Minggu, 03 Mei 2015

Diktat Hukum Adat Bab V

BAB V

TATA SUSUNAN RAKYAT DI INDONESIA


Berdasarkan penyelidikan Hukum Adat dari dulu hingga sekarang dapat dikatakan membenarkan pernyataan C Van Vollenhoven dalam orasinya tanggal 2 Oktober 1901  :
“  Bahwa untuk mengetahui hukum, maka adalah terutama perlu diselidiki pada waktu apapun dan di daerah mana jugapun, sifat dan susunan badan – badan persekutuan hukum, di mana orang – orang yang dikuasai oleh hukum itu hidup sehari – hari “

   Penguraian tentang badan–badan persekutuan itu harus tidak didasarkan atas sesuatu dogmatika, melainkan harus berdasarkan atas kehidupan yang nyata dari masyarakat yang bersangkutan. Apabila Hukum Adat hingga kini masih terus hidup, bahkan maju terus menuju kepada kehidupan sendiri meskipun berpuluh–puluh tahun mendapat rintangan, tantangan dan ancaman–ancaman sebagai berbagai rupa terutama pada jaman kolonial sebelum tahun 1928, maka segala sesuatu itu disebabkan oleh kekuatan mempertahankan serta kekuatan hidup dari badan–badan Persekutuan Hukum Indonesia sendiri. Oleh karenanya, maka dalam tiap uraian tentang Hukum Adat dari sesuatu lingkungan hukum (Rechtkringen) susunan badan–badan persekutuan perlu dikemukakan juga.
 ( Soepomo , 1977 :  49 )
               Persekutuan–persekutuan yang manakah di Indonesia ini yang bersifat Persekutuan Hukum ?  Ter Haar dalam bukunya “ Asas–asas Dan Susunan Hukum Adat Indonesia”  Halaman 15 – 16, menegaskan sebagai berikut :
“ Di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata, terdapat   pergaulan hidup di dalam golongan–golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia lahir dan batin. Golongan–golongan itu mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal dan orang–orang dalam golongan itu mempunyai masing–masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagai hal yang sewajarnya hal menurut kodrat alam.
    Tidak ada dari seorangpun mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran golongan itu. Golongan ini mempunyai pengurus sendiri, harta benda sendiri, milik keduniawian milik gaib. Golongan–golongan demikianlah yang bersifat Persekutuan Hukum “
                 Jadi Persekutuan Hukum itu merupakan kesatuan–kesatuan yang mempunyai tata susunan yang teratur dan kekal serta memiliki pengurus sendiri dan kekayaan sendiri, baik kekayaan meteriil maupun kekayaan inmateriil.
Jadi, kalau kita sederhanakan pengertian diatas, adalah sebagai berikut : Pengelompokan orang–orang yang bertindak sebagai kesatuan baik ke luar maupun ke dalam. Di mana tiap–tiap orang yang ada dalam kelompok merasa dirinya sebagai anggota kelompok dan tiap–tiap anggota menghayati keanggotaanya itu dalam kelompok yang bersangkutan. Bagi anggota kelompok pada umumnya berkeyakinan bahwa tindakan seorang anggota kelompok tidak hanya akan membawa akibat bagi dirinya sendiri saja, melainkan akan dirasakan oleh anggota–anggota sekelompok.
     Sebagaimana telah dikemukakan oleh Ter Haar  di muka, tiap–tiap kelompok itu hidup dalam susunan ketertiban tertentu, kelompok itu sebagai suatu kesatuan mempunyai pimpinannya sendiri dan mempunyai kekayaan sendiri, baik berwujud maupun tidak berwujud maupun tidak berwujud  selain juga mempunyai wilayah sendiri yang tertentu. Dan di dalam batas–batas wilayah itu kelompok  yang bersangkutan menjadi kehidupan, kelompok yang demikian ini disebut PERSEKUTUAN HUKUM.
                   Jadi Persekutuan Hukum adalah sekelompok orang–orang yang terikat  sebagai satu kesatuan dalam suatu susunan yang teratur yang bersifat abadi, dan memiliki pimpinan serta kekayaan yang baik berwujud maupun tidak berwujud dan mendiami atau hidup di atas suatu wilayah tertentu. Lebih lanjut dapat disebutkan disini bahwa, persekutuan hukum sangat berguna untuk mempelajari berbagai Lembaga Hukum yang ada dalam masyarakat tersebut (Mis, Hukum Perkawinan, Pewarisan, Hukum Tanah dll). Atau dengan kata lain adalah untuk mengetahui lembaga hukum yang ada dalam satu masyarakat  haruslah mengetahui tentang Struktur Masyarakat  yang bersangkutan.
                 Struktur Masyarakat menentukan sistem (Struktur) hukum yang berlaku di masyarakat itu.  Struktur Masyarakat­ =  Persekutuan Hidup = Masyarakat Hukum  =  Persekutuan Hukum / Rechtgemenschappen, adalah :
“ Kesatuan manusia yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, yang didirikan terikat dalam kesatuan yang bersatu padu dan penuh solidaritas.
   Jadi, Perikatan yang bertindak dalam pergaulan hukum sebagai kesatuan”
     Diantara faktor – faktor yang mengikat dan menjadi dasar pokok untuk kesatuan Persekutuan Hukum tersebut harus dikemukakan dua (2) faktor yang berbeda dan yang sangat penting untuk dapat memahami Susunan Persekutuam Hukum tersebut :
q   Faktor Genealogis / Keturunan / Kekerabatan
q   Faktor Teritorial / Kedaerahan
Berdasarkan dua (2) faktor pengikat itu, maka dapatlah dibedakan tiga (3) Tipe pokok utama Persekutuan Hukum yaitu :
1.      Persekutuan Hukum Genealogis
Persekutuan Hukum Genealogis, adalah persekutuan hukum di mana dasar pengikat utama anggota–anggota kelompok tersebut adalah kerena persamaan dalam keturunan, artinya anggota–anggota kelompok itu terikat karena merasa berasal dari negara nenek moyang yang sama.
2.      Persekutuan Hukum Teritorial
Persekutuan Hukum Teritorial, adalah persekutuan hukum itu ada karena para anggota anggotanya merasa terikat satui dengan yang lainnya karena merasa dilahirkan dan menjalani kehidupan bersama ditempat yang sama
3.      Persekutuan Hukum Genealogis dan Teritorial

Persekutuan Hukum Genealogis dan Teritorial, adalah Persekutuan Hukum dimana baik faktor Genealogis maupun faktor Teritorial menjadi dasar pengikat antara anggota – anggota kelompok.


A.    PERSEKUTUAN HUKUM GENEALOGIS

Yang menjadikan faktor pengikat persekutuan hukum itu adalah karena keturunan. Seseorang menjadi anggota dari persatuan hukum tersebut adalah berdasarkan keturunan dari anggota tersebut. Karena setiap orang selalu diturunkan oleh 2 (dua) orang, yakni seorang pria dan seorang wanita, maka secara sistematis pada dasarnya dapat dibedakan 2 macam Persekutuan Hukum Genealogis ditambah dengan 1 bentuk khusus yaitu :

  1. Masyarakat Unilateral
Masyarakat Unilateral adalah masyarakat di mana anggota–anggotanya menarik garis keturunan hanya dari satu pihak yaitu dari pihak laki–laki saja (Ayah) atau dari pihak wanita saja (Ibu)

Ciri – ciri Masyarakat Unilateral

a.       Menarik garis keturunan hanya dari satu pihak saja
b.      Masyarakatnya terbagi–bagi dalam kelompok–kelompok yang disebut Clan (sub – clan)
c.       Sistem Perkawinan adalah Eksogami
d.      Tiap kelompok atau Clan mempunyai Harta Pustaka yang tidak boleh dibagi–bagi
 Masyarakat Hukum yang Unilateral ini dapat dibedakan atas dua (2) macam dari satu bentuk khusus :
1.         Masyarakat Matrilinial, yaitu masyarakat dimana anggota– anggotanya menarik garis keturunan hanya dari pihak Ibu saja terus menerus ke atas, hingga berakhir pada suatu kepercayaan bahwa mereka semua berasal dari Seorang Ibu asal
Misalnya  :  Masyarakat Minagkabau, kerinci dan Semendo.
2.         Masyarakat Patrilinial, adalah masyarakat di mana anggota– anggotanya menarik garis ketentuan dari pihak laki–laki (Ayah) saja terus menerus ke atas, sehingga berakhir pada suatu kepercayaan bahwa mereka semua berasal dari Satu Bapa asal
Misalnya  :  Masyarakat Batak, Bali dan Ambon dll
3.         Masyarakat Dobel Unilateral, adalah masyarakat yang menarik garis keturunan dari pihak ayah dan dari pihak Ibu yang dilakukan bersama– sama, berdasarkan hal – hal tertentu (Seseorang mempunyai Clan dua yaitu ayah dan Ibu)
Caranya, yaitu mengenai hal–hal tertentu garis keturunan ditarik melalui garis Ibu, sedangkan mengenai hal–hal tertentu garis keturunan ditarik melalui garis Ayah.
                Biasanya hal ini dilihat dari kepentingan pewarisan, dalam pewarisan benda–benda yang berhubungan dengan keperluan kewanitaan diwariskan melalui garis keibuan. Sedangkan benda–benda yang ada sangkut pautnya dengan kepriaan diwariskan melalui garis kebapaan. Dengan demikian dimanifestasi dari bentuk Double Unilateral terdapat pada pewarisan. Hal ini terdapat di Timor – timor.
  1. Masyarakat Bilateral / Parental
Pada susunan masyarakat yang Bilateral ini anggota – anggotanya menarik garis keturunan, baik melalui garis laki – laki (Ayah) atau garis perempuan (Ibu). Jadi, garis keturunan ditarik melalui orang tua (Parental) karena itu masyarakat bilateral ini dinamakan juga Parental. Masyarakat hukum yang tersusun secara Parental bentuk perkawinannya bebas, artinya tidak terikat pada keharusan Exogami maupun Endogami dan disebut Sistem Eleutherogami.
Masyarakat Hukum Bilateral ini terediri dari :
a.       Masyarakat Bilateral yang bersendikan pada kesatuan Rumah tangga (Gezin). Titik berat dari masyarakat itu terletak pada Rumah Tangga.
Contoh :  Masyarakat yang bersendikan pada kesatuan rumah tangga   ini terdapat di Jawa dan Madura
b.      Masyarakat Bilateral yang bersendikan pada Rumpun–rumpun (Trible) titik berat dari masyarakat ini terletak pada rumpun.
Contoh : Masyarakat yang bersendikan pada rumpun ini terdapat pada orang – orang Dayak di Kalimantan
Pada masyarakat yang bersendikan rumput ini dianjurkan untuk mengadakan perkawinan secara Endogami.
  1. Masyarakat Alternerend (berganti – ganti)
                Masyarakat Alternerend adalah masyarakat dimana garis keturunan seseorang ditarik berganti–ganti sesuai dengan bentuk perkawinan yang dilakukan oleh oranbg tuanya. Apabila perkawinan yang dilakukan oleh orang tuanya dilakukan menurut hukum ke Ibuan ataudisebut juga kawin semendo, maka anak yang lahir dari perkawinan ini menarik garis keturunan melalui Ibu
               Sedangkan apabila perkawinan yang dilakukan oleh orang tuanya menurut hukum ke bapaan atau disebut kawin jujur maka anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menarik garis keturunan dari pihak ayah. Kalau bentuk perkawinan yang dilakukan itu dimaksudkan agar supaya anak yang lahir dari perkawinan itu menarik garis keturunan dari kedua belah pihak (Ayah – Ibu) maka perkawinannya disebut Kawin Semendo Rajo–rajo dan anak yang lahir dari perkawinan itu menarik garis keturunan baik dari pihak ayah maupun dari pihak Ibu. Bentuk ini terdapat di Sumatra Selatan, yaitu di Rejang
              Jadi, Alternerend, adalah bentuk yang tergantung dari pada cara perkawinan yang dilakukan. Ada kemungkinan Keturunan Putus, jika didasarkan pada perkawinan ke Bapaan, untuk menghindarkan hapusnya keturunan maka diadakan perkawinan yang menyimpang yaitu Perkawinan Semendo dimana laki–laki didatangkan. (Apabila hanya ada anak perempuan)
 Demikian secara singkat diuraikan secara ringkas tentang faktor pengikat persekutuan hukum yang pertama yaitu faktor Genealogis yang kita lihat dalam uraian di muka terdiri dari masyarakat Unilateral (Patrilineal dan Matrilineal) dan masyarakat Bilateral ditambah satu bentuk khusus masyarakat Alternerend. Dan dalam pembahasan azas–azas hukum adat dan juga untuklebih mendalami lembaga–lembaga hukum adat yang ada faktor–faktor pengikat : Genealogis ini disamping faktor pengikat Teritorial sangatlah penting untuk dibahas secara khusus.
 Untuk hal tersebut kita akan membahas secara khusus faktor pengikat Genealogis yang berdasarkan masyarakat Unilateral, Bilateral yaitu :

q  Masyarakat Patrinilial / Kekerabatan Patrilinial.
     Suatu Kesatuan Kemasyarakatan yang organisasinya berdasarkan atas keturunan menurut garis keturunan pihak laki–laki / Pancar laki – laki. Dalam masyarakat ini kedudukan laki–laki lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan pihak perempuan dalam segala hal dan urusan yang menyangkut kehidupannya. Anak laki–laki dalam masyarakat ini sudah beristri tetap tinggal menetap menjadi anggota Clan / tetap tinggal di dalam Clan / Kerabat/ Brayat itu dalam membawa masuk istri–istri mereka sebagai anggota–anggota baru dari Brayat / Clan / Kerabat itu. Lagi pula di dalamnya terdapat solidaritas yang kuat antara para anggotanya laki–laki yang saling atau satu keturunan garis / pancar laki–laki.
     Dalam masyarakat Patrilinial ini, perkawinan disebut dengan Perkawinan Jujur, maksudnya adalah dengan suatu pembayaran / pembelian dengan barang baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud oleh pihak laki–laki kepada pihak perempuan bermakna sebagai lambang diputuskannya hubungan kekerabatan / kekeluargaan di istri dengan orang tuanya, nenek moyangnya, saudara–saudara kandungnya dan semua kerabatnya dan persekutuannya.
     Dan setelah perkawinan si istri itu masuk sama sekali dalam lingkungan kekerabatan suaminya, begitu juga anak–anak keturunan dari perkawinan itu. Dengan demikian perempuan atau istri tadi berubah statusnya dari anggota kerabat / Clannya sendiri selagi gadis, menjadi anggota kerabat / Clan suaminya. Sistem jujur ini sesuai dengan faham etnologi barat sebagai suatu “Pembelian” Sebagaimana disebutkan di atas.
  Tetapi sesuai dengan Etnologi Hukum Adat  yang murni, maka jujur itu suatu Penggantian  terlebih dahulu jika dipahami melalui kata–kata TUHOR,TUKOR, TUKAR dalam bahasa Indonesia yang berarti “ganti” yaitu kedudukan gadis itu dalam pengertian Religio–magis. Diganti dengan suatu benda, sehingga tetap terjaga keseimbangannya.
    Pada masyarakat ini karena pada umumnya mengambil calon istri itu dari luar kerabat / Clannya maka perkawinannya adalah berdasarkan Eksogami dan dikenal dengan nama Eksogami jujur. Konskwensi dari perkawinan jujur ini adalah dalam hal pewarisan, yaitu hak anak laki–laki yang dapat atau berhak atas harta warisan sedangkan anak perempuan tidak berhak atas harta warisan. Alasannya adalah jelas bahwa anak perempuan perlu menerima harta warisan, karena kalau dia kawin dan keluar dari clan / kerabatnya dia sudah menjadi tanggung jawab dari suaminya sehingga dianggap tidak perlu menerima harta warisan, sebaliknya anak laki–laki sangat perlu harta warisan karena kalau dia kawin dia tetap akan tinggal dalam kerabat/clannya dan dia yang harus bertanggung jawab atas kehidupan dan penghidupan anak–anaknya.  Clan atau kekerabatan Patrilinial ini berlangsung 3 sampai 5 keturunan, sehingga sempat pula menyelenmggarakan Harta Pusaka

q  Masyarakat Kekerabatan Matrilinial 
Sesuatu kesatuan kemasyarakatan yang organisasinya berdasarkan atas garis keturunan/kewangsaan menurut garis keturunan perempuan/pancar perempuan. Masyarakat Matrilinialini oleh Prof. Djojodiguno,SH  disebut dengan istilah Somah Seperut atau Buah Perut, ia berintikan beberapa orang saudara laki-laki dan perempuan seibu. Sebagai Somah Seperut yang ideal, terdiri  dari :
§  Saudara-saudara laki-laki dan perempuan seibu.
§  Anak-anak dari saudara-saudara perempuan tersebut serta keturunan-keturunan melalui garis Ibu.
Sedangkan anak-anak seorang anggota laki-laki tidaklah menjadi anggota Somah Seperut,karena mereka termasuk anggota Somah Seperut Ibu mereka di dalam Clan lain.Jadi yang menjadi anggotanya hanyalah keturunan yang dilacak menurut Garis Ibu/Pancar perempuan (meliputi orang laki-laki dan perempuan) dari saudara-saudara perempuan yang menjadi intinya dahulu. Dalam sistem ini apabila terjadi perkawinan pihak perempuan (bakal istri) menjemput pihak laki-laki (bakal suami) untuk pergi kedalam lingkungan Clan dari bakal istrinya.
Sistem perkawinan ini disebut Kawin Samendo/Kawin Menjemput. Dikatakan Samendo berarti laki-laki dari luar didatangkan pergi ketempat perempuan, ia orang “luar”. Dalam masyarakat ini perkawinannya sebagaimana telah disebutkan di muka adalah “Exogami”(Sistem perkawinan,dimana seseorang harus kawin dengan anggota Clan lain). Tetapi “Exogami” di sini tidak dapat dikatakan “kawin keluar” sebab tak ada seorangpun yang keluar dari lingkungannya, baik si suami maupun si istri tak ada perubahan status.
Di sinilah letak perbedaan antara Exogami dalam masyarakat Patrilinial dengan Matrilinial, dalam sistem Patrilinial istri masuk menjadi anggota clan suaminya, ia didatangkan dari clannya dan dilepas oleh clannya dengan medium sebuah benda (Jujur). Kembali pada Exogami dalam sistem Matrilinial, maka bentuk perkawinannya disebut Kawin bertandang itu adalah suatu pelaksanaan yang integral cocok dengan prinsip ke-ibu-an. Dalam keadaan yang demikian suami adalah semata-mata orang yang datang bertamu “datang malam,hilang pagi esoknya”.Suami tersebut berstatus Tamu pada keadan lingkungan istrinya ; ia tidak berhak terhadap anak,tak berhak terhadap harta benda istrinya dan yang bersangkut paut dengan rumah tangga.
Suami tersebut tetap masuk kedalam Clan/kerabatnya sendiri,walaupun ia bekerja dan menghasilkan,maka hasil itu dioeruntukan bagi dirinya, bagi ibunya, bagi saudara-saudara perempuannya beserta anak-anaknya. Dalam sistem ini, ibulah yang berkuasa atas harta benda dan atas pendidikan dan keserasian dalam masalah keluarga.
Lebih lanjut dapat dikatakan di sini bahwa dalam hal pewarisan, jelas bahwa anak-anak hanya mendapatkan warisan dari Ibunya dan Clan/Kerabat pihak ibunya.Sedangkan dari pihak ayahnya apabila ayahnya meninggal dan tidak ada harta yang ditinggalkan, harta warisan ayahnya tersebut akan jatuh kepada kerabat pihak ibunya atau clannya sendiri, karena dalam perkawinannya tersebut ayah tersebut tetap masih masuk kedalam kerabatnya sendiri. Persekutuan hukum masyarakat Matrilinial atau Somah Seperut seperti ini dapat berlangsung lama  3 sampai 5 generasi,kalau ia menjadi terlalu besar, ia akan pecah dalam beberapa Somah Seperut baru, yang masing-masing berpangkal kepada seorang anggota perempuan inti itu. Perpecahan itu mungkin juga terjadi karena sebab lain, seperti perselisihan, perpindahan ketempat lain dll.
Suatu somah seperut adalah suatu badan hukum yang mempunyai harta benda sendiri yang disebut “Harta Pusaka”. Pengurusnya justru berada di tangan para anggota laki – laki dari generasi tertua yang disebut para mamik di bawah pimpinan Mamik tertua atau tercakap di antara mereka yang disebut “Mamak Kepala Waris”. Sebagai suatu ikatan kekerabatan, maka di dalam Somah Seperut itu terdapat Solidaritas antara :
§ Saudara–saudara se–ibu (laki–laki dan perempuan) yang menjadi intinya.
§ Saudara–saudara perempuan itu beserta keturunan Pancar perempuan, baik keturunannya dan kaum kemenakan
§ Sesama kemenakan : himpunana kemenakan itu meliputi saudara–saudara sendiri dan saudara–saudara sepupu dan mungkin kerabat–kerabat lebih jauh dari generasi yang lebih muda lagi.
Perlu diperhatikan bahwa dalam sistem ini Institusional  tidak ada solidaritas antara :
§  Suami dan Istri
§   Bapak dan anak
Institusional, perkawinan di kalangan orang Minagkabau tidak membetuk Somah sendiri / Rumah tangga sendiri / Brayat mandiri,  sehingga seorang laki–laki selaku suami berada di luar kerabat pihak istrinya. Kalaupun seorang suami menetap di dalam rumah istrinya, masih juga ia merupakan “orang asing” di dalam Somah seperut istrinya (beserta anak–anaknya)

q  Masyarakat Parental / Kerabat Parental.
Sistem kekerabatan Parental atau Bilateral atau menurut istilah kekerabatan Prof. Djojodiguno adalah Brayat Mandiri atau Soman Mandiri adalah suatu kesatuan kemasyarakatan yang organisasinya didasarkan hubungan suami–istri (perjodohan) yang sah. Ia berinti kepada suami istri dan ideal–typis terdiri atas suami dan istri beserta anak–anaknya. Ia merupakan suatu kesatuan yang nyata berdasarkan organisasi dan fungsinya yang beraneka ragam itu, namun tidak merupaka Badan–Hukum dan kerabat tidak terikat oleh Clan / kerabat yang besar maka disebut Somah Mandiri.
Sistem ini kita jumpai di dalam masyarakat yang organisasinya tidak berdasarkan / didasarkan atas kesatuan–kesatuan ketunggulan silsilah (di Jawa dan Madura).  
Di kalangan orang Jawa, pimpinan brayat atau Somah adalah Dwitunggal suami dan istri keduanya mempunyai hak dan kewajiban serta kedudukan yang sama. Dalam Somah Sendiri / Brayat Mandiri ini terdapat Solidaritas yang kuat antara  :
§ Suami dan Istri
§ Bapak dan anak – anaknya
§ Ibu dan anak – anaknya
§ Sesama anak
Jadi, dalam masyarakat ini kedudukan keluarga baik dari pihak ayah maupun pihak ibu dihadapkan anak–anaknya adalah sama sederajat. Tidak ada yang lebih tinggi ataupun lebih rendah antara yang satu dengan yang lainnya. Sistem perkawinan dalam masyarakat ini khususnya masyarakat Bilateral di Jawa adalah Sistem Eleutherogami yaitu sistem yang tidak mengenal larangan-larangan atau keharusan–keharusan seperti halnya dalam sistem Exogami ataupun Endogami sistem perkawinan seperti disebutkan diatas adalah “Perkawinan Bebas” artinya orang boleh kawin dengan siapa saja, sepanjang hal itu diizinkan sesuai dengan kesusilaan setempat dan di sepanjang peraturan yang digariskan agama.
Sedangkan pada masyarakat Bilateral di Kalimantan yang hidup dalam kelompok–kelompok Trible–system atau rumpun dan tinggal dalam rumah – rumah besar yang berisi 12 sampai 20 keluarga, sistem perkawinannya adalah Endogami. Yaitu mereka mengadakan perkawinan satu sama lain dalam Trible atau Rumpan mereka sendiri (antara keluarga)
Dalam hal pewarisan, dalam masyarakat Bilateral / Parental ini yang menjadi waris utama dan pertama adalah anak khususnya anak kandung baik laki–laki maupun perempuan sama kedudukannya.
   
B.     PERSEKUTUAN HUKUM TERITORIAL
Yang menjadi faktor pengikat persekutuan hukum itu adalah karena merasa hidup dan tinggal di daerah yang sama, anggota–anggotanya merasa mempunayai  keterikatan berasal dari daerah yang sama. Tinggal dan mendapat penghidupan daerah yang sama. Persekutuan Hukum Teritorial ini dapat dibagi atas tiga golongan yaitu :
  1. Persekutuan Desa
Persekutuan Desa, yaitu di mana segolongan orang terikat, yaitu di mana segolongan orang terdekat pada suatu tempat kediaman atau suatu tempat kediaman kecil yang meliputi perkampungan–perkampungan atau dukuh–dukuh yang terpencil yang tidak berdiri sendiri, sedang para pejabat pemerintahan desa boleh dikatakan semuanya bertempat tinggal di dalam pusat kediaman itu.
Contoh  : Desa di Jawa dan Bali
  1. Persekutuan Daerah
Persekutuan Daerah, yaitu apabila di dalam suatu daerah mempunyai tata susunan dan pengurus sendiri–sendiri yang sejenis, berdiri sendiri tetapi semuanya merupakan bagian bawahan dari daerah : daerah memiliki harta benda dan menguasai hutan dan rimba diantara atau disekeliling tanah– tanah yang ditanami dan tanah–tanah yang ditinggalkan penduduk desa itu. (hak ulayat)
Contoh :  Kuria di Tapanuli, yang merupakan kesatuan dari bagian–bagiannya yang disebut Huta di mana Huta mempunyai pimpinan sendiri– sendiri
Marga di Sumatra Selatan yang tediri dari bagian–bagiannya yaitu dusun dan tiap–tiap dusun mempunyai pimpinan – pimpinan sendiri
  1. Perserikatan Desa
Perserikatan Desa yaitu gabungan–gabungan dari beberapa Persekutuan desa, dimana mereka mengadakan permufakatan untuk melakukan kerja sama untuk kepentingan bersama : untuk melakukan keperluan bersama itu diadakan suatu badan pengurus yang terdiri dari pengurus–pengurus persekutuan desa, sedangkan wewenang pengurus kerja sama ini tidak lebih tinggi dari pada pengurus desa masing–masing Sedang kekuasaan tertinggi terhadap tanah–tanah di dalam daerah desa / kampung itu tetap ada pada tangan pengurus desa / kampung yang bersangkutan
Contoh : Sistem pengairan sawah subak di Bali
             Dari ketiga jenis Persekutuan Hukum yang berdasarkan faktor Teritorial tersebut, Persekutuan desalah yang menjadi pusat perhatian dan pergaulan hidup sehari–hari. Desa yang sebagai badan hukum berdiri sendiri secara bulat, atau sebagai badan persekutuan daerah atasan atau yang mengadakan hubungan kerjasama dengan badan persekutuan hukum setingkat untuk memelihara keperluan bersama yang tertentu

C.    PERSEKUTUAN GENEALOGIS - TERITORIAL

Kesatuan kemasyarakatan yang anggotanya selain berdasarkan faktor keturunan juga oleh wilayah yaitu bertempat tinggal di daerah yang sama. Untuk manjadi anggota persekutuan hukum Genealogis – Teritorial ini wajid dipenuhi dua syarat sekaligus yaitu :
1.       Harus masuk dalam kesatuan Genealogis dan
2.       Harus berdiam di dalam daerah persekutuan yang bersangkutan
Susunan masyarakat yang demikian ini terdapat antara lain :
-  Mentawai ................. Uma
-  Tapanuli.................... Kuria dan Huta
-  Minagkabau.............. Nagari
-  Palembang ............... Marga dan Dusun
-  Maluku ..................... Negorij
               Persekutuan–persekutuan Hukum yang bersifat Genealogis– Teritorial ini dapat dibeda–bedakan dalam 5 jenis, sebagai berikut :
  1. Suatu daerah atau kampung yang hanya didiami oleh satu bagian Clan (Golongan) tidak ada Clan lain yang tinggal di dalam daerah itu. Daerah atau kampung yang ada di sekitarnyapun hanya didiami oleh satu Clan saja.
Contoh : Di pedalaman Pulau Enggano, Buru, Seram dan Flores
  1. Di Tapanuli terdapat daerah tertentu, semula didiami oleh satu marga tertentu. Kemudian ada marga lain datang ke wilayah tersebut dan menjadi anggota huta. Tetapi sebagai pengusa tanah tetaplah marga yang mendirikan Huta – huta di daerah itu. Marga yang demikian ini disebut, marga raja atau marga tanah (marga menguasai tanah di daerah itu).
Sedangkan marga yang kemudian masuk daerah itu, disebut marga rakyat. Kedudukan marga rakyat di dalam suatu huta adalah kurang atau lebih rendah dari pada marga dari pada marga tanah. Antara marga yang datang dan marga pertama biasanya ada hubungan perkawinan yang erat 
  1. Di Sumba Tengah dan Sumba Timur
 Di sini terdapat suatu clan yang mula–mula mendiami suatu daerah tertentu dan berkuasa di daerah itu, akan tetapi kekuasaan itu kemudian berpindah kepada clan lain yang masuk ke daerah tersebut dan berhasil merebut kekuasaan pemerintahan dari calan yang asli itu.
Kedua clan itu kemudian berdiam dan bersama–sama merupakan kesatuan sama–sama menjadi anggota persekutuan kekuasaan pemerintah dipegang clan yang datang kemudian, sedangkan clan yang asli tetep menguasai tanah – tanah di daerah itu , sebagai wali tanah.
  1. Di beberapa Nagari di Minagkabau dan di beberapa Marga di Bengkulu
Marga di Bengkulu dalam satu daerah nagari segala golongan suku (golongan yang berkuasa dan golongan yang menumpang) tidak ada perbedaan atau berkedudukan sama dan bersama–sama merupakan suatu badan persekutuan Teritorial (nagari) sedang daerah nagari itu terbagi dalam daerah–daerah golongan (daerah suku) di mana tiap–tiap golongan mempunyai daerah–daerah sendiri.
  1. Seperti yang terdapat di Rejang
Di mana dalam satu dusun berdiam beberapa bagian Clan yang satu dengan yang lain tidak bertalian family. Seluruh daerah / dusun menjadi daerah bersama dari semua bagian Clan yang tidak dibagi – bagi.


DAFTAR PUSTAKA
 


Abdurrahman, Kedudukan Hukum Adat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Alumni Bandung, 1978.
Busar Muhammad, Asas–Asas Hukum Adat, Pradnya Pramita, Cetakan VI Jakarta, 1986.
BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional ), Seminar Hukum Adat Dan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta Jakarta, 1976.
Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, 1984.
Djojo Diguno, Asas – Asas Hukum Adat, Bp. Gajah Mada, Yogyakarta, 1958.
Djojodigung , Kedudukan Dan Peranan Hukum Adat Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Seminar Hukun Adat 1975, BPHN / Bina Cipta Jakarta, 1976
Hidjazie Kartawijaya, Pengertian Hukum Adat, Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat (Living Law) Dan Hukum Nasional, Seminar Hukum Adat 1975  FH. UGM, BPHN / Binacipta, 1976
Hilman Hadikusumo,  Pokok – Pokok Pengertian Hukum Adat, Alumni Bandung, 1980
…………, Pengantar Ilmu Hukum Adat, Mandar Maju Bandung, 1992.
Iman Sudijat., Asas – Asas Hukum Adat, Liberty Yokyakarta, 1981
Moh. Koesnoe, Catatan – Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga Univercity Press Surabaya, 1979
M. Yahya Harahap, Kedudukan Janda, Duda Dan Anak Angkat Dalam Hukum Adat, Citra Aditya Bakti Bandung, 1993.
Muhammad Radhie, Masalah Penelitian Hukum Dalam Pembangunan Hukum Di Indonesia, Majalah Hukum Universitas Indonesia No. 1 Tahun Ke V. 1975.
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas–Asas Hukum Adat, Alumni Bandung 1973.
…………………………, Kedudukan Serta Perkembangan Hukum Adat Setelah Kemerdekaan, Gunung Agung Jakarta, 1982
Soepomo, Kedudukan Hukum Adat Dikemudian Hari, Pustaka Rakyat Jakarta, 1959.
…………, Sistem Hukum Di Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke–II, Pradnya Paramita Cetakan Ke Viii, 1970.
…………., Bab–Bab Tentang Hukum Adat, Pardnya Paramita Cetakan Ke Vii Jakarta, 1982
…………., Hubungan Individu Dan Masyarakat Dalam Hukum Adat, Pardnya Paramita Cetakan Ke Iii. 1978
…………., Sejarah Politik Hukum Adat, Jambatan 1951.
…………., Hukum Perdata Jawa Barat, Jambatan Jakarta, 1967
Soleman Biasane Taneko, Dasar–Dasar Hukum Adat Dan Hukum Ilmu Hukum Adat, Alumni Bandung, 1981
Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Rajawali Jakarta, 1981.
…………, Pokok – Pokok Hukum Adat Di Indonesia, Alumni Bandung, 1981

60
 
…………., Kedudukan Dan Peranana Hukum–Hukum Adat Di Indonesia, Kurnia Esa Jakarta, 1982.
Ter Haar. Bzn, Asas–Asas Dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan Soebekti Poesponoto, K, Ng. Pradnya Paramita Cetakan Ke IV Jakarta, 1960.
Van Dijk., Pengantar Hukum Adat Indonesia, Terjemahan Soehardi, Mr, Sumur Bandung, 1962.
Van Vollenhoven, Orientasi Dalam Hukum Adat Indonesia, Terjemahan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Djambatan Jakarta, 1981.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar