jujur maka anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menarik garis
keturunan dari pihak ayah. Kalau bentuk perkawinan yang dilakukan itu
dimaksudkan agar supaya anak yang lahir dari perkawinan itu menarik garis
keturunan dari kedua belah pihak (Ayah – Ibu) maka perkawinannya disebut Kawin
Semendo Rajo–rajo dan anak yang lahir dari perkawinan itu menarik garis
keturunan baik dari pihak ayah maupun dari pihak Ibu. Bentuk ini terdapat di
Sumatra Selatan, yaitu di Rejang
Jadi, Alternerend,
adalah bentuk yang tergantung dari pada cara perkawinan yang dilakukan. Ada
kemungkinan Keturunan Putus, jika didasarkan pada perkawinan ke Bapaan, untuk
menghindarkan hapusnya keturunan maka diadakan perkawinan yang menyimpang yaitu
Perkawinan Semendo dimana laki–laki didatangkan. (Apabila hanya ada anak
perempuan)
Demikian secara
singkat diuraikan secara ringkas tentang faktor pengikat persekutuan hukum yang
pertama yaitu faktor Genealogis yang kita lihat dalam uraian di muka terdiri
dari masyarakat Unilateral (Patrilineal dan Matrilineal) dan masyarakat
Bilateral ditambah satu bentuk khusus masyarakat Alternerend. Dan dalam pembahasan
azas–azas hukum adat dan juga untuklebih mendalami lembaga–lembaga hukum adat
yang ada faktor–faktor pengikat : Genealogis ini disamping faktor pengikat
Teritorial sangatlah penting untuk dibahas secara khusus.
Untuk hal
tersebut kita akan membahas secara khusus faktor pengikat Genealogis yang
berdasarkan masyarakat Unilateral, Bilateral yaitu :
q Masyarakat
Patrinilial / Kekerabatan Patrilinial.
Suatu
Kesatuan Kemasyarakatan yang organisasinya berdasarkan atas keturunan menurut
garis keturunan pihak laki–laki / Pancar laki – laki. Dalam masyarakat ini
kedudukan laki–laki lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan pihak perempuan
dalam segala hal dan urusan yang menyangkut kehidupannya. Anak laki–laki dalam
masyarakat ini sudah beristri tetap tinggal menetap menjadi anggota Clan /
tetap tinggal di dalam Clan / Kerabat/ Brayat itu dalam membawa masuk
istri–istri mereka sebagai anggota–anggota baru dari Brayat / Clan / Kerabat
itu. Lagi pula di dalamnya terdapat solidaritas yang kuat antara para anggotanya
laki–laki yang saling atau satu keturunan garis / pancar laki–laki.
Dalam
masyarakat Patrilinial ini, perkawinan disebut dengan Perkawinan Jujur,
maksudnya adalah dengan suatu pembayaran / pembelian dengan barang baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud oleh pihak laki–laki kepada pihak perempuan
bermakna sebagai lambang diputuskannya hubungan kekerabatan / kekeluargaan di
istri dengan orang tuanya, nenek moyangnya, saudara–saudara kandungnya dan
semua kerabatnya dan persekutuannya.
Dan setelah perkawinan si istri itu masuk
sama sekali dalam lingkungan kekerabatan suaminya, begitu juga anak–anak
keturunan dari perkawinan itu. Dengan demikian perempuan atau istri tadi
berubah statusnya dari anggota kerabat / Clannya sendiri selagi gadis, menjadi
anggota kerabat / Clan suaminya. Sistem jujur ini sesuai dengan faham etnologi
barat sebagai suatu “Pembelian” Sebagaimana disebutkan di atas.
Tetapi sesuai
dengan Etnologi Hukum Adat yang murni,
maka jujur itu suatu Penggantian
terlebih dahulu jika dipahami melalui kata–kata TUHOR,TUKOR, TUKAR
dalam bahasa Indonesia yang berarti “ganti” yaitu kedudukan gadis itu dalam
pengertian Religio–magis. Diganti dengan suatu benda, sehingga tetap terjaga
keseimbangannya.
Pada
masyarakat ini karena pada umumnya mengambil calon istri itu dari luar kerabat
/ Clannya maka perkawinannya adalah berdasarkan Eksogami dan dikenal dengan
nama Eksogami jujur. Konskwensi dari perkawinan jujur ini adalah dalam hal
pewarisan, yaitu hak anak laki–laki yang dapat atau berhak atas harta warisan
sedangkan anak perempuan tidak berhak atas harta warisan. Alasannya adalah
jelas bahwa anak perempuan perlu menerima harta warisan, karena kalau dia kawin
dan keluar dari clan / kerabatnya dia sudah menjadi tanggung jawab dari
suaminya sehingga dianggap tidak perlu menerima harta warisan, sebaliknya anak
laki–laki sangat perlu harta warisan karena kalau dia kawin dia tetap akan
tinggal dalam kerabat/clannya dan dia yang harus bertanggung jawab atas
kehidupan dan penghidupan anak–anaknya.
Clan atau kekerabatan Patrilinial ini berlangsung 3 sampai 5 keturunan,
sehingga sempat pula menyelenmggarakan Harta Pusaka
q Masyarakat
Kekerabatan Matrilinial
Sesuatu kesatuan kemasyarakatan yang organisasinya
berdasarkan atas garis keturunan/kewangsaan menurut garis keturunan
perempuan/pancar perempuan. Masyarakat Matrilinialini oleh Prof.
Djojodiguno,SH disebut dengan istilah
Somah Seperut atau Buah Perut, ia berintikan beberapa orang saudara laki-laki
dan perempuan seibu. Sebagai Somah Seperut yang ideal, terdiri dari :
§
Saudara-saudara laki-laki dan perempuan seibu.
§
Anak-anak dari saudara-saudara perempuan
tersebut serta keturunan-keturunan melalui garis Ibu.
Sedangkan anak-anak seorang anggota laki-laki tidaklah
menjadi anggota Somah Seperut,karena mereka termasuk anggota Somah Seperut Ibu
mereka di dalam Clan lain.Jadi yang menjadi anggotanya hanyalah keturunan yang
dilacak menurut Garis Ibu/Pancar perempuan (meliputi orang laki-laki dan
perempuan) dari saudara-saudara perempuan yang menjadi intinya dahulu. Dalam
sistem ini apabila terjadi perkawinan pihak perempuan (bakal istri) menjemput
pihak laki-laki (bakal suami) untuk pergi kedalam lingkungan Clan dari bakal
istrinya.
Sistem perkawinan ini disebut Kawin Samendo/Kawin
Menjemput. Dikatakan Samendo berarti laki-laki dari luar didatangkan pergi
ketempat perempuan, ia orang “luar”. Dalam masyarakat ini perkawinannya
sebagaimana telah disebutkan di muka adalah “Exogami”(Sistem perkawinan,dimana
seseorang harus kawin dengan anggota Clan lain). Tetapi “Exogami” di sini tidak
dapat dikatakan “kawin keluar” sebab tak ada seorangpun yang keluar dari
lingkungannya, baik si suami maupun si istri tak ada perubahan status.
Di sinilah letak perbedaan antara Exogami dalam masyarakat
Patrilinial dengan Matrilinial, dalam sistem Patrilinial istri masuk menjadi
anggota clan suaminya, ia didatangkan dari clannya dan dilepas oleh clannya
dengan medium sebuah benda (Jujur). Kembali pada Exogami dalam sistem
Matrilinial, maka bentuk perkawinannya disebut Kawin bertandang itu adalah
suatu pelaksanaan yang integral cocok dengan prinsip ke-ibu-an. Dalam keadaan
yang demikian suami adalah semata-mata orang yang datang bertamu “datang
malam,hilang pagi esoknya”.Suami tersebut berstatus Tamu pada keadan
lingkungan istrinya ; ia tidak berhak terhadap anak,tak berhak terhadap harta
benda istrinya dan yang bersangkut paut dengan rumah tangga.
Suami tersebut tetap masuk kedalam Clan/kerabatnya
sendiri,walaupun ia bekerja dan menghasilkan,maka hasil itu dioeruntukan bagi
dirinya, bagi ibunya, bagi saudara-saudara perempuannya beserta anak-anaknya.
Dalam sistem ini, ibulah yang berkuasa atas harta benda dan atas pendidikan dan
keserasian dalam masalah keluarga.
Lebih lanjut dapat dikatakan di sini bahwa dalam hal
pewarisan, jelas bahwa anak-anak hanya mendapatkan warisan dari Ibunya dan
Clan/Kerabat pihak ibunya.Sedangkan dari pihak ayahnya apabila ayahnya
meninggal dan tidak ada harta yang ditinggalkan, harta warisan ayahnya tersebut
akan jatuh kepada kerabat pihak ibunya atau clannya sendiri, karena dalam
perkawinannya tersebut ayah tersebut tetap masih masuk kedalam kerabatnya
sendiri. Persekutuan hukum masyarakat Matrilinial atau Somah Seperut seperti
ini dapat berlangsung lama 3 sampai 5
generasi,kalau ia menjadi terlalu besar, ia akan pecah dalam beberapa Somah
Seperut baru, yang masing-masing berpangkal kepada seorang anggota perempuan
inti itu. Perpecahan itu mungkin juga terjadi karena sebab lain, seperti
perselisihan, perpindahan ketempat lain dll.
Suatu somah seperut adalah suatu badan hukum yang
mempunyai harta benda sendiri yang disebut “Harta Pusaka”. Pengurusnya justru
berada di tangan para anggota laki – laki dari generasi tertua yang disebut
para mamik di bawah pimpinan Mamik tertua atau tercakap di antara mereka yang
disebut “Mamak Kepala Waris”. Sebagai suatu ikatan kekerabatan, maka di dalam
Somah Seperut itu terdapat Solidaritas antara :
§
Saudara–saudara se–ibu (laki–laki dan perempuan)
yang menjadi intinya.
§
Saudara–saudara perempuan itu beserta keturunan
Pancar perempuan, baik keturunannya dan kaum kemenakan
§
Sesama kemenakan : himpunana kemenakan itu
meliputi saudara–saudara sendiri dan saudara–saudara sepupu dan mungkin
kerabat–kerabat lebih jauh dari generasi yang lebih muda lagi.
Perlu diperhatikan bahwa dalam sistem ini Institusional tidak ada solidaritas antara :
§
Suami dan Istri
§
Bapak dan anak
Institusional, perkawinan di kalangan orang Minagkabau
tidak membetuk Somah sendiri / Rumah tangga sendiri / Brayat mandiri, sehingga seorang laki–laki selaku suami
berada di luar kerabat pihak istrinya. Kalaupun seorang suami menetap di dalam
rumah istrinya, masih juga ia merupakan “orang asing” di dalam Somah seperut
istrinya (beserta anak–anaknya)
q Masyarakat
Parental / Kerabat Parental.
Sistem kekerabatan Parental atau Bilateral atau
menurut istilah kekerabatan Prof. Djojodiguno adalah Brayat Mandiri atau Soman
Mandiri adalah suatu kesatuan kemasyarakatan yang organisasinya didasarkan
hubungan suami–istri (perjodohan) yang sah. Ia berinti kepada suami istri dan
ideal–typis terdiri atas suami dan istri beserta anak–anaknya. Ia merupakan
suatu kesatuan yang nyata berdasarkan organisasi dan fungsinya yang beraneka
ragam itu, namun tidak merupaka Badan–Hukum dan kerabat tidak terikat oleh Clan
/ kerabat yang besar maka disebut Somah Mandiri.
Sistem ini kita jumpai di dalam masyarakat yang
organisasinya tidak berdasarkan / didasarkan atas kesatuan–kesatuan ketunggulan
silsilah (di Jawa dan Madura).
Di kalangan orang Jawa, pimpinan brayat atau Somah
adalah Dwitunggal suami dan istri keduanya mempunyai hak dan kewajiban serta
kedudukan yang sama. Dalam Somah Sendiri / Brayat Mandiri ini terdapat
Solidaritas yang kuat antara :
§
Suami dan Istri
§
Bapak dan anak – anaknya
§
Ibu dan anak – anaknya
§
Sesama anak
Jadi, dalam masyarakat ini kedudukan keluarga baik
dari pihak ayah maupun pihak ibu dihadapkan anak–anaknya adalah sama sederajat.
Tidak ada yang lebih tinggi ataupun lebih rendah antara yang satu dengan yang
lainnya. Sistem perkawinan dalam masyarakat ini khususnya masyarakat Bilateral
di Jawa adalah Sistem Eleutherogami yaitu sistem yang tidak mengenal
larangan-larangan atau keharusan–keharusan seperti halnya dalam sistem Exogami
ataupun Endogami sistem perkawinan seperti disebutkan diatas adalah “Perkawinan
Bebas” artinya orang boleh kawin dengan siapa saja, sepanjang hal itu
diizinkan sesuai dengan kesusilaan setempat dan di sepanjang peraturan yang
digariskan agama.
Sedangkan pada masyarakat Bilateral di Kalimantan
yang hidup dalam kelompok–kelompok Trible–system atau rumpun dan tinggal dalam
rumah – rumah besar yang berisi 12 sampai 20 keluarga, sistem perkawinannya
adalah Endogami. Yaitu mereka mengadakan perkawinan satu sama lain dalam Trible
atau Rumpan mereka sendiri (antara keluarga)
Dalam hal pewarisan, dalam masyarakat Bilateral /
Parental ini yang menjadi waris utama dan pertama adalah anak khususnya anak
kandung baik laki–laki maupun perempuan sama kedudukannya.
B.
PERSEKUTUAN HUKUM TERITORIAL
Yang menjadi faktor pengikat persekutuan hukum itu
adalah karena merasa hidup dan tinggal di daerah yang sama, anggota–anggotanya
merasa mempunayai keterikatan berasal
dari daerah yang sama. Tinggal dan mendapat penghidupan daerah yang sama.
Persekutuan Hukum Teritorial ini dapat dibagi atas tiga golongan yaitu :
- Persekutuan Desa
Persekutuan Desa, yaitu di mana segolongan orang terikat, yaitu di mana
segolongan orang terdekat pada suatu tempat kediaman atau suatu tempat kediaman
kecil yang meliputi perkampungan–perkampungan atau dukuh–dukuh yang terpencil
yang tidak berdiri sendiri, sedang para pejabat pemerintahan desa boleh
dikatakan semuanya bertempat tinggal di dalam pusat kediaman itu.
Contoh : Desa
di Jawa dan Bali
- Persekutuan Daerah
Persekutuan Daerah, yaitu apabila di dalam suatu daerah mempunyai tata
susunan dan pengurus sendiri–sendiri yang sejenis, berdiri sendiri tetapi
semuanya merupakan bagian bawahan dari daerah : daerah memiliki harta benda dan
menguasai hutan dan rimba diantara atau disekeliling tanah– tanah yang ditanami
dan tanah–tanah yang ditinggalkan penduduk desa itu. (hak ulayat)
Contoh : Kuria
di Tapanuli, yang merupakan kesatuan dari bagian–bagiannya yang disebut Huta di
mana Huta mempunyai pimpinan sendiri– sendiri
Marga di Sumatra Selatan yang tediri dari bagian–bagiannya yaitu dusun dan
tiap–tiap dusun mempunyai pimpinan – pimpinan sendiri
- Perserikatan Desa
Perserikatan Desa yaitu gabungan–gabungan dari beberapa Persekutuan desa,
dimana mereka mengadakan permufakatan untuk melakukan kerja sama untuk
kepentingan bersama : untuk melakukan keperluan bersama itu diadakan suatu
badan pengurus yang terdiri dari pengurus–pengurus persekutuan desa, sedangkan
wewenang pengurus kerja sama ini tidak lebih tinggi dari pada pengurus desa
masing–masing Sedang kekuasaan tertinggi terhadap tanah–tanah di dalam daerah
desa / kampung itu tetap ada pada tangan pengurus desa / kampung yang
bersangkutan
Contoh : Sistem pengairan sawah subak di Bali
Dari ketiga jenis
Persekutuan Hukum yang berdasarkan faktor Teritorial tersebut, Persekutuan desalah
yang menjadi pusat perhatian dan pergaulan hidup sehari–hari. Desa yang sebagai
badan hukum berdiri sendiri secara bulat, atau sebagai badan persekutuan daerah
atasan atau yang mengadakan hubungan kerjasama dengan badan persekutuan hukum
setingkat untuk memelihara keperluan bersama yang tertentu
C.
PERSEKUTUAN GENEALOGIS - TERITORIAL
Kesatuan kemasyarakatan yang anggotanya selain
berdasarkan faktor keturunan juga oleh wilayah yaitu bertempat tinggal di
daerah yang sama. Untuk manjadi anggota persekutuan hukum Genealogis –
Teritorial ini wajid dipenuhi dua syarat sekaligus yaitu :
1.
Harus masuk dalam kesatuan Genealogis dan
2.
Harus berdiam di dalam daerah persekutuan yang
bersangkutan
Susunan masyarakat yang demikian ini terdapat antara lain :
-
Mentawai ................. Uma
-
Tapanuli.................... Kuria
dan Huta
-
Minagkabau.............. Nagari
-
Palembang ............... Marga
dan Dusun
- Maluku ..................... Negorij
Persekutuan–persekutuan Hukum yang bersifat Genealogis– Teritorial ini
dapat dibeda–bedakan dalam 5 jenis, sebagai berikut :
- Suatu daerah atau kampung yang
hanya didiami oleh satu bagian Clan (Golongan) tidak ada Clan lain yang
tinggal di dalam daerah itu. Daerah atau kampung yang ada di sekitarnyapun
hanya didiami oleh satu Clan saja.
Contoh : Di pedalaman Pulau Enggano, Buru, Seram
dan Flores
- Di Tapanuli terdapat daerah
tertentu, semula didiami oleh satu marga tertentu. Kemudian ada marga lain
datang ke wilayah tersebut dan menjadi anggota huta. Tetapi sebagai
pengusa tanah tetaplah marga yang mendirikan Huta – huta di daerah itu.
Marga yang demikian ini disebut, marga raja atau marga tanah (marga
menguasai tanah di daerah itu).
Sedangkan
marga yang kemudian masuk daerah itu, disebut marga rakyat. Kedudukan marga
rakyat di dalam suatu huta adalah kurang atau lebih rendah dari pada marga dari
pada marga tanah. Antara marga yang datang dan marga pertama biasanya ada
hubungan perkawinan yang erat
- Di Sumba Tengah dan Sumba Timur
Di sini terdapat suatu clan yang mula–mula
mendiami suatu daerah tertentu dan berkuasa di daerah itu, akan tetapi kekuasaan
itu kemudian berpindah kepada clan lain yang masuk ke daerah tersebut dan
berhasil merebut kekuasaan pemerintahan dari calan yang asli itu.
Kedua clan itu kemudian berdiam dan bersama–sama
merupakan kesatuan sama–sama menjadi anggota persekutuan kekuasaan pemerintah
dipegang clan yang datang kemudian, sedangkan clan yang asli tetep menguasai
tanah – tanah di daerah itu , sebagai wali tanah.
- Di beberapa Nagari di
Minagkabau dan di beberapa Marga di Bengkulu
Marga
di Bengkulu dalam satu daerah nagari segala golongan suku (golongan yang
berkuasa dan golongan yang menumpang) tidak ada perbedaan atau berkedudukan
sama dan bersama–sama merupakan suatu badan persekutuan Teritorial (nagari)
sedang daerah nagari itu terbagi dalam daerah–daerah golongan (daerah suku) di
mana tiap–tiap golongan mempunyai daerah–daerah sendiri.
- Seperti yang terdapat di Rejang
Di
mana dalam satu dusun berdiam beberapa bagian Clan yang satu dengan yang lain
tidak bertalian family. Seluruh daerah / dusun menjadi daerah bersama dari semua
bagian Clan yang tidak dibagi – bagi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kedudukan
Hukum Adat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Alumni Bandung, 1978.
Busar Muhammad, Asas–Asas
Hukum Adat, Pradnya Pramita, Cetakan VI Jakarta, 1986.
BPHN (Badan Pembinaan Hukum
Nasional ), Seminar Hukum Adat Dan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta
Jakarta, 1976.
Djaren Saragih, Pengantar
Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, 1984.
Djojo Diguno, Asas –
Asas Hukum Adat, Bp. Gajah Mada, Yogyakarta, 1958.
Djojodigung , Kedudukan
Dan Peranan Hukum Adat Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Seminar Hukun Adat
1975, BPHN / Bina Cipta Jakarta, 1976
Hidjazie Kartawijaya, Pengertian
Hukum Adat, Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat (Living Law) Dan Hukum Nasional,
Seminar Hukum Adat 1975 FH. UGM,
BPHN / Binacipta, 1976
Hilman Hadikusumo, Pokok – Pokok Pengertian Hukum Adat,
Alumni Bandung, 1980
…………, Pengantar Ilmu
Hukum Adat, Mandar Maju Bandung, 1992.
Iman Sudijat., Asas –
Asas Hukum Adat, Liberty Yokyakarta, 1981
Moh. Koesnoe, Catatan –
Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga Univercity Press
Surabaya, 1979
M. Yahya Harahap, Kedudukan
Janda, Duda Dan Anak Angkat Dalam Hukum Adat, Citra Aditya Bakti Bandung,
1993.
Muhammad Radhie, Masalah
Penelitian Hukum Dalam Pembangunan Hukum Di Indonesia, Majalah Hukum
Universitas Indonesia No. 1 Tahun Ke V. 1975.
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar
Dan Asas–Asas Hukum Adat, Alumni Bandung 1973.
…………………………, Kedudukan
Serta Perkembangan Hukum Adat Setelah Kemerdekaan, Gunung Agung Jakarta,
1982
Soepomo, Kedudukan Hukum
Adat Dikemudian Hari, Pustaka Rakyat Jakarta, 1959.
…………, Sistem Hukum Di
Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke–II, Pradnya Paramita Cetakan Ke Viii,
1970.
…………., Bab–Bab Tentang
Hukum Adat, Pardnya Paramita Cetakan Ke Vii Jakarta, 1982
…………., Hubungan Individu
Dan Masyarakat Dalam Hukum Adat, Pardnya Paramita Cetakan Ke Iii. 1978
…………., Sejarah Politik
Hukum Adat, Jambatan 1951.
…………., Hukum Perdata
Jawa Barat, Jambatan Jakarta, 1967
Soleman Biasane Taneko, Dasar–Dasar
Hukum Adat Dan Hukum Ilmu Hukum Adat, Alumni Bandung, 1981
Soekanto, Meninjau Hukum
Adat Indonesia, Rajawali Jakarta, 1981.
…………, Pokok – Pokok
Hukum Adat Di Indonesia, Alumni Bandung, 1981
|
…………., Kedudukan Dan Peranana Hukum–Hukum Adat Di Indonesia,
Kurnia Esa Jakarta, 1982.
Ter Haar. Bzn, Asas–Asas
Dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan Soebekti Poesponoto, K, Ng. Pradnya
Paramita Cetakan Ke IV Jakarta, 1960.
Van Dijk., Pengantar
Hukum Adat Indonesia, Terjemahan Soehardi, Mr, Sumur Bandung, 1962.
Van Vollenhoven, Orientasi
Dalam Hukum Adat Indonesia, Terjemahan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia), Djambatan Jakarta, 1981.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar